tinjauan pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Sagu
Sagu (Meroxylon spp.) termasuk tumbuhan monokotil dari keluarga
palmae. Lima marga palma yang kandungan patinya banyak dimanfaatkan, yaitu
Metroxylon spp, Arenga sp, Corepha sp, Eugeissona sp, dan Kariota sp (Ruddle et
al., 1978 dalam Bintoro et al., 2010). Genus yang banyak dikenal adalah Metroxylon dan Arenga, karena kandungan patinya cukup tinggi (Menristek, 2000).
Tanaman sagu terdiri atas sagu berduri dan sagu tidak berduri. Sagu berduri terdiri atas sagu Tuni (M. Rumphii Mart), Sagu ihur (M. Sylvestre Mart),
Sagu Makanaru ( M. Longispinum Mart) dan sagu Duri Rotan (M. Microcanthum
Mart) serta satu jenis sagu tidak berduri yaitu sagu Molat (M. Sagu Rottb). Namun
demikian karena adanya persilangan, maka ditemukan jenis-jenis sagu peralihan
diantara kelima jenis sagu tersebut (Bintoro, 2008).
Bagian yang terpenting dari tanaman sagu adalah batang. Batang merupakan tempat untuk menyimpan cadangan makanan berupa karbohidrat, batang sagu
berbentuk silinder dengan kulit luar yang keras dan bagian dalam berupa empulur
yang mengandung serat-serat dan pati. Sagu memiliki daun sirip menyerupai daun
kelapa yang tumbuh pada tangkai daun. Bunga sagu majemuk dan keluar dari ujung batang sagu, berwarna merah kecoklat-coklatan seperti karat (Bintoro et al.,
2010).
Sagu merupakan tanaman tahunan, dengan sekali tanam sagu akan tetap
berproduksi secara berkelanjutan selama puluhan tahun (Bintoro, 2008). Struktur
batang sagu dari arah luar terdiri atas lapisan sisa pelepah daun, lapisan kulit luar,
yang tipis yang berwarna kemerah-merahan, lapisan kulit dalam yang keras dan
padat berwarna kehitam-hitaman, lapisan serat, serta lapisan empulur yang mengandung pati (Rumalatu, 1981).
Menurut Haryanto dan Pangloli (1992) kandungan pati dalam empulur
batang sagu berbeda-beda tergantung umur, jenis, dan lingkungan tumbuh. Penurunan pati dalam batang sagu biasanya ditandai dengan mulai terbentuknya
primordial bunga.
5
Syarat Tumbuh
Tanaman sagu dapat tumbuh dengan baik didaerah sekitar katulistiwa yaitu pada batas 100 LU dan 100 LS, curah hujan yang tinggi 200-400 mm per tahun
(Ngudiwaluyo dan Amos, 1996). Lingkungan yang baik untuk pertumbuhan sagu
adalah daerah yang berlumpur, akar napas tidak terendam, kaya mineral, kaya bahan organik, air tanah berwarna cokelat, dan bereaksi agak masam. Habitat tersebut cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme yang sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman sagu (Bintoro et al., 2010).
Sagu dapat tumbuh pada berbagai hidrologi dari yang terendam sepanjang
masa sampai ke lahan yang tidak terendam air (Bintoro, 2008). Menurut Haryanto
dan Pangloli (1992), sagu tumbuh didaerah rawa berair tawar, rawa yang bergambut, sepanjang aliran sungai, sekitar sumber-sumber air dan hutan-hutan rawa
yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi. Selanjutnya Djoefrie (1999) menambahkan di Papua dan Maluku, sagu tumbuh liar di rawa-rawa, dataran rendah dengan
daerah yang luas.
Suhu terendah bagi pertumbuhan sagu yaitu 150C. Pertumbuhan terbaik
terjadi pada suhu udara 250C dengan kelembaban nisbi 90% dan intensitas penyinaran matahari sekurang-kurangnya 900 J/cm-2/hari-1 (Bintoro et al., 2010). Selanjutnya Menristek (2000) menyatakan bahwa sagu dapat tumbuh di dataran rendah
sampai dengan ketinggian 700 m dpl. Ketinggian tempat yang optimal 400 m dpl.
Salah satu keungulan dari tanaman sagu yaitu dapat dibudidayakan pada
lahan gambut. Indonesia memiliki potensi lahan gambut yang luas atau sekitar 21
juta hektar serta menempati urutan ke-4 di dunia setelah Rusia, Kanada, dan
Amerika Serikat (Bintoro et al., 2010). Sagu dapat tumbuh pada suatu kawasan
yang tanaman lain tidak dapat tumbuh. Pati yang masih terdapat dibatang sagu
tidak akan rusak bila tanaman sagu terendam > 1 m selama beberapa hari sedangkan tanaman pangan lainnya seperti padi, jagung, umbi-umbian dan palawija hasilnya akan membusuk bila terendam > 1 m ( Bintoro, 2008).
Pembibitan
Pembibitan merupakan cara atau usaha yang dilakukan untuk mengecambahkan benih agar menjadi bibit yang bermutu dan berkualitas serta siap untuk di-
6
tanam (Lubis, 2008). Pembibitan bertujuan untuk menghasilkan bibit berkualitas
tinggi yang harus tersedia pada saat penyiapan lahan tanaman telah selesai
(Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).
Syarat untuk pembibitan sagu cara generatif yaitu biji yang digunakan sudah tua, tidak cacat fisik, besarnya rata-rata dan bertunas. Syarat untuk pembibitan
sagu cara vegetatif yaitu berasal dari tunas atau anakan yang umurnya kurang dari
1 tahun, dengan diameter 10-13 cm dan bobot 2-3 kg. Tinggi anakan ±1 meter dan
punya pucuk daun 3-4 lembar (Menristek, 2000).
Teknik pembibitan secara vegetatif dianggap lebih baik dengan menggunakan anakan yang berasal dari tunas pangkal batang, karena anakan tersebut mudah diperoleh, daya tumbuh tinggi, pertumbuhannya cepat dan waktu panen tidak
terlalu lama (antara 7-10 tahun). Bibit sagu (Metroxylon sagu Rottb.) yang digunakan dalam pembibitan secara vegetatif diambil dari anakan sagu yang berasal
dari pohon induk sagu yang produksi patinya tinggi (Eva et al., 2002). Anakan
sagu yang baik untuk dijadikan bibit yaitu anakan yang diambil dari pohon induk
yang siap panen. Sebab selain anakan tersebut sudah cukup kuat untuk dipisahkan
dari pohon induk, juga tidak merusak pohon induk yang masih dapat berproduksi
(Eva et al., 2002). Menurut Maliangkay et al. (2003), cara generatif hasilnya masih rendah yaitu daya kecambah sekitar 7%, sedangkan cara vegetatif daya kecambah telah mencapai sekitar 70% untuk Metroxylon dan 92% untuk sagu Baruk
(Arenga nicocorpha).
Anakan sagu dapat direndam secara langsung dalam kolam yang mengalir
airnya (sistem rakit) atau ditanam dalam polibag. Tingkat keberhasilan cara direndam atau dirakit jauh lebih berhasil (lebih dari 90%), dibandingkan cara pembibitan polibag (kurang dari 50%). Anakan sagu siap ditanam setelah akar barunya muncul (Papilaya, 2009)
Pembibitan terapung atau sistem rakit hanya dikerjakan ditempat-tempat
yang mendukung dan memungkinkan seperti ketersediaan air. Oleh karena alasan
tersebut pembibitan anakan sagu dalam kantong-kantong plastik (polibag) perlu
dikembangkan (Haryanto dan Pangloli, 1992).
7
Pupuk Fosfor
Pupuk adalah senyawa yang mengandung unsur hara yang akan diberikan
pada tanaman kemudian digunakan oleh tanaman untuk melakukan proses metabolisme sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang (Nurwardani, 2008).
Pemupukan merupakan salah satu upaya pemeliharaan tanaman dengan tujuan
memperbaiki kesuburan tanah melalui cara penambahan unsur hara, baik makro
maupun mikro yang berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman
(Wachjar dan Kadarisman, 2007). Pupuk dapat menjadi tambahan nutrisi untuk
meningkatkan daya hidup bagi tanaman sagu terutama saat di pembibitan atau
dipersemaian (Bintoro et al., 2010).
Tanah dengan tingkat kemasaman yang tinggi memiliki sedikit ketersedian
unsur P, disebabkan kelarutan Al, Fe dan Mn yang tinggi. Keasaman tanah berimplikasi terhadap keracunan akar dan pada akhirnya tanaman sagu akan mengalami
defisiensi hara. Salah satu usaha untuk mengatasi ketersediaan hara bagi tanaman
adalah dengan memberikan tambahan unsur hara yang diperlukan sesuai dengan
yang dibutuhkan.
Fosfor sebagai ortho-fosfat memegang peranan yang sangat penting dalam
kebanyakan reaksi enzim yang tergantung kepada fosforilase. Hal tersebut karena
fosfor merupakan bagian dari inti sel yang sangat penting dalam pembelahan sel
dan untuk perkembangan jaringan meristem, dengan demikian fosfor dapat merangsang pertumbuhan akar tanaman muda, mempercepat pembungaan dan pemasakan buah serta biji, selain itu juga sebagai penyusun lemak dan protein (Sarief,
1985).
Fosfor merupakan bagian integral tanaman yang berperan terutama dalam
penyimpanan (storage) dan pemindahan (transfer) energi. Fosfor terlibat dalam
penangkapan energi sinar matahari yang menghantam sebuah molekul klorofil.
Begitu energi tersebut sudah tersimpan dalam ADP (adenosine diphosphate) atau
ATP (adenosis triphosphate), unsur tersebut dapat dipakai untuk menjalankan reaksi-reaksi yang memerlukan energi, seperti pembentukan sukrosa, pati dan protein (Salisbury and Ross, 1992).
8
Unsur P merupakan hara yang penting terutama pada pertumbuhan awal
tanaman untuk perkembangan bagian reproduksinya. Hara P yang cukup berhubungan dengan meningkatnya pertumbuhan akar tanaman (Havin et al., 1999).
Pada dosis rendah atau tanpa diberi fosfat alam, ketersedian fosfat di dalam tanah
tidak mencukupi untuk tanaman sehingga penambahan fosfat alam berperan dalam meningkatkan kelarutan fosfat. Pemberian fosfat alam dengan dosis 30, 60,
dan 90 kg P/ha berturut-turut meningkatkan P tersedia tanah 247%, 356%, 592%
dibandingkan tanpa fosfat alam (Noor, 2003).
Pada tanah-tanah masam terutama Oksisol dan Ultisol, P difiksasi oleh Fe
dan Al bebas atau oksihidroksida. Pada tanah alkalin (Vertisol) P difiksasi oleh
ion Ca atau Mg menjadi senyawa yang kurang larut sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman (Nursyamsi dan Suprihati, 2005). Untuk mencapai pertumbuhan
tanaman maksimal dibutuhkan P dalam larutan tanah berkisar 0.2 sampai 0.3
mg/L. Kandungan P tanaman terbaik berkisar antara 0.3 sampai 0.5 persen dari
total bobot bahan kering. Pemberian P meningkatkan pH tanah secara nyata dibandingkan tanpa perlakuan P. Pupuk P dapat meningkatkan ketersedian unsur
hara terutama K (Silahooy, 2008).
Fosfor berperan dalam pembentukan asam nukleat, transfer energi, dan stimulasi aktivitas ensim-ensim. Oleh sebab itu suplai P yang cukup dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Fosfor bersifat mobil dalam tanaman,
sehingga kekurangan fosfor pada daun-daun muda akan diimbangi oleh transfer
fosfor dari daun tua (Mitrosuhardjo, 2002).
Fosfat dalam tanah sukar larut sehingga sebagian besar tidak tersedia bagi
tanaman. Tersedianya fosfat dalam tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Pada
pH rendah, ion fosfat membentuk senyawa yang tidak larut dengan besi dan alumunium, sedangkan pada pH tinggi terikat sebagai senyawa kalsium, pH optimum
untuk fosfat disekitar 6.5. Pupuk fosfat yang diberikan ke dalam tanah tidak seluruhnya tersedia bagi tanaman. karena terjadi pengikatan fosfat oleh partikel tanah.
Agar tanaman memperoleh fosfat dari larutan tanah sesuai dengan kebutuhannya,
maka disarankan pemberian pupuk fosfat melebihi daya fiksasi tanah (Sarief,
1985).
9
Tanaman yang kahat hara P, selain akan mengganggu proses metabolisme
dalam tanaman juga sangat menghambat serapan hara-hara yang lain. Pemupukan
100 kg SP36/ha meningkatkan serapan hara P dan hasil umbi secara nyata dibanding dengan yang tanpa pupuk P. Tinggi rendahnya serapan hara P oleh tanaman
akan berpengaruh terhadap serapan hara-hara yang lain termasuk serapan hara K
(Ispandi, 2003).
Penyediaan fosfor yang tidak memadai akan menyebabkan laju respirasi
menurun, yang berdampak pada fotosintesis (Indranada, 1989). Terganggunya
proses fotosintesis menyebabkan tidak terbentuknya fotosintat sebagai energi untuk pertumbuhan, sehingga pertumbuhan tanaman terhambat bahkan kerdil. Hara
P dalam tanaman sangat diperlukan untuk pembentukan ATP, dan energi dari
ATP sangat diperlukan dalam serapan hara-hara yang lain seperti K dan Cu karena serapan hara-hara tersebut berlangsung melalui proses difusi yang memerlukan banyak energi ATP (Salisbury and Ross, 1992).
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan fosfor dalam tanah yaitu
1) pH tanah, 2) Fe, Al, Mn yang larut, 3) adanya mineral yang mengandung Fe,
Al, dan Mn, 4) tersedianya Ca, 5) jumlah dan tingkat dekomposisi bahan organik,
6) kegiatan mikroorganisme tanah (Barchia, 2009)
Beberapa penelitian mengenai pemupukan P dari penelitian yang sudah
ada kebanyakan tidak berpengaruh nyata. Terdapat dugaan yang dikemukakan oleh Wachjar et al. (2001) bahwa pupuk P pada berbagai dosis tidak berbeda nyata
dikarenakan adanya keterbatasan gerakan ion fosfat dalam tanah dan gerakan P di
titik penempatan pupuk umumya terbatas terkait sedikitnya gerakan ion fosfat dalam tanah. Selain itu yang menjadi kendala dalam pemupukan P adalah rendahnya
daya larut P dalam tanah.
Pengelolan pupuk P perlu didasari pada dua konsep penting dari pemupukan P. Pertama, apabila tanah kekurangan (defisiensi) P, jumlah fosfor yang diperlukan untuk mengatasi nutrisi P beberpa kali jauh lebih besar dari pada fosfor
yang diserap oleh tanaman. Kedua pemberian pupuk P memberikan efek sampingan (residual) yang ekonomis selama tiga tahun atau lebih setelah pemupukan berat
tersebut. Diagnosis atau pendugaan kebutuhan fosfor dapat dilakukan secara tepat
dengan analisis jaringan tanaman atau tanah (Indranada, 1989).
10
Saat defisiensi P diketahui berarti keterlambatan dalam mengatasi masalah
pemupukan fosfor. Pemupukan dapat diberikan, tetapi produksi pasti akan menurun pada musim tumbuh yang bersangkutan. Karena sifatnya yang immobil maka
metode pemberian pupuk P harus mengikutkan proses pembenaman agar segera
tersedia atau sedekat mungkin untuk diserap oleh tanaman (Indranada, 1989).
Download