AL-QADHA’ FI AL-ISLAM (MELACAK PERADILAN PADA MASA RASULULLAH SAW.) Oleh: Sokip Abstrak Peradilan dalam Islam mulai ada setelah Rasulullah hijrah ke Madinah. Pada masa itu penataan kehidupan masyarakat mulai dilakukan sejalan dengan turunnya wahyu yang berisi pengaturan kehidupan manusia yaitu pengaturan keluarga, harta, pemerintahan, peradilan dan pengaturan antar pemeluk agama dan antar manusia. Dimana pengaturan pelbagai pranata sosial tersebut mengacu kepada wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw. Islam adalah agama dan pemerintahan yang mempunyai berbagai aturan yang di antaranya adalah peradilan. Nabi Muhammad saw sendiri telah menggariskan jalan yang harus ditempuh oleh para hakim dan prinsip-prinsip pokoknya. Dalam memberikan keputusankeputusan, Nabi Muhammad Saw. menggunakan bukti-bukti yang ada yang berkaitan dengan perkara yang sedang diselesaikan. Pembuktian-pembuktian pada masa Rasulullah Saw. itu antara lain berupa bayyinah (fakta kebenaran), sumpah, saksi, bukti tertulis, firasat, qur’ah (undian) dan lain-lain. Kata kunci: Peradilan, Rasulullah PENDAHULUAN Pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Islam (al-qadha’ fi al-Islam) sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Islam. Sedangkan masyarakat Islam dapat diberi batasan awal, yaitu mulai dari masa tugas kerasulan Nabi Muhammad Saw. pada periode Madinah (622-632 M), meskipun tugas kerasulan itu merupakan kelanjutan tugas para Rasul terdahulu. Pada masa itu mulai dilakukan penataan kehidupan masyarakat sejalan dengan turunnya wahyu yang berisi pengaturan kehidupan manusia (selain peribadatan, shalat, puasa dan haji), yaitu pengaturan keluarga, harta, pemerintahan, peradilan dan pengaturan antar pemeluk agama dan antar manusia. Dimana pengaturan 1 pelbagai pranata sosial tersebut mengacu kepada wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw.1 Basis masyarakat adalah kualitas individu-individu yang tangguh keimanannya, sedangkan inti masyarakat adalah satuan keluarga. Suatu keluarga tidak mungkin mengatur dirinya sendiri tanpa mengacuhkan masyarakat. Dan Islam memerintahkan untuk mengatur masyarakat yang bersandar kepada hukum untuk memelihara adanya persamaan dan keharmonisan. Keanggotaan dalam keluarga berkaitan dengan keanggotaan dalam masyarakat, sebagai sebuah sistem sosial yang besar, menurut tatanan persaudaran seagama. Oleh karena itu penataan keluarga mendapat perhatian khusus dan rinci di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul, seperti perkawinan, kewarisan, bahkan urusan pidana pun terkait dengan otoritas keluarga. (QS. al-Baqarah: 178). Pada masa kerasulan Nabi Muhammad Saw. masyarakat Islam merupakan integrasi dari dua kelompok besar, yaitu kelompok Muhajirin (Quraisy) dan Anshar (Yatsrib). Kedua kelompok itu berasal dari komunitas yang berbeda dan memiliki tradisi yang berbeda pula. Mereka menjadi satu satuan masyarakat (ummah) didasarkan kepada kesamaan iman kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan konsekuensi ketaatan kepadanya. Oleh karena itu, pengaturan kehidupan masyarakat dibangun berdasarkan pada beberapa prinsip, yaitu keimanan kepada Allah, kontinuitas misi kerasulan (amr ma’ruf nahi munkar), keadilan (al-‘adalah), persaudaraan (al-ukhuwah), persamaan (al-musawah), kemerdekaan (al-hurriyyah), tanggung jawab bersama (takaful al-ijtima’), dan tolong menolong (al-ta’awun).2 Pada masa itu masyarakat Islam hidup berdampingan dengan komunitas lain, di antaranya umat Yahudi. Hal ini menunjukkan bahwa pada awal pembentukan masyarakat 2 Islam berada dalam lingkungan masyarakat majemuk. Hubungan di antara komunitas yang berbeda itu didasarkan atas kemerdekaan, persamaan, dan tanggung jawab bersama. Kenyataan demikian itu menunjukkan kualitas kepemimpinan Rasulullah Saw. dalam membimbing umatnya dan kemampuan beliau dalam mencari titik temu dengan umat yang berlainan agama. Kualitas pribadi Rasulullah Saw. dapat digambarkan secara singkat bahwa beliau adalah seorang Rasul, negarawan, pejuang dan penakluk. Semua itu demi Allah, demi misi kebenaran, yang oleh karenanya ia diutus. Dalam hal ini semua, sebenarnya beliau adalah orang besar, lambang kesempurnaan insani dalam arti kata yang sebenarnya. Dalam kehidupan masyarakat yang majemuk itu, maka pada tahun pertama kehidupan Rasulullah Saw. di Madinah, masyarakat Islam merupakan komunitas yang terbuka dan telah menjadi suatu kekuatan yang mampu melakukan koeksistensi dengan komunitas lain. Hal ini dibuktikan dalam bentuk perjanjian tertulis antara kaum muslimin Muhajirin dan Anshar dengan orang-orang Yahudi. Perjanjian ini berisi pengakuan atas agama dan harta mereka, dengan syarat-syarat timbal balik. Selanjutnya perjanjian itu terkenal sebagai al-Shahifah atau lebih dikenal dengan nama sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah, yang merupakan dasar utama dalam menata kehidupan masyarakat yang majemuk.3 Dari sinilah kemudian pada masa berikutnya, Islam berkembang luas ke seluruh penjuru dunia. Husain Haikal menyatakan bahwa saat umat Islam kuat secara politik, dengan city state Madinah, hukum Islam dan politik merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, meski tanpa menyebut secara tegas hukum Islam sebagai pedoman negara.4 Negara 3 Madinah dengan piagam Madinah (Shahifah), malah tidak disebut sebagai negara Islam. Namun, konstitusi negara tersebut, sanggup mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat majemuk. Konstitusi Madinah membangun etika kehidupan masyarakat yang cukup modern dengan prinsip-prinsip; bertetangga, saling membantu, membela yang tertindas, saling musyawarah dalam urusan bersama dan kebebasan beragama. Negara Madinah membuktikan, kepentingan umat Islam dan non-Muslim terpenuhi oleh negara tersebut tanpa ada diskriminasi terhadap golongan tertentu. Akar hukum yang amat erat kaitannya dengan kekuasaan itu berada dalam salah satu peranan Nabi Muhammad Saw. sendiri selama mengemban tugas suci kerasulan dan tugas sebagai kepala negara. Khususnya peranan sebagai pemimpin masyarakat politik (Madinah) atau kepala negara dan sebagai hakim pemutus perkara. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ [4] ayat 65 yang berbunyi: فال وربك اليؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم اليجدوا فى انفسهم حرجا مما قضيت .ويسلموا تسليما Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.5 Berbeda dengan periode Mekkah, di mana kekuasaan politik dan ekonomi berada di tangan kaum Quraisy yang kuat. Umat Islam waktu itu baru dalam kedudukan lemah, tidak sanggup menentang kekuasaan kaum pedagang Quraisy di Mekkah. 4 PERADILAN PADA MASA RASULULLAH Muhammad Saw. adalah adalah seorang Nabi yang menerima wahyu dari Allah Swt., dan sekaligus seorang Rasul yang diberi tugas untuk menyampaikan segala sesuatu yang berkaitan dengan ajaran-ajaran agama (Islam) yang diberikan kepadanya kepada umat manusia. Selain itu Nabi Muhammad Saw. juga merupakan seorang hakim yang bertugas untuk menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi di antara para pengikutnya (penduduk). Dan beliau merupakan hakim yang pertama dalam Islam. Di dalam al-Qur’an, Allah menerangkan bahwa undang-undang yang wajib dituruti oleh Nabi dan diterapkan adalah undang-undang yang ditetapkan oleh Islam. Rasulullah bertindak sebagai hakim, sebagai mubaligh yang menyampaikan syari’at Allah. Para muslimin di masa Nabi Muhammad Saw. belum mempunyai hakim tertentu. Selain itu Rasul sendiri juga tidak menunjuk seseorang untuk bertugas menjadi hakim. Hal tersebut pada akhirnya menjadikan urusan-urusan peradilan yang ada di daerah-daerah diserahkan kepada penguasa yang dikirim ke daerah-daerah itu dan sekalikali pernah pula Nabi Muhammad Saw. menyuruh seseorang shahabat bertindak sebagai hakim dihadapan beliau sendiri. Beliau juga bertindak selaku mufti memberi bertugas memberi fatwa kepada orang-orang yang memerlukannya. Maka pada diri beliau berpadulah tiga kedudukan, yaitu selaku hakim, selaku mubaligh dan selaku musyarri’.6 Dalam memutuskan perkara, Rasulullah Saw. mendasarkan pada wahyu yang diturunkan oleh Allah kepadanya. Dimana dalam proses pemutusan perkara ini para penggugat dan tergugat hadir di hadapan Nabi Muhammad Saw., mereka menyampaikan atau memberikan keterangan-keterangan, dan Nabi pun mendengarkan keterangan para pihak yang sedang berperkara tersebut. 5 Dalam memberikan keputusan-keputusan, Nabi Muhammad Saw. menggunakan bukti-bukti yang ada yang berkaitan dengan perkara yang sedang diselesaikan. Pembuktianpembuktian pada masa Rasulullah Saw itu antara lain berupa: 1. Bayyinah (fakta kebenaran) 2. Sumpah 3. Saksi 4. Bukti tertulis 5. Firasat 6. Qur’ah (undian) dan lain-lain.7 Rasulullah Saw. bersabda: )(رواه الترمذى والبيهقى .البينة على المدعى واليمين على من انكر “Keterangan (pembuktian) itu, diminta kepada penggugat sedang sumpah dikenakan atas tergugat”. )(رواه البخارى ومسلم . وهللا يتولى السرائر،امرني ربي ان احكم بالظواهر “Aku diperintahkan Tuhanku memutuskan perkara menurut bukti-bukti (alasanalasan) yang nyata, sedang hakikat urusan itu terserah kepada Allah sendiri”. Berbagai macam putusan yang telah Nabi Muhammad Saw. tetapkan, membuktikan bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak pernah memihak kepada sesuatu golongan, dan beliau tetap memelihara keadilan dan kejujuran. Pada masa Rasululah Saw. ini pula, tepatnya sesudah dakwah Islamiyah berkembang, Rasulullah Saw. pun mengizinkan sebagia shahabat untuk bertindak sebagiai hakim, mengingat jauhnya tempat yang memerlukan putusan perkara dari kota Madinah. 6 Kadang-kadang untuk latihan bagi para shahabat, Nabi Muhammad Saw. menyuruh para shahabat itu memutuskan perkara di hadapan beliau sendiri. Hal ini merupakan petunjuk untuk membolehkan kita memisahkan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Menurut riwayat at- Tirmidzy, Umar pernah bertindak sebagai hakim di masa Rasulullah saw. masih hidup. Rasulullah Saw. pernah mengutus Ali ke Yaman untuk menjadi hakim. Dan apabila putusan-putusan Ali itu disanggah oleh yang berperkara, maka Ali menyampaikan putusannya kepada Rasulullah. Segala macam perkara yang terjadi pada masa permulaan Islam diputuskan berdasarkan kepada penetapan Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya. Akan tetapi ketika Islam sudah tersebar luas ke seluruh penjuru dunia, Rasulullah mengizikan para shahabatnya untuk memutuskan perkara sesuai dengan ketetapan Allah, Sunnah Rasul, ijtihad atau qiyas. Pedoman ini juga dapat kita temukan ketika Rasulullah mengutus Mu’adz bin Jabal, ketika dia diangkat sebagai Gubernur dan hakim di Yaman. Nabi Muhammad Saw. membenarkan para hakim mempergunakan qiyas untuk memutuskan atau menyelesaikan perkara-perkara sengketa, adalah karena hukum-hukum al-Qur’an yang telah turun, hanya mengenai beberapa kejadian saja, demikian pula sabdasabda Nabi Muhammad Saw. dan petunjuk-petunjuknya hanya mengandung hal-hal yang ‘ammiyah, bukan juz’iyah yang terus menerus terjadi di setiap masa, waktu, kapan saja dan dimana saja. Lebih dari itu, Nabi Muhammad Saw. membenarkan para shahabat ketika memberi fatwa atau keputusan. Shahabat-shahabat yang terkenal dalam bidang fatwa itu 7 banyak jumlahnya, di antaranya adalah Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah ibn Umar dan Aisyah.8 Dari sini, apabila kita memperhatikan putusan-putusan hakim (para shahabat) di masa Rasulullah Saw. masih hidup, akan terlihat bahwa sebagian hukum-hukum itu disanggah oleh yang berperkara dan diajukan lagi kepada hakim yang lebih tinggi untuk diperiksa kembali dan cirubah, ditambah atau dikurangi, ataupun dikuatkan lagi. Ali ibn Abi Thalib menyuruh orang yang menyanggah putusannya naik banding kepada Rasulullah. Hal ini dilakukan karena atas dasar bahwa Rasul adalah hakim/mahkamah agung, bukan sebagai pembuat undang-undang atau pemerintah yang mengawasi pelaksanaanya hukum-hukum. Akan tetapi hal yang perlu kita pahami di sini adalah bahwa pada masa Rasulullah Saw. ini belumlah dikenal rumah tahanan (penjara) atau lembaga pemasyarakatan seperti sekarang ini. Sehingga dapat diketahui dan dipahami bahwa pada masa Rasulullah sendiri orang-orang yang tertuduh berbuat kejahatan tidak dibiarkan bercampur dengan orangorang lain. Mereka yang terkena hukuman ditahan di rumah atau di dalam masjid atau diawasi oleh orang yang menuduh atau wakilnya. Dalam kaitannya dengan hal ini,—hakim-hakim yang ada pada masa Rasul— Rasulullah saw. menentukan dan memberikan gaji untuk para hakim yang berpadanan dengan masa dan memenuhi kebutuhan mereka. Attab ibn Asid sendiri pernah mengatakan bahwa Rasulullah telah memberikan kepadanya untuk setiap harinya dua dirham.9 Walaupun ada orang yang mengatakan bahwa peradilan di masa Rasulullah saw. ini tidaklah teratur. Akan tetapi kelihatannya pendapat ini bisa dibantah dengan menandaskan bahwa Islam adalah agama dan pemerintahan yang mempunyai berbagai 8 aturan yang di antaranya adalah peradilan ini. Nabi Muhammad saw sendiri telah menggariskan jalan yang harus ditempuh oleh para hakim dan prinsip-prinsip pokoknya. Perincian dari hukum-hukum yang dikemukakan oleh al-Qur’an diserahkan kepada Nabi Muhammad Saw., kemudian juga kepada ijtihad para mujtahid. Hal ini berlaku di dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan mu’amalah dan susunan pemerintahan. Urusan-urusan mu’amalah dan organisasi pemerintahan adalah hal-hal yang dipengaruhi oleh lingkungan dan massa. Di dalam menerapkan hukum atas kejadian-kejadian yang selalu tumbuh, syari’at Islam dalam menghadapi kejadian yang terus tumbuh dan berkembang mempunyai dua prinsip dan pedoman pokok. Pertama, mengemukakan penjelasan-penjelasan yang sudah terang dari syari’at sendiri seperti hukum mencuri dan berzina. Kedua, mengemukakan dasar-dasar pokok yang bersifat menyeluruh, agar segala macam kejadian yang terjadi dapat dimasukkan ke dalam dasar-dasar itu, urf dan maslahah mursalah.10 Di dalam usaha menerapkan hukum, syari’at Islam mempunyai prinsip pokok yang penting untuk melindungi hak-hak manusia seperti: kesaksian dan memberi tangguh kepada yang berperkara untuk mencari saksi-saksinya. Dalam bidang pokok hukum yang tidak bersifat sendi peradilan, syari’at Islam menyerahkannya kepada mujtahid yang bertindak sebagai hakim, agar hukum-hukum dapat memenuhi keadaan masa dan tempat. Lebih dari itu, pada masa Rasulullah Saw. ini banyak hadits yang dapat kita peroleh yang memberi pengertian bahwa tiap-tiap daerah mempunyai hakim sendiri. Halhal yang tidak dapat diputuskan oleh hakim-hakim daerah, disampaikan kepada Rasul Saw. Maka Rasul membenarkan putusan-putusan hakim daerah itu ataupun membatalkannya. 9 Sehingga pada akhirnya siapa saja yang mempelajari keadaan peradilan pada masa Rasul tidaklah akan mengatakan bahwa peradilan pada masa Rasulullah tidak teratur, karena tidak diatur oleh syari’at sendiri.11 Jadi, jelaslah bahwa peradilan Islam mempunyai prinsip-prinsip yang asasi dan keistimewaan-keistimewaan yang pokok. Dengan berpegang pada prinsip-prinsip itu Rasululah Saw. dan wakil-wakil beliau pada waktu beliau masih hidup, memutuskan perkara-perkara sengketa di antara umat Islam. Hanya saja pada masa Rasulullah ini kekuasaan-kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif masih dipegang oleh satu tangan. PENUTUP 1. Pada masa Rasulullah Saw. peradilan itu telah ada dan telah dilaksanakan, baik oleh beliau sendiri sebagai Nabi/Rasul yang sekaligus sebagai hakim maupun dilakukan oleh para shahabat yang hidup semasa dengan beliau. 2. Peradilan yang berada di daerah-daerah diserahkan kepada penguasa yang dikirim Nabi Muhammad Saw. ke daerah-daerah itu (wilayah kekuasaan Islam), dan sekaligus mereka juga menjadi hakim serta mereka digaji. 3. Pedoman yang digunakan dalam memutuskan perkara adalah wahyu Allah. 4. Alat-alat pembuktian di masa Rasulullah Saw. antara lain berupa: bayyinah (fakta kebenaran), sumpah, saksi, bukti tertulis, firasat, dan qur’ah. 5. Pada masa Rasulullah Saw. tidak ada rumah tahanan atau penjara (lembaga pemasyarakatan), tempat tahanan berupa rumah atau masjid. 10 Endnote 1 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), h. 16; Faisar Ananda, Sejarah pembentukan Hukum Islam: Studi Kritis Tentang Hukum Islam di Barat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 39-47. 2 Cik Hasan Bisri, Peradilan., h. 17. 3 Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), h. xiv; Duncan B. Macdonald, Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, (New York: Charles Scribner’s Sons, 1903), h. 7-10. 4 Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Pustaka Jaya dan Tintamas, 1982), h. 218; Munawir Sjadzali, Isla dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), h. 9-16. 5 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1978), h. 129. Keterangan tentang hal ini lebih lanjut lihat Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Singapore: Oxford University Press, 1991), h. 10-14. 6 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 8. 7 Ibid., h. 8. 8 Ibid., h. 10. 9 Ibid., h. 12. 10 Ibid. 11 Ibid., h. 12-13. 11