Pemahaman Orang Yahudi terhadap Penderitaan Menurut Kitab

advertisement
BAB II
PENGERTIAN DAN PEMAHAMAN TERHADAP
PENDERITAAN
Pengertian.
Penderitaan berasal dari kata derita. Secara etimologi Kata derita berasal
dari bahasa sansekerta dhra artinya menahan atau menanggung. Derita artinya
menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Penderitaan
berarti keadaan menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penderitaan didefinisikan
sebagai keadaan yang menyedihkan yang harus ditanggung.
Eric Cassel1 mengatakan bahwa penderitaan dapat didefinisikan sebagai
keadaan tertekan yang parah terkait dengan peristiwa yang mengancam keutuhan
seseorang . Hal ini dapat terjadi dalam kaitannya dengan setiap aspek dari orang
di ranah peran sosialnya, identifikasi kelompoknya, hubungannya dengan diri atau
badan, atau dalam hubungannya dengan keluarga atau relasi dengan pribadi atau
sumber yang bermakna transendental. Penderitaan tidak hanya mempengaruhi
satu bagian dari seseorang tetapi mempengaruhi seluruh keberadaan: yaitu fisik,
emosional, mental, spiritual dan aspek social (suffering can be defined as a state
of severe distress associated with events that threaten the intactness of the person.
It can occur in relation to any aspect of the person in the realm of his social role,
1
Eric Cassel adalah seorang dokter,definisi itu ditulis dalam sebuah paper,The Nature of
Suffering and the Goals of Medicine (New England : the New England Journal of Medicine, 1982),
5.
9
his group identification, his relation with self or body, or in relation to family or
relation with a personal or transcendental source of meaning. Suffering never
affects only one part of a person but it affects the whole being: i.e. physical,
emotional, mental, spiritual and social aspects). Penderitaan merupakan keadaan
yang
menyedihkan,
yang
menekan
manusia
secara
holistik,
seluruh
keberadaannya.
Penderitaan adalah fakta yang bukan hanya universal tetapi juga seolah
abadi. Penderitaan senantiasa mengiringi dan mengikuti setiap gerak dan langkah
manusia. Penderitaan sudah ada sejak jutaan tahun yang lalu dan tetap ada selama
manusia masih ada. Penderitaan menjadi ciri eksistensial dari kehidupan.2
Penderitaan dialami oleh mahluk hidup yang dapat merasakan sakit secara fisik
maupun mental. Penderitaan memengaruhi kehidupan secara keseluruhan (whole
being) baik fisik, emosi, mental spiritual dan aspek kehidupan sosial.3
Penderitaan terjadi karena kondisi yang tidak ideal yang dialami.
Kondisi yang tidak ideal itu dapat berupa: penyakit, kemiskinan, konflik,
kehilangan
seseorang
atau
harta
milik,
penolakan,
penghianatan,
ketidakpercayaan. Penderitaan terentang antara harapan apa yang seharusnya
dengan kenyataan yang dialami. Perentangan ini dialami oleh subyek sebagai
sesuatu yang menyakitkan. Penderitaan dialami karena ketidakadilan, kehilangan
2
J.Sudriyanto,Revolusi Batin adalah Revolusi Sosia (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 205.
JB Suharjo B. Cahyono,Sp.PD, Raih Kekuatan Penyembuh yang Tak Terbatas (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2011), 4.
3
10
sesuatu yang diakui sebagai yang berarti: kesehatan, harta benda, harga diri,
kewajiban sosial.4
Penderitaan menimpa siapa saja. Sebagai fakta universal, penderitaan
dapat menimpa manusia dalam segala keadaan. Penderitaan dapat menimpa
manusia apapun jenis kelaminnya, usia, ras dan keyakinan. Penderitaan menimpa
orang yang menjalani kehidupan dalam kesalahan maupun dalam kebenaran.
Penderitaan dapat dialami oleh orang benar.
Memahami Penderitaan.
Penderitaan yang menimpa manusia menjadikan manusia berusaha
memahami penderitaan. Paus Yohanes Paulus II, dalam salah satu ensikliknya
menyatakan bahwa penderitaan manusia bukanlah sekedar masalah sakit yang
dapat didekati oleh ilmu kedokteran. Penderitaan manusia menyentuh aspek
terdalam hidup manusia, baik jiwa maupun raga (Salvitici Dolorisart.5).5 Karena
itu memahami penderitaan menjadi hal penting bagi manusia, untuk mengerti
makna dari penderitaan tersebut baginya sehingga mampu menghadapinya.
Profesor R. Ganzevoort mengatakan orang menderita bukan karena fakta
penderitaan yang dialami, tetapi menderita karena menghadapi fakta penderitaan
tersebut.6 Diperlukan kemampuan untuk memahami penderitaan untuk menjadi
4
Paul Budi Kleden,SVD, Membongkar derita, Teodice: Sebuah kegelisahan Filsafat dan
Teologi (Maumere: Seminar Tinggi Ledarelo, 2007), 19.
5
Johanes Robini M,H.J Suhendra, Penderitaan dan Problem Ketuhanan, Suatu Telaah
Filosofis Kitab Ayub (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 13.
6
dalam ceramah “Trauma and Pastoral Counselling”, Fakultas Teologi, Universitas
Kristen Satyawacana , 2014.
11
kekuatan dalam menjalaninya. Bagi orang religius, memahami penderitaan selalu
dikaitkan dengan Tuhan.
Dalam proses memahami penderitaan, manusia menghubungkan diri
sebagai yang mengalami dengan yang transedent. Yang transedent diyakini
mempunyai peran dalam penderitaan yang dialami. Yang transedent dalam
kehidupan religiositas
disebut dengan berbagai nama (Allah, TUHAN, Tuhan,
El, YHWH, Dewa, dan sebagainya).
Manusia berusaha mengerti Tuhannya dengan seluruh keberadaannya.
Pemahaman
yang
menyeluruh,
terutama
dengan
pemikiran
manusia
menghasilkan yang disebut filsafat ketuhanan (theodice). Theodice7 (theodicea)
berasal dari ungkapan Yunani: theos yang berarti Tuhan dan dike yang berarti
keadilan, atau pembenaran atau pembelaan dalam proses pengadilan. Sebab itu
theodice8 berarti pembelaan Allah (genetivus objectivus): hal membela Allah
berkenaan keburukan, termasuk di dalamnya penderitaan yang terjadi di dunia.9
Dalam pemahaman terhadap penderitaan, theodice dimaknai sebagai pembelaan
Allah karena ada keburukan/penderitaan di dalam ciptaan-Nya.
Pemahaman Penderitaan menurut Agustinus.
7
Istilah yang pertama kali diungkapkan oleh Leibniz. Leibniz (Gottfreid Wilhem Leibniz)
lahir di Leipzig (1646) dan meninggal di Hanover (1716). Leibniz dikenal sebagai filsuf, ilmuwan,
dan doktor dalam ilmu hukum gereja. Leibniz merupakan salah satu filsuf yang sangat
berpengaruh pada abad 17 dan 18. Istilah itu muncul pertama kali dalam korespondensi Leibniz
dengan Ratu Sophia dari Prusia.
8
Karena pengertian pembelaannya, theodice dalam sejarahnya dianggap sebagai
pengganti ungkapan theologia naturalis, sebuah pandangan teologi yang mengatakan manusia
sanggup membuktikan Allah dari permenungannya atas alam dengan memakai rasio alamiahnya.
9
Paul Budi Kleden,SVD,Membongkar Derita, Teodice: Sebuah kegelisahan Filsafat dan
Teologi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2007), 15.
12
Agustinus dari Hippo (dalam bahasa latin Aurelius Augustinus
Hipponensis) adalah seorang filsuf dan teolog kekristenan awal. Agustinus lahir
tahun 354 di Tagaste, Numidia (sekarang Souk Ahras, Aljazair) dan wafat tahun
tahun 430 di Hippo Regius, Numidia (sekarang Annab, Aljazair). Semasa
hidupnya Agustinus pernah menjadi
uskup Hippo Regius (sekarang Anaba,
Aljazair) yang pada waktu itu menjadi bagian dari kekaisaran romawi (provinsi
Afrika).
Pemikiran
Agustinus
dipengaruhi
filsafat
neoplatonisme.10
Neoplatonisme mengandaikan akan adanya sebuah dunia yang teratur, sebuah
kosmos
yang
dikuasai
oleh
sebuah
logos
yang
merencanakan
dan
menyelenggarakan segala sesuatu. Tidak ada sesuatupun yang terjadi, yang tidak
direncanakan. Di dalam pengaturan logos ini, kematian dan kehidupan, badan dan
penyakit, kebaikan dan keburukan saling mempengaruhi. Karena logos yang
mengatur semuanya bersifat ilahi, maka seluruh kenyataan yang ada terhimpun
dalam sebuah keharmonisan ilahi.11
Gagasan Agustinus terhadap penderitaan didasarkan pada konsep Allah
yang satu. Agustinus menekankan pada keharmonisan, yaitu mempertemukan
pengalaman dan pikiran yang berbeda menjadi satu kesatuan yang harmonis.
Allah menciptakan keindahan dan keteraturan segala sesuatu, dan juga memberi
tempat pada yang buruk. Manusia harus memperhatikan keseluruhan hidupnya
untuk dapat melihat keindahan. Kalau manusia hanya memperhatikan dosa dan
10
Mazhab Neoplatonisme didirikan oleh Plotinus (204M-270M). Plotinus menggunakan
pemikiran Plato dan menggabungkan dengan berbagai filsafat pada jamannya. Pemikiran
Neoplatonisme berpusat pada konsep ‘Yang Esa’ (Yun: To Hen, Inggris: The One), yang disebut
juga ‘Yang Baik’ tidak dapat dibicarakan, tidak dapat dipikirkan, dan tidak dapat diindetifikasi.
‘Yang Esa’ menjadi asal dan tujuan segala sesuatu.
11
Paul Budi Kleden,SVD,Membongkar Derita, Teodice: Sebuah kegelisahan Filsafat dan
Teologi (Maumere: Seminar Tinggi Ledalero, 2007), 90.
13
penderitaan, maka itu akan merusak kebahagiaan. Manusia perlu memperhatikan
keseluruhan, dimana
dosa dan penderitaan menjadi bagiaannya maka dalam
keseluruhan dosa dan penderitaan justru memperindah dan memberi warna
kehidupan.
Agustinus melihat penderitaan dalam terang rencana ilahi. Kalau manusia
membiarkan diri
dikuasai oleh pengalaman penderitaan dan tenggelam di
dalamnya, maka ia tidak dapat melihat yang baik dan berguna. Sebab itu manusia
perlu memperoleh pengetahuan tentang rencana Allah yang telah mengatur
semuanya pada tempatnya, sehingga semua aspek pengalaman dapat dinilai secara
benar dan proporsional. Penderitaan yang dialami manusia diimbangi secara
harmonis dengan pengalaman kebahagiaan, sehingga seluruh dunia dan seluruh
sejarah pribadi manusia menjadi karya seni yang indah.
Dalam perkembangannya, Agustinus kemudian berpendapat Allah tidak
menciptakan keburukan, termasuk di dalamnya penderitaan yang menimpa
manusia, tetapi Allah sanggup menggunakan keburukan yang terjadi pada
manusia
menjadi sesuatu yang berguna. Penderitaan adalah sesuatu di luar
rencana Allah tentang dunia yang harmonis. Di dalam dunia yang diciptakan
dapat saja terjadi hal-hal yang tidak direncanakan dan dikehendaki Allah. Namun
sebagai pencipta, Allah memiliki kesanggupan untuk menjadikannya sarana
pembelajaran. Melalui penderitaan manusia dapat semakin mendalami rahasia
ilahi dan menekuni jalannya menuju Allah.
Agustinus menghubungkan penderitaan dengan dosa asal. Pandangan
Agustinus terhadap dosa didasari penafsirannya terhadap kisah kejatuhan manusia
14
pertama dalam dosa (Kejadian 3)12 dan Roma 5:12.13 Melalui pemahaman tentang
dosa asal, Agustinus menjawab pertanyaan tentang malum
14
dan membebaskan
Allah yang Mahabaik dalam segala keterlibatan yang berkaitan dengan malum, di
mana penderitaan menjadi bagiannya. Jika Allah dibebaskan maka manusialah
sebagai sebab adanya penderitaan. Kejatuhan manusia dalam dosa menjadi dasar
dari adanya keburukan/penderitaan.
Allah menciptakan manusia dengan kehendak bebas (free will) dan
kesadaran yang sempurna sesuai dengan citra-Nya. Situasi Firdaus merupakan
gambaran keadaan yang sempurna. Kejatuhan manusia pertama di Firdaus
dilakukan dengan kepenuhan kesadaran dan kebebasan manusia, sehingga
kejatuhannya merupakan kejatuhan total. manusia pertama menghancurkan
kehendak bebas dengan memilih dosa mendatangkan keburukan/penderitaan.
Hubungan yang langsung antara dosa dan penderitaan. Setiap penderitaan
yang dialami seharusnya mengingatkan manusia akan statusnya di luar Firdaus,
akan kedosaannya sebagai manusia. Penderitaan mestinya menyadarkan manusia
akan kejatuhan Adam yang telah membawa akibat universal. Manusia seharusnya
tidak mengeluh dan tidak memberontak menghadapi penderitaan, karena
kenyataan ini adalah akibat tindakan bebas dan pilihan sadarnya sendiri.
12
Kejadian 3 menceritakan kejatuhan manusia pertama (Adam) dalam dosa dan
akibatnya yang berupa keburukan, penderitaan.
13
Teks Roma 5: 12, yang dipakai adalah teks dalam bahasa Latin, yang
terjemahannya:”Dosa masuk ke dalam dunia melelui satu orang, dalamnya semua orang
berdosa”(dikutip dari Paul Budi Kleden, Membongkar Derita, Teodice:Sebuah Kegelisahan Filsafat
dan Teologi (Maumere: Seminar Tinggi Ledalero, 2007), 173
14
Malum dimengerti sebagai sebagai keburukan yang di dalamnya berupa penderitaan,
kejahatan, bencana.
15
Beberapa hal yang menjadi tekanan dari pemahaman Agustinus tentang
penderitaan adalah :
1. Agustinus melihat penderitaan sebagai bagian dari harmoni kehidupan.
Melalui penderitaan, yang diimbangi dengan kebahagian, tercipta
kehidupan yang harmonis.
2. Pada perkembangan pemikirannya, Agustinus meyakini penderitaan bukan
dari Allah. Penderitaan bukanlah bagian dari rencana Allah bagi manusia,
tetapi melalui penderitaan Allah sanggup menjadikannya berguna, yaitu
mendalami rahasia ilahi dan menekuni jalan menuju Allah.
3. Agustinus menghubungkan penderitaan dengan dosa asal. Kejatuhan
manusia dalam dosa menjadi penyebab adanya penderitaan.
4. Penderitaan terjadi karena manusia memiliki kehendak bebas (free will).
Kehendak bebas manusia untuk memilih dosa menyebabkan penderitaan.
5. Penderitaan mengingatkan akan status kedosaan manusia. Manusia tidak
perlu mengeluh karena penderitaannya disebabkan tindakan dosanya.
Pemahaman Penderitaan menurut Leibniz.
Gottfried Wilhem Leibniz, atau sering di sebut Leibniz adalah seorang
filsuf, ilmuwan, matematikawan, fisikawan dan juga ahli hukum gereja. Leibniz
lahir tahun 1646 di Leipzig dan wafat tahun 1716 di Hannover. Leibniz terkenal
sebagai filsuf Jerman yang paling berpengaruh pada abad 17 dan 18. Leibniz
merupakan orang pertama yang memperkenalkan istilah theodice (theodicea).
16
Dalam theodicenya15 Leibniz menyatakan sejak awal mula Allah telah
menciptakan dunia yang terbaik dari segala kemungkinan. Hakikat Allah adalah
kebaikan , sebab itu Ia menciptakan yang terbaik (optimal). Allah yang Mahabaik,
Mahatahu dan Mahakuasa menciptakan dunia sebagai satu kesatuan, dan dunia
dalam satu kesatuan itu adalah yang terbaik dari segala kemungkinan dunia yang
dapat diciptakan. Melalui theodicenya Leibniz ingin menyelesaikan masalah
keburukan atau penderitaan dengan menyelaraskan keberadaan Allah yang
Mahabaik, Mahatahu dan Mahakuasa dengan keberadaan keburukan atau
penderitaan yang terjadi di dunia.
Penderitaan terjadi karena manusia memiliki kehendak bebas. Penderitaan
yang merupakan bagian dari dunia tercipta bukanlah ciptaan Allah. Allah hanya
membiarkan ketidakadilan moral terjadi, yang berakibat pada penderitaan.
ketidakadilan moral terjadi karena penyalahgunaan kebebasan manusia. Allah
yang sudah menciptakan manusia dengan kebebasan
tidak dapat
sekaligus
menutupi kemungkinan penyalahgunaan kebebasan. Penderitaan terjadi karena
manusia menyalahgunakan kebebasan yang telah diberikan.
Menurut Leibniz, penderitaan adalah bagian dari kehidupan manusia
sebagai makhluk fana. Hanya Allah yang memiliki predikat bebas dari
15
Ungkapan yang terkenal dalam theodicenya adalah:” If God is all-good,all-wise,and allpowerfull, how did evil come into the world? The answer is that some error is unavoidable in any
creature less perfect than its creator, furthermore, all possible world contain some evil, and evil
improves the good by contrast.since man has free will, he is responsible for his act; God’s
foreknowledge of the course of man’s inclinations did not involve predestination.” (Jika Tuhan itu
mahabaik, maha bijaksana, dan maha kuat, bagaimana kejahatan ada di dunia? Jawabannya
adalah bahwa beberapa kesalahan tidak dapat dihindari oleh makhluk ciptaan yang tidak
sempurna dibanding sang dari penciptanya, seluruh dunia mungkin mengandung beberapa
kejahatan, dan kejahatan meningkatkan kebaikan secara kontras. Karena manusia memiliki
kehendak bebas, ia bertanggung jawab atas tindakannya).
17
penderitaan. Walaupun demikian penderitaan manusia bukanlah penderitaan yang
tragis.
Manusia hanya perlu meyakinkan diri bahwa dirinya hidup di dalam
sebuah dunia yang merupakan yang terbaik dari semua yang mungkin
dikombinasikan. Penderitaan adalah bagian dari pengalaman yang membuat dunia
menjadi yang terbaik dari yang mungkin diciptakan. Melihat penderitaan dan
kebahagiaan di dunia ini, manusia mesti mengatakan bahwa secara total
kebahagiaan lebih banyak dan kebahagiaan tidak dapat dicapai apabila seluruh
penderitaan harus dijauhkan.16 Tanpa penderitaan fisik, manusia tidak akan
mampu menikmati saat-saat bahagia kehidupan. Demikian juga penderitaan batin
dan moral, tanpa penderitaan yang pernah dialami atau dilihat, manusia tidak akan
memperoleh gagasan dan daya juang yang tinggi untuk berperang melawan dan
mengatasi penderitaan.
Beberapa hal yang menjadi tekanan dari pemahaman Leibniz tentang
penderitaan adalah :
1. Hakikat Allah adalah kebaikan, sebab itu Ia menciptakan yang terbaik
(optimal). Sejak awal mula Allah telah menciptakan dunia yang terbaik
dari segala kemungkinan.
2. Penderitaan terjadi karena manusia memiliki kehendak bebas.
Penderitaan
terjadi karena manusia menyalahgunakan kebebasan yang telah diberikan.
3. Penderitaan adalah bagian dari kehidupan manusia sebagai makhluk fana.
Penderitaan adalah bagian dari pengalaman yang membuat dunia menjadi
16
Paul Budi Kleden, SVD, Membongkar Derita, Teodice: Sebuah kegelisahan Filsafat dan
Teologi (Maumere: Seminar Tinggi Ledalero, 2007), 105.
18
yang terbaik dari yang mungkin diciptakan. Penderitaan tidak perlu
dijauhkan dari kehidupan manusia.
4. Manusia hanya perlu meyakini bahwa kebahagiaan lebih banyak dari
penderitaan dan melalui penderitaan kebahagiaan dapat dirasakan. Melalui
penderitaan manusia bertumbuh dalam gagasan dan daya juang.
19
Download