12 II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan menguraikan mengenai : (2.1) Mi, (2.2) Tepung Sagu, (2.3) Ikan Nila, dan (2.4) Bahan Penunjang. 2.1. Mi Mi merupakan salah satu jenis produk pasta yang ditemukan pertama kali oleh bangsa Tiongkok dengan membuatnya dari beras dan tepung kacangkacangan. Mi merupakan salah satu bentuk pangan yang sudah cukup populer dan disukai oleh berbagai kalangan masyarakat. Mi disajikan dalam berbagai produk yaitu mi basah, mi kering dan mi instan. Beberapa mi tersebut mempunyai sifat berbeda tergantung dari proses pembuatan dan bahan tambahan yang digunakan (Simanjuntak, 2001). Mi adalah produk pangan yang terbuat dari bahan terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan. Produk mi dibedakan menjadi tiga yang dilihat berdasarkan ukuran diameter, yaitu spaghetti (0,11-0,27 inchi), mi (0,07-0,125 inchi) dan verniseli (kurang dari 0,0045 inchi), sedangkan berdasarkan bahan baku produk mi dibagi menjadi dua, yaitu : mi (noodle) dari bahan tepung, terutama tepung terigu dan mi transparan (transparance noodle) berasal dari pati, misalnya soun (dari pati beras) dan mi Cina (dari pati ubi jalar) (Affy, 2010). Mi dapat dibagi menjadi 5 golongan berdasarkan segi tahap pengolahan dan kadar airnya, yaitu : 12 13 a. Mi mentah/segar, adalah produk mi langsung dari proses pemotongan lembaran adonan dengan kadar air 35%. b. Mi basah, adalah mi mentah yang sebelum dipasarkan mengalami perebusan dalam air mendidih terlebih dahulu, jenis mi ini memiliki kadar air sekitar 52%. c. Mi kering, adalah mi mentah yang langsung dikeringkan, jenis mi ini memiliki kadar air sekitar 10%. d. Mi goreng, adalah mi mentah yang sebelum dipasarkan terlebih dahulu digoreng. e. Mi instan (mi siap hidang), adalah mi mentah yang mengalami pengukusan dan dikeringkan sehingga menjadi mi instan kering atau digoreng sehingga menjadi mi instan goreng (instant fried noodle) (Koswara, 2005). Mi basah dapat digolongkan dalam dua kategori berdasarkan cara pembuatannya, yaitu mi basah mentah dan mi basah matang. Pada proses pembuatan mi basah matang terdapat pemasakan (perebusan/pengukusan) dan penambahan minyak sawit sehingga kadar airnya meningkat sampai 52%, sedangkan pada mi basah mentah tidak melewati tahapan tersebut sehingga kadar airnya sekitar 35% (Astawan, 2006). Produk mi yang dipasarkan berdasarkan jenisnya dibagi menjadi dua jenis yaitu mi basah (mi ayam dan mi kering) dan mi kering (mi telor dan mi instan). Produk mi kering dan mi basah memiliki komposisi yang hampir sama. Perbedaan keduanya adalah kadar air dan tahapan proses pembuatan (Astawan, 2006) 14 Kualitas mi basah menurut SNI dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Syarat Mutu Mi Basah (SNI 01-2987-1992). No Kriteria Uji 1 Keadaan : 1.1. Bau 1.2. Rasa 1.3. Warna 2 Air 3 Abu (dihitung atas dasar bahan kering) 4 Protein (Nx6,25) Dihitung atas dasar bahan kering 5 Bahan Tambahan Makanan 5.1. Boraks dan asam borat 5.2. Pewarna 6 7 8 5.3. Formalin Cemaran logam : 6.1. Timbal (Pb) 6.2. Tembaga (Cu) 6.3. Seng (Zn) 6.4. Raksa (Hg) Arsen (As) Cemaran mikroba : 8.1. Angka lempeng total 8.2. E.coli 8.3. Kapang Satuan Persyaratan - Normal Normal Normal 20-35 Maks 3 %bb %bb Min 8 %bb Tidak boleh ada Sesuai SNI 0222-M No. 722/MEN.KES/PER/XI/88 revisinya Tidak boleh ada Mg/kg Mg/kg Mg/kg Mg/kg Mg/kg Koloni/gram Gram APM/gram Koloni/gram Sumber : Departemen Perindustrian RI, 1992. Maks 1,0 Maks 10,0 Maks 40,0 Maks 0,05 Maks 0,5 Maks 1,0 x 106 Maks 10 Maks 1,0 x 104 2.2. Sagu Sagu (Metroxylon spp) termasuk tumbuhan monokotil dari famili Palmae, marga Metroxylon dan ordo Spadiciflorae (Ruddie et al., 1976) dalam Haryanto dan Pangloli (1992). Metroxylon berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua suku kata, yaitu Metra berarti isi batang atau empelur dan xylon yang berarti xylem (Flach, 1977). 15 Sagu merupakan makanan pokok bagi masyarakat di Maluku dan Papua yang tinggal di pesisir. Sagu dimakan dalam bentuk papeda, semacam bubur, atau dalam bentuk-bentuk yang lain. Sagu sendiri dijual sebagai tepung curah maupun yang dipadatkan dan dikemas dengan daun pisang. Selain itu, saat ini sagu juga diolah menjadi mi dan mutiara. Gambar 1. Pohon Sagu Usia panen tanaman sagu, dihitung sejak penanaman pertama diperlukan waktu sekitar 12 tahun. Populasi tanaman per hektar kurang lebih 200 rumpun, sehingga diperoleh tebangan 800 batang. Hasil tepung kering per batang sagu antara 100 sampai 200 kg, atau minimal dari tiap hektar hutan sagu akan dapat dipanen 80 ton sagu kering atau 6,6 ton tepung sagu kering per tahun, akan tetapi dalam prakteknya potensi maksimal dari satu hektar hutan sagu per tahun bisa mencapai 20 ton tepung kering (Haryanto dan Pangloli, 1992). Sagu sebagai sumber karbohidrat memiliki keunikan karena diproduksi di daerah rawa-rawa (habitat alami rumbia). Kondisi ini memiliki keuntungan 16 ekologis tersendiri, walaupun secara ekonomis kurang menguntungkan (menyulitkan distribusi) (Yusmarini, 2012). Pohon sagu dapat tumbuh hingga setinggi 20 m, bahkan 30 m. Dari satu pohon dapat dihasilkan 150 sampai 300 kg pati. Suatu survai di Kabupaten Kendari menunjukkan bahwa untuk mengolah dua pohon sagu diperlukan 4 orang yang bekerja selama 6 hari. Tanaman sagu dapat berperan sebagai pengaman lingkungan karena dapat mengabsorbsi emisi gas CO2 yang diemisikan dari lahan rawa dan gambut ke udara (Bintoro, 2008). Pati sagu kaya dengan karbohidrat namun sangat miskin gizi lainnya. Ini terjadi akibat kandungan tinggi pati di dalam teras batang maupun proses pemanenannya. Seratus gram pati sagu kering setara dengan 355 kalori. Di dalamnya ratarata terkandung 94 gram karbohidrat, 0,2 gram protein, 0,5 gram serat, 10mg kalsium, 1,2mg besi, dan lemak, karoten, tiamin, dan asam askorbat dalam jumlah sangat kecil. Sagu separuhnya dihasilkan dari Propinsi Riau, sementara separuh lainnya berasal dari daerah-daerah Papua, Maluku dan lainnya. Pada tahun 2008 lalu saja, areal tanaman sagu di Riau yang tersebar di daerah pesisir dan di pulau-pulau kecil di beberapa daerah kabupaten mencapai 69.916 hektar. Dari luasan tersebut 49.686 hektar (71,06 persen) diantaranya adalah perkebunan sagu rakyat. Sisanya sebanyak 20.200 hektar (28,89 persen) adalah perkebunan besar milik swasta. Sisanya sebanyak 30 hektar (0,042 persen) adalah milik perkebunan besar nasional. Dari jumlah tersebut, mampu memproduksi sebanyak 171.549 ton sagu 17 (Riau Pos, 30 Maret 2011). Sementara itu sampai tahun 2006, luas tanaman sagu di seluruh Provinsi Papua sekitar 513,000 ha dengan produksi 139 ton dan melibatkan 1,663 petani (BPS Provinsi Papua, 2007). Di Indonesia, dikenal ada dua spesies sagu, yakni sagu sisika yang berduri (Metroxylon rumphii Mart.) dan sagu beka yang tidak berduri (Metroxylon sago Rottb.) Sagu beka yang tidak berduri memiliki lebih banyak keunggulan dibandingkan dengan sagu sisika yang berduri. Namun populasi sagu beka hanya 20% dari total populasi yang ada. Pada umumnya tanaman sagu tumbuh liar, namun ada juga yang sengaja ditanam oleh petani meskipun jarak tanam dan tata ruasnya belum memenuhi syarat agronomis. Biasanya, sagu tumbuh di daerah rawa yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan kandungan tanah liat lebih dari 70% dan bahan organik 30%. Pertumbuhan sagu yang paling baik adalah pada tanah liat kuning coklat atau hitam dengan kadar bahan organik tinggi (Bintoro, 2008). 2.3. Ikan Nila (Oreochromis Niloticus) Ikan Nila (Oreochromis Niloticus) adalah salah satu jenis ikan air tawar yang paling banyak dibudi dayakan di Indonesia. Ikan Nila menduduki urutan kedua setelah ikan Mas (Cyprinces carpio) dalam produksi budi daya air tawar di Indonesia. Berdasarkan morfologinya, kelompok ikan Oreochromis memang berbeda dengan kelompok tilapia. Secara umum, bentuk (tubuh nila memanjang dan ramping, dengan sisik berukuran besar. Betuk matanya besar dan menonjol 18 dengan tepi berwarna putih. Gurat sisi (linea literalis) terputus di bagian tengah tubuh, kemudian berlanjut lagi, tetapi letaknya lebih ke bawah dibandingkan dengan letak garis yang memanjang di atas sirip dada. jumlah sisik pada gurat sisi 34 buah. Sirip punggung, sirip perut, dan sirip duburnya memiliki jari-jari lemah, tetapi keras dan tajam seperti duri. Sirip punggung dan sirip dada berwarna. hitam. Pinggir sirip punggung berwarna abu-abu atau hitam (Dao, 2011). Nila memiliki lima buah Sirip, yaitu sirip punggung (dorsal fin), sirip data (pectoral fin) sirip perut (venteral fin), sirip anal (anal fin),dan sirip ekor (caudal fin). Sirip punggungnya memanjang dari bagian atas tutup ingsang sampai bagian atas sirip ekor. Terdapat juga sepasang sirip dada dan sirip perut yang berukuran kecil dan sirip anus yang hanya satu buah berbentuk agak panjang. Sementara itu, jumlah sirip ekornya hanya satu buah dengan bentuk bulat (Dao, 2011). Gambar 2. Ikan Nila Klasifikasi ikan nila adalah sebagai berikut: Kelas : Osteichthyes Sub-kelas : Acanthoptherigii Ordo : Percomorphi Sub-ordo : Percoidea Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis Spesies : Oreochromis niloticus. Nila terlihat mulai memijah sejak umur 4 bulan atau panjang badan berkisar 9.5 cm. pembiakan terjadi setiap tahun tanpa adanya musim tertentu 19 dengan interval waktu kematangan telur sekitar 2 bulan. Induk betina matang kelamin dapat menghasilkan telur antara 250-1.100 butir. Nila tergolong sebagai Mouth Breeder atau pengeram dalam mulut. Telur-telur yang telah dibuahi akan menetas dalam jangka 35 hari di dalam mulut induk betina. Nila jantan mempunyai naluri membuat sarang berbentuk lubang di dasar perairan yang lunak sebelum mengajak pasangannya untuk memijah. Nila betina mengerami telur di dalam mulutnya dan senantiasa mengasuh anaknya yang masih lemah. Selama 1013 hari, larva di asup oleh induk betina. Jika induk melihat ada ancaman, maka anakan akan dihisap masuk oleh mulut betina, dan dikeluarkan lagi bila situasi telah aman. Begitu berulang hingga benih berumur kurang lebih 2 minggu (Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah, 2010). Kandungan ikan nila dalam 100 gram ikan dijelaskan pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan Gizi Ikan Nila dalam 100 gram Informasi Gizi Energi Lemak Lemak Jenuh Lemak tak Jenuh Ganda Lemak tak Jenuh Tunggal Kolesterol Protein Karbohidrat Serat Gula Sodium Kalium Sumber : Fatsecreet Indonesia, 2010 per 100 gram (g) 402 kj 96 kkal 1,7 g 0,571 g 0,387 g 0,486 g 50 mg 20,08 g 0g 0g 0g 52 mg 302 mg 20 2.4. Bahan Penunjang Mi basah sagu ikan nila merupakan mi yang dibuat dari tepung sagu yang dicampur dengan daging ikan dan bahan lainnya. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mi basah sagu ikan nila ialah : 2.4.1. Air Air berfungsi untuk melarutkan garam dan membentuk adonan. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH antara 6-9. Makin tinggi pH air maka mi yang dihasilkan tidak mudah patah karena absorpsi air meningkat, dengan meningkatnya pH. Air yang ditambahkan pada umumnya sekitar 28-38% dari campuran bahan yang digunakan (Astawan, 2006). Jumlah pemakaian air dalam pembuatan mi idealnya 28-38% dari berat tepung. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan daya serap tepung terhadap air, juga kandungan air yang ada dalam tepung (moisture). Pemakaian air harus diperhatikan, jika air yang digunakan lebih banyak maka adonan akan menjadi lembek dan lengket. Jika kurang akan sulit untuk diproses (sheeting/penipisan adonan) (Rustandy, 2011). 2.4.2. Garam Dapur (NaCl) Garam dapur dalam pembuatan mi berfungsi sebagai pemberi rasa, memperkuat tekstur mi, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mi serta untuk mengikat air. Selain itu garam dapur dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amylase sehingga mi tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Astawan, 2006). 21 Garam dapur merupakan bahan penyedap yang biasa digunakan dalam makanan. Selain itu garam merupakan suatu bahan pemadat (pengeras), apabila adonan tidak memakai garam, adonan tersebut akan menjadi agak basah. Garam memperbaiki butiran dan susunan pati menjadi lebih kuat serta secara tidak langsung membantu pembentukan warna (Rustandy, 2011). Bahan makanan diolah dengan memberikan garam NaCl atau gula pada konsentrasi tinggi dapat mencegah kerusakan bahan pangan. Pada konsentrasi NaCl sebesar 2-5% yang dikombinasikan pada suhu rendah, cukup untuk mencegah pertumbuhan mikroba psikofilik (Supardi dan Sukamto, 1999). 2.4.3. Carboxyl Methyl Celulose (CMC) Carboxyl Methyl Celulose merupakan hidrokoloid sintesis yang telah dimodifikasi membentuk komponen eter selulosa. CMC berfungsi untuk mengikat air dan memberikan kekentalan yang dapat memantapkan komponen lainnya serta mencegah senerisis. Selain itu CMC jug digunakan sebagai bahan pengisi karena kapasitas pengikatan airnya tinggi (Fardiaz, 1989). CMC memiliki kemampuan untuk membentuk larutan yang kental, gel dan film menyebabkannya menjadi turunan selulosa larut air yang paling banyak digunakan. CMC digunakan sebagai agen pengental pada sirup, makanan rendah kalori, detergen, dan krim (Glicksman, 1983). Carboxyl Methyl Celulose adalah turunan dari selulosa gum, dibuat dengan mereaksikan selulosa basa dengan Na-monokloroasetat, terdapat sebagai bubuk atau granula berwarna putih sampai krem. Bubuknya bersifat higroskopis, viskositas CMC dipengaruhi suhu dan pH. Pada pH 5,0 viskositas CMC menurun 22 dan pada pH 5-11 viskositas stabil, mudah terdispersi di dalam air sampai terbentuk larutan koloid (Panganplus, 2006).