Trinitas: Tuhan Kristen dari manusia lain: "jiwanya tak terusik, dan dengan demikian penampilan luarnya tampak damai." 13 Dia telah dengan sempurna meneladani Kristus: seperti logos yang telah mendaging, turun ke dunia fana dan memerangi kekuatan jahat, Antonius pun turun ke tempattempat hunian setan. Athanasius tak pernah menyebutkan kontemplasi, yang oleh kaum Platonis Kristen, seperti Clement atau Origen dianggap sebagai sarana menuju ketuhanan dan pensucian. Makhluk yang tak abadi tidak lagi dipandang mungkin untuk naik ke hadirat Tuhan melalui kontemplasi dengan menggunakan kekuatan alamiah mereka sendiri. Alih-alih, orang Kristen harus meniru turunnya Firman yang mendaging ke dalam alam material yang fana. Akan tetapi, orang-orang Kristen masih kebingungan: Jika hanya ada satu Tuhan, bagaimana bisa logos itu juga menjadi tuhan? Akhirnya tiga teolog terkemuka dari Kapadokia di Turki Timur muncul dengan sebuah solusi yang memuaskan bagi Gereja Ortodoks Timur. Mereka adalah Basil, Uskup Caesarea (kl. 329-79), adiknya Gregory, Uskup Nyssa (335-95), dan sahabatnya Gregory dari Nazianzus (329-91). Kapadokian, begitu mereka sering disebut, adalah orang-orang yang sangat spiritualis. Mereka sangat gandrung akan spekulasi dan filsafat, namun berkeyakinan bahwa hanya pengalaman keagamaanlah yang mampu memberikan kunci pemecahan atas persoalan-persoalan ketuhanan. Dengan latar belakang filsafat Yunani yang kuat, mereka semua sadar akan perbedaan penting antara kandungan kebenaran faktual dengan aspek-aspeknya yang lebih sukar dipahami. Kaum rasionalis Yunani terdahulu telah memberi perhatian kepada persoalan ini: Plato telah mempertentangkan filsafat (yang diungkapkan lewat istilah-istilah logika dan dengan demikian dapat dibuktikan) dengan ajaran-ajaran yang tak kalah pentingnya yang diwarisi melalui mitologi, yang mengelak dari pembuktian ilmiah. Kita telah menyaksikan bahwa Aristoteles telah membuat pembedaan serupa ketika mengatakan bahwa orang-orang mendatangi misteri agama-agama bukan untuk mempelajari (matbein) sesuatu, melainkan untuk mengalami (pathein) sesuatu. Basil mengungkapkan pandangan yang sama dalam pengertian Kristiani ketika dia membedakan antara dogma dan kerygma. Kedua ajaran Kristiani ini esensial bagi agama. Kerygma adalah pengajaran umum Gereja yang didasarkan pada kitab suci, tetapi dogma mewakili makna kebenaran biblikal yang lebih dalam, yang hanya dapat dipahami melalui pengalaman keagamaan dan diungkapkan dalam bentuk simbolik. Di samping pesan-pesan Injil 163 Sejarah Tuhan yang jelas, terdapat tradisi rahasia dan esoterik yang diwarisi "dalam sebuah misteri" dari para rasul; ini merupakan "pengajaran yang pribadi dan rahasia," yang telah diabadikan bapa-bapa suci kita dalam keheningan yang menjauhkan kecemasan dan keingintahuan... agar dengan keheningan ini karakter suci misteri itu tetap terjaga. Orang awam tidak diizinkan untuk berpegang pada hal-hal semacam ini: maknanya tidak boleh diungkap dengan cara menuliskannya.14 Di balik simbol-simbol liturgikal dan ajaran-ajaran Yesus yang jelas, terdapat dogma rahasia yang ditujukan bagi tingkat pemahaman iman yang lebih lanjut. Pembedaan antara kebenaran esoterik dan eksoterik merupakan hal yang sangat penting dalam sejarah Tuhan. Ini tidak terbatas kepada Kristen Yunani, orang Yahudi dan Muslim juga mengembangkan tradisi esoterik. Gagasan tentang adanya doktrin "rahasia" tidak dimaksudkan untuk memilah-milah orang. Basil tidaklah berbicara tentang bentuk awal Freemansory. Dia sekadar mengetengahkan imbauan untuk memusatkan perhatian kepada fakta bahwa tidak semua kebenaran agama bisa diungkapkan dan didefinisikan dengan jelas dan logis. Beberapa ajaran agama memiliki resonansi batin yang hanya mungkin dipahami oleh setiap individu pada waktunya masing-masing ketika melakukan apa yang oleh Plato disebut theoria, kontemplasi. Karena semua agama diarahkan kepada realitas tak terucapkan yang melampaui konsep dan kategori rasional, maka ucapan pun jadi membatasi dan membingungkan. Jika mereka tidak "melihat" kebenaran ini dengan mata batin, orang yang belum sangat berpengalaman bisa jadi akan memperoleh gagasan yang keliru. Oleh karena itu, di samping makna harfiahnya, kitab suci juga memiliki signifikansi spiritual yang tidak selalu mungkin diartikulasikan. Buddha juga telah menyatakan bahwa ada pertanyaan yang "tidak memadai" dan tidak layak buat dijawab, karena pertanyaan itu merujuk kepada realitas yang berada di luar jangkauan kata-kata. Anda hanya dapat menemukannya dengan menjalani teknik kontemplasi introspektif: dalam pengertian tertentu Anda harus menciptakannya bagi diri Anda sendiri. Upaya menggambarkannya dalam kata-kata akan tak kurang sulitnya dengan uraian verbal atas salah satu kuartet terakhir Beethoven. Sebagaimana dikatakan Basil, realitas keagamaan yang licin ini hanya 164 Trinitas: Tuhan Kristen mungkin didekati dengan isyarat liturgi yang simbolik atau, akan lebih baik, dengan diam.15 Kristen Barat akan menjadi sebuah agama sangat riuh berbicara dan memusatkan diri pada kerygma:. ini akan menjadi salah satu masalah terbesarnya dalam soal ketuhanan. Akan tetapi, dalam Gereja Ortodoks Yunani, semua teologi yang baik akan mengambil sikap diam atau apofatik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gregory dari Nyssa, setiap konsep tentang Tuhan hanyalah sebuah simulakrum, kemiripan yang menyesatkan, sebuah berhala: ia tak bisa mengungkapkan Tuhan itu sendiri.16 Orang Kristen harus menjadi seperti Abraham, yang, dalam sejarah hidupnya versi Gregory, menyingkirkan semua gagasan tentang Tuhan dan berpegang teguh pada sebuah keimanan yang "murni dan tidak bercampur dengan konsep apa pun."17 Dalam Life of Moses, Gregory menekankan bahwa "visi sejati dan pengetahuan tentang apa yang kita cari justru terdapat pada sikap tidak melihat, dalam kesadaran bahwa tujuan kita melampaui semua pengetahuan dan terpisah dari kita oleh kegelapan ketidaktahuan."18 Kita tak dapat "melihat" Tuhan secara intelektual, namun seandainya kita membiarkan diri kita terbungkus dalam kabut yang pernah turun di Gunung Sinai, kita akan merasakan kehadirannya. Basil menggunakan perbedaan yang telah dibuat oleh Philo antara esensi (ousia) dan aktivitas (energeiai) Tuhan di dunia: "Kita mengenal Tuhan kita hanya melalui perbuatannya (energeiai), tetapi kita tak berdaya untuk mendekati esensinya." 19 Inilah kata kunci dari semua teologi masa depan di Gereja Timur. Kapadokian juga ingin sekali untuk mengembangkan ajaran tentang Roh Kudus, yang mereka rasakan tidak ditelaah secara sungguh-sungguh di Nicaea: "Dan kami beriman kepada Roh Kudus" kelihatannya hanya ditambahkan begitu saja kepada kredo Athanasius. Orang-orang kebingungan tentang Roh Kudus. Apakah ia bersinonim dengan Tuhan atau merupakan sesuatu yang lebih? "Ada yang memahami [Roh itu] sebagai sebuah aktivitas," ujar Gregory dari Nazianzus, "ada pula sebagai makhluk, sebagai Tuhan, dan sebagian lagi tak yakin harus menyebutnya apa." 20 Paulus berbicara tentang Roh Kudus sebagai upaya pembaruan, penciptaan, dan penyucian, tetapi aktivitas-aktivitas ini hanya mungkin dikerjakan oleh Tuhan. Oleh karena itu, akibatnya, Roh Kudus, yang kehadirannya di dalam diri kita dipandang sebagai penyelamat kita, pastilah ilahiah Sejarah Tuhan yang pernah dipakai Athanasius dalam perselisihannya dengan Arius: Tuhan memiliki satu esensi (ousia) yang tak dapat kita pahami— tetapi tiga bentuk ekspresi (hypostases) yang membuat dia diketahui. Alih-alih mengawali penjelasan mereka tentang Tuhan dengan ousia-nya yang tak dapat dikenali, Kapadokian memulai dengan pengalaman manusia tentang hypostases Tuhan. Karena ousia Tuhan itu tak terpahamkan, maka kita hanya dapat mengenalnya melalui manifestasi-manifestasi yang telah diwahyukan kepada kita sebagai Bapa, Putra, dan Roh. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa Kapadokian percaya kepada tiga wujud ilahi, sebagaimana dibayangkan oleh para teolog Barat. Kata hypostasis membingungkan bagi kebanyakan orang yang tidak mengenal bahasa Yunani, karena kata itu memiliki banyak makna: sebagian sarjana Latin, seperti St. Jerome percaya bahwa kata hypostasis memiliki arti yang sama dengan ousia dan berpikir bahwa orang-orang Yunani mempercayai adanya tiga esensi ilahi. Namun, Kapadokian menegaskan ada satu perbedaan penting antara ousia dengan hypostasis yang harus betul-betul diingat. Ousia sebuah objek adalah yang menjadikan objek itu sebagaimana adanya; ousia biasanya diterapkan pada objek sebagaimana adanya di dalam dirinya sendiri. Sedangkan hypostasis dipakai untuk mengungkapkan suatu objek dilihat dari luar. Kadangkala, Kapadokian suka menggunakan kata prosopon untuk menggantikan hypostasis. Prosopon pada dasarnya berarti "daya", tetapi juga telah mendapatkan sejumlah arti sekunder sehingga ia juga dipakai untuk merujuk kepada ekspresi wajah seseorang yang mencerminkan keadaan pikirannya, juga untuk sebuah peran yang secara sadar diadopsinya atau karakter yang diniatkan untuk dijalaninya. Akibatnya, tidak berbeda dengan hypostasis, prosopon berarti ekspresi luar watak batin seorang individu sebagaimana tampak oleh orang lain. Jadi, ketika Kapadokian berkata bahwa Tuhan adalah satu ousia dalam tiga hypostasis, sesungguhnya yang mereka maksudkan adalah Tuhan dalam dirinya sendiri itu Satu: hanya ada satu kesadaran-diri ilahi. Akan tetapi, ketika dia membiarkan bagian dari dirinya diketahui oleh makhluknya, dia adalah tiga prosopoi. Dengan demikian, hypostases Bapa, Putra, dan Roh tidak mesti disamakan dengan Tuhan itu sendiri, karena, seperti dijelaskan oleh Gregory dari Nyssa, "hakikat ilahi (ousia) tak dapat dinamai dan dibicarakan"; "Bapa", "Putra", dan "Roh" hanyalah "istilah-istilah yang kita pakai" untuk membicarakan energeiai yang melaluinya Tuhan Trinitas: Tuhan Kristen menjadikan dirinya diketahui.21 Sungguhpun demikian, istilah-istilah ini memiliki nilai simbolik karena mereka menerjemahkan realitas yang tak terucap itu ke dalam citra-citra yang dapat kita mengerti. Manusia telah mengalami Tuhan sebagai yang transenden (Bapa, tersembunyi di dalam cahaya yang tak tertembus), dan sebagai yang kreatif (logos), dan sebagai yang imanen (Roh Kudus). Namun ketiga hypostases ini hanyalah kilasan parsial dan tak lengkap dari hakikat ilahi itu sendiri, yang berada jauh di atas penggambaran dan konseptualisasi seperti ini. 22 Dengan demikian, Trinitas tidak boleh dilihat sebagai fakta harfiah, melainkan sebagai suatu paradigma yang bersesuaian dengan fakta-fakta real yang tersembunyi dalam Tuhan. Dalam suratnya To Alabius: That There Are Not Three Gods, Gregory dari Nyssa menguraikan garis besar doktrin pentingnya tentang ketakterpisahan atau koinherensi ketiga oknum ilahiah atau hypostases. Orang tak mesti mengira bahwa Tuhan membelah dirinya ke dalam tiga bagian; itu adalah gagasan yang berlebihan dan menghujat. Tuhan mengungkapkan dirinya secara penuh dan utuh dalam masing-masing dari ketiga manifestasi ini ketika dia ingin mewahyukan dirinya kepada dunia. Dengan demikian, Trinitas memberi kita petunjuk tentang pola "setiap perbuatan yang berasal dari Tuhan menuju ke tatanan makhluk": seperti yang ditunjukkan oleh kitab suci, segalanya berawal dari Bapa, berproses melalui bantuan Putra, dan menjadi efektif di dunia karena adanya Roh yang imanen. Akan tetapi, Tuhan tetap hadir dalam setiap fase perbuatan. Dalam pengalaman kita sendiri, kita dapat melihat kesalingtergantungan antara ketiga hypostases: kita takkan pernah mengenal Bapa sekiranya tak ada wahyu kepada Putra, demikian pula kita takkan pernah mengenal Putra jika tak ada Roh yang membuat kita mengenalnya. Roh mendampingi Firman suci Bapa, tak bedanya dengan napas (dalam bahasa Yunani pneuma; bahasa Latin spiritus) mendampingi kata-kata yang diucapkan seorang manusia. Ketiga oknum ini tidak berada secara terpisah di alam suci. Kita dapat membandingkan mereka dengan keberadaan berbagai bidang ilmu yang berbeda di dalam pikiran seseorang: filsafat boleh saja berbeda dari ilmu kedokteran, tetapi ia tidak mendiami sebuah kawasan kesadaran yang terpisah. Ilmu-ilmu yang berbeda saling melingkupi satu sama lain, mengisi seluruh pikiran namun tetap berbeda.23 Akan tetapi, pada akhirnya, Trinitas hanya bisa dipahami sebagai sebuah pengalaman mistik atau spiritual: ia harus dialami, bukan 167 Sejarah Tuhan dipikirkan, karena Tuhan berada jauh di luar jangkauan konsep manusia. la bukanlah sebuah rumusan logis atau intelektual, melainkan sebuah paradigma imajinatif yang membungkam akal. Gregory dari Nazianzus membuat hal ini menjadi jelas ketika dia memaparkan bahwa kontemplasi tentang Tiga dalam Satu membangkitkan emosi yang hebat dan memukau yang membungkam pikiran dan kejernihan intelektual. Begitu aku memikirkan tentang yang Satu, aku dicerahkan oleh kesemarakan yang Tiga; begitu aku membedakan yang Tiga maka aku segera dibawa kembali kepada yang Satu. Ketika aku memikirkan salah satu dari yang Tiga, aku memikirkannya sebagai keseluruhan, dan mataku penuh, dan bagian yang lebih besar dari apa yang kupikirkan terluput dariku.24 Orang Kristen Ortodoks Yunani dan Rusia selalu menemukan bahwa kontemplasi tentang Trinitas merupakan sebuah pengalaman keagamaan yang penuh ilham. Akan tetapi, bagi kebanyakan kaum Kristen Barat, Trinitas justru membingungkan. Ini barangkali karena mereka hanya memperhatikan apa yang oleh Kapadokian disebut sebagai kualitas-kualitas kerygmatik, sementara bagi orang Yunani itu merupakan kebenaran dogmatik yang hanya bisa dicerap secara intuitif dan sebagai hasil pengalaman keagamaan. Secara logis, tentu saja, itu sama sekali tidak bermakna. Dalam sebuah khotbahnya, Gregory dari Nazianzus pernah menjelaskan bahwa ketidakmungkinan memahami dogma Trinitas membawa kita berhadapan dengan misteri ketuhanan yang mutlak; ini mengingatkan bahwa kita tak mesti berharap untuk memahaminya. 23 Ini juga mencegah kita dari menciptakan pernyataan-pernyataan sembarangan mengenai Tuhan yang, ketika dia mengungkapkan diri, hanya bisa tertuangkan dalam caracara yang tak terucapkan. Basil juga memperingatkan kita untuk tidak membayangkan bahwa kita bisa mengetahui cara kerja Trinitas, katakanlah begitu; tak ada gunanya, misalnya, berusaha memecahkan teka-teki bagaimana ketiga hypostases Tuhan Tertinggi pada saat yang sama adalah identik dan berbeda. Ini berada di luar jangkauan katakata, konsep, dan daya analisis manusia.26 Dengan demikian, Trinitas tidak boleh diinterpretasikan secara harfiah; ia bukanlah sebuah "teori" yang musykil tetapi hasil dari theoria, kontemplasi. Ketika orang Kristen di Barat menjadi gusar 168