1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Palabuhanratu

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Palabuhanratu merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi
sumberdaya perikanan laut yang cukup tinggi di Jawa Barat (Oktariza et al. 1996).
Lokasi Palabuhanratu yang berhubungan langsung dengan Samudera Hindia
menjadikannya berpeluang untuk berkembang lebih jauh (Wiyono 2001).
Salah satu jenis ikan yang ditangkap di Teluk Palabuhanratu adalah ikan
peperek (famili Leiognathidae). Walaupun bukan merupakan jenis ikan ekonomis
tinggi, ikan peperek menjadi ikan dominan yang ditangkap di wilayah Teluk
Palabuhanratu. Produksi ikan ini berfluktuasi, tetapi cukup tinggi setiap tahunnya.
Dibandingkan jenis ikan yang ditangkap di luar wilayah Teluk sekalipun produksi
ikan peperek masih tergolong tinggi. Pada tahun 2010 jumlah ikan peperek yang
didaratkan di PPN Palabuhanratu mencapai 331.711 kg yakni 5% dari total ikan
yang didaratkan, terbanyak ketiga setelah ikan tuna dan cakalang yang ditangkap
di luar teluk. Pada tahun 2011 dan 2012 produksi ikan peperek tetap tinggi
walaupun mengalami penurunan.
Permasalahan dalam perikanan tangkap adalah terjadinya kelebihan
kapasitas tangkap (overcapacity) yang mendorong terjadinya kelebihan tangkap
(overfishing) (Desniarti 2007). Desniarti (2007) menambahkan, sumberdaya ikan
bersifat renewable resources (sumberdaya yang dapat pulih) tetapi bukan berarti
tak terbatas sehingga apabila tidak dikelola secara hati-hati, akan memberikan
dampak negatif terhadap ketersediaan sumberdaya ikan dan lingkungan. Apabila
penangkapan berlebihan dibiarkan terus-menerus sumberdaya ikan akan terkuras
dan usaha penangkapan menjadi tidak efisien. Oleh karenanya diperlukan
pembatasan usaha penangkapan dengan pertimbangan kelestarian sumberdaya
ikan. Permasalahannya adalah seberapa banyak sumberdaya ikan itu dapat diambil
tanpa mengganggu kelestariannya.
Menurut Hannesson (2009) untuk menentukan secara tepat berapa
banyaknya ikan yang harus ditangkap, berapa banyak kapal yang harus dibangun,
1
2
dan berapa banyak upaya yang harus dikerahkan dalam sebuah periode tertentu,
dibutuhkan model numerik untuk menggambarkan interaksi antara armada
penangkapan ikan, jumlah tangkapan, ukuran dan pertumbuhan stok ikan, dan
sebagainya. Salah satu model numerik yang biasa digunakan untuk keperluan ini
adalah Model Produksi Surplus. Tujuan penggunaan Model Produksi Surplus
adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang dapat
menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi
produktivitas stok secara jangka panjang, yang biasa disebut hasil tangkapan
maksimum lestari (maximum sustainable yield/MSY) (Sparre & Venema 1999).
Namun jumlah upaya penangkapan yang dapat menggambarkan upaya yang
benar-benar efektif dan bukan sekadar nominal sulit ditentukan. Oleh sebab itu,
penggunaan model ini memerlukan kehati-hatian dan sedapat mungkin dibarengi
dengan berbagai informasi tambahan dan validasi dengan menggunakan beberapa
metode lain (Widodo 1998 dalam Sulistiyawati 2011). Menurut Tinungki et al.
(2004) model merupakan gambaran yang tidak sempurna dan abstrak mengenai
struktur dan fungsi sistem nyata. Karena model merupakan penyederhanaan
keadaan sebenarnya, akan jarang sekali dan mungkin saja kebetulan dapat tepat
sesuai kaidah-kaidah peluang dalam statistika.
Hal-hal diatas seringkali menyebabkan perbedaan-perbedaan dalam hasil
pendugaan dari tiap-tiap Model Produksi Surplus yang digunakan. Ada tujuh
Model Produksi Surplus yang biasa digunakan dalam analisis potensi lestari
sumberdaya perikanan, yakni Model Schaefer (1954), Model Gulland (1961),
Model Pella & Tomlinson (1969), Model Fox (1970), Model Walters & Hilborn
(1976), Model Schnute (1977), dan Model Clarke Yoshimoto Pooley (1992).
Untuk keperluan pengelolaan sumberdaya perikanan yang tepat, model yang
digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan haruslah merupakan model yang
paling sesuai dengan keadaan sumberdaya perikanan yang dimodelkan. Oleh
karenanya, sebelum digunakan, ketujuh Model Produksi Surplus ini perlu
dikomparasikan untuk memilih model mana yang paling sesuai.
3
1.2 Identifikasi Masalah
Permasalahan yang muncul dalam penelitian ini adalah adanya beberapa
versi Model Produksi Surplus yang bisa digunakan untuk menduga potensi lestari
sumberdaya ikan di suatu perairan, namun seringkali terdapat perbedaanperbedaan hasil dugaan yakni hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dan
upaya penangkapan optimum (fopt) dari tiap-tiap model.
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Model Produksi
Surplus yang paling cocok diterapkan pada sumberdaya ikan peperek di Perairan
Teluk Palabuhanratu dalam rangka mencari nilai hasil tangkapan maksimum
lestari (MSY) dan upaya penangkapan optimum (fopt) yang paling mendekati
keadaan yang sebenarnya dari sumberdaya ikan peperek di Perairan Teluk
Palabuhanratu.
1.4 Kegunaan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam perumusan
rencana pengelolaan sumberdaya ikan peperek di Perairan Teluk Palabuhanratu,
Sukabumi.
1.5 Pendekatan Masalah
Dalam pengelolaan perikanan salah satu hal penting yang harus diketahui
adalah besarnya sumberdaya tersebut dan jumlah yang boleh ditangkap sehingga
sumberdaya tersebut tetap lestari (Sriati et al. 1994 dalam Diah 2003). Menurut
Nugraha et al. (2012) studi potensi dan tingkat pemanfaatan ikan sangat penting
untuk mengontrol penangkapan ikan guna mencegah terjadinya kepunahan
sumberdaya akibat tingkat eksploitasi yang berlebih dan mendorong terciptanya
kegiatan operasi penangkapan dengan tingkat efektivitas yang tinggi tanpa
merusak kelestarian sumberdaya ikan tersebut.
Salah satu metode yang bisa digunakan untuk mengetahui potensi
perikanan di suatu perairan adalah Model Produksi Surplus karena model ini dapat
4
meramalkan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dan upaya penangkapan
optimum. Model Produksi Surplus relatif sederhana dan hanya membutuhkan data
hasil tangkapan dan upaya penangkapan time series yang relatif lebih mungkin
tersedia di pusat-pusat penangkapan ikan. Karenanya model ini menjadi populer
dalam literatur perikanan dan telah digunakan selama lebih dari 40 tahun
(Tinungki et al. 2004). Namun menurut Widodo (1986a) dan Tinungki et al.
(2004) bahwa sebuah model merupakan gambaran yang tidak sempurna dan
abstrak mengenai struktur dan fungsi suatu sistem nyata. Selain itu, karena jumlah
upaya penangkapan yang dapat menggambarkan upaya yang benar-benar efektif
dan bukan sekadar nominal sulit ditentukan maka penggunaan Model Produksi
Surplus memerlukan kehati-hatian dan sedapat mungkin dibarengi dengan
berbagai informasi tambahan dan validasi dengan menggunakan beberapa metode
lain (Widodo et al. 1998 dalam Sulistiyawati 2011).
Tiap Model Produksi Surplus yang dicobakan biasanya menghasilkan
besaran potensi yang berbeda satu sama lain. Hal ini diantaranya telah
ditunjukkan dalam penelitian Tinungki (2005), Kekenusa (2009), Sulistiyawati
(2011), dan Pasisingi (2011). Dalam penelitian Tinungki (2005) pada sumberdaya
ikan lemuru di Selat Bali, Model Schaefer menghasilkan dugaan MSY 51.810,436
ton/tahun dan upaya penangkapan optimum 38.474,643 trip/tahun, untuk Model
Fox 53.330,102 ton/tahun dan 58.823,53 trip/tahun, untuk Model Gulland 97.694
ton/tahun dan 83.535,714 trip/tahun, untuk Model Schnute 72.669,78 ton/tahun
dan 68.652,18 trip/tahun, untuk Model Walters & Hilborn 62.402,84 ton/tahun
dan 59.219,91 trip/tahun, untuk Model CYP 19.509,36 ton/tahun dan 14.424,14
trip/tahun.
Model yang mana yang paling sesuai mungkin berbeda untuk ikan yang
berbeda. Artinya ikan yang sama dan hidup di wilayah perairan yang berbeda
belum tentu memiliki kecocokan model yang sama. Sama halnya dengan jenis
ikan yang berbeda dan hidup di perairan yang sama, model yang cocok diterapkan
mungkin saja berbeda (Pasisingi 2011). Hal ini ditunjukkan dari beberapa
penelitian. Hasil penelitian Tinungki (2005) menunjukkan bahwa Model Clarke
Yoshimoto Pooley (CYP) adalah Model Produksi Surplus yang paling sesuai
5
untuk diterapkan pada stok ikan lemuru di Selat Bali, sementara itu menurut
penelitian Kekenusa (2009) untuk ikan cakalang di Perairan Sulawesi Utara
Model Fox adalah model yang paling sesuai, menurut penelitian Sulistiyawati
(2011) untuk ikan kurisi di Teluk Banten Model Schnute adalah model yang
paling sesuai, dan menurut penelitian Pasisingi (2011) untuk stok rajungan di
Teluk Banten Model CYP-lah yang paling sesuai.
Oleh karenanya, untuk setiap kasus, diperlukan kehati-hatian memilih
model mana yang diterapkan. Model bisa dievaluasi berdasarkan kesederhanaan
dan akurasinya yakni apakah nilai-nilai prediksi model-model itu cocok dengan
observasi faktual. Sebuah model tidak bisa disebut salah, tetapi kecocokannya
yang signifikan dengan kenyataan adalah pada kisaran kondisi yang luas atau
sempit. Model yang baik adalah model yang sederhana secara matematis,
beroperasi dengan relatif sedikit parameter, tetapi menghasilkan kecocokan yang
baik (yakni hasilnya mendekati kenyataan yang digambarkan) pada kisaran yang
luas dari berbagai kondisi yang berbeda (Widodo 1986a). Model dengan tingkat
kecocokan terbaik dengan data faktual bisa dianggap sebagai model yang paling
sesuai untuk diterapkan untuk satu stok ikan di suatu perairan. Schroeder et al.
(1996) menyatakan kesesuaian model regresi (goodness of fit) bisa dievaluasi
berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2).
Download