MODUL PERKULIAHAN Psikologi Sosial 1 Diri Fakultas Program Studi Psikologi Psikologi Tatap Muka 10 Kode MK Disusun Oleh 61017 Filino Firmansyah, M.Psi Abstract Kompetensi Materi tentang konsep diri, pengetahuan tentang diri, identitas personal dan sosial, harga diri, perbandingan diri dan presentasi diri. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan kembali mengenai konsep diri, pengetahuan tentang diri, identitas personal dan sosial, harga diri, perbandingan diri dan presentasi diri. Diri Pendahuluan Materi ini dikutip dari tulisan Dicky C. Pelupessy (Sarwono & Mainarno, 2009) yang akan membahas tentang diri (self), aspek-aspek diri dan pengaruhnya terhadap tingkah laku sosial. Pembahasan akan dimulai dengan konsep diri dan bagaimana proses pembentukannya, aspek-aspek diri, yaitu self-knowledge, personal & social identity, selfesteem, self –comparison dan self presentation. Konsep Diri Konsep diri (self-concept) merupakan kesadaran seseorang mengenai siapa dirinya. Menurut Deaux, Dane & Wrightman (1993), konsep diri adalah sekumpulan keyakinan dan perasaan seseorang mengenai dirinya. Keyakinan seseorang mengenai dirinya bisa berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan, penampilan fisik dan lain sebagianya. Orang pun kemudian memilii perasaan terhadap keyakinan mengenai dirinya tersebut, apakah ia merasa positif atau negatif, bangga atau tidak bangga, dan senang atau tidak senang dengan dirinya. Konsep diri sangat penting dipelajari dalam psikologi sosial karena konsep diri mempengaruhi perilaku seseorang, terutama alam menangani dunia dan pengalaman (Markus, 1977). Konsep diri bukanlah sesuatu yang tiba-tiba ada atau muncul. Pembentukan konsep diri dipengaruhi oleh orang lain dalam proses interaksi sosial. Menurut Cooley (1964), lewat analogi cermin sebagai sarana bagi seseorang melihat dirinya, konsep diri seseorang diperoleh dari hasil penilaian atau evaluasi orang lain terhadap dirinya. Apa yang dipikirkan orang lain tentang kita menjadi sumber informasi tentang diri kita. Namun, bukan berarti penilaian atau evaluasi orang lain adalah satu-satunya yang membentuk konsep diri. Ketika kita melakukan sesuatu, hasil dari tindakan kita juga akan membentuk konsep diri. Contohnya, ketika seseorang belajar suatu bahasa asing, kemudian ia menyadari kemampuannya dalam memahami tata bahasa, menguasai kosakata, dan mengekspresikan secara lisan. Melalui pengamatannya atas hal-hal tersebut, ia menyadari apakah dirinya termasuk orang yang mudah atau sulit untuk mempelajari dan menguasai bahasa asing. Vaughan & Hogg (2002) menyatakan bahwa hasil dari tindakan kita mendorong kita untuk melakukan introspeksi dan persepsi diri. Introspeksi dilakukan seseorang keitka ia berusaha memahami dan menilai mengapa ia melakukan tindakan ‘13 2 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id tertentu. Persepsi diri dilakukan seseorang ketika ia mengatribusikan secara internal hasil yang diterimanya. Dengan menggunakan contoh di atas, dapat dijelaskan bahwa seseorang yang memiliki konsep diri “mudah untuk mempelajari dan menguasai bahasa asing” karena menilai bahwa menguasai banyak bahasa akan membuatnya mudah memperoleh pekerjaan (introspeksi) dan memiliki sifat persisten (persepsi diri) dalam mempelajari sesuatu yang baru. Pengetahuan Tentang Diri Konsep diri pada dasarnya merupakan suatu skema, yaitu pengetahuan yang terorganisir mengenai sesuatu yang kita gunakan untuk mengintepretasikan pengalaman. Dengan demikian, konsep diri adalah skema diri (self-schema), yaitu pengetahuan tentang diri, yang mempengaruhi cara seseorang mengolah informasi dan mengambil tindakan (Vaughan & Hogg,2002). Beaman ,Klentz, Diener, & Svanum (1979) melakukan sebuah eksperimen yang menunjukkan bagaimana pengetahuan tentang diri mempengaruhi tindakan individu. Pada perayaan hari Hallowen, di rumah-rumah yang menjadi tempat pelaksanaan eksperimen, diletakkan kotak permen yang boleh diambil oleh anak-anak yang datang mengenakan kontum. Manipulasi dilakukan dengan cara meletakkan cermin berukuran besasr di dekat kotak permen, sehingga setiap anak yang mengambil permen dapat melihat dirinya sendiri. Setelah dipersilahkan masuk, tuan rumah akan menyuruh anak-anak yang datang untuk mengambil permen yang sudah disediakan. Secara sengaja, tuan rumah menjauh agar tidak kelihatan ketika menyuruh anak-anak itu mengambil permen. Kadang tuan rumah menyuruh anak-anak itu mengambil hanya satu permen untuk satu orang dan kadang menyuruh untuk mengambil sebanyak yang mereka mau. Sebagian anak diminta menyebutkan nama mereka dan sebagian lagi tidak. Hasil dari eksperimen itu, ketika terdapat cermin dan menyebutkan nama, anak-anak mengambil hanya satu atau mengambil lebih sedikit permen daripa ketika tidak terdapat cermin atau tidak menyebutkan nama. Hasil eksperimen ini menunjukkan bahwa tingkah laku seseorang dipengaruhi oelh pengetahuan atau kesadaran tentang siapa dirinya. ‘13 3 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Menurut Higgins (1987), ada tiga jenis skema diri, yang disebutkan berikut ini : 1. Actual self, yaitu bagaimana diri kita saat ini 2. Ideal self, yaitu bagaimana diri yang kita inginkan 3. Ought self, yaitu bagaimana diri kita seharusnya Pada diri seseorang, mungkin terjadi kesenjangan atau diskrepansi antara actual self dan ideal self atau ought self. Higgins dalam teori diskrepansi diri (self discrepancy theory) menyatakan bahwa diskrepansi yang terjadi dapat memotivasi seseorang untuk berubah agar mengurangi diskrepansi yang dirasakannya. Namun, apabila seseorang gagal dalam mengatasi diskrepansi maka dapat menyebabkan munculnya emosi-emosi negatif. Kegagalan dalam mengatasi diskrepansi antara actual self dan ideal self dapat memicu munculnya dejection-related emotions seperti kecewa, tidak puas dan sedih. Sedangkan diskrepansi antara actual self dan ought self dapat memicu munculnya agitation-related emotions seperti cemas, takut dan terancam. Diskrepensi yang dirasakan seseorang dapat mendorong terjadinbya perubahan karena kita mengembangkan possible self (Baron, Byrne & Branscombe, 2006), yaitu gambaran diri pada masa yang akan datang, baik yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Gambaran mengenai diri yang diinginkan dapat mempengaruhi motivasi seseorang, misalnya berhenti untuk merokok, belajar rajin agar lulus kuliah tepat waktu, rajin pergi ke pusat kebugaran, dan lain-lain. Contoh bagaimana kita mengembangkan possible self adalah saat di mana kita menyatakan ‘resolusi awal tahun’, yaitu “Tahun ini, selain kuliah saya akan aktif di BEM”’”Tahun ini saya bisa menghentikan kebiasaan begadang yang membuat sering telat datang kuliah karena kesiangan”. Identitas Personal dan Sosial Pengetahuan kita tentang diri bervariasi pada identitas personal dan sosial. Pada identitas personal, seseorang akan mendefinisikan dirinya berdasarkan atribut atau trait yang membedakan diri dengan orang lain dan hubungan interpersonal yang dimiliki. Sedangkan pada identitas sosial, seseorang akan mendefinisikan dirinya berdasarkan keanggotaany dala suatu kelompok sosial atau atribut yang dimiliki bersama oleh anggota kelompok (Vaughan & Hogg, 2002). ‘13 4 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Menurut Brewer & Gardiner (1996), tiga bentuk diri yang menjadi dasar bagi seseorang dalam mendefinisikan dirinya adalah sebagai berikut : 1. Individual self, yaitu diri yang didefinisikan berdasarkan trait pribadi yang membedakan dengan orang lain. Contohnya, “Saya adalah seorang pekerja keras yang pantang menyerah ketika menghadapi tantangan”; 2. Relation self, yaitu diri didefinisikan berdasarkan hubungan interpersonal yang dimiliki dengan orang lain. Contohnya, “Saya temannya anak mantan presiden”; 3. Collective self, yaitu diri didefinisikan berdasarkan keanggotaan dalam suatu kelompok sosial ; contoh: “Saya mahasiswa UMB angkatan tahun 2015”. Setiap orang memiliki ketiga bentuk diri di atas, tetapi ketika diminta mendefinisikan diri muncul kecenderungan tertentu yang khas antara orang dengan latar belakang budaya individualis yang menekankan independensi dan budaya kolektif yang menekankan interdependensi (Matsumoto & Juang, 2004). Penelitian yang dilakukan Triadis, dkk (1989) menunjukkan bahwa orang Jepang, Korea dan Cina lebih banyak mengungkapkan diri dalam kaitan dengan kategori sosial, kelompok dan hubungan yang dimiliki daripada kepribadian atau trait pribadi. Selain bergantung pada latar belakang budaya, cara kita mendefinisikan diri bergantung pula pada situasi dan konteks sosial (Baron, Byrne & Branscombe, 2006). Salah satu situasi dan konteks sosial yang berpengaruh adalah hubungan yang kita miliki dengan orang lain. Sebagai contoh, apabila ada seseorang yang berasal dari kelompok minoritas berada ditengah-tengah kelompok mayoritas, orang itu akan lebih kuat dalam mendefinisikan dirinya berdasarkan karakteristik minoritasnya, seperti “Saya satu-satunya perempuan yang menjadi pilot pesawat tempur” atau “Saya satu-satunya perempuan yang di perguruan tinggi yang didominasi mahasiswa asing” atau “ Saya mahasiswa daerah”. Faktor situasi dan konteks sosial yang berpengaruh terhadap pendefinisian diri adalah keyakinan kita tentang bagaimana orang lain akan memperlakukan kita. Sebagai bentuk antisipasi terhadap penerimaan atau penolakan orang lain terhadap kita, sering kali kita “memilih-milih” identitas diri yang kita ungkapkan (Baron, Byrne & Branscombe, 2006). Misalnya, jika kita mendatangi suatu kelompok remaja penggemar music alternative untuk mengadakan wawancara maka untuk bisa diterima dan menghindari penolakan dari mereka, kita mungkin akan mengungkapkan bahwa kita dulu juga menggemari music alternative. Hal ‘13 5 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id lain yang mungkin terjadi karena kita mengantisipasi perlakuan orang lain adalah kita menyembunyikan atau tidak mengungkapkan siapa diri kita sebenarnya. Contohnya, karena kita tahu bahwa menyukai sesame jenis kelamin (homoseksual) tidak bisa atau sulit diterima masyarakat, seseorang homoseksual tidak menyatakan dirinya sebagai homoseksual ketika berada di kalangan masyarakat yang menolak homoseksual. Sebaliknya, jika berada di tengah-tengah kelompok orang yang bisa menerima homoseksual, maka seseorang yang homoseksual tidak malu atau takut untuk mengungkapkan bahwa dirinya homoseksual. Definisi dan Komponen Konsep Diri Sejak dari kecil kita sudah mempelajari konsep “siapakah saya”. Dalam hal ini kita mengembangkan suatu identitas sosial atau identitas diri yang di dalamnya termasuk bagaimana pemahaman kita mengenai diri kita sendiri, serta bagaimana kita mengevaluasi diri. Bagi tiap orang identitas ini mengandung aspek unit dari dirinya seperti nama dan konsep diri, serta aspek yang di-shared” bersama orang lain (Sherman, 1994). Oleh Baron & Byrne, identitas sosial didefinisikan sebagai suatu definisi seseorang mengenai siapakah ia; yang termasuk di dalamnya adalah atribusi personal (konsep diri) dan juga keanggotanya dalam berbagai kelompok. Konsep diri adalah suatu identitas diri yang merupakan skema yang terdiri dari kumpulan belief dan perasaan yang terorganisasi mengenai diri. Self (diri) adalah suatu aspek yang sudah sejak lama menjadi perhatian para ahli masalah sosial. Misalnya Willian James yang sudah sejak lebih dari seratus tahun mempelajari mengenai pertanyaan siapakah saya. Self (diri) memang menjadi kajian yang menari, khususnya dalam psikologi sosial karena adanya alasan ini: 1. Pemahaman seseorang mengenai dirinya akan mempengaruhi bagaimana perilaku sosialnya. Mengapa seseorang tampil meyakinkan? Mengapa seseorang memilih orientasi politik tertentu? Mengapa seseorang memilih mempelajari psikologi? Mengapa seseorang merasa kecil hati? Mengapa seseorang memutuskan untuk menikah? Mengapa seseorang berpakaian tertentu? Pemahaman seseorang mengenai dirinya sering kali menjadi alasan mengapa seseorang melakukan perilaku tertentu. 2. Pemahaman seseorang mengenai dirinya dipengaruhi oleh interaksinya dengan lingkungan sosialnya. James Cooley mengatakan, bahwa self adalah looking glass self. Inti dari ungkapan adalah bahwa bagaimana ‘13 6 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id pemahaman seseorang mengenai dirinya sesungguhnya adalh mencerminkan/merupakan pantulan bagaimana pemahaman orang lain mengenai dirinya. Misalnya seorang individu yang memahami dirinya sebagai manusia yang berguna, memiliki cukup bakat, dan layak memperoleh hidup yang baik dan kebahagiaan adalah individu yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang memang memperlakukan dia sebagai individu yang sangat dihargai: kehadirannya disyukuri dan diterima sebagai suatu anugerah. Komponen Konsep Diri. Sebuah penelitian mengenai konsep diri dari Rentsch & Heffner (1994) menemukan adanya 8 kategori dalam konsep diri. Kategori ini diperoleh dari suatu instrumen yang meminta tiap responden untuk mendeskripsikan dalam 20 pernyataan mengenai siapakah dia. Kategori-kategori yang ditemukannya itu adalah 1. Interpersonal attributes : saya adalah mahasiswa, saya adalah karyawan eksekutif 2. Ascribe Characteristic : saya adalah gadis berumur 19 tahun, saya adalah laki-laki 3. Interest & activities : saya adalah pemain bola yang hebat, saya sangat menikmati dunia teater dan acting. 4. Existential Aspects : saya adalah individu yang unik, saya adalah manusia yang punya talenta 5. Self Determination : saya adalah orang Islam yang saleh 6. Internalized Beliefs : saya sangat menentang aborsi, saya sangat mempercayai karma. 7. Self Awarness ‘13 7 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi : saya adalah individu yang matang Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 8. Social Differentiation : saya berasal dari keluarga miskin, saya adalah anak muda betawi Posible Self Satu aspek penting lain dari konsep diri adalah possible self. Possible self adalah representasi mental yang berisi gambaran self seperti apa yang kita ingin miliki di masa yang akan dating. Dalam banyak penelitian, ditemukan, bahwa possible self ini berkaitan dengan daya tahan seseorang terhadap masalah dan stress yang dialami dalam hidupnya. Seseorang yang mempunyai lebih banyak alternative mengenai gambaran dirinya di masa depan – dalam tahun-tahunan mendatang, kalau saya tekuni, saya bias punya usaha sendiri, saya bias pindah profesi yang lebih baik, saya akan memiliki wawasan yang lebih luas, saya akan mempunyai banyak kawan, saya akan lebih mampu membiayai diri sendiri, dan sebagainya – akan lebih tahan terhadap stress dan juga lebih memiliki pilihan yang luas mengenai pekerjaan yang dapat dimasukinya. Dengan kata lain orang yang memiliki possible self yang lebih bervariasi dan banyak, cenderung akan lebih berkembang positif. Harga Diri Tingkah laku sosial seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan tentang siapa dirinya. Namun tingkah laku sosial seseorang juga dipengaruhi oleh penilaian atau evaluasi terhadap dirinya, baik secara positif atau negatif. Jika orang menilai secara positif terhadap dirinyanya, maka ia menjadi percaya diri dalam mengerjakan hal-hal yang ia kerjakan dan memperoleh hasil yang positif pula. Sebaliknya, orang yang menilai secara negatif terhadap dirinya, menjadi tidak percaya diri ketika mengerjakan sesuatu atau akhirnya, hasil yang didapat pun tidak menggembirakan. Penilaian atau evaluasi secara positif atau negatif terhadap diri ini disebut harga diri (self esteem) (Deaux, Dane & Wrightsman, 1992). Harga diri menunjukkan keseluruhan sikap seseorang terhadap dirinya sendiri, baik positif maupun negatif (Baron, Byrne, Branscombe, 2006). Setiap orang menginginkan harga diri yang positif. Mengapa demikian? Menurut Vaughan & Hogg (2002) alasannya adalah sebagai berikut : 1. Harga diri yang positif membuat orang merasa nyaman dengan dirinya di tengah kepastian akan kematian yang suatu waktu akan dihadapinya. ‘13 8 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Greenberg, Pyszczynski & Salomon (1986) dalam terror management theory, menyatakan bahwa manusia mengalami kecemasan dalam menghadapi kematian. Greenberg dkk melakukan eksperimen yang hasilnya menunjukkan bahwa partisipan eksperimen yang mendapatkan penilaian positif terhadap aspek-aspek kepribadiannya, harga dirinya positif, lebih sedikit mengalami araousal fisik dan kecemasan ketika menonton video tentang kematian yang sengaja diputar oleh eksperimenter. 2. Harga diri yang positif membuat orang dapat mengatasi kecemasan, kesepian dan penolakan sosial. Dalam hal ini, harga diri menjadi ‘alat ukur sosial’ (sociometer) untuk melihat sejauh mana seseorang merasa diterima dan menyatu dengan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, semakin positif harga diri yang dimiliki, semakin menunjukkan bahwa ia semakin merasa diterima dan menyatu dengan orang-orang disekitarnya. Sebagai alat ukur sosial, harga diri seseorang juga dapat diukur. Harga diri dapat dikur secara eksplisit maupun implicit. Pengukuran secara eksplisit dilakukan dengan meminta orang untuk memberikan rating (mulai dari sangat sesuai sampai dengan tidak sesuai) terhadap sejumlah pernyataan tentang diri, misalnya “Saya merasa berguna bagi orang lain”. Pengukuran secara implicit dilakukan dengan mengukur kecepatan reaksi orang terhadap sejumlah stimulus yang diasosiasikan dengan diri. Stimulus diberikan secara subliminal (ditampilkan dengan cepat untuk dapat dikenali secara sadar) dengan harapan mengurangi kemungkinan orang memberikan respon tidak apa adanya unutk menampilkan kesan tertentu tentang dirinya. Kecepatan reaksi yang muncul menunjukkan kekuatan hubungan antara diri dengan stimulus yang ditampilkan, misalnya kata hangat atau gambar yang berhubungan dengan sifat hangat. Salah satu alat ukur yang sering digunakan untuk mengukur harga diri secara eksplisit adalah skala Rosenberg (Baron, Bryne, Branscombe, 2006). Skala ini terdiri dari10 pernyataan tentang diri. Berikut ini adalah kesepuluh penyataan skala Rosenberg yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia : ‘13 9 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 1. Saya merasa sebagai orang yang sangat berguna, paling tidak sama seperti orang lain 2. Saya merasa memiliki sejumlah kualitas yang baik 3. Secara umum, saya cenderung merasa sebagai orang yang gagal 4. Saya mampu melakukan hal-hal sebaik yang kebanyakan orang lakukan 5. Saya merasa tidak memiliki banyak hal untuk dibanggakan 6. Saya memiliki sikap positif terhadap diri sendiri 7. Secara umum, saya puas dengan diri saya 8. Saya berharap diri saya lebih menghargai diri saya sendiri 9. Saya sering kali merasa tidak berguna 10. Saya sering kali berpikir saya sama sekali bukan orang yang baik Responden diminta untuk memberian rating menyangkut kesesuaian pernyataan-pernyataan tersebut dengan dirinya (1 = sangat tidak sesuai dengan diri saya; 2 = tidak sesuai dengan diri saya; 3 = agak sesuai dengan diri saya; 4 = sesuai dengan diri saya, dan 5 = sangat sesuai dengan diri saya). Pada umumnya, orang menginginkan harga diri yang positif dan hal ini mendorong munculnya gejala above-average effect, yaitu kecenderungan orang untuk menilai dirinya di atas rata-rata pada berbagai aspek diri yang dianggap positif secara sosial (Baron, Byrne, Branscome, 2006). Termotivasi untuk memperoleh atau melihat dirinya yang positif, orang kemudia dapat mengalami bias dalam menilai hasil yang diperolehnya. Ketika hasil yang diperoleh positif, maka orang akan menjelaskan bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab atas hasil tersebut, sementara apabila hasil yang diperoleh negatif orang akan mengalihkan tanggung jawab atas hasil tersebut kepada orang lain atau hal lain diluar dirinya. Bias dalam menilai hasil ini disebut self-serving bias, yaitu kecenderungan untuk menilai hasil positif sebagai akibat dari faktor internal (trait atau karakteristik pribadi) dan menilai hasil negatif sebagai akibat dari faktor eksternal (orang lain atau situasi). Dulu, harga diri yang rendah dianggap sebagai akar dari berbagai penyakit sosial. Orang-orang yang melakukan penyalahgunaan obat-obatan, memilii prestasi sekolah yang buruk, mengalami depresi dan melakukan tindak kekerasan (termasuk terosisme) ‘13 10 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id adlaah orang-orang yang memiliki harga diri yang rendah (Baron, Byrne, Branscombe, 2006). Namun, dari serangkaian penelitian ditemuakn bahwa harga diri yang tinggi tidak selalu berpengaruh positif terhadap tingkah laku. Bullying, nasisme dan eksibisionisme adlaah contoh tingkah laku negatif yang dilakukan oleh orang dengan harga diri tinggi. Mengapa orang denga harga diri tinggi melakukan hal tersebut? Harga diri mencerminkan superioritas terhadap orang lain dan orang termotivasi untuk terus mempertahankannya. Ketika ada situasi yang dipersepsikan mengancam superioritas tersebut, maka muncul tingkah laku agresif yang bertujuan untuk mempertahankannya. Perbandingan Sosial Bagaimana kita tahu seberapa baik atau buruk diri kita? Apa saja yang baik dan yang buruk dari diri kita? Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin sering ditanyakan orang pada dirinya sendiri. Menurut Baron, Byrne dan Branscombe (2006), untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, orang melakukan perbandingan sosial (social comparison). Menurut Festinger (1954), untuk mengetahui seperti apa dirinya, orang akan melakukan perbandingan dengan orang lain karena tidak adanya patokan yang objektif untuk menilai. Dengan demikian, ornag lain menjadi sumber informasi mengenai diri kita. Kita dapat melakukan perbandingan dengan orang lain yang lebih baik (upward social comparison) maupun yang lebih tidak baik (downward social comparison). Namun, motif dasar melalukan perbandingan dengan orang lain adalah lebih karena kita ingin memperoleh gambaran yang akurat tentang diri kita (Baumeister, 1998). Untuk memperoleh gambaran yang positif, kita dapat memilih untuk melalukan perbandingan dengan orang lain yang kategori sosialnya sama dengan kita (misalnya: laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, miskin dengan miskin, kaya dengan kaya, dan sebagainya) karena beda kategori sosial beda pula tindakan dan performa yang diharapkan. Kita akan menghindari melakukan perbandingan sosial dengan anggota kelompok sosial yang lebih tinggi atau lebih baik dalam rangka mempertahankan harga diri kita. Menurut self-evaluation maintenance model dari Tesser (1988), untuk mendapatkan pandangan positif tentang diri, kita cenderung menjaga jarak dari orang lain yang melakukan sesuatu yang lebih baik dari kita. Sebagai contoh, seorang pegawai negari sipil di suatu departemen akan lebih membandingkan dirinya dengan pegawai negeri sipil lain di departemen yang sama atau beda (tetapi sama-sama di departemen pemerintah) daripada membandingkan dengan pegawai di perusahaan swasta-multinasional untuk menilai sudah seberapa sukses dirinya. ‘13 11 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Presentasi Diri Saat berinteraksi dengan orang lain, sering kali kita tertuju pada bagaimana orang akan menilai kita. Kita berusaha mengontrol bagaimana orang lain berpikir mengenai kita, sehingga kita perlu melakukan impression management, yaitu usaha untuk mengatur kesan yang orang lain tangkap mengenai kita baik secara disadari maupun tidak (Schlenker, 1980). Sebagai bagian dari impression management kita melakukan presentasi diri (self presentation) seperti yang kita inginkan dengan berbagai macam tujuan. Menurut Jones & Pittman (1982), lima strategi presentasi diri yang memiliki tujuan yang berbeda adalah sebagai berikut : 1. Ingratiation Dengan tujuan agar disukai, kita menampilkan diri sebagai orang yang ingin membuat orang lain senang. Cara ini apabila dilakukan secara berlebihan (misalnya, ABS = Asal Bapak Senang) dapat membuat orang lain merasa terganggu jika orang yang menjadi sasaran tidak menyukainya atau merasa “dijilat”. 2. Self-promotion Dengan tujuan agar dianggap kompeten, kita menampilkan diri sebagai orang yang memiliki kelebihan baik dalam hal kemampuan atau trait pribadi 3. Intimidation Dengan tujuan agar ditakuti, kita manampilkan diri sebagai orang yang berbahaya dan menakutkan 4. Supplication Dengan tujuan dikasihani, kita manampilkan diri sebagai orang yang lemah dan tergantung 5. Exemplification Dengan tujuan dianggap memiliki integritas moral tinggi, kita menampilkan diri sebagai orang yang rela berkorban untuk orang lain. ‘13 12 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Selain lima strategi di atas, ada strategi presentasi diri yang lain, yaitu self handicapping yang merujuk pada segala tindakan yang dilakukan agar dapat mengeksternalisasi apabia mendapat hasil negatif dan menginternalisasi apabila mendapat hasil yang positif (Berglas & Jones, 1978). Tujuan dari strategi ini adalah melindungi harga diri sebagai antisipasi terhadap hasil yang tidak sesuai harahap (misalnya, menjelang ujian seorang mahasiswa mengatakan bahwa dalam beberapa hari terakhir, ia mengalami kesulitan tidur dan buku yang ia miliki terpaksa dipinjam kepada teman-teman yang mau memfotokopi karena baru saja kehilangan bukunya). Strategi presentasi diri lainnya adalah bask in reflected glory dimana orang mengasosiasikan dirinya dengan keberhasilan orang lain, ukan keberhasiln diri sendiri. Tujuan dari strategi ini adalah meningkatkan harga diri. Contohnya, di hari senin seseorang memakai kaos tim sepakbola kasayangannya, setelah pada hari Minggu tim tersebut memastikan menjuarai kompetisi. Dengan memakai kaos itu, ia ikut merasa senang dan bangga. Daftar Pustaka Sarwono, S.W., & Meinarno, E.A. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika ‘13 13 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id