Modul Pendidikan Agama Islam [TM12]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Pendidikan
Agama
Islam dan Demokrasi
Fakultas
Program Studi
Tatap Muka
11
Kode MK
Disusun Oleh
MK90002
Rusmulyadi, M.Si.
Abstract
Kompetensi
Bab ini menguraikan tentang
pandangan Islam tentang demokrasi,
prinsip dasar dan nilai-nilai Islam
tentang demokrasi dan tradisi
demokrasi dalam Islam.
Tujuan instruksional pembelajaran yang
hendak dicapai adalah agar mahasiswa
mampu memahami dan menjelaskan
pandangan Islam tentang demokrasi
dengan segala prinsip dasar dan nilai
yang mengaturnya serta mampu
menguraikan kaitan antara Islam dan
demokrasi dengan memahaminya
dalam tradisi berdemokrasi dalam
Islam.
Islam dan Demokrasi
1. Tradisi Demokrasi dalam Islam
Setelah 13 tahun Nabi Muhammad SAW membangun landasan tauhid sebagai dasar
tatanan masyarakat di Mekkah, Allah SWT memberinya petunjuk untuk hijrah ke
Yatsrib. Sesampai di sana, oleh beliau, Yatsrib diubah namanya menjadi Madinah
(kota). Di Madinah itulah, Nabi Muhammad SAW beserta kelompok-kelompok
masyarakat, secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani dengan
merumuskan ketentuan hidup bersama, yaitu Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah).
Upaya Nabi Muhammad tersebut secara tidak lansung, adalah sebuah pernyataan
atau proklamasi untuk mendirikan dan membangun sebuah komunitas negara-kota
yang beradab (Al Madinah Al Munawarah), sebagai lawan terhadap masyarakat
jahiliyah di Makkah. Dalam dokumen itu, umat manusia pertama kalinya,
diperkenalkan wawasan kebebasan, keadilan, pluralism dan toleransi.
Semua unsur masyarakat tanpa membedakan agama dan suku (SARA) ikut terlibat
dalam merumuskan aturan kemasyarakatan tersebut. Semuanya terhimpun dalam
ummat yang satu (ummah wahidah) dengan hak dan kewajiban yang sama.
Peristiwa tersebut telah mengubah peta baru sejarah Islam dan menjadi tonggak
awal menata komunitas masyarakat yang maju dan beradab. Dari sinilah konstruksi
masyarakat madani, yang dibangun oleh Nabi Muhammad sejak hijrah ke Madinah,
punya arti penting bagi perkembangan nilai-nilai demokrasi, sebagai ciri khas dari
negara bangsa modern.
Keberhasilan Nabi Muhammad SAW untuk hijrah, dari masyarakat jahili menuju
masyarakat madani, tidak lepas dari tauhid yang dibawanya. Dalam hal ini, doktrin
tauhid la ilaaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah), seperti diungkap John Obert Voll,
adalah bentuk manifestasi penolakan terhadap segala bentuk loyalitas kelompok dan
kesewenang-wenangan para elite Makkah saat itu. Prinsip inilah yang melandasi
pembentukan masyarakat Madani generasi muslim awal, yang punya implikasi
komitmen manusia kepada Allah SWT sebagai satu-satunya tujuan hidup dan
sumber nilai.
2016
2
Pendidikan Agama Islam
Rusmulyadi, M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dengan semangat inilah, Nabi Muhammad berhasil mempersatukan berbagai unsur
masyarakat Madinah yang pluralistik ke dalam satu kekuatan politik, yang oleh
Robert N. Bellah, disebut sebagai lompatan yang luar biasa untuk masa itu. Hal itu
tercermin dari komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang tinggi dari anggota
masyarakat, serta penghargaannya terhadap hak-hak individu.
Agama Islam sejak kemunculannya di Mekkah tahun 611 M dan disebarkan oleh
Nabi Muhammad sudah harus bersentuhan dengan kekuasaan politik. Ajaran tauhid
yang diajarkan Nabi Muhammad membawa dampak sosial, budaya dan politik,
karena menawarkan agama tauhid, persamaan derajat manusia dan keadilan,
kepada masyarakat jahiliyah yang sudah memiliki kepercayaan menyembah banyak
dewa, memberlakukan perbedaan status manusia dan penumpukkan harta pribadi.
Dalam ajaran tauhid, setiap orang harus tunduk pada Allah, bukan kepada manusia.
Manusia bukanlah sumber kebenaran melainkan tidak lebih dari hamba-Nya semata.
Oleh sebab itu bagi elite Mekkah, ajaran Nabi Muhammad mengancam kekuasaan
dan ekonomi yang mereka miliki dan sudah terbangun. Bagi mereka ajaran Islam
merupakan gerakan yang mengancam kedudukan mereka, sehingga mereka
menolak dan menggalang kekuatan untuk menghentikan dakwah Nabi Muhammad.
Ketika Nabi Muhammad hijrak ke Madinah, penduduk Madinah dengan suka cita
menyambut kedatangan Nabi. Di Madinah, Nabi bukan saja sebagai kepala agama
yang memilki wewenang dan kedudukan sebagai Rasul, tetapi juga kepala negara
yang mengurusi soal-soal kemasyarakatan.
Di Madinah, Nabi Muhammad dihadapkan pada fakta bahwa di internal masyarakat
Madinah terdiri dari beberapa suku yang selama ini kurang harmonis dan saling
bermusuhan seperti suku Arab, suku Aus, suku Khzaraj dan penganut Yahudi.
Begitu juga dengan pihak eksternal Madinah, Nabi dihimpit oleh kekuasaan
sekelilingnya. Di Mekkah berdiri kekuasaan Quraisy, di Barat terdapat imperium
Romawi dan di Timur ada imperium Persia.
Dalam konteks demokrasi, terdapat beberapa upaya Nabi Muhammad dalam
menyelesaikan perseteruan di internal suku Madinah dan eksternal Madinah dengan
cara-cara yang demokratis, seperti:
2016
3
Pendidikan Agama Islam
Rusmulyadi, M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
1. Nabi
Muhammad
menjadikan
institusi
masjid
sebagai
wadah
memperkenalkan ikatan berdasarkan agama (ukhuwah islamiyah),
menggantikan ikatan lama yang berdasarkan suku atau keturunan.
Nabi membentuk masyarakat sosial yang didasarkan pada solidaritas
sesama muslim dan kesetian pada wahyu. Nabi mempersaudarakan
kaum muslimin Mekkah yang hijrah (muhajirin) dan kaum muslimin
Madinah yang membantu (Anshor). Nabi telah mempersatukan
kekuatan bangsa Arab di bawah landasan dan motivasi keimanan,
yang karena itulah dalam tahap sejarah kemudian bangsa Arab
menjadi terhormat, padahal sebelumnya mereka sebagai bangsa
yang terbelakang di dunia.
2. Setelah melakukan kontrak sosial pertama sesama warga Madinah,
kemudian Nabi memperluas kontraknya melalui penyelenggaraan
perjanjian dengan warga kota Madinah di luar kaum Muslimin, yaitu
kaum Yahudi. Perjanjian tersebut dinamakan Piagam Madinah yang
ditujukkan kepada kaum Muhajirin, kaum Anshar dan Kaum Yahudi.
Ada dua landasan kehidupan bernegara yang diatur dalam piagam
Madinah, yaitu:
a. Semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun berbeda
suku
b. Hubungan
antara
masyarakat
muslim
dan
nonmuslim
diddasarkan pada prinsip: (i) bertetangga baik; (ii) saling
membantu dalam menghadapi musuh bersama; (iii) membela
mereka yang teraniaya; (iv) menasehati; (v) kebebasan
beragama.
Menurut ahli sejarah, piagam ini adalah naskah asli yang tidak diragukan
kebenarannya. Secara sosiologis, piagam tersebut merupakan antisipasi dan
jawaban terhadap kenyataan di masyarakat. Piagam Madinah mengatur kehidupan
sosial penduduk Madinah. Walaupun mereka heterogen, kedudukannya sama,
masing-masing memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan melaksanakan
aktivitas dalam bidang sosial dan ekonomi. Setiap pihak memiliki kewajiban yang
sama untuk membela Madinah, tempat tinggal mereka. Secara strategis, piagam ini
bertujuan untuk menciptakan keserasian politik dengan mengembangkan toleransi
sosial-agama dan budaya seluas-luasnya.
2016
4
Pendidikan Agama Islam
Rusmulyadi, M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Piagam ini bersifat revolusioner karena menentang tradisi kesukuan orang-orang
Arab pada saat itu. Piagam ini adalah karya Nabi Muhammad yang secara
demokratis berusaha menjadikan suku-suku di Madinah selama ini saling
berkonfrontasi untuk hidup damai.
Nabi Muhammad dalam menyelesaikan persoalan kemasyarakatan dan persoalan
yang mempunyai dampak luas pada masyarakat senantiasa bertindak secara
demokratis, yaitu dengan cara bermusyawarah atau dengan cara yang melibatkan
partisipasi orang lain. Bahkan Nabi pun bermusyawarah dalam masalah pribadi.
Sehingga Abu Hurairah menuturkan: “Aku tidak pernah melihat seorang yang paling
banyak melakukan musyawarah dengan rekan-rekannya melebihi Rasulullah”. Nabi
pun bila memanggil para pembantu dan pengikutnya sebagai shahabat, suatu kata
yang telah diserap bahasa Indonesia sebagai “sahabat” yang berarti teman.
Beliau memperlakukan semua orang sebagai saudara dan sederajat, tidak pernah
membeda-bedakan antara kawan dan orang asing, warna kulit dan keturunan. Di
bidang hukum, beliau memberikan perlakuan sama terhadap tiap orang. Baik pada
kelompok ningrat maupun rakyat kecil. Bahkan, terhadap keluarganya sendiri,
dengan sabdanya: “jika putriku Fatimah mencuri akan kupotong tangannya”
“Nabi juga tidak pernah memperlakukan seseorang dengan hak-hak istimewa hingga
yang bersangkutan melebihi yang lain. Beliau tidak duduk di singgasana atau tempat
duduk paling atas dalam majelisnya. Bila berpergian, beliau naik kendaraan tanpa
upacara-upacara khusus.
Apabila beliau menerima hadiah, beliau memberikan kelebihan kebutuhan pokoknya
pada orang miskin. Sedangkan beliau sendiri kekurangan. Istrinya Aisyah
mengatakan, “Perut beliau tidak pernah kenyang”. Nabi juga seorang penyantun dan
penyayang. Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
(QS. Al-Qalam: 4).
Kepeduliannya terhadap orang miskin diperlihatkan ketika Nabi menegur seorang
kaya yang datang di majelisnya. Orang ini menghindar duduk berdampingan dengan
seorang fakir yang berpakaian kurang sempurna. Menurut akhlak Islam, siapa saja
yang akan hadir ke suatu majelis, dia harus duduk di tempat kosong tanpa
memandang status sosial dan pangkat. Nabi yang melihat hal itu menegurnya,
“Apakah engkau khawatir kefakirannya akan menular kepadamu?” Dijawab, “Tidak
2016
5
Pendidikan Agama Islam
Rusmulyadi, M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
yang Rasulullah.” “kamu takut pakaianmu akan kotor?” Dijawab, “Tidak ya
Rasulullah”, lalu kenapa kau menghindarinya?” dijawab, “Aku mengaku keliru dan
bersalah, ya Rasulullah”.
Islam tidak membenarkan seseorang memiliki sifat ghurur (berbangga diri), hanya
karena dia dikaruniai harta benda. Beliau sendiri berulang kali menekankan pada
umatnya, bahwa kaum muslimin itu bersaudara dan tidak membenarkan seseorang
menjauhkan diri dari saudaranya hanya karena berbeda status.
2. Prinsip Demokrasi dalam Islam
Keadilan
Keadilan, yang dalam Al-Qur’an dinyatakan terutama dengan istilah ‘adl dan
qisth, seperti dikatakan Yusuf Ali adalah suatu istilah yang serba meliputi,
yang bisa mencakup semua jenis kebaikan dalam pemikiran kefilsafatan.
Tetapi karena akarnya dalam iman dan taqwa, keadilan dalam Islam bersemi
dalam nurani yang paling dalam dan lebih hangat dan manusiawi. Keadilan
ini terkait erat dengan konsep ihsan, yaitu keinginan berbuat baik untuk
sesama manusia secara semurni-murninya dan setulus-tulusnya.
Pengertian adil dalam Islam juga terkait dengan sikap seimbang dan
menengahi (fair dealing), dalam semangat moderasi dan toleransi, yang
dinyatakan
dengan
istilah
wasath
(pertengahan).
Muhammad
Asad
menerangkan pengertian wasath itu sebagai sikap berkeseimbangan antara
dua ekstremitas serta realistis dalam memahami tabiat dan kemungkinan
manusia, dengan menolak baik kemewahan maupun asketisme berlebihan.
Sikap seimbang itu memancar langsung dari tauhid. Sikap itu penting guna
melandasi tugas orang-orang beriman untuk menjadi saksi sekalian manusia.
Dengan keseimbangan itu, kesaksian bisa diberikan dengan adil, karena
dilakukan dengan pikiran tenang dan bebas dari sikap berlebihan.
Mendalamnya makna keadilan berdasarkan tauhid juga bisa dilihat dari
kaitannya dengan “amanat” kepada umat manusia untuk sesamanya,
khususnya
amanat
Kekuasaan
yang
berkaitan
dengan
kekuasaan
memerintah.
pemerintahan adalah sesuatu yang tak terhindarkan demi
ketertiban tatanan kehidupan manusia sendiri. Sendi setiap bentuk
2016
6
Pendidikan Agama Islam
Rusmulyadi, M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kekuasaan ialah kepatuhan dari orang banyak kepada para penguasa (ulu alamr). Kekuasaan dan ketaatan adalah dua segi dari satu kenyataan. Namun
kekuasaan yang patut dan harus ditaati hanyalah yang berasal dari orang
banyak dan mencerminkan rasa keadilan karena menjalankan amanat Allah.
Keterbukaan
Iman kepad Allah, yang menumbuhkan rasa aman dan kesadaran
mengemban amanat ilahi itu, menyatakan diri ke luar dalam sikap terbuka,
percaya kepada diri sendiri (karena tawakal hanya kepada Allah) dan karena
ketenteraman yang diperoleh dari orientasi hidup hanya kepada Allah. Dan
karena tauhid, maka salah satu wujud nyata ialah sikap tidak memutlakkan
sesama manusia ataupun sesama makhluk, sehingga tidak ada alasan untuk
takut kepada sesama manusia dan makhluk itu. Sebaliknya, kesadaran
sebagai sesama manusia dan sesama makhluk akan menumbuhkan pada
pribadi seorang beriman rasa saling menghargai dan menghormati,
berbentuk hubungan sosial yang saling mengingatkan tentang apa yang
benar, tanpa hendak memaksakan pendirian sendiri.
Korelasi pandangan hidup seperti itu ialah sikap terbuka kepada sesama
manusia, dalam bentuk kesedian yang tulus untuk menghargai pikiran dan
pendapat mereka yang otentik, kemudian mengambil dan mengikuti mana
yang terbaik. Karena itu dengan sendirinya seseorang yang beriman tidak
mendukung sistem tiranik (thugyan), sebab tirani bertentangan dengan
pandangan hidup yang memutlakkan Allah SWT.
Musyawarah
Tauhid membawa konsekuensi, agar segala perkara antar manusia
diselesaikan dengan cara musyawarah, yang dengan sendirinya adalah suatu
proses timbal balik antara para pesertanya, dengan hak dan kewajiban yang
sama. Deskripsi mengenai masyarakat orang beriman sebagai masyarakat
musyawarah
sedemikian
mengesankannya
bagi
orang-orang
muslim
pertama, sehingga surat dalam al-Qur’an yang memuat deskripsi itu disebut
Syura atau Musyawarah. Untuk memperoleh gambaran lebih lengkap tentang
prinsip musyawarah ini dan prinsip-prinsip kaitannya, di sini dikemukakan
kutipan firman Allah:
2016
7
Pendidikan Agama Islam
Rusmulyadi, M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
“…Dan mereka itu menyambut (seruan) Tuhan mereka, menegakkan shalat,
sedangkan segala urusan mereka (diputuskan dalam) musyawarah antara
mereka, lagi pula mereka mendermakan sebagian dari harta yang Kami
karuniakan kepada mereka. Dan apabila tirani (al-baghy) menimpa mereka,
mereka saling membantu (untuk melawannya). Balasan bagi kejahatan ialah
kejahatan setimpal, namun barang siapa bersedia memberi maaf dan
berdamai, Tuhanlah yang menanggung pahalanya. Sungguh Dia tidak
menyukai orang-orang yang zalim. Dan barangsiapa mempertahankan diri
setelah dizalimi mereka itu tidak dapat dipersalahkan. Tetapi yang harus
dipersalahkan ialah mereka yang bertindak zalim kepada sesama manusia,
dan menjalankan tirani di bumi tanpa alasan yang benar, mereka akan
mendapatkan siska yang pedih. Dan barangsiapa bersabar dan mau
memberi maaf, sungguh ini termasuk keteguhan hati yang terpuji (‘azm alumur)” (QS. Asy-Syura: 38-43).
Dalam
ayat
tersebut
ditegaskan
keterkaitan
antara
orientasi
hidup
berketuhanan atau rabbaniyyah (menyambut seruan Allah dan menjalankan
shalat), memutuskan urusan bersama melalui musyawarah (syura), keadilan
sosial (mendermakan sebagian harta), berjuang bersama melawan tirani,
serta dalam keadaan tertentu ketabahan yang terpuji menghadapi tirani itu.
2016
8
Pendidikan Agama Islam
Rusmulyadi, M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
1. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen
Agama, 1971
2. Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2004
3. Harun Nasution, Islam Rasional, Jakarta: Mizan, 1995
4. M. Quraish Syihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996
5. Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 2000
6. Srijanti, Purwanto S.K. dan Wahyudi Pramono, Etika Membangun Masyarakat
Islam Modern, Jakarta: Graha Ilmu, 2007
2016
9
Pendidikan Agama Islam
Rusmulyadi, M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download