Bab I Pendahuluan Appendicitis adalah peradangan pada organ appendix vermiformis atau yang dikenal juga sebagai usus buntu. Berdasarkan onsetnya, appendicitis dibagi menjadi beberapa macam, dari appendicitis akut hingga kronis. Appendicitis akut sendiri adalah salah satu penyebab keadaan bedah emergensi terbanyak, yang ditandai dengan gejala berupa nyeri perut pada ulu hati / epigastrium yang menjalar ke kuadran kanan bawah. Hingga saat ini penyebab keadaan akut abdomen di negara – negara (Negara berkembang dan negara maju) terbanyak adalah appendicitis akut ini. Peradangan pada appendix ini dapat ditemukan pada masyarakat dari berbagai usia, dan juga dari berbagai kalangan yang berbeda pula. Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitisyang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6 – 10 tahun. Di Indonesia sendiri belum ada data pasti yang menyatakan jumlah insiden appendicitis, namun insiden terbanyak terjadi pada usia 10 – 30 tahun, dengan jumlah penderita pria lebih banyak daripada wanita. Walaupun appendicitis ini dapat ditemukan pada berbagai usia, namun angka komplikasi tertinggi ada pada penderita pada rentang usia muda (anak – anak) dan usia tua, di mana angka komplikasi berupa perforasi appendix diikuti dengan peritonitis generalisata cukup tinggi. Sejalan dengan waktu, insiden appendicitis ini terus meningkat, hal ini diduga berkaitan dengan pola makan yang semakin rendah serat, di mana menyebabkan terbentuknya faeses yang keras dan kemudian menyebabkan sumbatan pada lumen appendix sehingga terjadi peradangan. Terapi definitif dari appendicitis, baik akut maupun kronis adalah dengan melakukan pengangkatan appendix yang meradang. Tindakan ini dilakukan secara bedah, dan dapat dilakukan dengan beberapa metode, baik laparotomy, laparoscopy, maupun dengan simple appendectomy (insisi pada McBurney) sesuai dengan indikasinya. Appendicitis akut yang tidak ditangani dengan adekuat / definitif maka akan dapat menyebabkan perforasi diikuti dengan peritonitis yang dapat menyebabkan shock dan akhirnya bisa menyebabkan kematian. Namun dengan penanganan segera dan cepat maka prognosis dari appendicitis adalah sangat baik. Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Anatomi Appendix Appendix vermicularis adalah divertikulum intestinal yang berukuran kurang lebih 6 – 10 cm dan terletak pada caecum. Organ ini berbentuk tabung dengan lumen yang sempit pada bagian proximal dan melebar pada bagian distal, kapasitas appendix sendiri kurang lebih 0,1 ml. Organ ini tersusun dari jaringan limfoid dan merupakan bagian integral dari GALT (Gut-Associated Lymphoid Tissue). Lokasi appendix terbanyak berasal dari bagian posteromedial caecum, di bawah ileocaecal junction. Appendix sendiri memiliki mesenterium yang mengelilinginya, yang disebut mesoappendix, yang berasal dari bagian posterior mesenterium yang mengelilingi ileum terminalis. Posisi terbanyak dari appendix sendiri adalah retrocaecal, namun demikian ada variasi dari lokasi appendix ini. 65% dari posisi appendix terletak intraperitoneal sementara sisanya retroperitoneal. Di sini variasi posisi appendix menentukan gejala yang akan muncul saat terjadi peradangan. Beberapa variasi posisi appendix terhadap caecum adalah sebagai berikut : 1. Retrocaecal (65%) 4. Preileal 2. Pelvinal 5. Postileal 3. Antecaecal Gambar 1. Variasi Posisi Appendix Posisi terbanyak adalah retrocaecal, namun demikian posisi appendix dapat ditemukan dengan menelusuri ketiga taenia yang terdapat pada caecum (dan colon), yaitu taenia colica, taenia libera, dan taenia omental. Vaskularisasi appendix berasal dari arteri ileocolica yang merupakan cabang dari arteri mesenterika superior. Cabang arteri ileokolika ini disebut arteri appendicularis, dengan aliran venanya berasal dari vena ileocolica dan akan kembali ke vena mesenterika superior. A. appendicularis ini tidak memiliki kolateral sehingga ketika terjadi oklusi apapun penyebabnya, maka mudah terjadi iskemia dan gangren, hingga akhirnya perforasi. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterica superior dan a. appendicularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis bermula di sekitar umbilicus. II.2 Fisiologi Appendix Appendix menghasilkan lendir / mucus setiap harinya sejumlah 1 – 2 cc per hari, di mana kelebihan dari mucus akan mengalir dari lumen ke caecum. Adanya obstruksi pada jalur inilah yang menyebabkan terjadinya peradangan pada appendix. Salah satu hal lain yang dilakukan appendix adalah menghasilkan Immunoglobulin sekretoar, yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendix, yaitu IgA. Immunoglobulin berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendix tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfoid disini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh, sehingga hilangnya appendix tidak menimbulkan perubahan yang bermakna. II.3 Insiden & Epidemiologi Appendicitis Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitisyang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendicitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa Kaukasia lebih sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya. Appendicitis akut lebih sering terjadi selama musim panas. Insidensi Appendicitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun, sementara di negara berkembang juga terus meningkat. Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada lakilaki dan perempuan umumnya sebanding, dengan jumlah penderita pria lebih banyak sedikit daripada wanita. II.4 Etiologi Appendicitis Penyebab appendicitis yang terutama adalah infeksi bakteri yang didahului dengan obstruksi pada lumen appendix. Obstruksi ini menyebabkan stasis cairan dan distensi dari appendix sehingga menyebabkan pendarahan terganggu akibat vena dan arteri tertekan oleh distensi dan edema yang terjadi. Akibatnya terjadi stasis mucus dan penurunan suplai darah appendix yang memudahkan terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri yang kemudian menyebabkan terjadinya peradangan appendix. Penyebab obstruksi lumen appendix antara lain adalah : Fecalith Parasit Benda – benda asing Hiperplasia jaringan limfoid Insidensi terjadinya appendicitis yang berhubungan dengan hyperplasia jaringan limfoid biasanya disebabkan oleh reaksi limfatik baik lokal atau general, misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enteric atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Tumor / Carcinoid tumor Adalah neoplasma yang sering ditemui pada usus halus dan appendix, bila carcinoid tumor ini mengobstruksi lumen appendix maka dapat terjadi appendicitis juga. Obstruksi dari hal – hal ini menyebabkan terjadinya stasis dan penimbunan mukus pada lumen appendix yang kemudian menyebabkan gejala – gejala, di mana biasanya akan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri, bakteri yang sering dapat ditemukan antara lain adalah : Tabel 1. Bakteri yang diisolasi / sering ditemui pada appendicitis Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob Escherichia coli Bacteroides fragilis Viridans streptococci Peptostreptococcus micros Pseudomonas aeruginosa Bilophila species Enterococcus Lactobacillus species Jadi etiologi terbanyak dari appendicitis adalah obstruksi, namun bukan tidak mungkin terjadi proses inflamasi yang tidak melibatkan obstruksi lumen terlebih dahulu, hal in dapat terjadi jika memang ada penyebaran infeksi langsung ke appendix misalnya, baik virus maupun bakteri. II.5 Patofisiologi & Patogenesis Appendicitis Pada dasarnya, obstruksi yang terjadi pada lumen appendix (apapun penyebabnya) akan menyebabkan terjadinya distensi appendix, hal ini karena kapasitas appendix untuk menampung mucus hanya sekitar 0.1 – 0.2 ml, sementara sekresi mucus perharinya mencapai 1 – 2 ml. Hal ini menyebabkan distensi lumen yang diikuti dengan penekanan pada drainase limfe dan akhirnya terjadi stasis cairan pada appendix, biasanya akan terbentuk edema juga. Hal ini yang disebut sebagai appendicitis akut fokal, di sini distensi dari appendix menyebabkan adanya respon nyeri visceral yang tidak spesifik, sehingga biasanya gejala yang dialami pasien adalah nyeri epigastrium yang sulit untuk dideskripsikan dan dilokalisasi. Distensi yang terus terjadi akan menyebabkan tekanan intra-lumen terus meningkat, hal ini akan diikuti dengan penekanan terhadap sistem vena appendicular sehingga drainase vena terganggu, akibatnya terjadi translokasi dan proliferasi bakteri pada appendix, edema yang sudah terbentuk juga mempermudah terjadinya proses infeksi, akibatnya terjadilah infeksi dan inflamasi pada appendix, inflamasi pada appendix ini akan menyebabkan gejala nyeri perut pada kuadran kanan bawah saat inflamasinya meluas dan mengenai peritoneum setempat. Tahap ini disebut sebagai appendicitis akut supuratif. Ketika obstruksi lumen terus berlanjut, maka tekanan intra lumen juga akan terus meningkat, hal ini menyebabkan tidak hanya obstruksi vena yang terjadi akibat penekanan, namun juga menyebabkan obstruksi arteri appendicular karena edema dan tekana intra lumen yang terus meningkat mendesak dan menekan sistem arteri. Karena sistem arteri yang mendarahi appendix tidak memiliki sistem kolateral, maka akan terjadi iskemia jaringan, yang bila berlanjut akan menyebabkan terjadinya nekrosis jaringan dan gangren, hal ini dikenal sebagai appendicitis gangrenous, di mana appendix yang sudah dalam keadaan seperti ini sangat mudah mengalami perforasi yang dapat menyebabkan perluasan infeksi ke peritoneum (akibatnya terjadilah peritonitis). Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup appendix dengan omentum, dan usus halus, sehingga terbentuk massa periappendikuler yang dikenal dengan istilah appendicitis infiltrat. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, appendicitis akan sembuh dan massa periappendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, appendix yang lebih panjang, dan dinding appendix yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah. Gambar 2. Angka Perforasi Appendicitis berdasarkan Usia Appendix yang pernah mengalami inflamasi tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Perlekatan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. Keadaan di mana appendix telah mengalami fibrosis dan pembentukan jaringan parut ini disebut sebagai appendicitis kronis, di mana biasanya hal ini ditandai dengan nyeri kanan bawah yang hilang timbul, dan riwayat nyeri pertama kali yang tidak ditangani dengan terapi bedah, di mana nyerinya kemudian berkurang dan menjadi hilang timbul. Pada pemeriksaan USG juga akan nampak appendix yang mengalami penebalan dan fibrosis. Gambar 3. Patofisiologi terjadinya Appendicitis II.6 Gejala & Manifestasi Klinis Appendicitis Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik appendicitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium, di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual dan muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun / anorexia. Kemudian dalam beberapa jam (4 – 6 jam), nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik McBurney (Migratory pain). Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Terkadang appendicitis juga disertai dengan low-grade fever sekitar 37,5 -38,5 0C. Biasanya urutan gejala juga berpengaruh, di mana pada 95% kasus urutannya adalah sebagai berikut : Anorexia ==> Abd. pain ==> Vomiting / muntah, walaupun demikian urutan gejala ini bukanlah patokan untuk penegakan diagnosa. Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari appendicitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak appendix ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut. 1. Bila letak appendix retrocaecal – retroperitoneal, yaitu di belakang caecum (terlindung oleh caecum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal. 2. Bila appendix terletak di rongga pelvis : Bila appendix terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare). Bila appendix terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya. Gejala appendicitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan diagnosis, dan akibatnya appendicitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala appendicitis tidak jelas dan tidak khas : Anak-anak Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntahmuntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering appendicitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % appendicitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. Orang tua berusia lanjut Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi. Wanita Gejala appendicitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa dengan appendicitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala appendicitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan appendix terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan. Gambar 4. Perubahan Posisi Appendix pada Wanita Hamil Tabel 2. Gejala Appendicitis Akut Gejala Appendicitis Akut Frekuensi (%) Nyeri perut 100 Anorexia 100 Mual 90 Muntah 75 Nyeri berpindah 50 Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian demam yang tidak terlalu 50 tinggi) *-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam II.7 Penegakan Diagnosa Appendicitis II.7.1 Anamnesis Urutan kejadian gejala mempunyai kemaknaan diagnosis banding yang besar, lebih dari 95% apendisitis akut, anoreksia merupakan gejala pertama, diikuti oleh nyeri abdominal dan baru diikuti oleh vomitus. a) Nyeri/Sakit perut Keluhan utama pada pasien apendistis akut ialah nyeri perut. Gambaran klinisnya yang umum ialah nyeri perut dibagian tengah yang seiring waktu berpindah ke daerah fosa iliaka kanan. Gambaran klasik ini pertama kali dideskripsikan oleh Murphy namun hanya terjadi pada setengah kasus apendistis akut. 4 Khasnya, nyeri awalnya muncul disekitar umbilikus dan semakin lama semakin meningkat intensitasnya selama 24 jam pertama. Nyeri kemudian berpindah dan menetap di fosa iliaka kanan. Nyeri yang pertama kali dirasakan pasien merupakan nyeri alih akibat inervasi visceral dari usus tengah (midgut). Nyeri ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, dan terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut (tidak pin-point). Selain itu nyeri juga timbul oleh karena kontraksi apendiks, distensi dari l umen apendiks ataupun karena tarikan dinding apendiks yang mengalami peradangan. Nyeri visceral ini merupakan nyeri yang sifatnya hilang timbul seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus dengan sifat nyeri ringan sampai berat. Nyeri yang terlokalisir kemudian disebabkan oleh peradangan (>6 jam) dan iritasi langsung peritoneum parietalis akibat proses peradangan lebih lanjut. Biasanya penderita dapat menunjukkan letak nyeri, karena bersifat somatik. Nyeri ini memiliki sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki. 1,4 b) Mual dan muntah Muntah terjadi akibat rangsangan terhadap nervus vagus. Anoreksia, nausea, dan vomitus biasanya muncul beberapa jam setelah nyeri abdomen. Anoreksia hampir selalu dijumpai pada pasien dengan apendisitis akut sehingga sangat penting ditanyakan pada anamnesis. Meskipun demikian ketiadaan anoreksia tidak menyingkirkan diagnosis apendisitis. Hampir 75% penderita disertai dengan muntah, namun jarang berlanjut menjadi berat dan kebanyakan muntah hanya sekali atau dua kali. Muntah yang berat mungkin menandakan onset awal peritonitis generalisata akibat perforasi apendiks. Sebaliknya muntah jarang dijumpai pada apendiks nonperforasi.4 c) Obstipasi Obstipasi biasanya terjadi karena penderita takut mengejan. Keluhan obstipasi biasanya muncul sebelum rasa nyeri dan beberapa penderita sebaliknya dapat mengalami diare. Diare biasanya timbul pada letak apendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum. d) Demam (infeksi akut) Keluhan demam biasanya muncul apabila appendicitis disertai komplikasi. Gejalanya adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,5-38,5 0C. Demam tinggi biasanya dijumpai pada kasus apendisitis yang diduga telah terjadi perforasi Tabel 3. Gejala Appendicitis Akut. 6 Umumnya posisi anatomis apendiks dan manifestasi klinis akibat peradangannya ialah sebagai berikut: 6 1. Retrocaecum atau retrokolik (75%): Pada posisi ini sering ditandai dengan nyeri inguinal kanan disertai dengan nyeri tekan saat dilakukan palpasi. Rigiditas muskuler dan nyeri tekan saat dilakukan palpasi dalam sering tidak dijumpai oleh karena apendiks terlindungi oleh sekum. Otot psoas seringkali mengalami iritasi akibat proses peradangan apendiks didekatnya dan mengakibatkan fleksi pinggul dan nyeri yang bertambah hebat saat dilakukan ekstensi pinggul. Tanda ini dikenal sebagai psoas stretch sign. 2. Subcaecum dan pelvis (20%): Gejala klinis yang menonjol pada posisi ini ialah nyeri suprapubik dan urinary frequency. Diare dapat timbul oleh karena iritasi pada rectum. Nyeri tekan abdomen mungkin jarang ditemukan namun nyeri tekan disebelah kanan pada pemeriksaan colok dubur dan colok vagina mungkin dapat dijumpai. Pada pemeriksaan urin lengkap mungkin dapat dijumpai hematuria mikroskopik dan leukosituria. 3. Preileal dan post ileal (5%): Pada posisi ini gejala dan tanda yang muncul dapat sangat minimal. Biasanya muntah lebih menonjol dan diare dapat muncul akibat iritasi ileum distal. Untuk apendisitis akut yang telah mengalami komplikasi, seperti perforasi, peritonitis dan infiltrat atau abses, gejala klinisnya seperti dibawah ini: 1 a) Perforasi : Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Rasa nyeri bertambah dasyat dan mulai dirasa menyebar, demam tinggi (rata-rata 38,3 0C). Jumlah lekosit yang meninggi merupakan tanda khas kemungkinan sudah terjadi perforasi. b) Peritonitis : Peritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari apendisitis yang telah mengalami gangren. Sedangkan peritonitis umum adalah merupakan tindak lanjut daripada peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri, defans muskuler yang meluas, distensi abdomen, bahkan ileus paralitik, merupakan gejala-gejala peritonitis umum. Bila demam makin tinggi dan timbul gejala-gejala sepsis, menunjukkan peritonitis yang makin berat. c) Abses/infiltrat : Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen kanan bawah. Seperti tersebut diatas karena perforasi terjadilah “walling off” (pembentukan dinding) oleh omentum atau viscera lainnya, sehingga teraba mas sa (infiltrat) di regio abdomen kanan bawah tersebut. Masa mulamula bisa berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi rongga yang berisi pus. Dengan USG bisa dideteksi adanya bentukan abses ini. Untuk masa atau infiltrat ini, beberapa ahli menganjurkan antibiotik dulu, setelah 6 minggu kemudian dilakukan apendektomi. Hal ini untuk menghindari penyebaran infeksi. Selain posisi apendiks, gambaran klinis apendistis akut juga dipengaruhi oleh umur pasien dan keadaan fisiologis tertentu seprti kehamilan. 4 Meskipun jarang terjadi pada anak-anak, apendistis akut dapat menimbulkan kesulitan diagnosis pada pasien dengan usia muda. Anak-anak terutama bayi biasanya tidak mampu mengungkapkan keluhan yang dialaminya. Selain itu, gejala dan tanda yang muncul juga tidak b ersifat spesifik. Oleh karena itu, diagnosis apendistis akut sering terlambat atau bahkan sama sekali tidak dapat ditegakkan sehingga memberikan kontribusi terhadap laju perforasi yang cukup tinggi yaitu sebesar 50% pada kelompok umur ini. 6 Pasien appendicitis akut berusia lanjut memiliki laju mortalitas paling tinggi. Pada pasien ini sering kali gejala dan tanda apendistis akut tidak khas, berkurang, atau tidak muncul sama sekali. Sebagai tambahan, pasien lanjut usia biasanya keadaan umumnya agak jelek dan sering disertai dengan kondisi komorbid lain seperti penyakit jantung, diabetes, dan ginjal. Kombinasi kedua faktor ini memberikan kontribusi terhadap laju mortalitas yang tinggi hingga lebih dari 5% pada kelompok usia lanjut. 1,6 Kondisi lain yang perlu mendapatkan perhatian lebih ialah pasien apendistis akut dengan kehamilan. Pada kehamilan, posisi apendiks mulai bergeser pada bulan keempat sampai kelima kehamilan. Gejala-gejala yang menyertai kehamilan sering menyerupai gejala apendisitis. Selain itu leukositosis yang sering terjadi pada kehamilan menyebabkan pemeriksaan hitung WBC dalam diagnosis apendistis akut menjadi kurang bermanfaat. Meskipun laju mortalitas pada ibu cukup rendah, laju mortalitas pada bayi yang dikandung mencapai 2-8,5% dan meningkat menjadi 35% jika terjadi perforasi disertai peritonitis generalisata. 6 II.7.2 Pemeriksaan Fisik Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5 oC. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa ditemui perbedaan suhu aksila dan rectal >= 1oC. 1 Inspeksi Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler yang besar. Palpasi Beberapa tanda penting yang dapat ditemukan saat melakukan palpasi pada pemeriksaan abdomen kuadran kanan bawah :1,4,6 Nyeri tekan Mc.Burney : Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis. Nyeri lepas : Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang terjadi akibat rangsangan pada peritoneum. Defans muskuler : Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietalis. Rangsangan ini kemudian menyebabkan rangsangan pada muskulus rektus abdominis sehinggga otot ini mengalami kontraksi. Rovsing sign : Penekanan perut sebelah kiri akan menyebabkan nyeri sebelah kanan. Hal ini disebabkan karena tekanan tersebut menyebabkan organ dalam terdorong kearah kanan dan memberikan tekanan pada apendiks yang meradang. Blumberg Sign : nyeri kanan bawah bila tekanan sebelah kiri dilepaskan. Dunphy's sign : Nyeri bertambah saat batuk. Kocher/Kosher's sign : Didapati saat anamnesis, nyeri muncul pertama kali di regio epigastrium atau di sekitar lambung, kemudian menjalar berpindah ke regio iliaka dextra. Psoas sign: tanda ini biasanya ditemukan pada apendiks yang terletak retrosekal. Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan m. psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks. Ada 2 cara memeriksa : Aktif: Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien memfleksikan articulatio coxaekanan dan nyeri dirasakan di perut kanan bawah. Pasif: Pasien berbaring pada posisi lateral dekubitus kiri kemudian pemeriksa melakukan ekstensi pasif paha kanan sambil menahan pinggul kanan penderita (tanda bintang). Obturator Sign: Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam, terjadi karena peradangan appendiksmenyentuh m.Obturator Internus yang merupakan dinding panggul kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa apendiks terletak pada rongga pelvis. Auskultasi Peristaltik biasanya normal, peristaltik yang menghilang akan ditemukan pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat perforasi apendiks. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pemeriksaan Colok Dubur / Rectal Touche Pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis, untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada appendicitis pelvika. 1,3 II.7.3 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan tes protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000 – 20.000/ml ( leukositosis ) dan neutrofil diatas 75 %, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah CRP pada serum yang meningkat. Pemeriksaan urin bisa dilakukan untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis. Pemeriksaan Radiologi Terdiri dari pemeriksaan radiologis, ultrasonografi dan CT-scan. Abdominal X-Ray : Pada appendicitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu. Mungkin terlihat adanya fekalit pada abdomen sebelah kanan bawah yang sesuai dengan lokasi apendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus.1,5 Kalau peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan bawah akan kolaps. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah kanan bawah abdomen kosong dari udara. Gambaran udara seakan -akan terdorong ke pihak lain. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan. Gambaran ini tampak pada penderita apendisitis akut. 1 Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak udara bebas di bawah diafragma. Kadang-kadang udara begitu sedikit sehingga perlu foto khusus untuk melihatnya. Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya disertai dengan kantong-kantong pus, maka akan tampak udara yang tersebar tidak merata dan usus-usus yang sebagian distensi dan mungkin tampak cairan bebas, gambaran lemak preperitoneal menghilang, pengkaburan psoas shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik t etapi mungkin terlihat pada beberapa tempat adanya permukaan cairan udara (air-fluid level) yang menunjukkan adanya obstruksi. 1 Foto polos abdomen supine pada abses apendiks kadang-kadang memberi pola bercak udara dan air fluid level pada posisi berdiri/LLD, kalsifikasi bercak rim – like (melingkar) sekitar perifer mukokel yang asalnya dari apendiks. Ultrasonography : Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG. Pada kasus appendicitis akut akan nampak adanya : 1. Adanya struktur yang aperistaltik, blind-ended, keluar dari dasar caecum. 2. Dinding apendiks nampak jelas, dapat dibedakan. 3. Diameter luar appendix lebih dari 6 mm. 4. Adanya gambaran “target” 5. Adanya appendicolith / fecalith. 6. Adanya timbunan cairan periappendicular 7. Tampak lemak pericaecal echogenic prominent. Keadaan apendiks supurasi atau gangren ditandai dengan distensi lumen oleh cairan, penebalan dinding apendiks dengan atau tanpa apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai dengan tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas intraperitonial, dan abses tunggal atau multipel. 1,5 Pada wanita, USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adneksitis, dan sebagainya. CT – Scan : Diameter appendix akan nampak lebih dari 6mm, ada penebalan dinding appendiks, setelah pemberian kontras akan nampak enhancement gambaran dinding appendix. CT scan juga dapat menampakkan gambaran perubahan inflamasi periappendicular, termasuk diantaranya inflammatory fat stranding, phlegmon, free fluid, free air bubbles, abscess, dan adenopathy. CT-Scan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90 – 100% dan 96 – 97%, serta akurasi 94 – 100%. Ct-Scan sangat baik untuk mendeteksi apendiks dengan abses atau flegmon Tabel 4. Perbandingan pemeriksaan penunjang apendisitis akut: Ultrasonografi CT-Scan Sensitivitas 85% 90 – 100% Spesifisitas 92% 95 - 97% Akurasi 90 – 94% 94 – 100% Keuntungan Aman Lebih akurat relatif tidak mahal Mengidentifikasi abses dan flegmon lebih baik Dapat mendignosis kelainan lain Mengidentifikasi apendiks normal pada wanita lebih baik Baik untuk anak-anak Kerugian Tergantung operator Mahal Sulit secara tehnik Radiasi ion Nyeri Kontras Sulit di RS daerah Sulit di RS daerah Gambar 5. Algoritma Diagnostik Appendicitis Histopatologi Appendicitis Akut Pemeriksaan histopatologi adalah salah satu standar emas (gold standard) untuk diagnosis appendicitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai gambaran histopatologi appendicitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran histopatologi appendicitis akut secara universal dan tidak ada gambaran histopatologi apendisitis akut pada orang yang tidak dilakukan opersi Riber et al, pernah meneliti variasi diagnosis histopatologi apendisitis akut. Tabel 5. Definisi histopatologi appendicitis akut: 1 Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di lapisan epitel. 2 Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel. 3 Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam lapisan epitel. 4 Sel granulosit diatas lapisan serosa apendiks dengan abses apendikuler, dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa. 5 Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa dan keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis akut tetapi periapendisitis. Skor Alvarado Semua penderita dengan suspek Apendisitis acuta dibuat skor Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6>6. Selanjutnya dilakukan Appendectomy, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Apendiks dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut dan bukan radang akut. Tabel 6. Alvarado Score untuk membantu menegakkan diagnosis Gejala Tanda Manifestasi Skor Adanya migrasi nyeri 1 Anoreksia 1 Mual/muntah 1 Nyeri RLQ 2 Nyeri lepas 1 Febris 1 Laboratorium Leukositosis Shift to the left 2 1 Total poin 10 Keterangan: 0-4 : bukan appendicitis 7-8 : kemungkinan besar appendicitis 5-6 : kemungkinan kecil 9-10 : hampir pasti appendicitis Penanganan berdasarkan skor Alvarado : 1–4 : observasi 5–6 : antibiotik/ diobservasi di rumah sakit 7 – 10 : operasi dini II.8 Diagnosa Banding Appendicitis Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis appendisitis karena penyakitlain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan appendisitis, diantaranya: - Gastroenteritis : Ditandai dengan mual, muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakitperut lebih ringan, hiperperistaltis sering ditemukan, panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis akut - Limfadenitis mesenterika : Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan mual dan nyeri tekan perut. - Demam dengue : Dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh hasil positif untuk rumple leed, trombositopenia dan hematokrit yang meningkat - Pelvic Inflammatory Disease seperti salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan appendicitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya diserai keputihan dan infeksi urin. - Gangguan alat reproduksi perempuan : Folikel de Graaf yang pecah dapat memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklis menstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam. - Kehamilan ektopik : Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yangtidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di luar rahim disertai pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvic dan bisa terjadi syok hipovolemik. - Divertikulitis Meckel : Gambaran klinisnya hampir sama dengan appendicitis akut dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada appendicitis akut sehinggadiperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama. - Ulkus peptikum perforasi Sangat mirip dengan appendisitis jika isi gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum, karena dapat menyebabkan inflamasi appendix juga. - Ureterolithiasis : Jika diperkirakan berada dekat appendiks dapat menyerupai appendicitis retrocaecal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis, dengan hematuria dan demam atau leukositosis. Gambar 6. Berbagai Penyebab Nyeri RLQ II.9 Penatalaksanaan Appendicitis Cito : akut, abses & perforasi Elektif : kronik Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi. Penundaan apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah. Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi dilindungi oleh omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk tersusun atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi, dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada apendiks tidak dapat diatasi oleh mekanisme tubuh, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas batasnya. Urut-urutan patologis ini merupakan masalah, jika penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, saat dilakukan operasi untuk membuang apendiks, sudah terbentuk suatu massa dengan perlekatan yang memiliki banyak vaskularisasi, sehingga membuat operasi pembuangan appendiks menjadi berbahaya karena struktur appendiks menjadi tidak jelas dan resiko perdarahan bertambah. Maka pada kasus seperti ini, harus menunggu sampai terjadi pembentukan abses yang dapat didrainase. Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi yang ditutupatau dibungkus oleh omentum dan lekuk usus halus. Pada massa periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika terjadi perforasi. Oleh karena itu,massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan, massa, serta bertambahnya angka leukosit. Apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik- baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi. Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras melakukan tindakan pembedahan, tindakan bedah akan lebih sulit dan resiko perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum. Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya. Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Indikasi Operasi Apabila diagnosis apendisitis telah ditegakkan dengan berbagai pemeriksaan yang mendukung, hal tersebut sudah merupakan suatu indikasi operasi (apendektomi), kecuali pada kasus-kasus tertentu seperti halnya pada keadaan dimana masa akut telah dilewati namun muncul komplikasi dengan terbentuknya abses. Pada beberapa kasus dapat digunakanantibiotic sebagai terapi tunggal untuk mengurangi massa abses tersebut. Bila massa absestelah terbentuk di ekitar apendiks maka basis dari sekum akan sulit untuk ditemukan, selain itu tindakan operatif secara aman akan sulit untuk dikerjakan. Persiapan pre-operasi Analgetik dapat diberikan pada pasien setelah diagnosis dari apendisitis sudah dapat ditegakkan dan manajemen operatif telah direncanakan. Status cairan harus dipantau dengan ketat menggunakan indicator klinis seperti nadi, tekanan darah, dan jumlah pengeluaran urine. Pemberian antibiotik dapat dimulai, umumnya diberikan cephalosporine generasi 2 secara tunggal atau dikombinasikan dengan antibiotic spectrum luas yang melingkupi bakteri gram negatif aerob (e.coli) dan anaerob (bacteroides spp.). Perlu diingat bahwa tujuan utama dari pemberian antibiotic bukan untuk memberantas appendicitis itu sendiri. Pada kasus yang tidak disertai dengan komplikasi, antibiotic umumnya diberikan untuk mengurangi insidens infeksi dari luka dan peritoneum bagian dalam setelah operasi dan melindungi terhadap kemungkinan terjadinya bakteremia.Pada kasus-kasus dimana telah terjadi komplikasi berupa pembentukan abses maupun bakteremia, maka pemberian antibiotic ditujukan untuk mengobati komplikasi tersebut. Terdapat beragam pendapat tentang pemberian antibiotic profilaksis, namun terdapat konsensus bahwa: 1. Pemberian cephalosporin generasi 2 efektif dalam mengurangi komplikasi yang dapat timbul oleh karena luka pada kasus non-komplikata 2. Waktu yang tepat dalam memberikan antibiotic adalah sesaat sebelum pembedahan atau pada saat pembedahan dilakukan agar tercapai kadar yang optimal pada saat akan dilakukan insisi. 3. Pada kasus non-komplikata, pemberian antibiotic cukup dengan dosis tunggal.Penambahan dosis setelah operasi tidak berguna dalam menurunkan resiko infeksi lebih lanjut Pertimbangan Operatif Perlu ditentukan apakah prosedur operasi akan dilaksanakan melalui pendekatan secaratra disional (terbuka) atau dengan bantuan laparoskopi. Terdapat berbagai penelitian yang membandingkan antara pendekatan secara terbuka maupun dengan laparoskopi. Berdasarkan informasi terkini dapat disimpulkan bahwa pada kasus apendisitis tanpa disertai komplikasi, pendekatan secara laparoskopik dapat mengurangi nyeri, kebutuhan untuk dirawat dan juga menurunkan insidens infeksi pada luka setelah operasi. Pasien juga dapat kembali bekerja lebih awal. Dilakukan pengangkatan apendiks apabila pada saat operasi ditemukan gambaran inflamasi. Hal penting yang harus diingat adalah untuk melakukan disseksi apendiks sampai ke basis, yaitu pada pertemuan taenia di dinding sekum. Kegagalan dalam mengangkat seluruh apendiks sampai ke basis-nya dapat mengingkatkan resiko terjadinya appendicitis rekuren. Mengingat bahwa terdapat beberapa laporan terjadinya appendicitis rekuren, maka penting untuk tetap berwaspada terhadap kemungkinan munculnya appendicitis rekuren meski terdapat riwayat operasi apendiks dan bukti jaringan parut yang nyata. Apabila diseksi secara aman tidak dimungkinkan oleh karena adanya inflamasi ataupun pembentukan abses, sebuah closed suction drain dapat diletakan kedalam kavum peritoneum. Tindakan ini bermanfaatuntuk mengalirkan materi fekal maupun pus keluar sehingga mencegah tertimbunnya materi-materi tersebut kedalam kavum peritoneum. II.10 Appendectomy sebagai Penanganan Definitif Appendicitis Untuk mencapai apendiks ada tiga cara yang secara operatif mempunyai keuntungan dan kerugian, yaitu : a. Insisi menurut Mc Burney ( grid iron incision / muscle splitting incision). Sayatan dilakukan pada garis tegak lurus pada garis yang menghubungkan spinailiaka anterior superior (SIAS) dengan umbilicus pada batas sepertiga lateral (titik McBurney). Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia. Otototot dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu akan tampak peritoneum parietal (mengkilat dan berwarna biru keabu-abuan) yang disayat secukupnya untuk meluksasi sekum. Sekum dikenali dari ukurannya yang besar dan mengkilat dan lebih kelabu/putih,mempunyai haustrae dan teania coli, sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah dan tidak mempunyai haustrae atau taenia coli. Basis apendiks dicari pada pertemuan ketiga taenia coli. Teknik inilah yang paling sering dikerjakan karena keuntungannya tidak terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh, dan masa istirahat pasca bedah lebih pendek karena masa penyembuhannya lebih cepat. Kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas, dan waktu operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat diperluas dengan memotong secara tajam. b. Insisi menurut Roux (muscle cutting incision) Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc Burney, hanya sayatannya langsung menembus otot dinding perut tanpa memperdulikan arah serabut sampai tampak peritoneum. Keuntungannya adalah lapangan operasi lebih luas, mudah diperluas, sederhana, dan mudah.Sedangkan kerugiannya adalah diagnosis yang harus tepat sehingga lokasi dapat dipastikan, lebih banyak memotong saraf dan pembuluh darah sehingga perdarahan menjadi lebih banyak, masa istirahat pasca bedah lebih sering terjadi, kadang-kadang ada hematoma yang terinfeksi, dan masa penyembuhan lebih lama. c. Insisi pararektal Dilakukan sayatan pada garis batas lateral m.rektus abdominis dekstra secara vertikal dari kranial ke kaudal sepanjang 10cm. Keuntungannya, teknik ini dapat dipakai pada kasus-kasus apendiks yang belum pasti dan kalau perlu sayatan dapat diperpanjang dengan mudah. Sedangkan kerugiannya, sayatan ini tidak langsung mengarah ke apendiksatau sekum, kemungkinan memotong saraf dan pembuluh darah lebih besar, dan untuk menutup luka operasi diperlukan jahitan penunjang. Setelah peritoneum dibuka dengan retractor, maka basis apendiks dapat dicari pada pertemuan tiga taenia koli. Untuk membebaskannya dari mesoapendiks ada dua cara yangdapat dipakai sesuai dengan situasi dan kondisi, yaitu : 1. Apendektomi secara biasa, bila kita mulai dari apeks ke basis apendiks untuk memotong mesoapendiks. Ini dilakukan pada apendiks yang tergantung bebas padasekum atau bila puncak apendiks mudah ditemukan. 2. Apendektomi secara retrograde, bila kita memotong mesoapendiks dari basis ke arahpuncak. Ini dilakukan pada apendiks yang letaknya sulit, misalnya retrosekal, atau puncaknya sukar dicapai karena tersembunyi, misalnya karena terjadi perlengketan dengan sekitarnya. Teknik Apendektomi Mc Burney : 1. Pasien berbaring telentang dalam anestesi umum atau regional. Kemudian dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada perut kanan bawah 2. Dibuat sayatan menurut Mc Burney sepanjang kurang lebih 10 cm dan otot-otot dindingperut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya, berturut-turut m rektus abdominis eksternus, m. abdominis internus, m transversus abdominis, sampai akhirnya tampak peritoneum. 3. Peritoneum disayat sehingga cukup lebar untuk eksplorasi. 4. Sekum beserta apendiks diluksasi keluar. 5. Mesoapendiks dibebaskan dan dipotong dari apendiks secara biasa, dari puncak ke arah basis. 6. Semua perdarahan dirawat. 7. Disiapkan tabakzaaknad mengelilingi basis apendiks, basis apendiks kemudian dijahit dengan catgut. 8. Dilakukan pemotongan apendiks apikal dari jahitan tersebut. 9. Ujung apendiks dioleskan betadin. 10. Jahitan tabazaaknad disimpulkan dan Mesoapendiks diikat. 11. Dilakukan pemeriksaan terhadap rongga peritoneum dan alat-alat di dalamnya, semua perdarahan dirawat. 12. Sekum dikembalikan ke dalam abdomen. 13. Peritoneum ini dijahit jelujur dengan chromic catgut dan otot-otot dikembalikan 14. Dinding perut ditutup/dijahit lapis demi lapis. 15. Luka operasi dibersihkan dan ditutup dengan kasa steril Gambar 7. Appendectomy secara Singkat II.11 Pasca Operasi & Komplikasi Appendicitis Kasus-kasus appendicitis tanpa komplikasi, pasien dapat mulai minum dan makan segera setelah mereka merasa mampu, dan defekasi dievaluasi dalam 24-48 jam. Pemberianantibiotik dan dekompresi dengan nasogastric tube pasca operasi tidak rutin dikerjakan padapasien apendisitis tanpa komplikasi. Pada kasus-kasus yang disertai dengan peritonitis,pemberian antibiotic diberikan hingga 5-7 hari setelah operasi. Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami wall-off sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, caecum dan lekuk usus halus. Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi penyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut.Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi sejak pasien pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakandengan pasti. Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium (setengah duduk), pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik spektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur, transfuse untuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara intensif, bila ada. Bila terbentuk abses apendik, maka akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung mengelembung ke arah rectum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan kombinasi antibiotik (ampisilin, gentamisin, metronidazol atau klindamisin). Dengan sediaan ini absesakan segera menghilang, dan apendektomi dapat dilakukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rectum atau vagina dengan fluktuasi positif juga perlu dilakukan drainase. Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi, tetapi merupakan komplikasiyang letal. Hal ini harus kita curigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Pada keadaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal sepsis intra abdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan. Gambar 8. Algoritma Tata Laksana Appendicitis dengan Komplikasi II.12 Antibiotik sebagai Pelengkap Terapi Definitif untuk Appendicitis Tatalaksana tradisional radang usus buntu akut telah memunculkan manajemen operasi. Pendekatan ini didasarkan pada teori bahwa, dari waktu ke waktu, appendicitis sederhana akan berlanjut menjadi perforasi, sehingga peningkatan morbiditas dan mortalitas. Data terakhir menunjukkan bahwa usus buntu akut dan radang usus buntu akut dengan perforasi mungkin penyakit yang berbeda dengan patofisiologi yang berbeda jauh. Serangkaian waktu analisis dilakukan pada satu set data 25 tahun tidak ditemukan adanya hubungan negatif yang signifikan antara tingkat appendektomi negatif dan perforasi.7 Sebuah studi analisis waktu untuk operasi dan perforasi menunjukkan bahwa risiko pecah minimal dalam waktu 36 jam onset gejala. Melewati titik ini, ada sekitar risiko 5% dari pecah dalam setiap periode 12-jam berikutnya. Namun, pada banyak pasien penyakit ini berjalan lambat. Dalam sebuah penelitian, 10 dari 18 pasien yang tidak menjalani operasi ≥ 6 hari setelah gejala dimulai tidak mengalami ruptur.8 Pelaut yang terkena usus buntu ketika ditempatkan di kapal selam tidak memiliki akses untuk meminta perawatan bedah. Mereka berhasil diobati dengan antibiotik dan cairan dari hari ke minggu setelah serangan awal sampai kapal dapat mencapai permukaan dan mereka dapat dipindahkan ke rumah sakit untuk perawatan. Sebuah penelitian secara acak membandingkan pengobatan antibiotik dengan apendektomi segera. Dua ratus lima puluh dua orang berusia 18-50 tahun dengan diagnosis presumptif radang usus buntu yang terdaftar dalam penelitian ini antara Maret 1996 dan Juni 1999. Pasien yang dipilih secara acak untuk terapi antibiotik, jika gejala tidak membaik dalam 24 jam pertama, akan dilakukan apendektomi. Peserta dievaluasi setelah 1 minggu, 6 minggu, dan 1 tahun. Usus buntu akut ditemukan pada 97% dari 124 pasien secara acak yang direncanakan operasi. Enam pasien (5%) memiliki apendiks yang sudah perforasi. Tingkat kesulitan pada kelompok bedah adalah 14% (17 dari 124). Dari 128 pasien yang terdaftar dalam kelompok antibiotik, 15 pasien (12%) menjalani operasi dalam 24 jam pertama karena kurangnya perbaikan gejala dan peritonitis lokal tampak jelas. Pada operasi tujuh pasien (5%) memiliki perforasi. Tingkat kekambuhan dalam waktu 1 tahun adalah 15% (16 pasien) pada kelompok yang diobati dengan antibiotik. Dalam lima pasien usus buntu yang perforasi ditemukan saat operasi.9