Aurelius Agustinus, lahir 13 November 354 – meninggal 28 Agustus 430 pada umur 75 tahun, adalah seorang santo dan Doktor Gereja yang terkenal menurut Katolik Roma. Ia lahir di Tagaste, sebuah kota di algeria Afrika utara yang merupakan wilayah Romawi saat itu. Pemikirannya tentang filsafat sejarah membuat namanya di masukkan kedalam tokoh yang berpengaruh terhadap filsafat dunia di abad pertengahan. Pikiran filosofis Agustinus dipengaruhi, di dalam pengertian luas, oleh Manikheisme, Skeptisisme, dan Neoplatonisme. Agustinus mengambil beberapa gagasan Plotinos (Neo-Platonisme) yang dianggap cocok dengan kitab suci. Beberapa diubah isinya agar sesuai dengan kitab suci. Sumber segala kebenaran adalah kitab suci. Akal manusia harus takluk pada kitab suci. Menurut Agustinus, beberapa pemikiran Neo-Platonisme dapat dimanfaatkan oleh kalangan Kristen untuk menjelaskan beberapa aspek ajaran Kristen tentang alam, dan menolong umat Kristen di dalam memahami secara lebih baik keyakinan Kekristenan mereka. Salah satu karya Agustinus yang berpengaruh, dan menampakkan pikirannya tentang sejarah, adalah De Civitate Dei atau The City of God. Buku ini ditulis dengan latar belakang kegaduhan suasana masyarakat waktu itu, di mana Roma diserbu oleh bangsa-bangsa Barbar. Buku The City of God yang terdiri dari duapuluh dua buku di tulis selama sekitar tiga belas tahun. Buku The City of God dapat dibagi menjadi dua bagian utama. Pertama, buku 1 hingga 10, berkaitan dengan keyakinan pagan bangsa Roma dan kekejaman yang telah dilakukan oleh Roma selama ini terhadap musuh-musuhnya. Peristiwa runtuhnya Roma akibat serangan bangsa Barbar adalah sama dengan apa yang dilakukan Roma terhadap musuh-musuhnya. Bagian kedua, buku 11 hingga 22, menerangkan tentang kemunculan dua kota, yakni Kota Tuhan dan Kota Iblis. Agustinus menerangkan bagaimana kedua kota ini berproses hingga akhir. Agustinus berpendapat bahwa jalannya sejarah memiliki pola linear. Hal ini berbeda dengan para pemikir sejarah pada masa kuno, dalam hal ini Yunani kuno yang menganggap bahwa sejarah berpola siklis. Sejarah, menurut Agustinus, adalah proses linear. Pemikiran filsafat sejarah Agustinus dituntun oleh suatu pandangan dunia yang bersifat teleologis atau bertujuan. Sejarah berjalan dengan suatu tujuan tertentu. Menurut Agustinus, puncak dari sejarah manusia adalah riwayat Yesus. Segala peristiwa yang terjadi sebelum kelahiran Yesus dirancang oleh Tuhan untuk menuju peristiwa besar tersebut. Sedangkan segala peristiwa setelah kebangkitan Yesus adalah dirancang untuk menambah dampak peristiwa besar Yesus (Jones, 1969: 135). Menurut Agustinus, terdapat pertentangan abadi antara kekuatan-kekuatan kebaikan dan kejahatan. Tidak ada posisi di tengah-tengah antara kebaikan dan kejahatan, antara Kota Tuhan dan Kota Iblis. Manusia harus membuat pilihan di antara keduanya. Manusia tidak bisa bersikap atau memilih netral. Jika manusia memilih Kota Iblis (keburukan), maka ia bisa saja mendapatkan kekuasaan duniawi, menumpuk kekayaan, menikmati kesenangan jasmani. Namun, pada akhirnya ia akan dihukum atas dosa-dosanya serta akan menderita sebagai ganjaran kejahatannya. Sebaliknya, jika manusia memilih Kota Tuhan (kebaikan), maka ia mungkin tidak menjadi orang terkenal di bumi, mungkin menderita dianiaya, tanpa kekayaan bendawi, tidak mendapat pujian masyarakat. Namun pada akhirnya nanti, ia akan diganjar kejayaan surga atas ketaatannya pada Tuhan. Agustinus berpandangan bahwa manusia memiliki kebebasan yang terdapat di dalam free will. Tuhan memberi kehendak bebas pada manusia. Namun, jika kehendak bebas tersebut disalahgunakan, maka akan berakibat dosa. Ada sebuah pertanyaan penting ketika Agustine telah mengenyam pendidikan di Carthage: Mengapa kejahatan ada di muka bumi ini? Pertama, Agustine mengatakan bahwa kejahatan ada karena manusia memiliki kehendak bebas. Menurut Agustine, Tuhan mengijinkan tindakan dan perbuatan manusia untuk bebas memilih, dan kejahatan merupakan hasil dari pilihan bebas manusia. Bahkan ketika kita berbicara tentang kejahatan yang bersifat alamiah (natural evils), misalnya penyakit, secara tidak langsung berhubungan dengan tindakan manusia. Karena penyakit dilihat sebagai sesuatu yang jahat hanya jika berhubungan dengan manusia. Agustine melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa manusia tidak mampu memahami pikiran Tuhan. Dan apa yang nampak jahat bagi manusia belum tentu itu jahat di semua tempat. Dengan bahasa yang sederhana: manusia tidak bisa menilai keputusan Tuhan. Akar dari jawaban ini kita bisa menemukannya dua ide yang mempengaruhi pemikiran Agustine yaitu “Manicheanism dan Nepplatonism ”. Tema lain dari pemikiran Agustine adalah The Possibility of Certitude. Kebanyakan para filosof sebelum Agustine meyakini bahwa kepastian adalah sesuatu yang tidak mungkin. Hasil pencapaian dari pemikiran manusia paling baik disumpulkan sebagai kemungkinan (probable). Agustine tidak sepakat dengan premis ini dan dia mencoba mendemonstrasikan secara filosofis bahwa di dalam faktanya sesuatu yang pasti adalah mungkin. Argumen pertamanya adalah bahwa jika menerima kemungkinan dari kesimpulan sebagai sesuatu yang probable, maka kita secara implisit telah mengatakan bahwa kepastian itu ada. Karena sesuatu hanya bisa menjadi kebenaran “yang probable” jika kebenaran (dengan kata lain kepastian) pada faktanya ada. Jika tidak ada kebenaran maka tidak ada probabilitas. Kedua, kebahagian adalah hasil dari pencapaian kebijaksanaan, yang mana semua manusia menginginkannya. Oleh karena itu, jika kebijaksanaan tidak bisa dicapai maka kebagiaan adalah mustahil. Berikut adalah sifat-sifat pokok dari ajaran filsafat Agustinus : a) Mengakui manusia dengan kepercayaan dan agama tidak boleh dipisahkan. Tanpa kepercayaan dari agama, manusia akan sesak, dan tanpa akal, orang tak akan memperoleh pengertian yang jelas tentang kepercayaan dan agama itu. b) Kehendak manusia berpangkal diatas akal, dan cinta kasih sayang mempunyai arti kesucian diatas ilmu pengetahuan. Juga berlaku terhadap Tuhan, sedang Tuhan terutama berarti cinta kasih sayang. c) Roh/jiwa agak bebas terhadap raga dan jiwa mengenal dirinya secara langsung dan intuistif, yang terdiri atas kebendaan dan bentuk. d) Spiritualisme yang antropologis (jiwa itu tak lain dari manusia itu sendiri) berjalan berdampingan dengan spiritualisme yang bersifat teori mengenal. e) Kebendaan itu pada hakikatnya cahaya. Bahwa jiwa menghendaki tubuh dan tubuh menghendaki jiwa merupakan pandangan yang dualistis. Dalam karya-karyanya, Augustine memang tidak secara spesifik membicarakan teori politik, yakni persoalan Negara dan pemerintahan. Latar belakangnya sebagai Santo, agaknya membuat buku-buku yang ditulis lebih kepada persoalan kerohanian, pedoman menjadi pribadi yang baik dan melawan praktek-praktek yang bertentangan dengan ajaran Kristen, yang marak terjadi pada saat itu. Namun secara implicit, Augustine memberikan pemahaman dan pencerahan tentang menjadi pribadi yang baik dan bagaimana menciptakan kehidupan bermasyarakat yang harmonis, penuh dengan keadilan. Agustine menegaskan bahwa kekalahan Roma atas invasi asing pada saat itu dikarenakan penduduk Romawi tidak memeluk Kristen secara sempurna. Dalam konteks politik, pemikiran Augustine memang tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada saat itu. Namun, buah karyanya itu justru memberikan warna bagi perkembangan dan perubahan system social dan politik pada masa selanjutnya. Dari pemikiran Augustine pula-lah, yang menginspirasi pemikiran Thomas Aquinas dan Thomas Luther King dalam melakukan reformasi Eropa pada masanya. Universalisme filsafat sejarah yang diajarkan Augustine telah membuat pemikirannya di terima banyak kalangan. Ia memandang bahwa Negara harus sejalan dengan kebaikan, sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci. Menurutnya. Negara dan pemerintahan di dalamnya harus tunduk pada hokum Tuhan, sehingga masyarakat bisa mewujudkan keinginannya, memenuhi kebutuhannya, tidak hanya yang bersifat jasmani, namun juga rohani. Meski begitu, seperti para pemikir-pemikir lain yang terpengaruh dengan konsep teologi, Ajaran Augustine cendrung bersifat idealis dan bahkan utopis. Di sisi lain, latar belakang kehidupan Augustine juga dikhawatirkan memiliki bias dalam pemahamannya tentang ajaran Kristen. Semasa sebelum bertaubat, Augustine di kabarkan memiliki hubungan gelap dengan seorang wanita dan memiliki anak haram darinya. Ia juga terpengaruh dari ajaran Manikheisme, yang dianggap jauh dari ajaran Kristen itu sendiri. Perjalanan hidup yang seperti itu bukan tidak mungkin menyebabkan Augustine memiliki beban tersendiri untuk mengatakan sebuah kebenaran.