Modul Psikologi Sosial I [TM11].

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Psikologi Sosial 1
Diri
Fakultas
Program Studi
Psikologi
Psikologi
Tatap Muka
10
Kode MK
Disusun Oleh
61017
Filino Firmansyah, M.Psi
Abstract
Kompetensi
Materi tentang konsep diri,
pengetahuan tentang diri, identitas
personal dan sosial, harga diri,
perbandingan diri dan presentasi
diri.
Mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali mengenai
konsep diri, pengetahuan tentang
diri, identitas personal dan sosial,
harga diri, perbandingan diri dan
presentasi diri.
Diri
Pendahuluan
Materi ini dikutip dari tulisan Dicky C. Pelupessy (Sarwono & Mainarno, 2009)
yang akan membahas tentang diri (self), aspek-aspek diri dan pengaruhnya terhadap
tingkah laku sosial. Pembahasan akan dimulai dengan konsep diri dan bagaimana proses
pembentukannya, aspek-aspek diri, yaitu self-knowledge, personal & social identity, selfesteem, self –comparison dan self presentation.
Konsep Diri
Konsep diri (self-concept) merupakan kesadaran seseorang mengenai siapa
dirinya. Menurut Deaux, Dane & Wrightman (1993), konsep diri adalah sekumpulan
keyakinan dan perasaan seseorang mengenai dirinya. Keyakinan seseorang mengenai
dirinya bisa berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan, penampilan fisik dan lain
sebagianya. Orang pun kemudian memilii perasaan terhadap keyakinan mengenai dirinya
tersebut, apakah ia merasa positif atau negatif, bangga atau tidak bangga, dan senang atau
tidak senang dengan dirinya.
Konsep diri sangat penting dipelajari dalam psikologi sosial karena konsep
diri mempengaruhi perilaku seseorang, terutama alam menangani dunia dan pengalaman
(Markus, 1977). Konsep diri bukanlah sesuatu yang tiba-tiba ada atau muncul.
Pembentukan konsep diri dipengaruhi oleh orang lain dalam proses interaksi sosial. Menurut
Cooley (1964), lewat analogi cermin sebagai sarana bagi seseorang melihat dirinya, konsep
diri seseorang diperoleh dari hasil penilaian atau evaluasi orang lain terhadap dirinya. Apa
yang dipikirkan orang lain tentang kita menjadi sumber informasi tentang diri kita.
Namun, bukan berarti penilaian atau evaluasi orang lain adalah satu-satunya
yang membentuk konsep diri. Ketika kita melakukan sesuatu, hasil dari tindakan kita juga
akan membentuk konsep diri. Contohnya, ketika seseorang belajar suatu bahasa asing,
kemudian ia menyadari kemampuannya dalam memahami tata bahasa, menguasai
kosakata, dan mengekspresikan secara lisan. Melalui pengamatannya atas hal-hal tersebut,
ia menyadari apakah dirinya termasuk orang yang mudah atau sulit untuk mempelajari dan
menguasai bahasa asing.
Vaughan & Hogg (2002) menyatakan bahwa hasil dari tindakan kita
mendorong kita untuk melakukan introspeksi dan persepsi diri. Introspeksi dilakukan
seseorang keitka ia berusaha memahami dan menilai mengapa ia melakukan tindakan
‘13
2
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
tertentu. Persepsi diri dilakukan seseorang ketika ia mengatribusikan secara internal hasil
yang diterimanya. Dengan menggunakan contoh di atas, dapat dijelaskan bahwa seseorang
yang memiliki konsep diri “mudah untuk mempelajari dan menguasai bahasa asing” karena
menilai bahwa menguasai banyak bahasa akan membuatnya mudah memperoleh pekerjaan
(introspeksi) dan memiliki sifat persisten (persepsi diri) dalam mempelajari sesuatu yang
baru.
Pengetahuan Tentang Diri
Konsep diri pada dasarnya merupakan suatu skema, yaitu pengetahuan yang
terorganisir mengenai sesuatu yang kita gunakan untuk mengintepretasikan pengalaman.
Dengan demikian, konsep diri adalah skema diri (self-schema), yaitu pengetahuan tentang
diri, yang mempengaruhi cara seseorang mengolah informasi dan mengambil tindakan
(Vaughan & Hogg,2002). Beaman ,Klentz, Diener, & Svanum (1979) melakukan sebuah
eksperimen yang menunjukkan bagaimana pengetahuan tentang diri mempengaruhi
tindakan individu. Pada perayaan hari Hallowen, di rumah-rumah yang menjadi tempat
pelaksanaan eksperimen, diletakkan kotak permen yang boleh diambil oleh anak-anak yang
datang mengenakan kontum. Manipulasi dilakukan dengan cara meletakkan cermin
berukuran besasr di dekat kotak permen, sehingga setiap anak yang mengambil permen
dapat melihat dirinya sendiri. Setelah dipersilahkan masuk, tuan rumah akan menyuruh
anak-anak yang datang untuk mengambil permen yang sudah disediakan. Secara sengaja,
tuan rumah menjauh agar tidak kelihatan ketika menyuruh anak-anak itu mengambil
permen. Kadang tuan rumah menyuruh anak-anak itu mengambil hanya satu permen untuk
satu orang dan kadang menyuruh untuk mengambil sebanyak yang mereka mau. Sebagian
anak diminta menyebutkan nama mereka dan sebagian lagi tidak.
Hasil dari eksperimen itu, ketika terdapat cermin dan menyebutkan nama,
anak-anak mengambil hanya satu atau mengambil lebih sedikit permen daripa ketika tidak
terdapat cermin atau tidak menyebutkan nama. Hasil eksperimen ini menunjukkan bahwa
tingkah laku seseorang dipengaruhi oelh pengetahuan atau kesadaran tentang siapa dirinya.
‘13
3
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Menurut Higgins (1987), ada tiga jenis skema diri, yang disebutkan berikut ini :
1. Actual self, yaitu bagaimana diri kita saat ini
2. Ideal self, yaitu bagaimana diri yang kita inginkan
3. Ought self, yaitu bagaimana diri kita seharusnya
Pada diri seseorang, mungkin terjadi kesenjangan atau diskrepansi antara
actual self dan ideal self atau ought self. Higgins dalam teori diskrepansi diri (self
discrepancy theory) menyatakan bahwa diskrepansi yang terjadi dapat memotivasi
seseorang untuk berubah agar mengurangi diskrepansi yang dirasakannya. Namun, apabila
seseorang gagal dalam mengatasi diskrepansi maka dapat menyebabkan munculnya
emosi-emosi negatif. Kegagalan dalam mengatasi diskrepansi antara actual self dan ideal
self dapat memicu munculnya dejection-related emotions seperti kecewa, tidak puas dan
sedih. Sedangkan diskrepansi antara actual self dan ought self dapat memicu munculnya
agitation-related emotions seperti cemas, takut dan terancam.
Diskrepensi yang dirasakan seseorang dapat mendorong terjadinbya
perubahan karena kita mengembangkan possible self (Baron, Byrne & Branscombe, 2006),
yaitu gambaran diri pada masa yang akan datang, baik yang diinginkan maupun yang tidak
diinginkan. Gambaran mengenai diri yang diinginkan dapat mempengaruhi motivasi
seseorang, misalnya berhenti untuk merokok, belajar rajin agar lulus kuliah tepat waktu, rajin
pergi ke pusat kebugaran, dan lain-lain. Contoh bagaimana kita mengembangkan possible
self adalah saat di mana kita menyatakan ‘resolusi awal tahun’, yaitu “Tahun ini, selain
kuliah saya akan aktif di BEM”’”Tahun ini saya bisa menghentikan kebiasaan begadang
yang membuat sering telat datang kuliah karena kesiangan”.
Identitas Personal dan Sosial
Pengetahuan kita tentang diri bervariasi pada identitas personal dan sosial.
Pada identitas personal, seseorang akan mendefinisikan dirinya berdasarkan atribut atau
trait yang membedakan diri dengan orang lain dan hubungan interpersonal yang dimiliki.
Sedangkan pada identitas sosial, seseorang akan mendefinisikan dirinya berdasarkan
keanggotaany dala suatu kelompok sosial atau atribut yang dimiliki bersama oleh anggota
kelompok (Vaughan & Hogg, 2002).
‘13
4
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Menurut Brewer & Gardiner (1996), tiga bentuk diri yang menjadi dasar bagi
seseorang dalam mendefinisikan dirinya adalah sebagai berikut :
1. Individual self, yaitu diri yang didefinisikan berdasarkan trait pribadi yang
membedakan dengan orang lain. Contohnya, “Saya adalah seorang pekerja
keras yang pantang menyerah ketika menghadapi tantangan”;
2. Relation self, yaitu diri didefinisikan berdasarkan hubungan interpersonal
yang dimiliki dengan orang lain. Contohnya, “Saya temannya anak mantan
presiden”;
3. Collective self, yaitu diri didefinisikan berdasarkan keanggotaan dalam suatu
kelompok sosial ; contoh: “Saya mahasiswa UMB angkatan tahun 2015”.
Setiap orang memiliki ketiga bentuk diri di atas, tetapi ketika diminta
mendefinisikan diri muncul kecenderungan tertentu yang khas antara orang dengan latar
belakang budaya individualis yang menekankan independensi dan budaya kolektif yang
menekankan interdependensi (Matsumoto & Juang, 2004). Penelitian yang dilakukan
Triadis, dkk (1989) menunjukkan bahwa orang Jepang, Korea dan Cina lebih banyak
mengungkapkan diri dalam kaitan dengan kategori sosial, kelompok dan hubungan yang
dimiliki daripada kepribadian atau trait pribadi.
Selain bergantung pada latar belakang budaya, cara kita mendefinisikan diri
bergantung pula pada situasi dan konteks sosial (Baron, Byrne & Branscombe, 2006). Salah
satu situasi dan konteks sosial yang berpengaruh adalah hubungan yang kita miliki dengan
orang lain. Sebagai contoh, apabila ada seseorang yang berasal dari kelompok minoritas
berada ditengah-tengah kelompok mayoritas, orang itu akan lebih kuat dalam
mendefinisikan dirinya berdasarkan karakteristik minoritasnya, seperti “Saya satu-satunya
perempuan yang menjadi pilot pesawat tempur” atau “Saya satu-satunya perempuan yang
di perguruan tinggi yang didominasi mahasiswa asing” atau “ Saya mahasiswa daerah”.
Faktor situasi dan konteks sosial yang berpengaruh terhadap pendefinisian
diri adalah keyakinan kita tentang bagaimana orang lain akan memperlakukan kita. Sebagai
bentuk antisipasi terhadap penerimaan atau penolakan orang lain terhadap kita, sering kali
kita “memilih-milih” identitas diri yang kita ungkapkan (Baron, Byrne & Branscombe, 2006).
Misalnya, jika kita mendatangi suatu kelompok remaja penggemar music alternative untuk
mengadakan wawancara maka untuk bisa diterima dan menghindari penolakan dari mereka,
kita mungkin akan mengungkapkan bahwa kita dulu juga menggemari music alternative. Hal
‘13
5
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
lain yang mungkin terjadi karena kita mengantisipasi perlakuan orang lain adalah kita
menyembunyikan atau tidak mengungkapkan siapa diri kita sebenarnya. Contohnya, karena
kita tahu bahwa menyukai sesame jenis kelamin (homoseksual) tidak bisa atau sulit diterima
masyarakat, seseorang homoseksual tidak menyatakan dirinya sebagai homoseksual ketika
berada di kalangan masyarakat yang menolak homoseksual. Sebaliknya, jika berada di
tengah-tengah kelompok orang yang bisa menerima homoseksual, maka seseorang yang
homoseksual tidak malu atau takut untuk mengungkapkan bahwa dirinya homoseksual.
Definisi dan Komponen Konsep Diri
Sejak dari kecil kita sudah mempelajari konsep “siapakah saya”. Dalam hal ini
kita mengembangkan suatu identitas sosial atau identitas diri yang di dalamnya termasuk
bagaimana pemahaman kita mengenai diri kita sendiri, serta bagaimana kita mengevaluasi
diri. Bagi tiap orang identitas ini mengandung aspek unit dari dirinya seperti nama dan
konsep diri, serta aspek yang di-shared” bersama orang lain (Sherman, 1994). Oleh Baron &
Byrne, identitas sosial didefinisikan sebagai suatu definisi seseorang mengenai siapakah ia;
yang termasuk di dalamnya adalah atribusi personal (konsep diri) dan juga keanggotanya
dalam berbagai kelompok.
Konsep diri adalah suatu identitas diri yang merupakan skema yang terdiri
dari kumpulan belief dan perasaan yang terorganisasi mengenai diri. Self (diri) adalah suatu
aspek yang sudah sejak lama menjadi perhatian para ahli masalah sosial. Misalnya Willian
James yang sudah sejak lebih dari seratus tahun mempelajari mengenai pertanyaan
siapakah saya. Self (diri) memang menjadi kajian yang menari, khususnya dalam psikologi
sosial karena adanya alasan ini:
1. Pemahaman seseorang mengenai dirinya akan mempengaruhi
bagaimana perilaku sosialnya. Mengapa seseorang tampil meyakinkan?
Mengapa seseorang memilih orientasi politik tertentu? Mengapa
seseorang memilih mempelajari psikologi? Mengapa seseorang merasa
kecil hati? Mengapa seseorang memutuskan untuk menikah? Mengapa
seseorang berpakaian tertentu? Pemahaman seseorang mengenai
dirinya sering kali menjadi alasan mengapa seseorang melakukan
perilaku tertentu.
2. Pemahaman seseorang mengenai dirinya dipengaruhi oleh interaksinya
dengan lingkungan sosialnya. James Cooley mengatakan, bahwa self
adalah looking glass self. Inti dari ungkapan adalah bahwa bagaimana
‘13
6
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
pemahaman seseorang mengenai dirinya sesungguhnya adalh
mencerminkan/merupakan pantulan bagaimana pemahaman orang lain
mengenai dirinya. Misalnya seorang individu yang memahami dirinya
sebagai manusia yang berguna, memiliki cukup bakat, dan layak
memperoleh hidup yang baik dan kebahagiaan adalah individu yang lahir
dan dibesarkan dalam lingkungan yang memang memperlakukan dia
sebagai individu yang sangat dihargai: kehadirannya disyukuri dan
diterima sebagai suatu anugerah.
Komponen Konsep Diri.
Sebuah penelitian mengenai konsep diri dari Rentsch & Heffner (1994)
menemukan adanya 8 kategori dalam konsep diri. Kategori ini diperoleh dari suatu
instrumen yang meminta tiap responden untuk mendeskripsikan dalam 20 pernyataan
mengenai siapakah dia. Kategori-kategori yang ditemukannya itu adalah
1. Interpersonal attributes
: saya adalah mahasiswa, saya adalah
karyawan eksekutif
2. Ascribe Characteristic
: saya adalah gadis berumur 19 tahun,
saya
adalah laki-laki
3. Interest & activities
: saya adalah pemain bola yang hebat,
saya
sangat menikmati dunia teater dan
acting.
4. Existential Aspects
: saya adalah individu yang unik, saya
adalah manusia yang punya talenta
5. Self Determination
: saya adalah orang Islam yang saleh
6. Internalized Beliefs
: saya sangat menentang aborsi, saya
sangat mempercayai karma.
7. Self Awarness
‘13
7
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
: saya adalah individu yang matang
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
8. Social Differentiation
: saya berasal dari keluarga miskin, saya
adalah anak muda betawi
Posible Self
Satu aspek penting lain dari konsep diri adalah possible self. Possible self
adalah representasi mental yang berisi gambaran self seperti apa yang kita ingin miliki di
masa yang akan dating. Dalam banyak penelitian, ditemukan, bahwa possible self ini
berkaitan dengan daya tahan seseorang terhadap masalah dan stress yang dialami dalam
hidupnya. Seseorang yang mempunyai lebih banyak alternative mengenai gambaran dirinya
di masa depan – dalam tahun-tahunan mendatang, kalau saya tekuni, saya bias punya
usaha sendiri, saya bias pindah profesi yang lebih baik, saya akan memiliki wawasan yang
lebih luas, saya akan mempunyai banyak kawan, saya akan lebih mampu membiayai diri
sendiri, dan sebagainya – akan lebih tahan terhadap stress dan juga lebih memiliki pilihan
yang luas mengenai pekerjaan yang dapat dimasukinya. Dengan kata lain orang yang
memiliki possible self yang lebih bervariasi dan banyak, cenderung akan lebih berkembang
positif.
Harga Diri
Tingkah laku sosial seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan tentang siapa
dirinya. Namun tingkah laku sosial seseorang juga dipengaruhi oleh penilaian atau evaluasi
terhadap dirinya, baik secara positif atau negatif. Jika orang menilai secara positif terhadap
dirinyanya, maka ia menjadi percaya diri dalam mengerjakan hal-hal yang ia kerjakan dan
memperoleh hasil yang positif pula. Sebaliknya, orang yang menilai secara negatif terhadap
dirinya, menjadi tidak percaya diri ketika mengerjakan sesuatu atau akhirnya, hasil yang
didapat pun tidak menggembirakan. Penilaian atau evaluasi secara positif atau negatif
terhadap diri ini disebut harga diri (self esteem) (Deaux, Dane & Wrightsman, 1992). Harga
diri menunjukkan keseluruhan sikap seseorang terhadap dirinya sendiri, baik positif maupun
negatif (Baron, Byrne, Branscombe, 2006).
Setiap orang menginginkan harga diri yang positif. Mengapa demikian?
Menurut Vaughan & Hogg (2002) alasannya adalah sebagai berikut :
1. Harga diri yang positif membuat orang merasa nyaman dengan dirinya di
tengah kepastian akan kematian yang suatu waktu akan dihadapinya.
‘13
8
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Greenberg, Pyszczynski & Salomon (1986) dalam terror management
theory, menyatakan bahwa manusia mengalami kecemasan dalam
menghadapi kematian. Greenberg dkk melakukan eksperimen yang
hasilnya menunjukkan bahwa partisipan eksperimen yang mendapatkan
penilaian positif terhadap aspek-aspek kepribadiannya, harga dirinya
positif, lebih sedikit mengalami araousal fisik dan kecemasan ketika
menonton video tentang kematian yang sengaja diputar oleh
eksperimenter.
2. Harga diri yang positif membuat orang dapat mengatasi kecemasan,
kesepian dan penolakan sosial. Dalam hal ini, harga diri menjadi ‘alat ukur
sosial’ (sociometer) untuk melihat sejauh mana seseorang merasa
diterima dan menyatu dengan lingkungan sosialnya. Dengan demikian,
semakin positif harga diri yang dimiliki, semakin menunjukkan bahwa ia
semakin merasa diterima dan menyatu dengan orang-orang disekitarnya.
Sebagai alat ukur sosial, harga diri seseorang juga dapat diukur. Harga diri
dapat dikur secara eksplisit maupun implicit. Pengukuran secara eksplisit dilakukan dengan
meminta orang untuk memberikan rating (mulai dari sangat sesuai sampai dengan tidak
sesuai) terhadap sejumlah pernyataan tentang diri, misalnya “Saya merasa berguna bagi
orang lain”. Pengukuran secara implicit dilakukan dengan mengukur kecepatan reaksi orang
terhadap sejumlah stimulus yang diasosiasikan dengan diri. Stimulus diberikan secara
subliminal (ditampilkan dengan cepat untuk dapat dikenali secara sadar) dengan harapan
mengurangi kemungkinan orang memberikan respon tidak apa adanya unutk menampilkan
kesan tertentu tentang dirinya. Kecepatan reaksi yang muncul menunjukkan kekuatan
hubungan antara diri dengan stimulus yang ditampilkan, misalnya kata hangat atau gambar
yang berhubungan dengan sifat hangat.
Salah satu alat ukur yang sering digunakan untuk mengukur harga diri secara
eksplisit adalah skala Rosenberg (Baron, Bryne, Branscombe, 2006). Skala ini terdiri dari10
pernyataan tentang diri. Berikut ini adalah kesepuluh penyataan skala Rosenberg yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia :
‘13
9
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
1. Saya merasa sebagai orang yang sangat berguna, paling tidak sama
seperti orang lain
2. Saya merasa memiliki sejumlah kualitas yang baik
3. Secara umum, saya cenderung merasa sebagai orang yang gagal
4. Saya mampu melakukan hal-hal sebaik yang kebanyakan orang lakukan
5. Saya merasa tidak memiliki banyak hal untuk dibanggakan
6. Saya memiliki sikap positif terhadap diri sendiri
7. Secara umum, saya puas dengan diri saya
8. Saya berharap diri saya lebih menghargai diri saya sendiri
9. Saya sering kali merasa tidak berguna
10. Saya sering kali berpikir saya sama sekali bukan orang yang baik
Responden diminta untuk memberian rating menyangkut kesesuaian
pernyataan-pernyataan tersebut dengan dirinya (1 = sangat tidak sesuai dengan diri saya; 2
= tidak sesuai dengan diri saya; 3 = agak sesuai dengan diri saya; 4 = sesuai dengan diri
saya, dan 5 = sangat sesuai dengan diri saya).
Pada umumnya, orang menginginkan harga diri yang positif dan hal ini
mendorong munculnya gejala above-average effect, yaitu kecenderungan orang untuk
menilai dirinya di atas rata-rata pada berbagai aspek diri yang dianggap positif secara sosial
(Baron, Byrne, Branscome, 2006). Termotivasi untuk memperoleh atau melihat dirinya yang
positif, orang kemudia dapat mengalami bias dalam menilai hasil yang diperolehnya. Ketika
hasil yang diperoleh positif, maka orang akan menjelaskan bahwa dirinyalah yang
bertanggung jawab atas hasil tersebut, sementara apabila hasil yang diperoleh negatif orang
akan mengalihkan tanggung jawab atas hasil tersebut kepada orang lain atau hal lain diluar
dirinya. Bias dalam menilai hasil ini disebut self-serving bias, yaitu kecenderungan untuk
menilai hasil positif sebagai akibat dari faktor internal (trait atau karakteristik pribadi) dan
menilai hasil negatif sebagai akibat dari faktor eksternal (orang lain atau situasi).
Dulu, harga diri yang rendah dianggap sebagai akar dari berbagai penyakit
sosial. Orang-orang yang melakukan penyalahgunaan obat-obatan, memilii prestasi sekolah
yang buruk, mengalami depresi dan melakukan tindak kekerasan (termasuk terosisme)
‘13
10
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
adlaah orang-orang yang memiliki harga diri yang rendah (Baron, Byrne, Branscombe,
2006). Namun, dari serangkaian penelitian ditemuakn bahwa harga diri yang tinggi tidak
selalu berpengaruh positif terhadap tingkah laku. Bullying, nasisme dan eksibisionisme
adlaah contoh tingkah laku negatif yang dilakukan oleh orang dengan harga diri tinggi.
Mengapa orang denga harga diri tinggi melakukan hal tersebut? Harga diri mencerminkan
superioritas terhadap orang lain dan orang termotivasi untuk terus mempertahankannya.
Ketika ada situasi yang dipersepsikan mengancam superioritas tersebut, maka muncul
tingkah laku agresif yang bertujuan untuk mempertahankannya.
Perbandingan Sosial
Bagaimana kita tahu seberapa baik atau buruk diri kita? Apa saja yang baik
dan yang buruk dari diri kita? Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin sering ditanyakan orang
pada dirinya sendiri. Menurut Baron, Byrne dan Branscombe (2006), untuk mendapatkan
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, orang melakukan perbandingan sosial (social
comparison).
Menurut Festinger (1954), untuk mengetahui seperti apa dirinya, orang akan
melakukan perbandingan dengan orang lain karena tidak adanya patokan yang objektif
untuk menilai. Dengan demikian, ornag lain menjadi sumber informasi mengenai diri kita.
Kita dapat melakukan perbandingan dengan orang lain yang lebih baik (upward social
comparison) maupun yang lebih tidak baik (downward social comparison). Namun, motif
dasar melalukan perbandingan dengan orang lain adalah lebih karena kita ingin
memperoleh gambaran yang akurat tentang diri kita (Baumeister, 1998).
Untuk memperoleh gambaran yang positif, kita dapat memilih untuk
melalukan perbandingan dengan orang lain yang kategori sosialnya sama dengan kita
(misalnya: laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, miskin dengan miskin,
kaya dengan kaya, dan sebagainya) karena beda kategori sosial beda pula tindakan dan
performa yang diharapkan. Kita akan menghindari melakukan perbandingan sosial dengan
anggota kelompok sosial yang lebih tinggi atau lebih baik dalam rangka mempertahankan
harga diri kita. Menurut self-evaluation maintenance model dari Tesser (1988), untuk
mendapatkan pandangan positif tentang diri, kita cenderung menjaga jarak dari orang lain
yang melakukan sesuatu yang lebih baik dari kita. Sebagai contoh, seorang pegawai negari
sipil di suatu departemen akan lebih membandingkan dirinya dengan pegawai negeri sipil
lain di departemen yang sama atau beda (tetapi sama-sama di departemen pemerintah)
daripada membandingkan dengan pegawai di perusahaan swasta-multinasional untuk
menilai sudah seberapa sukses dirinya.
‘13
11
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Presentasi Diri
Saat berinteraksi dengan orang lain, sering kali kita tertuju pada bagaimana
orang akan menilai kita. Kita berusaha mengontrol bagaimana orang lain berpikir mengenai
kita, sehingga kita perlu melakukan impression management, yaitu usaha untuk mengatur
kesan yang orang lain tangkap mengenai kita baik secara disadari maupun tidak (Schlenker,
1980). Sebagai bagian dari impression management kita melakukan presentasi diri (self
presentation) seperti yang kita inginkan dengan berbagai macam tujuan.
Menurut Jones & Pittman (1982), lima strategi presentasi diri yang memiliki
tujuan yang berbeda adalah sebagai berikut :
1. Ingratiation
Dengan tujuan agar disukai, kita menampilkan diri sebagai orang yang ingin
membuat orang lain senang. Cara ini apabila dilakukan secara berlebihan
(misalnya, ABS = Asal Bapak Senang) dapat membuat orang lain merasa
terganggu jika orang yang menjadi sasaran tidak menyukainya atau merasa
“dijilat”.
2. Self-promotion
Dengan tujuan agar dianggap kompeten, kita menampilkan diri sebagai orang
yang memiliki kelebihan baik dalam hal kemampuan atau trait pribadi
3. Intimidation
Dengan tujuan agar ditakuti, kita manampilkan diri sebagai orang yang
berbahaya dan menakutkan
4. Supplication
Dengan tujuan dikasihani, kita manampilkan diri sebagai orang yang lemah dan
tergantung
5. Exemplification
Dengan tujuan dianggap memiliki integritas moral tinggi, kita menampilkan diri
sebagai orang yang rela berkorban untuk orang lain.
‘13
12
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Selain lima strategi di atas, ada strategi presentasi diri yang lain, yaitu self
handicapping yang merujuk pada segala tindakan yang dilakukan agar dapat
mengeksternalisasi apabia mendapat hasil negatif dan menginternalisasi apabila mendapat
hasil yang positif (Berglas & Jones, 1978). Tujuan dari strategi ini adalah melindungi harga
diri sebagai antisipasi terhadap hasil yang tidak sesuai harahap (misalnya, menjelang ujian
seorang mahasiswa mengatakan bahwa dalam beberapa hari terakhir, ia mengalami
kesulitan tidur dan buku yang ia miliki terpaksa dipinjam kepada teman-teman yang mau
memfotokopi karena baru saja kehilangan bukunya).
Strategi presentasi diri lainnya adalah bask in reflected glory dimana orang
mengasosiasikan dirinya dengan keberhasilan orang lain, ukan keberhasiln diri sendiri.
Tujuan dari strategi ini adalah meningkatkan harga diri. Contohnya, di hari senin seseorang
memakai kaos tim sepakbola kasayangannya, setelah pada hari Minggu tim tersebut
memastikan menjuarai kompetisi. Dengan memakai kaos itu, ia ikut merasa senang dan
bangga.
Daftar Pustaka
Sarwono, S.W., & Meinarno, E.A. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika
‘13
13
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download