1 PLURALISME AGAMA: AKAR PERDAMAIAN MERAWAT

advertisement
PLURALISME AGAMA:
AKAR PERDAMAIAN MERAWAT HARMONISASI
Firdaus Muhammad1
Abstract: Pluralism is society of etnic, region, religion, languge, and culture. The
pluralism characteristic (identifying feature) this nation is really the God willing to
create life which is high respect the tolerance values. As God creates, human being is
same. They have believing, tradition, self culture, many view of life. Then Islam
religion, experience or inspire the meaning, peature, gold of their life and
implementing islam as their way or view of life to give or to come their safety life of
world and here after later. So, Islam function is muslim personality formed which
have brilliant brain, be science, be heart honor, and be obadent to the God. The end,
It means that Islam always save peace and harmonization of the world.
Key Words: Religious Pluralism, Peace, Harmonization
Pendahuluan
Wacana pluralisme agama menjadi bagian penting dalam kajian keislaman
kontemporer di Indonesia. Pluralisme menjadi akar perdamaian dalam merawat
harmonisasi agama, termasuk dalam konteks relasi agama dan negara. Harmonisasi
agama dan negara selalu urgen dikaji dan didiskusikan, apalagi belakangan pluralism
agama kembali tercabik, termasuk soal intern Islam, Sunni versus Syiah di Madura
yang belum terselesaikan. Negara dianggap gagal meredamnya.
Dalam kaitan itu, pluralisme agama penting dijadikan pijakan dalam mewujudkan
perdamaian guna menjaga harmonisasi agar umat beragama terlindungi dalam
naungan egara tanpa mengintervensi substansi tetapi menciptakan suasana beragama
yang kondusif dan toleran. Sejak zaman klasik, zaman modern dan bahkan sampai
sekarang, persoalan-persoalan kenegaraan di dalam Islam masih merupakan
komuditas aktual yang selalu menarik untuk didiskusikan, lebih-lebih ketika berbagai
ideologi Barat mulai menanamkan pengaruhnya di dunia Islam.
Perdebatan berkisar pada beberapa persoalan yang cukup mendasar, diantaranya
adalah sejauh mana keharusan kaum muslimin untuk mendirikan sebuah negara, apa
bantuk dan sistem pemerintahan yang harus dijalankan oleh umat Islam dalam
1 Dosen
Dakwah Universitas
[email protected].
Islam
Negeri
1
(UIN)
Alauddin
Makassar.
E-mail:
konteks kehidupan bernegara, bagaimanakah seharusnya dibangun hubungan anatara
agama dan negara, dan apakah umat Islam dituntut untuk mendirikan sebuah negara
yang berlabelkan Islam.
Munculnya beberapa persoalan kenegaraan di atas, sesungguhnya disebabkan
karena baik al-Qur’an maupun hadits tidak pernah memberikan penjelasan secara
eksplisit tentang konsep-konsep kenegaraan yg harus di jadikan acuan umat Islam di
dalam mengatur dan menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan nabi
Muhammad SAW pun setelahs beliau wafat tidak meninggalkan konsep kenegaraan
yang baku. Hal ini memberikan indikasi bahwa persoalan kenegaraan di dalam Islam
masih terbuka untuk berkembang dan diperdebatkan.2
Historisitas Pluralitas di Zaman Nabi
Secara historis telah membuktikan, bahwa pada periode Makkah nabi Muhammad
tidak memiliki kekuasaan politik untuk mem-back up misi kenabiannya. Sementara di
Madinah, di samping sebagai tokoh spiritual dan agama
ia juga berkedudukan
sebagai pemimpin politik, kendatipun dalam kenyataannya nabi tidak pernah
memproklamirkan diri sebagai seorang penguasa, raja atau pemimpin negara. Tetapi
paling tidak, dari usaha-usaha yang dilakukan nabi setibanya di Madinah, seperti
mengadakan perjanjian tertulis antara kelompok muhajirin dan anshar, memberikan
jaminan dan proteksi kepada komunitas Yahudi di dalam menjalankan agama dan
keselamatan harta benda mereka, menetapkan hak dan kewajiban bagi setiap anggota
masyarakat, mengatur hubungan antara umat Islam dan non-muslim,3 dan lain-lain,
maka cukup untuk dijadikan argumentasi bahwa sejak periode Madinah nabi telah
membangun sebuah pemerintahan, atau minimal telah membentuk tatanan
masyarakat yang bernaung di bawah kepemimpinannya.
Periode Madinah menurut hemat penulis merupakan periode berdirinya
masyarakat dan pemerintahan Islam yang pertama di dalam sejarah, sebab di dalam
periode ini, secara de-facto telah diletakkan dasar-dasar yang kuat bagi berdirinya
2Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern Dalam Islam, ( Jakarta : Yayasan
Obor, 1985 ), hlm. 10.
3Ahmad
Azhar Basyir, Negara dan Pemerintahan ( Yogyakarta : UII, 1984 ), hlm. 17.
2
sebuah negara. Istilah negara dalam pengertian ilmu politik merupakan suatu
komunitas manusia yang mendiami daerah tertentu, merdeka secara legal dari
dominasi dan pengendalian luar, memiliki suatu pemerintahan dan adanya ikatan
bersama. Sehingga dari batasan ini terdapat unsur-unsur adanya wilayah, adanya
penduduk, adanya pemerintah dan adanya kedaulatan.4
Dalam negara yang pertama didirikan nabi di Madinah tersebut ternyata unsurunsur negara telah terpenuhi, walaupun dalam bentuknya yang masih sederhana.
Rakyat atau penduduk adalah masyarakat Islam ( Muhajirin dan Anshar ) sebagai
kelompok mayoritas dan masyarakat non-muslim ( Yahudi dan Nasrani ) sebagai
kelompok minoritas; Undang-undang yang dipergunakan adalah syari’at Islam; daerah
yang ditempati secara permanen adalah Madinah, dan pemerintahnya Muhammad
SAW beserta para sahabat. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa masyarakat
yang dibina nabi di Madinah merupakan manifestasi dari sebuah pemerintahan Islam
dalam formatnya yang sederhana. Corak pemerintahan berbentuk teo-demokrasi, 5
sebab dalam periode ini nabi mengatur kehidupan sosio-kultural umat berdasarkan
kepada wahyu yang diterima dari Allah, dan dalam hal-hal yang tidak ada wahyunya,
nabi bermusyawarah dengan para sahabat.
Demikian juga pada masa Khulafa’ al-Rasydin dan periode-periode berikutnya,
corak pemerintahan Islam selalu berkembang dan mengalami perubahan- prubahan.
Pada masa Khulafa” al-Rasyidin corak pemerintahan berbentuk republik-demokratis,
karena pada masa ini budaya musyawarah sangat dikembangkan dan merupakan
bagian dari langkah yang di ambil para khalifah didalam menyelesaikan persoalanpersoalan yang secara eksplisit tidak diatur, baik di dalam al-Qur’an maupun hadits.
Sedangkan pada periode dinasti Umayyah dan Abbasiyyah, corak pemerintahan
bergeser kepada bentuk dinasti atau kerajaan. Sistem pemerintahan dinasti yang
muncul pada abad ke-7 dan bertahan lebih dari 1200 tahun, pada abad ke-20 berubah
dan mengambil bentuk Republik-Konstitusional dan demokratis, seperti Republik
4Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik ( Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991 ), Cet.13,
hlm. 44.
5Harun
Nasution, Perkembangan Modern..., hlm. 10.
3
Turki, Republik Pakistan, Republik Mesir, Republik Syria, Republik Irak, Republik
Indonesia, dan lain-lain.6
Tinjauan sejarah di atas, ternyata sistem kenegaraan di dalam Islam dengan
berbagai persoalannya tidak memberikan gambaran yang jelas dan baku yang dapat
dijadikan acuan bagi umat Islam dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sebagaimana Islam juga tidak memberikan garis yang jelas bahwa sebuah
nergara harus dikemas dalam bentuk “ Negara Islam “ yang secara eksklusif tidak
memberikan ruang bagi komunitas non-muslim untuk menjalankan ajaran agamanya
serta mengembangkan kultur yang dimilki secara bebas, elegan dan penuh toleransi.
Karena pada dasarnya Islam adalah agama yang sangat mengembangkan sikap
toleransi, agama yang menghargai pluralitas dan kemajemukan, sebagaimana yang
telah diimplimentasikan oleh nabi Muhammad dalam membangun masyarakat
Madinah yang sangat heterogen dan pluralis.
Negara Islam dan Persoalan Kemajmukan Umat
Persoalan soal Negara Islam sendiri masih diperdebatkan. Kata-kata arab yang
berarti negara atau pemerintahan ( dawlah dan hukumah ) tidak pernah disebut di
dalam al-Qur’an. Term dawlah merupakan perkembangan baru, dan agaknya
dimaksudkan untuk menunjukkan konsep Barat tentang nation state. Demikian juga
dengan kata hukumah yang merujuk pada kata hakama-yahkumu dalam al-Qur’an, 7
yang pada akhirnya memunculkan konsep hakimiyyah atau kekuasaan pemerintahan.
Kata hukm dan bentuk derivatifnya yang banyak disebut di dalam al-Qur’an, ternyata
menunjukkan banyak arti dan perlu dipahami dalam konteksnya masing-masing.8
Mencermati tuntutan al-Qur’an tentang kehidupan bernegara sesungguhnya tidak
menunjuk kepada sebuah model tertentu tentang sebuah negara yang harus diikuti
oleh umat Islam di berbagai negara. Alasan untuk ini tentunya tidak terlalu sulit untuk
6 Ibid,
hlm. 11-12. Selanjutnya lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran ( Jakarta : UI Press ), hlm. 30.
7Muhammad
Fuad Abd. Al-Baqi, Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an ( Ttt : Dar al-Fikr li alTaba’ wa al-Nasyr, 1981 ), hlm. 34.
8Ibid.
4
dicari dan dieksplorasi. Pertama, al-Qur’an pada prinsipnya adalah petunjuk etik bagi
manusia; ia bukan sebuah kitab ilmu politik. Kedua, merupakan suatu kenyataan
bahwa institusi-institusi sosio-politik dan organisasi manusia selalu mengalami
perubahan dari masa ke masa.9 Atau dengan memakai ungkapan lain, diamnya alQur’an dalam konteks ini berarti memberikan suatu jaminan yang sangat esensial
serta sengaja terhadap kekuatan hukum dan sosial. 10
Dalam kajian Islam kontemporer, term “ Negara Islam “ atau “ Dawlah Islamiyah
“. Baik di dalam al-Qur’an maupun kitab-kitab tafsir yang dikarang oleh para ulama
sebelum abad ke-20 tidak dijumpai istilah Negara Islam atau Dawlah Islamiyah.
Hadits-hadits dan praktek-praktek kehidupan nabi selama membangun masyarakat
Islam Madinah tidak pernah menyinggung masalah ini. Begitu juga dengan Piagam
Madinah, baik secara eksplisit maupun implisit tidak ditemukan ide tentang Dawlah
Islamiyah, tatanan masyarakat Islam Madinah hanya disebut sebagai al-Mujtama’ alIslamy atau komunitas masyarakat Islam.
Menurut Robert N.Bellah, praktek
kenegaraan yang dijalankan oleh nabi Muhammad di Madinah merupakan tatanan
yang sangat modern dan demokratis pada masanya. Namun dalam kenyataannya nabi
tidak pernah menyebut negara Madinah sebagai Negara Islam.
Ide Negara Islam sesungguhnya merupakan produk abad ke-20 yang diintrodusir
pertama kali oleh Muhammad Rasyid Ridha di dalam karyanya yang berjudul alKhilafah , yang kemudian ditindak lanjuti oleh Hasan al-Banna ( 1906-1949 ) dan
dirumuskan secara konseptual oleh Sayyid Qutb ( 1903-1979 ). Dengan demikian, ide
dan gagasan Negara Islam sesungguhnya merupakan produk ijtihad para pemikir
politik.Islam abad ke-20 yang bertitik tolak dari pemahaman mereka terhadap
prinsip-prinsip kenegaraan yang terdapat di dalam al-Qur’an. Hampir tidak terdapat
kesepakatan bulat di kalangan para pemikir politik Islam kontemporer tentang
pengertian dan hakikat Negara Islam serta hal-hal yang terkandung di dalam konsep
Negara Islam itu sendiri.
Namun demikian, setidak-tidaknya secara teoritis terdapat kesepakatan minimal
bahwa suatu negara disebut sebagai Negara Islam apabila negara tersebut
9Syafi’i
Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan ( Jakarta : LP3ES, 1987 ), hlm. 16.
10Ibid.
5
mendasarkan diri di atas agama Islam dan memberlakukan syari’at Islam dalam aturan
dan perundang-undangan negara. Dengan kata lain, pelaksanaan hukum Islam
merupakan prasyarat formal dan utama bagi eksisnya Negara Islam. Suatu negara
dapat dianggap sebagai Negara Islam apabila negara tersebut benar-benar telah
melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta
mengintegrasikannya ke dalam Undang-Undang negara. 11 Dalam spektrum kajian
politik Islam, Rasyid Ridha merupakan sosok ulama terkemuka di awal abad ke-20
yang dianggap paling bertanggung jawab dalam merumuskan konsep Negara Islam
Modern. Ia menyatakan bahwa premis pokok dari konsep Negara Islam adalah
syari’at merupakan sumber hukum tertinggi.
Dalam pandangan Ridha, syari’at mesti membutuhkan bantuan
kekuasaan
(power) dalam upaya mengimplimentasikannya, dan adalah mustahil untuk dapat
menerapkan syari’at Islam tanpa kehadiran Negara Islam. Dengan demikian,
penerapan syari’at Islam merupakan satu-satunya kriteria utama yang amat
menentukan ( the single most desicive criterion ) untuk membedakan antara suatu negara
Islam dengan negara non-Islam. Beberapa statemen di atas dapat diformulasikan,
bahwa Negara Islam adalah negara di mana peraturan dan perundang-undangan
didasarkan kepada ajaran Islam atau syari’at Islam yang dijadikan sebagai sumber
hukum tertinggi. Suatu negara yang dihuni oleh mayoritas muslim tidak otomatis
menjadi Negara Islam kecuali syari’at Islam tentang sosio- politik dilaksanakan dalam
kehidupan rakyat berdasarkan konstitusi. Dan di dalam sejarah pemikiran politik
Islam kontemporer, nama al-Maududi nampaknya dikenal sebagai tokoh yang
mampu mengkonstruksi konsepsi Negara Islam yang relatif utuh dan terperinci, 12
kendatipun pada tataran aplikasinya sangat sulit untuk di realisasikan, lebih-lbih
terhadap negara yang penduduknya memiliki ke-anekaragaman agama, ras dan
budaya.
11Ibid,
hlm. 140
konseptual konstruksi Negara Islam yang dibangun oleh al-Maududi, antara lain adalah :
bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan Allah, manusia hanya bertindak sebagai pelaksana dari
kedaulatan Allah; Dasar negara adalah syari’at Islam; Untuk melaksanakan syari’at Islam, sistem
pemerintahan harus dalam bentuk khilafah yang bersipat universal dan tidak mengenal batas-batas
geografis, ras, bahasa dan budaya.
12Secara
6
Pluralitas, Sebuah Kemestian
Realitas kehidupan beragama, pluralitas dan kemajemukan dalam konteks
kehidupan manusia merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Di manapun
manusia berada pluralitas agama, ras dan budaya merupakan sesuatu yang inheren
dengan kehidupan manusia. Agaknya sulit dibayangkan ketika ada belahan bumi
tertentu yang hanya dihuni oleh komunitas tertentu dengan latar belakang agama, ras
dan budaya yang tunggal. Sebab pada dasarnya Allah menciptakan manusia bersukusuku dan berbangsa-bangsa dengan latar belakang kultur yang berbeda-beda pula
(Baca, Q.S. al-Hujurat (49) : 13 ).
Hal ini tentu saja akan berimplikasi pada munculnya problem-problem sosiologispolitis apabila dihadapkan dengan tatanan norma-norma serta aturan dan perundangundangan yang ditetapkan di dalam kerangka Negara Islam. Lebih-lebih apabila di
dalam bingkai Negara Islam tersebut terdapat kelompok-kelompok yang secara
ekstrim menafikan dan tidak menghargai eksistensi kemajemukan. Dalam kaitannya
dengan keyakinan keberagamaan, biasanya kelompok semacam ini cenderung
memunculkan pola-pola keberagamaan yang eksklusif yang mungkin dapat
dikategorikan sebagai kelompok fundamentalis, yang menggunakan sudut pandang
yang sangat terbatas.
Dengan kata lain, bahwa pemahaman keagamaan mereka lebih bersipat eksklusif
dengan pandangan bahwa hanya keyakinan dan agama merekalah yang benar,
sementara agama yang lain sesat dan jauh dari kebenaran. Dalam terminologi
Azyumardi Azra kelompok ini biasanya dicirikan dengan 4 ( empat ) ciri pokok;
Pertama, fundamentalisme merupakan oppositionalism terhadap ancaman yang
dianggap membahayakan eksistensi agama. Kedua, menolak hermeneutika; penafsiran
kritis terhadap teks-teks dan penafsirannya. Dalam konteks ini, maka al-Qur’an harus
difahami secara literal tanpa memberi peluang terhadap alternatif pemaknaan yang
lain.
Ketiga, gerakan atau kelompok fundamentalis menolak pluralisme dan relativisme.
Pemahaman dan sikap keberagamaan yang tidak selaras dengan pandangan kelompok
fundamentalis dianggap sebagai bentuk dari relativisme keagamaan yang tentunya
harus ditolak. Keempat, kelompok ini menolak perkembangan historis dan sosiologis
7
dengan anggapan bahwa perkembangan historis
dan sosiologis telah membawa
manusia semakin jauh dari ajaran kitab suci.13
Problem lain yang diprediksi akan muncul dalam kerangka Negara Islam, adalah
kemungkinan terjadinya benturan-benturan dan konflik berkepanjangan antar intern
umat Islam akibat tarik menarik kepentingan. Karena dalam kenyataannya, terdapat
dua arus pemikiran kontradiktif dalam kaitannya dengan keharusan mendirikan
Negara Islam. Arus pertama berpendapat, bahwa untuk melaksanakan syari’at Islam
dalam tatanan kehidupan umat diperlukan suatu kekuasaan pemerintahan yang
bernaung di bawah panji-panji Negara Islam. Arus ini menegaskan penolakannya
terhadap pemisahan antara agama dan negara, karena dalam pandangan mereka Islam
adalah din dan dawlah.
Islam juga merupakan agama yang komprehensif yang mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia, termasuk mengatur persoalan-persoalan kenegaraan. Arus inidalam perjuangannya sangat bersemangat untuk mendirikan Negara Islam, karena
menurut mereka tanpa adanya Negara Islam, maka kehidupan Islam tidak mungkin
dapat direalisasikan secara utuh. Para pionir dalam arus pemikiran ini, antara lain
Rasyid Ridha, Sayyid Qutb, Hasan al-Banna dan Abul A’la al-Maududi. Sedangkan
arus kedua memandang bahwa keterutusan Muhammad SAW hanya membawa satu
misi, yaitu misi spiritual keagamaan ( risalah ruhiyah diniyah ) yang sama sekali tidak
bermaksud membangun sebuah negara.
Oleh karena itu mereka menolak keterlibatan agama dalam urusan urusan negara
atau pemerintahan; hubungan agama dan negara merupakan hubungan yang terpisah
dan tidak mungkin untuk dipersatukan, sebab agama hanya mengatur persoalanpersoalan spiritual umat, sedangkan negara mengatur persoalan-persoalan duniawi.
Menurut arus pemikiran ini, di dalam Islam tidak ada ruang untuk berpendapat
13 Azyumardi
Azra, Pergolakan Politik Islam : Dari Fundamentalisme Hingga Post Modernisme (
Bandung : Mizan, 1996 ), hlm.109-110.
8
bahwa risalah yang dibawa oleh Nabi Muhamad mengandung kewajiban mendirikan
sebuah Negara Islam yang wujudnya dalam bentuk sistem khilafah. Institusi negara
dalam pandangan mereka tidak terlalu penting dan yang paling penting adalah
komitmen untuk mengimplimentasikan nilai-nilai ajaran Islam. Di antara para tokoh
yang menganut arus pemikiran yang kedua ini, antara lain Ali Abd. Al-Raziq dan
Thaha Husein, keduanya tokoh intelektual yang berasal dari Mesir. Di dalam kancah
pemikiran politik di dunia Islam, kedua arus pemikiran di atas pada akhirnya
melahirkan dua bentuk kecenderungan yang antagonistis dalam pengelolaan sebuah
negara, terutama pasca penjajahan dan setelah berdirinya negara-negara nasional di
dunia Islam.
Dua kecenderungan itu ialah kecenderungan sekularistik dan kecenderungan
religius yang masing-masing pendukungnya oleh sebagian pakar disebut nasionalis
sekuler atau aliran substansialis dan nasionalis religius atau aliran skripturalis religius. Suatu
kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa Indonesia merupakan negara yang
memiliki penduduk yang sangat heterogen, baik dari sisi agama, ras, adat istiadat
maupun budaya. Secara konstitusional, setiap warga negara memiliki hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang sama, dan secara yuridis formal memiliki perlakuan yang
sama di muka hukum.
Heteroginitas dan kemajemukan ini pula yang membuat kenyataan bahwa
Indonesia bukan negara agama ( religious state ) tetapi “ nation state “, yang oleh
karenanya para Founder Fathers negara kita menjadikan Pancasila serta UndangUndang Dasar 1945 sebagai falsafah dan dasar negara Republik Indonesia. Atas dasar
ini, maka konsepsi Negara Islam menurut hemat penulis kurang pas, dan bahkan
tidak relevan untuk konteks ke-Indonesiaan. Selain dari itu, konsepsi Negara Islam
yang ditawarkan oleh para pemikir politik Islam semacam al-Maududi dan kawankawan, nampaknya sangat normatif, ideologis dan formalistis. Sehingga pada tataran
aplikasinya sangat sulit untuk diwujudkan, dan tidak mustahil akan menimbulkan
problem-problem politis, ketegangan-ketegangan keberagamaan serta konflik-konflik
berkepanjangan, baik intern maupun antar umat beragama.
Komunitas muslim, tentu saja menginginkan agar syari’at Islam dapat berlaku
dalam negara di mana mereka berada, dan berkeinginan agar hukum Islam dapat
mewarnai keputusan-keputusan politik. Akan tetapi, untuk merealisasikan keinginan
9
dan harapan tersebut- menurut penulis tidak harus menggunakan konsep Negara
Islam, atau secara formal memberi label negara dengan label Islam. Membangun
tatanan masyarakat Islam yang secara konsekuen melaksanakan ajaran Islam dalam
seluruh aspek kehidupan, menurut penulis merupakan langkah konkret dalam upaya
mewujudkan keinginan dan harapan dia atas. Di satu sisi, konsepsi Negara Islam
memang harus diakui sebagai cerminan dari bentuk sebuah negara ideal di dalam
Islam yang sangat ideologis dan formalis. Tetapi di sisi lain nampaknya memiliki
kelemahan-kelemahan, di mana secara doctriner memiliki kecenderungan eksklusif
terutama dalam konteks merespon arus modernisasi.
Dalam konsep Negara Islam ditemukan doktrin yang menyatakan bahwa nilai dan
tradisi yang benar hanyalah yang berasal dari Islam, semua nilai dan tradisi yang
bukan dari Islam adalah sesat dan harus ditolak, bahkan bila perlu penolakannya
melalui proses kekerasan. Doktrin lain yang cenderung eksklusif, adalah pandangan
bahwa kebudayaan Barat
merupakan musuh Islam, dan orang-orang yang
terpengaruh dengan pemikiran Barat dianggap berbahaya. Dua contoh konkret dari
konsepsi Negara Islam di atas, menurut hemat penulis lebih bersipat apologistis dan
pemaksaan terhadap klaim kebenaran, sehingga sulit mengakomodir hal-hal yang
berasal dari luar Islam atau sama sulitnya menerima pemikiran-pemikiran orang lain.
Penutup
Beragama sejatinya menjadi kebutuhan dengan memadukan spiritualitas dan
rasionalitas. Upaya meresonansikan keberagamaan dengan memaksimalkan kekuatan
jiwa dan akal melahirkan pribadi paripurna. Tidak ada agama bagi orang tidak berakal,
sepatutnya dimaknai sebagai proses pemahaman dan spiritualitas yang tercermin
dalam pengalaman agama. Tetapi akal tidak sepatutnya diberhalakan dalam beragama.
Akal sebagai pijakan rasionalitas memiliki keterbatasan dalam memahami agama,
terutama dalam dimensi transendensi-ketuhanan. Merasionalkan agama acapkali
melahirkan kegamangan. Karenanya, ritus spiritualitas agama menjadi bagian penting
yang justru lazim diabaikan cendekiawan agama. Menakar kesadaran keberagamaan
dengan akal, maka tidak tertutup kemungkinan lahirnya analogi-analogi yang tidak
relevan. Alih-alih dapat menyakinkan, justru berbuah kecaman.
10
Kedatipun begitu, bagaimanapun agama merupakan kumpulan ajaran yang mutlak
dan transeden. Lain halnya dengan politik, kapan dan dimanapun yang namanya
politik adalah sesuatu yang relatif dan berubah-ubah sepanjang masa. Politik
digerakkan untuk kepentingan-kepentingan yang beragam sehingga cenderung
bertabrakan kepentingan satu dengan lainnya. Agama adalah ajaran suci yang justru
paradoks dengan konflik, agama meniscayakan kedamaian dan sebaliknya politik
selalu berurusan dengan persoalan konflik kepentingan. Muhammed Abid Abed alJabiri (1992) – pengusung al ’Aql al-Siyasi al-Arab – dalam Wijhah-nya
mengkhawatirkan perbedaan kepentingan soal agama, bila digerakkan oleh
kepentingan politik tertentu akan memunculkan sektarianisme dan primordialisme
yang kemungkinan berakhir pada konflik. Politisasi agama juga menjadi
kecenderungan lain sebagai implikasi beragamnya kepentingan kelompok, artinya
politisasi agama muncul dari kondisi atau faktor tertentu. Disinilah problemnya. Bila
menghindar dari jalur politik-struktural tentu akan meninggalkan “ruang” yang
memungkinkan memperjuangkan kemaslahatan umat Islam, lalu akan diambil oleh
“orang lain”. Maka alternatif yang lebih selamat adalah memperjuangkan
kemaslahatan umat dengan komitmen membangun moralitas politik, bukan untuk
kepentingan golongan tertentu saja.
Di Indonesia pemikiran politik Islam di Indonesia, baik langsung maupun tidak,
banyaknya juga terpengaruh dari polarisasi di atas. Akibatnya, pemikiram politik ini
terjebak dalam dikotomi dan polarisasi yang sebenarnya kurang bermakna kondusif
bagi suatu pengembangan konseptual, sebab pemikiran tersebut sejak awal telah
mengesankan ekslusifisme yang menolak setiap masukan yang dianggap tidak Islami,
dalam hal ini nilai-nilai yang berasal dari pemikir-pemikir Barat yang juga cukup
berpengaruh, terutama di awal pembentukan republik Indonesia
11
12
Download