Modul Psikologi Sosial I [TM13]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Psikologi Sosial 1
Perilaku Prososial
Fakultas
Program Studi
Psikologi
Psikologi
Tatap Muka
12
Kode MK
Disusun Oleh
61017
Filino Firmansyah, M.Psi
Abstract
Kompetensi
Materi tentang pengertian tingkah laku
menolong, mengapa orang menolong,
kapan orang menolong, tahapan
menolong, sasaran dan cara menolong,
meningkatkan tingkah laku menolong
Mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali mengenai
pengertian tingkah laku menolong,
mengapa orang menolong, kapan orang
menolong, tahapan menolong, sasaran
dan cara menolong, meningkatkan
tingkah laku menolong
Perilaku Prososial
Materi ini diambil dari tulisan Sri Fatmawati Mashoedi (Sarlito dan Meinarno,
2009) mengenai tingkah laku menolong. Dalam materi ini akan dibahas mengenai
pengertian tingkah laku menolong, mengapa orang menolong, kapan orang
menolong, tahapan menolong, sasaran dan cara menolong, meningkatkan tingkah
laku menolong.
Tingkah laku menolong bentuknya sangat bervariasi seperti membukakan
pintu untuk orang lain yang sedang membawa barang, membantu teman
mengambilkan buku di rak, memberi uang
pada pengemis, menjadi pendonor
darah, atau aktif dalam kegiatan sosial. Earth Hour, yang merupakan acara
internasional tahunan setiap sabtu, bulan Maret 2009 meminta rumah dan
perkantoran untuk memadamkan lampu yang tidak diperlukan dan peralatan listrik
selama satu jam (WWF, 2007), merupakan bentuk tingkah laku menolong penduduk
bumi untuk menjaga kelestarian alam demi menyelamatkan bumi dari pemanasan
global.
Tingkah laku menolong atau dalam psikologi sosial dikenal dengan
tingkah laku prososial, adalah tindakan individu untuk menolong orang lain tanpa
adanya keuntungan langsung dari si penolong (Baron, Bryne dan Branscombe,
2006). Tindakan reporter TV Nicholson menyelamatkan anak Bosnia keluar dari
medan perang tentunya sangat menguntungkan bagi anak Bosnia tersebut. Namun,
apakah ada sesuatu yang didapatkan oleh sang reporter di balik itu? Deaux, Dane
dan Wrightsman (1993) mengatakan bahwa dalam tingkah laku menolong yang lebih
diutamakan adalah kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan diri sendiri,
terutama dalam situasi darurat.
Menolong sebagai tingkah laku yang ditujukan untuk membantu orang
lain, dalam beberapa kasus bisa saja tidak dapat mencapai tujuannya. Hal ini dapat
disebabkan karena penolong tidak mengetahui kesulitan korban sesungguhnya
(Holander, 1981) atau karena penolong tidak mempunyai keterampilan yang
dibutuhkan untuk menolong korban sehingga dapat berakibat fatal, baik bagi
penolong maupun yang ditolong.
‘13
2
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Contoh dari tingkah laku menolong yang paling jelas adalah altruism,
yaitu motivasi untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain (Baron, 1995, 2008).
Pada altruistic, tindakan seseorang unutk memberikan bantuan pada orang lain
adalah bersifat tidak mementingkan diri sendiri (selfless) bukan untuk kepentingan
diri sendiri (selfish). Bila reporter TV Nicholson seorang yang altruistic, maka
tindakannya menolong anak Bosnia tentunya semata-mata untuk kesejahteraan
anak tersebut, bukan untuk mendapatkan materi yang banyak sebagai hasil dari
publikasi kisah nyatanya yang heroik.
Untuk mengetahui motivasi yang mendasari tingkah laku menolong,
apakah selfless atau selfish, sampai batas tertentu adalah sulit. Sebagian karena
manusia tidak selalu tepat dalam menyimpulkan penyebab tingkah laku seseorang
(Fiske & Taylor, 1991) dan sebagian lagi karena manusia cenderung menampilkan
diri mereka dengan cara-cara yang dapat diterima secara sosial (Durkin, 1996).
Seorang pengusaha dapat saja memberikan sumbangan yang besar terhadap
korban bencana jebolnya waduk Situ Gintung. Ia dapat turun langsung ke daerah
bencana membagi-bagikan uang dan makanan secara langsung kepada korban
bencana. Sulit untuk mengetahui apakah pertolongan yang diberikan oleh
pengusaha ini murni untuk membantu korban bencana ataukah hanya untuk
meningkatkan citra dirinya semata.
Apakah mungkin tingkah laku menolong bersifat selfless? Seandainya pun tidak
terdapat imbalan langsung dari tindakannya menolong, seorang yang altruistic masih
dapat mengharapkan akan mendapatkan ganjaran setelah ia meninggal (Baron,
Byrne, Brancombe, 2006). Beberapa teori mencoba menjelaskan motivasi seseorang
untuk menolong. Apa yang mendorong seseorang untuk menolong dan apa
dampaknya bagi penolong.
‘13
3
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Mengapa Orang Menolong?
Teori Evolusi
Menurut teori evolusi, inti dari kehidupan adalah kelangsungan hidup gen.
Gen dalam diri manusia telah mendorong manusia untuk memaksimalkan kesempatan
berlangsungnya suatu gen agar tetap lestari.
1. Perlindungan kerabat (kin protection)
“Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah” menunjukkan bahwa kasih
saying orang tua kepada anaknya tidak akan pernah putus. Orang tua akan selalu
siap untuk memberikan bantuannya kepada anaknya, walau harus mengorbankan
kepentingan dirinya dengan anak-anaknya. Menurut teori evolusi, tindakan orang tua
ini adalah demi kelangsungan gen-gen orang tua yang ada dalam diri anak. Orang
tua yang mengutamakan kesejahteraan anak dibandungkan kesejahteraan dirinya
sendiri, gennya akan mempunyai peluang lebih besar untuk bertahan dan lestari
dibandingkan orang tua yang mengabaikan anaknya (Myers, 1996). Hal ini berlaku
juga untuk kerabat yang lebih jauh dimana kedekatan gen-gen secara biologis
membuat manusia terprogram secara alami untuk lebih menolong orang yang masih
tergolong kerabatnya.
2. Timbal balik biologik (biological reprocity)
Dalam teori evolusi terdapat prinsip timbal balik, yaitu menolong untuk memperoleh
kembali (Sarwono, 2002). Seseorang menolong karena ia mengantisipasi kelak
orang lain yang ditolong akan menolongnya kembali sebagai balasan, dan ia tidak
menolong maka kelak ia pun tidak akan mendapatkan pertolongan.
Kelemahan dari teori evolusi adalah kurang dapat menjelaskan mengapa ada
perbedaan individual dalam tingkah laku menolong. Dalam satu keluarga, bila
manusia telah terprogram secara genetik untuk menolong, maka bagaimana bisa
terjadi dalam keluarga tersebut ada anggota keluarga yang suka menolong dan ada
yang tidak?
‘13
4
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Teori Belajar
Psikolog sosial mengaplikasikan prinsip teori belajar pada berbagai area,
termasuk tingkah laku menolong. Bagaimana seseorang belajar untuk membantu orang lain
dan dalam kondisi apa orang paling mungkin untuk menolong? Sehubungan dengan
sumbangan teori belajar terhadap tingkah laku menolong ada dua teori yang menjelaskan
tingkah laku menolong, yaitu teori belajar sosial (social learning theory) dan teori pertukaran
sosial (social exchange theory).
1. Teori belajar sosial (social learning theory)
Dalam teori belajar sosial, tingkah laku manusia dijelaskan sebagai hasil proses
belajar terhadap lingkungan. Berkaitan dengan tingkah laku menolong, seseorang
menolong karena ada proses belajar melalui observasi terhadap model prososial.
Dalam sebuah penelitian lapangan, seorang wanita muda (asisten peneliti) yang ban
mobilnya kemps memarkirkan mobilnya di samping jalan. Para pengendara yang
lewat di jalan itu lebih banyak berhenti dan menolong wanita ini jika mereka
sebelumnya melihat situasi di mana ada wanita lain yang punya masalah dengan
mobilnya dan terlihat ada yang menolong (yang sesungguhnya adalah asisten
peneliti yang lain) (Bryan dan Test, 1967 dikutip dalam Baron, Byrne dan
Branscombe, 2006). Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali peminta sumbangan
mencantumkan dalam daftar penyumbang nama orang (fiktif) dan besar sumbangan
yang diberikan dalam jumlah yang cukup signifikan. Hal ini dimaksudkan agar
mendorong calon penyumbang untuk mau menyumbang dan sering kali hal ini
berhasil.
Selain peranan model prososial di dunia nyata, model-model prososial di media juga
cukup efektif dalam membentuk norma sosial yang mendukung tingkah laku
menolon. Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa anak-anak cenderung
merespons secara prososial setelah melihat model di media melakukan tingkah laku
menolong. Jika, model prososial mendukung terjadinya tingka laku menolong, maka
sebalinya model antisocial dapat menghambat tingkah laku menolong (Baron, Bryrne
dan Branscombe, 2006). Dengan demikian, seseorang dapat menjadi altruis karena
lingkungan member contoh-contoh yang dapat diobservasi untuk bertindak
menolong.
Sesuai dengan prinsip belajar, suatu tingkah laku akan diulang atau diperkuat bila
ada konsekuensi positif dari tingkah laku tersebut. Bagaimana dengan tingkah laku
menolong? Apakah tingkah laku menolong dapat diperkuat jiga dengan menolong
‘13
5
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
seseorang justru mendapatkan konsekuensi negatif seperti hilangnya waktu,
berkurangnya materi, atau bahkan dalam tingkah laku menolong yang beresiko,
dapat membahayakan jiwa penolong.
Apakah ini berarti tingkah laku menolong tidak bisa ditingkatkan? Tentu saja tidak
demikian. Menurut teori belajar, apa yang tampak sebagai altruis sesungguhnya
dapat mempunyai kepentingan pribadi yang terselubung. Misalnya, orang dapat
merasa lebih baik setelah memberikan pertolongan, atau menolong untuk
menghindari perasaan bersalah atau malu jika tidak menolong (Deaux, Dane dan
Wrightsman, 1993).
2. Teori Pertukaran Sosial
Menurut teori pertukaran sosial, interaksi sosial bergantung pada untung dan rugi
yang terjadi. Sesuai dengan namanya, teori ini melihat tingkah laku sosial sebagai
hubungan pertukaran dengan memberi dan menerima (take and give relationship).
Apa yang dipertukarkan dapat berupa materi (misalnya uang atua perhiasan) atau
nonmateri (misalnya penghargaan, penerimaan, prestise) (Deaux, Dane dan
Wrightsman, 1993).
Untuk menjelaskan tingkah laku menolong, teori ini mengatakan bahwa interaksi
manusia mengikuti prinsip ekonomi, yaitu memaksimalkan ganjaran (untung) dan
meminimalkan biaya (rugi) atau disebut dengan strategi minimax. Contohnya ketika
seseorang ditawarkan unutk donor darah, sebelum mendonorkan daranya, ia akan
menghitung untung ruginya. Bila ia ikut mendonor, maka untungna ia bisa mendapat
penghargaan dari lingkungan ataupun kepuasan batin karena telah berbuat baik,
ruginya ia harus menahan rasi sakit karena disuntik. Sebaliknya, bila ia tidak
mendonor, maka ia tiak menahan rasa sakit karena disuntik namun ia tidak
mendapat penghargaan dari lingkungan.
Sesuai dengan teori pertukaran sosial, tingkah laku menolong juga bisa semata-mata
hanya untuk menutupi kepentingan pribadi seseorang. Misalnya mendonor darah
untuk mendapatkan pujian, bukan niat untuk menolong orang yang membutuhkan.
Dengan demikian, keuntungan dari tingkah laku menolong dapat bersifat menolong
untuk mendapatkan imbalan dari lingkungan (external self-reward) atau menolong
untuk mendapatkan kepuasan batin (internal self-reward) (Myers, 1996).
‘13
6
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Teori pertukaran sosial, seperti juga teori belajar sosial, menyatakan secara tidak
langsung bahwa dalam tingkah laku menolong tersirat adanya kepentingan pribadi
(self-interest) yang terselubung. Hal ini seolah-olah merendahkan manusia yang
mempunyai niat tulis untuk membantu. Seperti ibu Theresa, peraih nobel perdamaian
tahun 1979, yang telah mendedikasikan dirinya secara total untuk bekerja membantu
orang miskin di India, atua para relawan yang mengorbankan hidupnya untuk
membantu para korban bencana alam, ataupun para pahlawan yang gugur membela
negara, bagaimana bisa dikatakan pengabdian mereka yang total ini sebagai selfinterest? Untuk menjawab apakah tingkah laku menolong bersifat self-interest atau
selfless dapat dijelaskan melalui teori empati.
Teori Empati
Empati merupakan respons yang kompleks, meliputi komponen afektif dan
kognitif. Dengan komponen afektif, berarti seseorang dapat merasakan apa yang orang lain
rasakan dan dengan komponen kogntif seseorang mampu memahami apa yang orang lain
rasakan beserta alasannya. Daniel Batson (1995, 2008) menjelaskan adanya hubungan
antara empati dengan tingkah laku menolong serta menjelaskan bahwa empati adalah
sumber dari motivasi altruistic.
1. Hipotesis empati-altruisme (emphaty-altruism hypothesis)
Ketika seseorang melihat penderitaan orang lain, maka muncul perasaan empati
yang mendorong dirinya untuk menolong. Dalam hipotesis empati-altruisme
dikatakan bahwa perhatian yang empatik yang dirasakan seseorang terhadap
penderitaan orang lain akan menghasilkan motivasi untuk mengurangi penderitaan
orang tersebut. Motivasi menolong ini bisa sangat kuat sehingga seseorang bersedia
terlibat dalam aktivitas menolong orang yang tidak menyenangkan, berbahaya,
bahkan mengancam jiwanya (Batson, 1995, 2008). Dengan demikian, motivasi
seseorang untuk menolong adalah karena ada orang lain yang membutuhkan
bantuan dan rasanya menyenangkan bila dapat berbuat baik. Ini merupakan
penjelasan yang paling tidak egois tentang tingkah laku menolong.
Cialdini dkk (1997) mendebat Batson yang berpendapat bahwa menolong
berdasarkan empati adalah bersifat selfless. Walaupun tim riset Cialdini menyetujui
bahwa empati mendukung munculnya tingkah laku menolong, namun hal ini bukan
dikarenakan selfless. Cialdini dan timnya menjelaskan bahwa konsep diri seseorang
‘13
7
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
juga mencakup hal-hal diluar dirinya dan hal-hal dalam diri orang-orang yang dekat
dengan dirinya, sehingga perasaan empati terhadap orang lain akan memunculkan
perasaan “kesatuan” (overlap) antara dirinya dengan orang lain. Dalam kondisi
seperti itu, sebenarnya orang itu sedang menolong dirinya sendiri. Namun demikian,
Batson dan rekan sepenelitiannya (1997) menanggapi dengan memberikan bukti
tambahan bahwa persepsi tumpang tindih (overlapping) tidaklah perlu, empati akan
mengarah pada tingkah laku menolong walaupun tidak ada perasaan “kesatuan”.
2. Model mengurangi perasaan negatif (negative-state-relief model)
Orang selalu menginginkan adanya perasaan positif pada dirinya dan berusaha
untuk mengurangi perasaan negatif. Melihat orang menderita dapat membuat
perasan seseorang menjadi tidak nyaman, sehingga ia berusaha untuk mengurangi
perasaan tidak nyamannya dengan cara menolong orang tersebut. Model
mengurangi perasaan negatif dikemukakan oleh Cialdini dan rekan-rekan
penelitiannya (1981, dalam Baron, Bryrne dan Branscombe, 2006). Dalam teori ini
dijelaskan bahwa orang menolong untuk mengurangi rasa negatif akibat melihat
penderitaan orang lain. Perasaan negatif ini tidak selalu harus merupakan akibat dari
melihat penderitaan orang lain. Seseorang bisa saja berada dalam suasana hati
yang negatif sebelum melihat orang yang sedang kesusahan dan dengan menolong
ia diharapkan ia dapat mengurangi perasaan negatif tersebut. Dengan demikian,
tingkah laku menolong dapat berperan sebagai self help agar seseorang terbebas
dari suasana hati yang tidak menyenangkan. Misalnya, ketika seseorang
mendengarkan anak yang menangis, hal itu menimbulkan perasaan yang tidak enak
(orang itu mungkin merasa terganggu atau orang itu yang sedang bersedih semakin
terganggu dengan tangisan anak), maka ia berusaha untuk menolong anak itu agar
tidak mengganggu dirinya lagi dan dengan menolong dirinya akan merasa lebih baik.
3. Hipotesis kesenangan empatik (empathic joy hypothesis)
Dengan menolong, perasaan seseorang memang kadang menajdi lebih baik. Ini
menunjukkan kemungkinan adanya sumber imbalan egoistic yang lain yang dapat
menjelaskan hubungan antara hubungan antara empati dan altruism. Tingkah laku
menolong dapat dijelaskan berdasarkan hipotesis kesenangan empatik (Smith, dkk.
1989, dalam Baron, Byrne, dan Branscome, 2006). Dalam hipotesis tersebut,
dikatakan bahwa seseorang akan menolong bila ia memperkirakan dapat ikut
merasakan kebahagiaan orang yang akan ditolong atau pertolongan yang
‘13
8
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
diberikannya. Satu hal yang penting di sini adalah seseorang yang menolong perlu
untuk mengetahui bahwa tindakannya akan memberikan pengaruh positif bagi orang
yang ditolong. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali seseorang menolong karena
percaya bahwa pertolongannya akan memberikan hasil yang positif. Sebagai contoh,
seorang mahasiswa ekonomi mengajarkan akuntansi kepada temannya, ini
dilakukan karena mahasiswa tadi memiliki antisipasi bahwa temannya akan bisa
diajari akuntasi olehnya. Jadi, dia mengantisipasi adanya kebahagiaan yang akan
diperolehnya saat temannya kelak mengerti akuntansinya.
Dari ketiga teori empati yang telah dijelaskan, terlihat bahwa kondisi afektif
seseorang merupakan elemen yang penting. Seseorang menolong karena tindakannya akan
meningkatkan perasaan positif dan mengurangi perasaan negatif atas dirinya.
Teori Perkembangan Kognisi Sosial
Dalam merespons suatu situasi darurat (situasi yang membutuhkan
pertolongan), tentunya diperlukan sejumlah informasi yang harus diproses dengan cepat
sebelum seseorang memutuskan untuk memberikan pertolongan. Dengan demikian, tingkah
laku menolong melibatkan proses kognitif seperti persepsi, penalaran, pemecahan masalah,
dan pengambilan keputusan. Pendekatan kognisi berfokus pada pemahaman yang
mendasari suatu tingkah laku sosial. Penelitian yang mengkaji hubungan antara
perkembangan kognisi sosial dengan tingkah laku menolong lebih difokuskan pada
bagaimana seorang anak memahami kebutuhan orang lain dan bereaksi untuk
membantunya.
Lourenco (1993, dalam Durkin, 1996) mendapati bahwa anak usia 5—11
tahun lebih memperhatikan hasil atau keuntungan yang akan dia peroleh dibandingkan
dengan kerugian yang akan diperolehnya ketika melakukan perbuatan menolong. Seorang
ibu pernah kesal karena anaknya yang duduk di kelas dua SD memberikan semua uang
tabungannya untuk diberikan kepada temannya yang ingin membeli buku (jumlah
tabungannya lebih banyak daripada harga buku yang harus dibeli temannya). Hal ini
dilakukan semata karena ingin mendapatkan bantuan dari temannya untuk menyelesaikan
pekerjaan rumahnya (PR). Penelitian terhadap anak-anak prasekolah (usia 3—4 tahun )
menunjukkan bahwa anak-anak cenderung spontan dalam memberikan pertolongan
(Fujisawa, dkk., 2008).
‘13
9
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Teori Norma Sosial
Ketika menolong, seseorang mungkin tidak menyadari apa keuntungan bagi
dirinya. Tindakannya ketika menolong dikarenakan ia merasa harus memberikan
bantuannya kepada orang lain. Kegiatan menolong seperti keharusan membantu teman
yang sedang sakit, membantu menunjukkan jalan kepada orang baru, dan membantu
tetangga yang sedang pindah rumah, semua dipersepsikan sebagai sesuatu yang
diharuskan oleh norma-norma masyarakat. Norma merupakan harapan-harapan masyarakat
berkaitan dengan tingkah laku yang seharusnya dilakukan seseorang (Myers, 1996). Ada
dua bentuk norma sosial yang memotivasi seseorang untuk melakukan tingkah laku
menolong, yaitu norma timbal balik (the reciprocity norm) dan norma tanggung jawab sosial
(the social responsibility norm).
1. Norma timbal-balik (the reciprocity norm)
Sosiolog Alvin Gouldner (1960), dikutip dalam Myers (1996) dan Sarwono (2002)
mengemukakan bahwa salah satu norma yang bersifat universal adalah norma
timbal-balik, yaitu seseorang harus menolong orang yang pernah menolongnya. Hal
ini menyiratkan adanya prinsip balas budi dalam kehidupan masyarakat. Dengan
demikian, seseorang harus menolong orang lain karena kelak di masa mendatang, ia
akan ditolong oleh orang lain atau ia pernah ditolong orang pada masa sebelumnya.
Norma ini berlaku untuk hubungan sosial yang bersifat setara. Untuk hubungan
sosial yang tidak setara, misalnya dengan anak-anak dan orang cacat, berlaku
norma tanggung jawab sosial (Myers, 1996; Sarwono, 2002).
2. Norma tanggung jawab sosial (the social-responsibility norm)
Bila norma timbal-balik mengharuskan seseorang berbuat seimbang-antara member
dan menerima - di dalam sebuah hubungan sosial, maka dalam norma tanggung
jawab sosial, orang harus memberikan pertolongan kepada orang yang
membutuhkan pertolongan tanpa mengharapkan balasan di masa depan (Schwrtz,
1975 dalam Sarwono, 2002). Norma ini memotivasi orang untuk memberikan
bantuannya kepada orang-orang yang lebih lemah dari darinya, misalnya membantu
orang yang cacat, membantu orang yang sudah tua, atau seorang anak membantu
adiknya yang lebih kecil ketika terjatuh untuk bangun kembali.
‘13
10
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Kapan Orang akan Menolong?
Pengaruh Faktor Situasional
1. Bystander
Bystander atau orang yang berada di sekitar tempat kejadian mempunyai peran
sangat besar dalam mempengaruhi seseorang saat memutuskan antara menolong
atau tidak ketika dihadapkan pada keadaan darurat. Dua psikolog sosial, Bibb
Latane dan John Darley (1969) terdorong untuk menguji hal ini karena terpicu oleh
kasus pembunuhan Catherine (Kitty) Genovese. Kitty Genovese dibunuh di depan
apartemennya di New York pada tahun 1964. Penyerangan yang mengerikan ini
terjadi selama 45 menit dan dilihat serta didengar oleh 38 tetangganya, tetapi tidak
satu pun di antara mereka yang menolong ataupun menelepon polisi (Rosenthal,
1999). Mengapa sampai tidak ada yang menolong? Hipotesis yang diajukan Darley
dan Latane adalah terjadi penyebaran tanggung jawab (diffusion of responsibility),
yaitu semakin banyak bystander yang ada, maka semakin berkurang rasa tanggung
jawab seseorang untuk menolong.
Untuk menjelaskan gejala ini, Darley dan Latane (1969) telah melakuka eksperimen
dengan menciptakan keadaan darurat dalam laboratorium penelitian mereka. Mereka
mengatur jumlah dan keberagaman individu bystander yang hadir berbeda-beda dan
kemudian menilai apakah jumlah bystander tersebut memiliki pengaruh terhadap
respons menolong atau tidak. Terbukti bahwa efek bystander memang terjadi. Efek
bystander terjadi karena :
-
Pengaruh sosial (social influence), yaitu pengaruh dari orang lain yang dijadikan
sebagai patokan dalam mengintepretasi situasi dan mengambil keputusan untuk
menolong, seseorang akan menolong jika orang lain juga menolong
-
Hambatan penonton (audience inhibition), yaitu merasa dirinya dinilai oleh orang
lain (evaluation apprehension) dan resiko membuat malu diri sendiri kerena
tindakannya menolong yang kurang tepat akan menghambat orang untuk
menolong
-
Penyebaran tanggung jawab (diffusion of responsibility) membuat tanggung
jawab untuk menolong menjadi terbagi karena hadirnya orang lain.
‘13
11
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2. Sejauh mana seseorang mengevaluasi korban secara positif (memiliki daya tarik)
akan mempengaruhi kesedian orang untuk memberikan bantuan. Apa pun faktor
yang dapat meningkatkan ketertarikan bystander kepada korban, akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya respons untuk menolong (Clark, dkk., 1987, dalam Baron,
Byrne, Branscombe, 2006). Hal ini sering dimanfaatkan oleh iklan produk produk
kecantikan yang menggambarkan seorang wanita cantik akan membuat banyak pria
menolongnya. Adanya “kesamaan” antara penolong dengan orang yang akan
ditolong juga menimbulkan kemungkinan terjadinya tingkah laku menolong.
Seseorang cenderung akan menolong orang yang dalam beberapa hal mirip dengan
dirinya (Krebs, 1975, dalam Deaux, Dane, Wrightsman, 1993). Oleh karena itu, pada
umumnya orang akan menolong anggota kelompoknya terlebih dahulu (in-group),
baru kemudian menolong orang lain (out-gorup) karena sebagai suatu kelompok
tentunya ada beberapa kesamaan dalam diri mereka yang mengikat mereka dalam
suatu kelompok.
3. Atribusi terhadap korban
Seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang lain bila ia
mengasumsikan bahwa ketidakberuntungan korban adalah di luar kendali korban
(Weiner, 1980). Oleh karena itu, seseorang akan lebih bersedia memberikan
sumbangan kepada pengemis yang cacat dan tua dibandingkan dengan pengemis
yang cacat dan tua dibandingkan dengan pengemis yang sehat dan muda. Dengan
demikian, pertolongan tidak akan diberikan bystander mengasumsikan kejadian yang
kurang menguntungkan pada korban adalah akibat kesalahan korban sendiri
(atribusi internal).
4. Ada model
Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan teori belajar sosial, adanya model
yang melakukan tingkah laku menolong dapat mendorong seseorang untuk
memberikan pertolongan pada orang lain. Dalam observasinya terhadap orangorang yang berbelanja di sebuah toko pada musim natal di New Jersey, Bryan dan
Test (1967), dikutip dalam Baron, Byrne dan Branscombe (2006), melihat bahwa
orang-orang kemungkinannya akan lebih besar untuk memberikan sumbangan di
kotak amal yang disediakan di tokok tersebut bila sebelumnya mereka melihat ada
‘13
12
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
orang lain yang menyumbang. Rushton dan Campbell (1977) dalam Myers (1996)
juga menemukan bahwa orang-orang terbiasanya tidak bersedia mendonorkan
darahnya kecuali panitia meminta mereka mendonorkan darah setelah melihat ada
orang-orang lan (asisten peneliti) yang mendonorkan darahnya.
Contoh dalam kejadian sehari-hari, misalnya banyak tempat-tempat seperti rumah
makan atau pasar swalayan yang menyediakan kotal amal dan sudah ada uang di
dalamnya, hal ini tentunya dimaksudkan untuk menarik perhatian pengunjung yang
datang ke tempat itu agar mau turut menyumbang.
5. Desakan waktu
Orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung tidak menolong, sedangkan orang
yang punya waktu luang lebih besar kemungkinannya untuk memberikan
pertolongan kepada yang memerlukan (Sarwono, 2002).
6. Sifat kebutuhan korban
Kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejelasan bahwa korban benar-benar
membutuhkan pertolongan (clarity of need), korban memang layak mendapatkan
bantuan yang dibutuhkan (legitimate of need), dan bukanlah tanggung jawab korban
sehingga ia memerlukan bantuan dari orang lain (atribusi eksternal) (Deaux, Dane,
Wrightsman, 1993). Dengan demikian, orang yang meminta pertolongan akan
memiliki kesempatan yang lebih besar untuk ditolong daripada orang yang tidak
meminta pertolongan (walau ia sesungguhnya juga butuh pertolongan) karena
permintaan tolong korban membuat situasi pertolongan menjadi tidak ambigu.
Namun demikian, bantuan yang diperlukan harus dinilai layak oleh penolong,
misalnya meminjam buku pada teman adalah lebih laya dibandingkan dengan
meminta buku milik teman tersebut. Seperti atribusi terhadap korban, apabila
penolong mempersepsikan bahwa korban memerlukan bantuan karena hal-hal di
luar kendali korban, maka kecenderungan korban untuk ditolong adalah lebih besar.
‘13
13
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Pengaruh Faktor dari Dalam Diri
1. Suasana hari (mood)
Emosi seseorang dapat mempengaruhi kecenderungan untuk menolong (Baron,
Byrne dan Branscombe, 2006). Emosi positif secara umum meningkatkan tingkah
laku menolong. Namun, jika situasinya tidak jelas (ambigu), maka orang yagn
sedang bahagia cenderung untuk mengasumsikan bahwa tidak ada keadaan darurat
sehingga tidak menolong. Pada emosi negatif, seseorang yang sedang sedih
mempunyai kemungkinan menolong yang lebih kecil. Namun, jika dengan menolong
dapat membuat suasana hati lebih baik, maka dia akan memberikan pertolongan.
2. Sifat
Beberapa penelitian membuktikan terdapat hubungan antara karakteristik seseorang
dengan kecenderungannya untuk menolong. Orang yang mempunyai sifat pemaaf
(forgiveness), ia akan mempunyai kecenderungan mudah menolong (Karremans,
dkk., 2005). Orang yang mempunyai pemantauan diri (self monitoring) yang tinggi
juga cenderung lebih penolong, karena dengan menjadi penolong, ia memperoleh
penghargaan sosial yang lebih tinggi (White & Gerstein, 1987, dalam Sarwono,
2002). Beberapa karakteristik lainnya yang mendukung tingkah laku menolong
adalah kebutuhan akan persetujuan (need for approval). Individu yang kebutuhannya
akan pujian ataupun tanda-tanda penghargaan lainnya sangat tinggi, jika situasi
menolong memberikan peluang untuk mendapatkan penghargaan bagi dirinya, maka
ia akan meningkatkan tingkah laku menolong (Deutsch & Lamberti, 1986, dalam
Baron, Byrne dan Branscombe, 2002).
Bierhoof, Klein dan Kramp (1991) dalam Baron, Byrne dan Branscombe (2006) telah
mengemukakan faktor-faktor dalam diri yang menyusun kepribadian altruistic, yaitu
adanya empati, kepercayaan terhadap dunia yang adil, rasa tanggung jawab sosial,
memiliki internal locul of control dan egosentrisme yang rendah.
3. Jenis Kelamin
‘13
14
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Peranan gender terhadap kecenderungan seseorang untuk menolong sangat
tergantun pada situasi dan bentuk pertolongan yang dibutuhkan. Laki-laki cenderung
lebih mau terlibat dalam aktivitas menolong pada situasi darurat yang
membahayakan, misalnya menolong seseorang dalam kebakaran. Hal ini tampaknya
terkait dengan peran tradisional laki-laki, yaitu laki-laki dipandang lebih kuat dan lebih
mempunyai keterampilan untuk melindungi diri. Sementara perempuan, lebih tampil
menolong pada situasi yagn bersifat memberikan dukungan emosional, merawat dan
mengasuh (Deaux, Dane dan Wrightsman, 1993).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Zimmer-Gembeck, dkk. (2005) ditemukan
bahwa kecenderungan untuk menolong pada anak-anak remaja lebih besar pada
remaja perempuan dibandingkan dengan remaja laki-laki. Namun, studi pada anakanak berbakat intelektual dan anak-anak tidak berbakat intelektual di dua sekolah
menengah atas di Jakarta menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan jenis
kelamin dalam kecenderungan menolong pada anak-anak berbakat intelektual.
Namun, terdapat perbedaan jenis kelamin pada anak-anak tidak berbakat intelektual,
anak perempuan lebih positif dibandingkan anak laki-laki dalam menolong (Hartati,
1993).
4. Tempat Tinggal
Orang yang tinggal di daerah pedesaan cenderung lebih menolong daripada orang
yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini dapat dijelaskan melalui urban-overload
hypothesis, yaitu orang-orang yang tinggal di perkotaan terlalu banyak mendapat
stimulasi dari lingkungan. Oleh kerena itu, ia harus selektif dalam menerima paparan
informasi yang sangat banyak agar bisa tetap menjalankan peran-perannya dengan
baik. Itulah sebabnya, di perkotaan, orang-orang yang sibuk sering tidak peduli
dengan kesulitan orang lain karena ia sudah overload dengan beban tugasnya
sehari-hari (Deaux, Dane, Wrightsman, 1993).
5. Pola Asuh
Tingkah laku sosial sebagai bentuk tingkah laku yang menguntungkan orang lain
tidak terlepas dari peranan pola asuh di dalam keluarga. Pola asuh yang bersifat
demokratis secara signifikan menfasilitasi adanya kecenderungan anak untuk
tumbuh menjadi seorang yang mau menolong, yaitu melalui peran orang tua dalam
‘13
15
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
menetapkan standar-standar ataupun contoh-contoh tingkah laku menolong (Bern,
1997). Pola asuh orang tua yang demokratis juga turut mendukung terbentuknya
internal locus of control (Mashoedi, 2003), yang merupakan salah satu sifat dari
kepribadian altruistik (Baron, Byrne dan Branscombe, 2006), yaitu orang yang suka
menolong memiliki locus of control internal lebih tinggi dibandingkan dengan orang
yang tidak suka menolong.
Pengambilan Keputusan Apakah akan Menolong atau Tidak
Apapun motivasi seseorang untuk menolong, ada beberapa tahapan yang
harus dilalui sebelum pertolongan diberikan. Latane dan Darley (1969) menemukan bahwa
respons seseorang dalam situasi darurat meliputi lima tahapan penting dan dalam setiap
tahap seseorang dapat memutuskan apakah ia akan menolong atau tidak. Tahapan itu yaitu
:
1. Apakah bystander memperhatikan situasi tersebut
2. Apakah bystander mengintepretasikan situasi tersebut sebagai keadaan darurat
3. Apakah bystander mengasumsikan bahwa merupakan tanggung jawabnya untuk
mengambil tindakan
4. Apakah bystander memiliki pengetahuan & keterampilan untuk memberikan
pertolongan yang sesuai
5. Apakah bystander memutuskan untuk menolong
Pertolongan Jangka Panjang
Menolong sebagai respons pada situasi darurat dapat bersifat seketika
ataupun membutuhkan waktu yang lama untuk terus terlibat memberikan pertolongan.
Seperti para sukarelawan yang memberikan bantuan pada peristiwa bencana alam, menjadi
pendamping bagi penderita AIDS, pendamping di panti-panti asuhan ataupun panti jompo,
tentunya siapa saja yang menawarkan diri untuk memberikan bantuan harus memiliki
komitmen dalam waktu, keterampilan bahkan materi dalam waktu yang cukup panjang.
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka seseorang harus benar-benar
termotivasi untuk secara sukarela memberikan pertolongan jangka panjang.
‘13
16
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Clary dan Snyder (1999) dalam Baron, Byrne dan Branscombe (2006) telah
mengindentifikasi adanya enam fungsi dasar yang berlaku pada pekerja sukarela seperti
berikut :
-
Fungsi nilai (misalnya, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan)
-
Fungsi pemahaman (belajar lebih memahami dunia)
-
Fungsi pengembangan (pengembangan diri melalui aktivitas sukarela)
-
Fungsi karier (berhubungan dengan karier)
-
Fungsi sosial (memperkuat hubungan sosial)
-
Fungsi perlindungan (misalnya, untuk mengurangi perasaan negatif atau rasa
bersalah).
SIapa yang Akan Ditolong?
1. Gender
Persepsi terhadap adanya kebutuhan akan pertolongan sangat menentukan apakah
seseorang akan ditolong atau tidak. Bagaimana dengan perempuan, yang
dipersepsikan sebagai kurang mampu dan lebih tergantung? Apakah perempuan
mempunyai kemungkinan lebih besar untuk ditolong daripada laki-laki? Meskipun
terlihat sebagai stereotip yang merendahkan perempuan, penelitian telah secara
konsisten menunjukkan bahwa laki-laki cenderung lebih memberikan pertolongan
pada perempuan (Piliavin & Unger, 1985 dan Baron, Byrne dan Branscombe, 2006).
Jika laki-laki lebih potensial menjadi penolong, maka korban lebih potensial menjadi
penolong, maka korban perempuan dan laki-laki mempunyai peluaang yang sama
untuk ditolong (Myers, 1996).
2. Kesamaan
Kesamaan dengan orang lain mendukung munculnya perasaan yang positif, dan
adanya perasaan positif memperbesar peluang untuk munculnya tingkah laku
menolong sehingga orang cenderung menolong kepada orang yang memiliki
kesamaan dengan dirinya (Myers, 1996). Kesamaan ini bisa berupa kesamaan
dalam penampilan ataupun kesamaan dalam keyakinan.
‘13
17
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
3. Orang yang minta pertolongan
Ketidakpastian mengenai apa yang terjadi pada situasi darurat dan ketidakpastian
mengenai apa yang harus dilakukan dapat menghambat respons bystander untuk
menolong. Kondisi tidak jelas (ambigu) dapat menyebabkan penolong potensial
menahan diri dan menunggu kejelasan. Cara yang paling langsung dan paling efektif
bagi seorang korban untuk mengurangi ketidakjelasan tersebut adalah dengan
meminta pertolongan secara jelas (Baron, Byrne dan Branscombe, 2006).
Bagaimana Orang Menerima Pertolongan?
Menerima pertolongan dari orang lain kadang-kadang di satu sisi dapat
menurunkan harga diri korban walaupun di sisi lain korban menjadi terbantu keluar dari
kesulitannya. Terlebih bila penolong dipersepsikan oleh korban sebagai orang yang
“setingkat” atau memiliki “kemampuan” di bawah korban dan pertolongan terkait dengan
tugas-tugas yagn bersifat ego-central task (tugas-tugas yang menyangkut hargi diri
seseorang), maka pertolongan yang diberikan dapat dipersepsikan oleh korban sebagai
merendahkan diri korban (Deaux, Dane, Wrighsman, 1993) Menerima pertolongan dapat
menunjukkan bahwa seseorang memiliki “ketidakmampuan” dalam hal tertentu. Selain itu
juga, dapat menimbulkan perasaan utang budi kepada penolong yang membuat korban
merasa harus membalas kebaikan penolong di masa datang. Dalam memberikan
pertolongan kepada orang lain, kita harus memperhatikan cara-cara menolong yang tidak
mengancam harga diri korban agar pertolongannya dapat dihargai ataupun diterima.
Pertolongan, selain tidak mengancam harga diri, juga jangan sampai
membuat korban tergantung untuk seterusnya. Bila orang mudah mendapat bantuan,
dampaknya dapat mempengaruhi persepsinya terhadap ketidakmampuan dirinya sehingga
ia menjadi kurang berusaha untuk meningkatkan kemampuannya dan kurang mendukung
terbentuknya internal locus of control (Berns, 1997).
Meningkatkan Tingkah Laku Menolong
Untuk meningkatkan tingkah laku menolong, hambatan-hambatan yang dapat
mengurangi munculnya tingkah laku menolong perlu dihilangkan, di antaranya
ketidakjelasan situasi darurat. Situasi darurat yang jelas akan mendorong keberanian
seseorang untuk memberikan bantuan. Pada kasus Kitty Genovese, bystander gagal
‘13
18
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
memberikan pertolongan karena ketidakjelasan situasi dan adanya penyebaran tanggung
jawab (diffusion of responsibility). Oleh karena itu, selain adanya kejelasan situasi darurat,
meningkatkan rasa tangung jawab setiap orang juga penting. Memberikan bantuan adalah
tanggung jawab setiap orang, bukan tanggung jawab orang lain.
Meningkatkan rasa bersalah dan menciptakan self-images (gambaran diri)
yang positif pada penolong potensial juga dapat menimbulkan kemungkinan munculnya
pertolongan. Hal ini dapat dilakukan melalui teknik door in the face, yaitu strategi untuk
memperoleh persetujuan dari orang lain dengan cara mengajukan permintaan setingkat
lebih tinggi dari yang diinginkan. Apabila permintaan tersebut ditolak, maka ia mengajukan
pertolongan merasa bersalah bila menolaknya lagi dan untuk mendapatkan self images
yang positif, maka penolong potensial pun memberikan apa yang diminta (dalam hal ini
berupa pertolongan ) (Myers, 1996).
Sosialisasi tingkah laku menolong dalam masyarakat dapat diciptakan melalui
kegiatan amal dan member dukungan pada orang-orang yang melakukan tingkah laku
menolong. Sifat altruis juga dapat ditumbuhkan melalui pola asuh di rumah ataupun
pendidikan di sekolah. Anak-anak yang sejak kecil ditanamkan untuk memiliki rasa tanggung
jawab pribadi cenderung lebih bersifat altruis (Berns, 1997).
Daftar Pustaka
Sarwono, S.W., & Meinarno, E.A. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika
‘13
19
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download