Tuhan Para Filosof terlalu mudah dipahami, mereka juga

advertisement
Tuhan Para Filosof
terlalu mudah dipahami, mereka juga mencurigai bahwa bahasa Latin
tak mampu mengungkapkan gagasan Trinitas ini secara cukup akurat.
Klausa filioque terlalu menekankan ketunggalan ketiga oknum dan,
menurut orang Yunani, alih-alih menunjukkan kemisteriusan esensial
Tuhan, sisipan itu membuat Trinitas menjadi terlalu rasional. Klausa
itu menjadikan Tuhan bersatu dengan ketiga aspek atau modus keberadaan. Sebenarnya, tak ada bid'ah apa pun dalam keyakinan Latin
itu, sekalipun tidak selaras dengan spiritualitas apofatik Yunani. Konflik
ini bisa dihilangkan seandainya ada keinginan untuk berdamai, tetapi
ketegangan antara Timur dan Barat meningkat cepat selama Perang
Salib, terutama ketika Pasukan Salib keempat mencaplok Konstantinopel ibu kota Byzantium pada tahun 1204 dan memorakporandakan
kekaisaran Yunani secara fatal.
Keretakan akibat filioque ini menyingkapkan bahwa orang Yunani
dan Latin memiliki konsepsi ketuhanan yang sangat berbeda. Trinitas
tak pernah menjadi tema sentral dalam spiritualitas Barat sebagaimana
halnya di kalangan orang Yunani. Orang Yunani merasa bahwa dengan
menekankan keesaan Tuhan melalui cara ini, Barat telah menyamakan
Tuhan dengan "esensi sederhana" yang bisa didefinisikan dan didiskusikan, seperti Tuhan para filosof. 27 Pada bab-bab selanjutnya akan
kita saksikan bahwa Kristen Barat sering kesulitan menghadapi doktrin
Trinitas dan bahwa, selama Zaman Pencerahan abad kedelapan belas,
banyak di antara mereka yang mencampakkannya begitu saja. Secara
sadar, banyak orang Barat yang tidak menganut Trinitarian. Mereka
mengeluh bahwa doktrin Tiga Oknum dalam Satu Tuhan sungguh
tidak bisa dipahami, tanpa menyadari bahwa bagi orang Yunani itu
justru merupakan inti ajaran terpenting.
Setelah perpecahan itu, orang Yunani dan Latin menempuh jalan
terpisah. Dalam Ortodoksi Yunani, theologia, studi tentang Tuhan,
tetap tak berubah, terbatas pada kontemplasi tentang Tuhan dalam
doktrin-doktrin mistikal Trinitas dan Inkarnasi. Mereka berpendapat
ibahwa "teologi pengampunan" atau "teologi keluarga" mengandung
kontradiksi dalam terma. Mereka sama sekali tidak tertarik pada
diskusi-diskusi teoretis dan definisi isu-isu sekunder. Barat justru
semakin menaruh perhatian pada persoalan ini dan membentuk suatu
pandangan standar yang mengikat bagi setiap orang. Reformasi, misalnya, telah membagi dunia Kristen menjadi kubu-kubu yang saling
bersitegang karena orang Katolik dan Protestan tidak bisa bersepakat
tentang bagaimana penyelamatan terjadi dan apa persisnya makna
271
Sejarah Tuhan
Ekaristi. Kristen Barat terus menantang Yunani untuk mengeluarkan
pendapat mereka tentang isu-isu sensitif ini. Akan tetapi, orang Yunani
selalu ketinggalan dan, andaikata mereka menjawab, jawaban mereka
sering terdengar agak membingungkan. Mereka tidak percaya kepada
rasionalisme, menganggapnya sebagai sarana yang tidak memadai
untuk berdiskusi tentang Tuhan yang berada di luar konsep maupun
logika. Metafisika dapat diterima dalam studi-studi sekular, tetapi
orang Yunani semakin merasa bahwa hal itu dapat membahayakan
keimanan. Metafisika menarik bagi pikiran yang riuh rendah, yang
sibuk berbicara, padahal theoria mereka bukan merupakan opini
intelektual melainkan sikap diam yang berdisiplin di hadapan Tuhan
yang hanya bisa diketahui melalui pengalaman religius dan mistik.
Pada tahun 1082, filosof dan humanis John Italos diadili sebagai
pembid'ah karena terlalu banyak menggunakan filsafat dan konsepsi
Neoplatonis tentang penciptaan. Penolakan filsafat ini terjadi tidak
lama sebelum Al-Ghazali melakukan hal yang sama di Bagdad dan
meninggalkan kalam untuk menjadi seorang Sufi.
Oleh karena itu, sungguh ironis bahwa orang Kristen Barat justru
masuk ke dunia filsafat persis pada saat orang Yunani dan Muslim
mulai meninggalkannya. Plato dan Aristoteles tidak pernah dibicarakan
di dunia Latin selama Zaman Kegelapan sehingga tak pelak Barat
telah ketinggalan. Pertemuan dengan filsafat telah begitu merangsang
dan membangkitkan semangat. Teolog abad kesebelas, Anselm dari
Canterbury, yang pandangan-pandangannya tentang Inkarnasi telah
dibahas pada Bab 4, kelihatannya berpendapat bahwa segala sesuatu
dapat dibuktikan. Tuhannya bukan Tiada melainkan wujud tertinggi
dari segalanya. Bahkan seorang yang tidak beriman bisa membentuk
ide tentang wujud yang mahatinggi itu, yang merupakan "satu watak,
tertinggi di antara segala sesuatu, mahatunggal dan berkecukupan
dalam kedamaian abadi." 28 Sungguhpun demikian, dia juga mengajarkan bahwa Tuhan hanya mungkin dikenal melalui iman. Ini tidaklah
separadoks kelihatannya. Dalam doanya yang terkenal, Anselm
merefleksikan sabda Yesaya: "Jika engkau tak beriman, engkau
takkan mengerti":
Aku ingin memahami kebenaranmu yang diyakini dan dicintai oleh
hatiku. Karena aku mencari pemahaman bukan agar aku beriman
melainkan aku beriman agar aku memahami (credo ut intellegam).
Karena aku bahkan percaya kepada ini: aku takkan mengerti kecuali
kalau aku beriman.29
272
Credo ut intellegam yang sering dikutip ini bukanlah merupakan
penolakan akal. Anselm tidak mengklaim menganut kredo itu
secara
Tuhan Para Filosof
membabi buta dengan harapan bahwa pernyataan semacam itu kelak
akan menjadi bermakna. Penegasannya sebenarnya harus diterjemahkan sebagai: "Aku berserah diri agar aku bisa mengerti." Pada
saat
itu, kata credo belum memiliki bias intelektual dari kata "kepercayaan"
seperti sekarang tetapi berarti sikap amanah dan setia. Penting
untuk
dicatat bahwa bahkan dalam gelombang pertama rasionalisme Barat,
pengalaman keagamaan tentang Tuhan tetap lebih utama, mendahului
penjelasan atau pemahaman logis.
Meskipun demikian, seperti halnya para faylasuf Muslim
dan
Yahudi, Anselm percaya bahwa eksistensi Tuhan dapat dipertahankan
secara rasional, dan dia mengemukakan dalil-dalilnya sendiri, yang
bisa disebut sebagai argumen "ontologis". Anselm mendefinisikan
Tuhan sebagai "sesuatu yang tak terpikirkan ada hal lain
yang
melebihi keagungannya" (aliquid quo nihil maius cogitari possif).30
Karena menyiratkan bahwa Tuhan bisa menjadi objek pikiran, definisi
ini berimplikasi bahwa Tuhan bisa dikonsepsikan dan dipahami
oleh
pikiran manusia. Anselm berpendapat bahwa Sesuatu ini pasti ada.
Karena bereksistensi lebih "sempurna" atau lengkap daripada noneksistensi, wujud sempurna yang kita bayangkan ini haruslah
bereksistensi, kalau tidak dia akan menjadi tidak sempurna. Dalil
yang disodorkan Anselm dapat dikatakan cerdas dan efektif di
dunia
yang didominasi oleh pemikiran Platonis, yang meyakini bahwa
ideide merujuk kepada arketipe abadi. Namun, dalil itu kelihatannya
tidak dapat meyakinkan seorang skeptik zaman sekarang. Seperti
yang ditegaskan oleh teolog Inggris John Macquarrie, Anda bisa
saja
membayangkan memiliki uang 100 dolar, tetapi sayangnya bayangan
itu tidak akan membuat uang tersebut menjadi sebuah realitas di
dalam saku Anda.31
Oleh karena itu, Tuhan Anselm adalah Wujud, bukan Tiada yang
telah digambarkan oleh Denys dan Erigena. Anselm bermaksud untuk
bicara tentang Tuhan dalam terma yang jauh lebih' positif
dibanding
para faylasuf terdahulu. Dia tidak mengusulkan cara Via
Negativa,
tetapi cenderung berpikir tentang kemungkinan untuk tiba pada
selalu dikedepankan oleh orang Yunani meski bertentangan dengan
akal dan konseptualisasi. Dalam risalahnya, Why God Became Man
yang telah disinggung pada Sejarah
Bab Tuhan
4, Anselm lebih banyak
bersandar
pada logika dan pemikiran rasional daripada wahyu—kutipan dari
Alkitab dan ujaran para Bapa tampak insidental saja dalam pemaparan
argumennya, yang, seperti telah kita saksikan, secara esensial menisbahkan motivasi manusia kepada Tuhan. Anselm bukanlah satu-satunya orang Kristen Barat yang mencoba menguraikan misteri Tuhan
dalam terma rasional. Tokoh sezaman dengannya, Peter Abelard
(1079-1147), filosof karismatik dari Paris, juga telah mengembangkan
penafsiran tentang Trinitas yang menekankan keesaan ilahi dengan
agak mengurbankan perbedaan antara Tiga Oknum itu. Dia juga
mengembangkan penjelasan yang canggih dan dinamis tentang misteri
penebusan dosa: Kristus telah disalib demi menggugah rasa kasih
sayang kita dan dengan melakukan itu dia menjadi Juru Selamat
kita.
Abelard pada dasarnya seorang filosof dengan corak
teologi
yang agak konvensional. Dia menjadi pelopor kebangkitan intelektual
di Eropa selama abad kedua belas dan mempunyai banyak
pengikut.
Ini membuatnya berkonflik dengan Bernard, pemimpin Biara
Cistercian Clairvaux di Burgundi, yang dapat dikatakan merupakan
tokoh paling berpengaruh di Eropa. Paus Eugene II dan Raja
Louis
VII dari Prancis ada di dalam saku Bernard. Kemahirannya beretorika
telah mengilhami revolusi monastik di Eropa: sekelompok besar
anak muda meninggalkan rumah-rumah mereka untuk bergabung
dengannya di dalam ordo Cisterian yang berupaya mereformasi kehidupan religius Benediktin. Ketika Bernard menyerukan Perang
Salib
II pada tahun 1146, rakyat Prancis dan Jerman—yang sebelumnya
agak apatis terhadap ekspedisi itu—nyaris mencabik-cabiknya lantaran
antusiasme mereka, ramai-ramai datang untuk bergabung dengan
tentara dalam jumlah begitu besar sehingga, menurut laporan yang
ditulis Bernard dengan bangga kepada Paus, desa-desa menjadi
kosong akibat ditinggalkan penghuninya. Bernard seorang yang
cerdas, yang telah memberi dimensi batiniah baru bagi kesalehan
Eropa Barat yang agak bersifat lahiriah. Ajaran Cistercian
tampaknya
telah mempengaruhi legenda Holy Grail, yang menggambarkan
perjalanan spiritual ke sebuah kota simbolik yang tidak berada di
dunia ini tetapi mewakili visi tentang Tuhan.
Bernard sama sekali tidak percaya pada intelektualisme para
membungkamnya. Dia menuduh Abelard "berupaya menodai iman
Kristen karena mengatakan bahwa akal manusia bisa memahami
semua aspek Tuhan."32 Dengan
pada himne St.
Tuhan Para merujuk
Filosof
Paulus,
Bernard mengklaim bahwa filosof itu tidak memiliki cinta Kristen:
"Dia melihat ketiadaan sebagai sebuah teka-teki, ketiadaan seperti
dalam sebuah cermin, tetapi melihat segala sesuatu secara berhadaphadapan." 33 Oleh karena itu, cinta dan penggunaan akal menjadi
dua
hal yang bertentangan. Pada tahun 1141, Bernard memanggil Abelard
ke hadapan Majelis Sens, yang telah dipenuhinya dengan pendukungpendukungnya sendiri. Beberapa di antara anggota majelis itu berdiri
di luar untuk mengintimidasi Abelard ketika dia datang. Tak
terlalu
sulit baginya untuk melakukan ini karena, pada saat itu, Abelard
kemungkinan besar telah terkena penyakit Parkinson. Bernard menyerangnya dengan kefasihan luar biasa yang membuat Abelard jatuh
pingsan dan meninggal dunia tahun berikutnya.
Ini adalah saat-saat simbolik yang menandai perpecahan antara
akal dan hati. Dalam Trinitarianisme Agustinus, hati dan akal
tidak
terpisahkan. Para faylasuf Muslim, seperti Ibn Sina dan Al-Ghazali
telah tiba pada kesimpulan bahwa akal semata tidak akan mampu
menemukan Tuhan, tetapi mereka akhirnya menggagas sebuah filsafat
yang diilhami oleh cinta dan mistisisme. Kita akan menyaksikan
bahwa selama abad kedua belas dan ketiga belas, para
pemikir
besar Dunia Islam berupaya untuk menggabungkan akal dan hati
serta memandang filsafat sebagai tak terpisahkan dari spiritualitas
cinta dan imajinasi yang diketengahkan oleh kaum Sufi. Akan
tetapi,
Bernard kelihatannya menaruh kecurigaan terhadap akal dan bermaksud untuk terus memisahkannya dari bagian pikiran yang
lebih
emosional dan intuitif. Ini berbahaya, karena bisa membawa pada
pemilahan tak sehat yang sama parahnya dengan rasionalisme
yang
kering. Perang Salib yang dikumandangkan Bernard merupakan bencana, sebagian karena penyandarannya pada idealisme yang tak
didukung akal sehat dan secara nyata bertentangan dengan etos
kasih
Kristen. 34 Perlakuan Bernard terhadap Abelard pun jelas-jelas hampa
dari sikap kasih sayang, tetapi dia mendorong Pasukan Salib
untuk
membuktikan kecintaan mereka kepada Kristus dengan cara mem-
Sejarah Tuhan
dapat membawa pada sikap berlebihan yang berakibat lebih jelek
lagi terhadap agama. Yang dibutuhkan justru subjektivitas yang
berdasar dan cerdas, bukan emosionalisme "cinta" yang mengekang
akal dengan ketat dan menghapuskan kasih sayang yang semestinya
menjadi ciri agama Tuhan.
Beberapa pemikir lain telah memberi konstribusi yang lestari
bagi Kristen Barat, seperti Thomas Aquinas (1225-74) yang mengupayakan sintesis filsafat Yunani dan Agustinus. Selama abad kedua
belas, para sarjana Eropa berbondong-bondong ke Spanyol untuk
mempelajari khazanah ilmu kaum Muslim. Dengan bantuan kaum
intelektual Muslim dan Yahudi, mereka melakukan proyek penerjemahan besar-besaran untuk memboyong kekayaan intelektual ini ke
Barat. Terjemahan berbahasa Arab atas filsafat Plato, Aristoteles, dan
filosof-filosof kuno lainnya kini diterjemahkan lagi ke dalam bahasa
Latin dan untuk pertama kalinya tersedia bagi masyarakat Eropa
Utara. Para penerjemah itu juga menggarap karya terbaru sarjana
Muslim, termasuk karya Ibn Rusyd serta penemuan para ilmuwan
dan ahli kedokteran Arab. Pada saat yang sama ketika sebagian
orang Kristen Eropa berjuang menghancurkan Islam di Timur Dekat,
kaum Muslim Spanyol sedang membantu Barat membangun peradaban mereka sendiri. Summa Theologiae dari Thomas Aquinas merupakan upaya untuk mengintegrasikan filsafat baru itu dengan tradisi
Kristen Barat. Aquinas secara khusus terkesan pada penjelasan Ibn
Rusyd atas Aristoteles. Akan tetapi, berbeda dengan Anselm dan
Abelard, dia tidak percaya bahwa misteri semacam Trinitas dapat
dibuktikan oleh akal dan membedakan secara cermat antara realitas
Tuhan yang tak terucapkan dengan doktrin-doktrin manusia mengenainya. Dia sependapat dengan Denys bahwa hakikat sejati Tuhan
tidak bisa dijangkau oleh pikiran manusia: "Dengan demikian, batas
akhir dari semua yang dapat diketahui oleh manusia tentang Tuhan
adalah mengetahui bahwa dia tidak mengetahui Tuhan, karena manusia tahu bahwa Tuhan mengungguli semua hal yang dapat dipahami
mengenainya." 35 Ada sebuah kisah yang menceritakan bahwa ketika
selesai mendiktekan kalimat terakhir dari Summa, Aquinas dengan
sedih menelungkupkan kepala di atas lengannya. Ketika juru tulis
bertanya apa yang terjadi, Aquinas menjawab bahwa segala yang telah
ditulisnya tampak tak berharga dibanding apa yang telah dilihatnya.
Upaya Aquinas untuk meletakkan pengalaman religiusnya dalam
konteks filsafat baru adalah penting untuk mendialogkan keimanan
276
Download