Trinitas: Tuhan Kristen oleh dogma ini pada abad kedelapan dan

advertisement
Trinitas: Tuhan Kristen
oleh dogma ini pada abad kedelapan dan mencoba untuk
mencampakkannya, mereka berupaya agar Tuhan dapat dipahami secara
rasional bagi Zaman Akal. Ini adalah salah satu faktor pemicu timbulnya teologi Kematian Tuhan pada abad kesembilan belas dan
kedua
puluh, seperti yang akan kita saksikan nanti. Salah satu alasan
mengapa Kapadokian mengembangkan paradigma imajinatif ini
adalah untuk mencegah agar Tuhan tidak dikonsepsikan lewat cara
yang sama rasionalnya dengan filsafat Yunani, sebagaimana dipahami
oleh pembid'ah semacam Arius. Teologi Arius itu agak
terlalu
gamblang dan logis. Trinitas mengingatkan orang-orang Kristen bahwa
realitas yang kita sebut "Tuhan" tak dapat dipahami oleh akal manusia.
Doktrin Inkarnasi, seperti diekspresikan di Nicaea, memang penting,
namun dapat mengarah kepada keberhalaan yang simplistik. Orang
mungkin mulai berpikir tentang Tuhan lewat cara yang terlalu
manusiawi: bahkan mungkin pula membayangkan "dia" berpikir,
berperilaku, dan berencana seperti kita. Dari sana, hanya tersisa
sebuah langkah kecil menuju ke arah penisbahan semua
bentuk
pendapat yang penuh prasangka kepada Tuhan dan kemudian memutlakkannya. Trinitas merupakan upaya untuk mengoreksi kecenderungan ini. Alih-alih memandangnya sebagai pemyataan faktual
tentang Tuhan, Trinitas mungkin harus dilihat sebagai sebuah puisi
atau tarian teologis antara apa yang dipercayai dan diterima oleh
manusia fana tentang "Tuhan" dengan kesadaran bahwa setiap pernyataan atau kerygma pasti bersifat sementara.
Perbedaan penggunaan kata "teori" di Yunani dan Barat dapat
menjelaskan sesuatu. Bagi Kristen Timur, theoria selalu mengandung
arti kontemplasi. Di Barat, "theory' diartikan sebagai hipotesis rasional
yang harus dibuktikan secara logis. Mengembangkan sebuah "teori"
tentang Tuhan menyiratkan arti bahwa "dia" bisa dimuat di
dalam
sistem pemikiran manusia. Hanya ada tiga teolog Latin di
Nicaea.
Kebanyakan orang Kristen Barat belum mencapai tingkatan diskusi
semacam ini dan, karena mereka tidak memahami beberapa terminologi Yunani, banyak yang merasa tidak puas dengan doktrin Trinitas.
Mungkin istilah itu tidak dapat sepenuhnya diterjemahkan ke
dalam
169
idiom lain. Setiap budaya memang mesti menciptakan gagasannya
sendiri tentang Tuhan. Jika Barat merasa asing dengan interpretasi
Yunani tentang Trinitas, mereka harus menciptakan versi mereka
sendiri.
Sejarah Tuhan
Teolog Latin yang mendefinisikan Trinitas bagi Gereja Latin adalah
Agustinus. Dia juga merupakan seorang Platonis yang fanatik, setia
kepada pandangan Plotinus dan, karena itu, cenderung lebih simpatik
kepada doktrin Yunani daripada kepada beberapa kolega Baratnya.
Seperti yang dijelaskannya, kesalahpahaman sering diakibatkan oleh
terminologi semata:
Demi menjelaskan hal-hal tak terucapkan sehingga kita mampu dengan
cara tertentu mengungkapkan apa yang tidak bisa kita ungkapkan
sepenuhnya dengan cara lain, kawan-kawan Yunani kita telah berbicara
tentang satu esensi dan tiga substansi, tetapi kawan-kawan Latin bicara
tentang satu esensi atau substansi dan tiga oknum (personae).27
Ketika orang Yunani mendekati Tuhan dengan cara mempertimbangkan ketiga hypostases, dan menolak untuk menganalisis
esensinya yang satu, maka Agustinus dan orang-orang Kristen Barat
sesudahnya justru memulai dengan keesaan ilahi dan kemudian
berlanjut dengan mendiskusikan tiga manifestasinya. Orang Kristen
Yunani menghormati Agustinus, memandangnya sebagai salah satu
Patriark Gereja terkemuka, tetapi mereka tidak mempercayai teologi
Trinitariannya, yang mereka rasa telah menjadikan Tuhan terlalu
rasional dan antropomorfis. Pendekatan Agustinus tidaklah bersifat
metafisik, seperti halnya orang-orang Yunani, tetapi psikologis dan
bahkan sangat personal.
Agustinus bisa disebut sebagai pendiri spiritualitas Barat. Tak
ada teolog lain, kecuali Paulus, yang lebih berpengaruh di Barat.
Kita mengenalnya dengan lebih baik dibanding pemikir lain di akhir
abad klasik, sebagian besar karena bukunya Confessions, sebuah
paparan yang fasih dan hangat tentang usahanya menemukan Tuhan.
Sejak awal, Agustinus telah mencari sebuah agama yang bercorak
teistik. Dia memandang Tuhan sangat esensial bagi kemanusiaan:
"Engkau telah menciptakan kami untuk dirimu sendiri," demikian
dia berkata tentang Tuhan pada pembukaan Confessions, "dan jiwajiwa kami gelisah hingga bertemu denganmu!" 28 Ketika mengajar
retorika di Kartage, dia pindah menganut Manicheisme, sebuah bentuk
Gnostisisme Mesopotamia, tetapi akhirnya dia meninggalkan paham
itu karena teori kosmologinya yang tak memuaskan. Dia merasa
doktrin Inkarnasi merupakan penyimpangan, pelecehan ide tentang
Tuhan, tetapi ketika berada di Italia, Uskup Ambrose dari Milan
170
Trinitas: Tuhan Kristen
mampu meyakinkan dirinya bahwa Kristen bukannya tidak sejalan
dengan Plato atau Plotinus. Meskipun demikian, Agustinus masih
berkeberatan untuk mengambil langkah akhir dan menerima baptisme.
Dia merasakan bahwa baginya Kristen mengakibatkan wajibnya
kehidupan membujang dan dia enggan menempuh jalan seperti itu:
"Tuhan, berilah aku kesucian," demikian dia pernah berdoa, "tetapi
jangan dulu."29
Konversinya yang terakhir merupakan sebuah peristiwa Sturm
und Drang, penuh gejolak, ketercerabutan keras dari masa lalunya
dan kelahiran kembali yang menyakitkan, seperti yang mencirikan
pengalaman keagamaan Barat. Suatu hari, ketika tengah duduk
bersama sahabatnya Alypius di kebun mereka di Milan, sebuah
pertarungan berkecamuk di dalam pikiran:
Dari kedalaman introspeksi diri yang gelap telah bangkit tumpukan
seluruh nestapaku dan menempatkannya "dalam penglihatan hatiku".
la membangkitkan badai besar yang membawa banjir air mata. Untuk
menumpahkan semuanya diiringi desah kesedihan, aku bangkit dari
sisi Alypius (menyendiri tampak lebih pantas untuk meneteskan air
mata) ... lalu kusandarkan diri di bawah pohon ara dan membiarkan
air mataku mengalir bebas. Sungai-sungai seakan menderas dari kedua
mataku, sebuah pengurbanan yang mungkin dapat engkau terima,
dan—meskipun bukan dalam kata-kata ini, tetapi setidaknya dalam
pengertian ini—aku berulang-ulang berkata kepadamu, "Berapa lama,
Tuhan, berapa lama lagi Engkau akan begitu murka?" (Mazmur 6:4). 30
Tuhan tidak selalu datang dengan mudah kepada orang Barat.
Konversi Agustinus tampak seperti sebuah reaksi psikologis, yang
setelahnya si mualaf jatuh kelelahan di pangkuan Tuhan, semua
hasrat telah sampai. Ketika Agustinus bersimpuh menangis di tanah,
tiba-tiba dia mendengar suara anak kecil dari rumah terdekat menyenandungkan bait "Tolle, lege: Bangkit dan bacalah, bangkit dan
bacalah!" Menganggap ini sebagai sebuah nubuat, Agustinus berdiri
dan bergegas kembali ke sahabatnya Alypius yang terkaget dan
lama menanti, dan langsung mengambil Kitab Perjanjian Barunya.
Dia membukanya pada sabda Paulus kepada orang Romawi: "Jangan
dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan
hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati, tetapi kenakanlah
Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata perang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya." Pertarungan
171
Sejarah Tuhan
panjang itu telah usai: "Aku tak mengharap maupun perlu membaca
lebih lanjut," kenang Agustinus. "Segera, setelah kata-kata terakhir
dari kalimat ini, seolah-olah cahaya pembasuh seluruh kecemasan
membanjiri hatiku. Semua bayang-bayang keraguan menjadi sirna."31
Tuhan bisa juga menjadi sumber kebahagiaan: tetapi, tak lama
berselang sejak konversinya, suatu malam Agustinus mengalami
ekstasi bersama ibunya, Monica, di Ostia di dekat Sungai Tiber. Kita
akan mendiskusikan ini secara lebih terperinci pada Bab 7. Sebagai
seorang Platonis, Agustinus menyadari bahwa Tuhan dapat ditemukan
di dalam pikiran, dan di dalam Buku X dari Confessions, dia mendiskusikan fakultas yang disebutnya Memoria, memori. Ini jauh lebih
kompleks daripada daya ingat dan lebih dekat kepada apa yang
oleh para psikolog disebut alam bawah sadar. Bagi Agustinus, memori
mewakili keseluruhan pikiran, kesadaran, dan juga ketidaksadaran.
Kompleksitas dan keragamannya memenuhi dirinya dengan kekaguman. Ini adalah "misteri yang mengilhami ketakjuban", dunia imaji
yang tak dapat dibayangkan, menghadirkan masa lalu dan tak terhitung
dataran, relung, dan gua. 32 Melalui dunia batin yang ramai inilah
Agustinus turun untuk menemukan Tuhannya, yang secara paradoks
berada di dalam dan di atas dirinya. Tak ada gunanya mencari bukti
tuhan di dunia luar. Dia hanya bisa ditemukan di dalam alam pikiran
yang real:
Terlambat aku mencintaimu, keindahan yang begitu lama namun begitu
baru; terlambat aku mencintaimu. Dan lihat, engkau ada di dalam, aku
berada di dunia luar dan mencarimu di sana, dan dalam keadaan tidak
mencintaimu aku tenggelam dalam ciptaan indah yang telah engkau
buat. Engkau bersamaku, dan aku tidak bersamamu. Segala yang indah
telah menjauhkan aku darimu, padahal jika mereka tidak memiliki
eksistensinya di dalam engkau, mereka takkan pernah ada sama sekali.33
Oleh karena itu, Tuhan bukanlah sebuah realitas objektif, melainkan suatu kehadiran spiritual di kedalaman batin yang kompleks.
Pandangan Agustinus ini tidak saja sama dengan Plato dan Plotinus,
tetapi juga dengan para penganut Buddha, Hindu, dan Shaman dalam
agama-agama nonteistik. Sungguhpun demikian, Tuhan dalam
pandangannya bukanlah Tuhan yang impersonal, tetapi Tuhan yang
sangat personal dari tradisi Yahudi-Kristen. Tuhan telah berkenan
memaklumi kelemahan manusia dan pergi mencarinya:
172
Trinitas: Tuhan Kristen
Engkau memanggil, berteriak keras, dan memecah kesunyianku.
Engkau bersinar dan gemerlap, kau sirnakan kebutaanku. Engkau
semerbak, kuhirup dalam napasku hingga memenuhi rongga dadaku.
Kucicipi engkau dan aku makin merasa lapar dan haus akan engkau.
Engkau sentuh aku, dan aku terbakar api untuk meraih kedamaian
yang adalah milikmu.34
Para teolog Yunani pada umumnya tidak membawa pengalaman
mereka sendiri ke dalam tulisan teologis mereka, namun teologi
Agustinus justru berangkat dari kisahnya sendiri yang sangat
individual.
Keterpesonaan Agustinus terhadap pikiran telah membawanya
untuk mengembangkan Trinitarianisme psikologisnya sendiri dalam
risalah De Trinitate, yang ditulisnya pada tahun-tahun pertama abad
kelima. Karena Tuhan telah menciptakan kita di dalam citranya sendiri,
maka kita harus mampu melihat trinitas di kedalaman pikiran kita.
Alih-alih mengawalinya dengan abstraksi metafisik dan pembedaan
verbal yang disenangi orang Yunani, Agustinus memulai eksplorasi
ini dengan pengalaman yang sebagian besar kita pernah dapatkan.
Ketika mendengar frasa-frasa, seperti "Tuhan adalah cahaya" atau
"Tuhan adalah kebenaran," kita secara instingtif merasakan gejolak
ketertarikan spiritual dan merasa bahwa "Tuhan" dapat memberi
makna dan nilai bagi kehidupan kita. Namun, setelah pencerahan
sekejap ini, kita kembali jatuh ke dalam bingkai pikiran kita yang
biasa, saat kita terobsesi tentang "hal-hal yang biasa dan membumi." 35
Cobalah semampu kita, kita tak bisa meraih kembali momen kerinduan
yang tak terucapkan itu. Proses pemikiran normal tak dapat membantu; sebaliknya, kita harus mendengar "apa yang dimaksud oleh
hati" dengan frasa-frasa semacam "Dia adalah kebenaran." 36 Akan
tetapi, mungkinkah mencintai realitas yang tidak kita kenal? Agustinus
menjawab dengan membuktikan bahwa karena di dalam pikiran kita
sendiri terdapat trinitas yang mencerminkan Tuhan, seperti citra
Platonis mana pun, kita rindu pada Arketipe kita—pola dasar yang
dengannya kita dibentuk.
Jika kita mengawali dengan mempertimbangkan pikiran yang
mencintai dirinya sendiri, kita tidak menemukan trinitas melainkan
dualitas, yakni cinta dan pikiran. Namun hanya jika pikiran itu
sadar
tentang dirinya sendiri, melalui apa yang kita sebut kesadaran diri,
ia baru bisa mencintai dirinya sendiri. Mendahului Descartes, Agustinus
173
Sejarah Tuhan
menyatakan bahwa pengetahuan tentang diri sendiri merupakan
pijakan dasar dari semua kepastian yang lain. Bahkan pengalaman
tentang keraguan pun membuat kita sadar akan diri sendiri.37
Di dalam jiwa ada tiga macam isi, yaitu: ingatan, pengertian, dan
kehendak yang bersesuaian dengan pengetahuan, pengenalan diri,
dan cinta. Seperti halnya tiga oknum ilahi, aktivitas-aktivitas
mental
ini secara esensial adalah satu karena mereka itu tidak
membentuk
tiga macam pikiran yang terpisah, tetapi masing-masing mengisi
keseluruhan pikiran dan mencakup dua yang lain: "Saya ingat bahwa
saya mempunyai ingatan, pengertian, dan kehendak; saya mengerti
bahwa saya mengerti, berkehendak, dan mengingat. Saya menghendaki kehendak, ingatan, dan pengertian saya sendiri." 38 Seperti
Trinitas Ilahi yang digambarkan oleh Kapadokian, ketiga unsur itu,
dengan demikian, "membentuk satu hidup, satu pikiran, satu esensi."39
Akan tetapi, pemahaman tentang cara kerja pikiran kita ini
baru
merupakan langkah pertama: trinitas yang kita temukan dalam diri
kita bukanlah Tuhan itu sendiri, melainkan jejak dari Tuhan yang
telah membuat kita. Baik Athanasius maupun Gregory dari Nyssa
telah membuat perumpamaan bayangan cermin untuk menjelaskan
kehadiran Tuhan di dalam jiwa manusia, dan untuk memahami
ini
dengan benar kita mesti mengingat kembali bahwa orang Yunani
percaya bahwa bayangan cermin itu nyata, terbentuk ketika cahaya
mata seorang pengamat berpadu dengan cahaya yang dipantulkan
dari objek dan dicerminkan di atas permukaan kaca. 40 Agustinus
percaya bahwa trinitas dalam pikiran juga merupakan bayangan yang
mencakup kehadiran Tuhan dan diarahkan kepadanya. 41 Akan tetapi,
bagaimana kita melampaui bayangan ini, yang terpantul seperti
pada
sebuah cermin gelap, kepada Tuhan sendiri? Besarnya jarak yang
membentang antara Tuhan dan manusia tidak bisa ditempuh oleh
usaha manusia saja. Hanya karena Tuhan telah mendatangi kita
melalui manusia yang menubuhi Firman maka kita bisa memulihkan
citra Tuhan di dalam diri kita, yang telah dirusak dan cacat
oleh
dosa. Kita membuka diri kepada aktivitas ilahi yang akan mentransformasi kita melalui tiga macam disiplin, yang oleh Agustinus
disebut
trinitas iman: retineo (memegang teguh kebenaran Inkarnasi dalam
pikiran kita), contemplatio (melakukan kontemplasi atasnya), dan
dilectio (menemukan kesenangan di dalamnya). Secara bertahap,
dengan menumbuhkan rasa kehadiran Tuhan secara terus-menerus
di dalam pikiran kita melalui cara ini, Trinitas akan terungkap.42
174
Download