PEWILAYAHAN KOMODITAS PERTANIAN BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI SKALA 1:50.000 DI KABUPATEN BIMA Moh. Nazam1) , I M Wisnu W1), H. Suriadi1), Marwan H2), dan Hendra S2) 1) Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 2) Peneliti Balai Penelitian Tanah Bogor ABSTRAK Penelitian pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan Zona Agroekologi (ZAE) skala 1:50.000 di Kabupaten Bima, bertujuan: mengidentifikasi potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan pertanian; menyusun informasi tipe penggunaan lahan untuk sistem pertanian yang tepat; menyusun peta pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan ZAE skala 1:50.000. Penelitian dilakukan dengan pendekatan desk study, observasi dan survei. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara geografis Kabupaten Bima terletak antara 117°40’-119°10’ BT dan 8°12’8°55’LS. Tergolong wilayah dengan pola curah hujan IA dan IIA. Curah hujan tertinggi terjadi di Woha rerata 2.036 mm/th dan terendah di Donggo rerata 336 mm/th. Rerata suhu udara tahunan 27,6°C-28,1°C. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson tergolong tipe D dan F terletak pada zona D4 dan E4. Hasil analisis terrain memiliki 5 grup landform, yaitu Aluvial (A), Fluvio-Marin (B), Marin (M) Karst (K), Volkanik (V), dan grup Aneka (X) yang menghasilkan 28 satuan unit lahan. Lebih dari 50% wilayah Kabupaten Bima dominan berbukit dengan lereng 15-45%, 19% bergunung dengan lereng >45% dan sisanya berupa lereng <15% berupa wilayah datar, berombak, bergelombang, dan berbukit kecil yang berlereng agak curam sampai curam. Penggunaan lahan terluas adalah hutan (41,77%), semak belukar dan sejenisnya (33,98%), kebun/tegal (10,79%), sedangkan sawah hanya 7,29% dan sisanya adalah untuk penggunaan lain. Pola tanam untuk tanaman semusim (padi – padi – palawija; padi – palawija – padi; atau padi – komoditas lain) dan pola tanam campuran untuk tanaman tahunan seperti tanaman industri (kelapa, jambu mete, kopi), tanaman hortikultura (mangga, serikaya/garoso, sawo, pisang. Umumnya reaksi tanah netral, kandungan C organik dan N rendah, KTK rendah, dan kejenuhan basa tinggi, dengan tingkat kesuburan sedang sampai tinggi. Tanah diklasifikasikan ke dalam lima ordo, yaitu Entisols, Andisols, Inceptisols, Molisols, dan Vertisols yang menurunkan 11 grup dengan 20 subgrup. Hasil evaluasi lahan menunjukkan kacang tanah, padi sawah, padi gogo, jagung, kedele, bawang merah, semangka, sawo, mangga, srikaya, pisang, kemiri, jambu mete, dan kelapa sesuai dikembangkan di Kabupaten Bima. Hasil pewilayahan komoditas pertanian diperoleh 13 arahan pewilayahan komoditas pertanian dan dapat ditetapkan enam arahan sistem pertanian. Kata kunci : biofisik, agroklimat, sosial ekonomi, pewilayahan komoditas. PENDAHULUAN Tantangan pengembangan ketahanan pangan adalah semakin terbatasnya kapasitas produksi akibat berlanjutnya konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian, menurunnya kualitas kesuburan tanah akibat kerusakan lingkungan, semakin terbatas dan ketidakpastian pasokan air untuk produksi pangan, persaingan penggunaan air dengan sektor industri dan pemukiman, ketidak pastian perilaku iklim, belum memadainya prasarana distribusi darat dan antar pulau, serta kelembagaan pemasaran hasil-hasil pangan yang belum mantap. Pembangunan pertanian harus didasarkan atas potensi lahan yang keberhasilannya tergantung pada pilihan komoditas serta sistem usaha yang sesuai dengan karakteristik sumberdaya alam dan sosial ekonomi setempat. Berbagai langkah yang perlu diambil dalam rangka pengembangan sumberdaya alam secara optimal, antara lain : (a) pengenalan sifat dan karakteristik lahan; (b) menetapkan kesesuaian lahan lahan; (c) menetapkan tingkat manajemen yang diperlukan untuk setiap penggunaan lahan; (d) menilai kesesuaian lahan bagi pengembangan berbagai komoditas pertanian, serta (e) menentukan pilihan komoditas atau tipe penggunaan lahan tertentu yang sesuai secara fisik dan menguntungkan (Budianto, 2001). Konsep pewilayahan pertanian atau pemetaan zona agroekologi (ZAE) adalah penyederhanaan dan pengelompokan agroekosistem yang beragam dalam bentuk klasifikasi yang lebih aplikatif (Las et al., 1990). ZAE juga merupakan salah satu metode pengidentifikasian lahan yang digunakan untuk tanaman tertentu yang berpotensi tinggi dengan memperhatikan aspek-aspek agroekosistem atau sumberdaya alam yang terdiri atas tanah, iklim dan vegetasi. Pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan ZAE skala 1:50.000 di Kabupaten Bima bertujuan: (1) mengidentifikasi potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan pertanian; (2) menyusun informasi tipe penggunaan lahan untuk sistem pertanian yang tepat sebagai dasar pembangunan pertanian berkelanjutan; (3) menyusun peta pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan ZAE skala 1:50.000. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : (1) dasar perencanaan pembangunan pertanian yang efektif dan berkelanjutan.; (2) memudahkan dalam menetapkan kawasan-kawasan pengembangan komoditas unggulan; (3) memudahkan dalam memilih paket teknologi yang sesuai untuk tiap-tiap kawasan tertentu atau ekstrapolasi teknologi yang telah teruji yang kondisi fisik lingkungan dan sosial ekonominya sama atau hampir sama. BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan terdiri atas: peta rupabumi digital skala 1:25.000 (Bakosurtanal, 1998); citra landsat TM skala 1:60.000 (1998); peta geologi skala 1:250.000 lembar Sumbawa, NTB (Puslitbang Geologi, 1994); peta agroklimat NTB, NTT skala 1:500.000 (Oldeman et al., 1988); Atlas Sumberdaya Iklim Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000 (Balitklimat dan Hidrologi, 2003) dan Peta Tanah Tinjau Kabupaten Bima (Balittanah, 2003). Penelitian dilakukan bulan Januari s/d Desember 2004 dengan pendekatan desk study dan survei. Penyusunan peta kerja melalui analisis terrain foto udara/Citra landsat, digitasi dan overlay peta rupabumi. Peta kerja digunakan sebagai dasar karakterisasi tanah. Survei tanah mengacu pada Guidelines for Soil Profile Description (FAO, 1978) dan Key To Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1998). Survei sosial ekonomi dilakukan dengan teknik wawancara dengan petani di sentra produksi dan daerah potensial pengembangan (Balittanah, 2001). Analisis contoh tanah dilakukan di laborartorium tanah BPTP NTB dengan mengacu pada Soil Survey, Laboratory Method and Procedure for Collecting Soil Samples (Soil Conservation Service, 1972). Data sosial ekonomi dianalisis dengan analisis B/C ratio, Net Present Value (NPV), dan Internal Rate of Return (IRR) (Kadariah, 1988). Evaluasi lahan dilakukan dengan pendekatan two stages approach, menggunakan program ALES (Automated Land Evaluation System) (Rossiter dan Van Wambeke, 1997). Pengelompokan kelas kesesuaian lahan menurut Djaenuddin et al., 2003. Dengan menggunakan program modul pewilayahan komoditas (MPK) disusun pewilayahan komoditas pertanian. Slanjutnya untuk melihat kesesuaian hasil analisis dengan kondisi di lapangan dilakukan verifikasi dan validasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Biofisik Kabupaten Bima secara geografis terletak antara 117°40’-119°10’ BT dan 8°12’-8°55’ LS dengan luas wilayah 43.089,9 ha. Formasi geologi Kabupaten Bima terdiri atas: (1) endapan permukaan (Qa) tersusun dari kerikil, pasir dan lumpur yang terbentuk dalam lingkungan sungai, delta dan pantai. Formasi ini tersebar di Teluk Bima, Sape dan sekitar Waworada; (2).hasil gunung api muda (Qvm dan Qvs) terdiri dari lahar, lava, breksi, bom dan lapili, tersebar di gunung Sangeang dan tercatat masih aktif sedangkan G. Tambora dan gunung api lainya sudah tidak aktif tetapi masih berbentuk kerucut; (3) hasil erupsi gunung api tua (Qtvl, Qtvm dan Qtvs) terdiri atas persilangan breksi lava dan tufa bersusunan andesit dan basalt, banyak dijumpai di Gunung Lambuwu, Doro Maria, Doro Saboko; (4) satuan lava-breksi (Qhv) terdiri atas lava, breksi, lahar, tuf dan abu gunung api, tersebar di G. Tambora; (5) satuan breksi-andesit-basalt (Qvl) terdiri atas breksi gunung api, lahar, tuf, dan lava di G. Labumbu; (6) batu gamping koral (Ql) terdiri atas batu gamping koral dengan sisipan konglomerat dan batu pasir sebagian bersifat keras dan sebagian bersifat lunak di bagian utara atau sekitar kecamatan Wera; (7) batu gamping berlapis (Tml) tediri atas batu gamping dengan sisipan batu gamping tufaan berwarna kelabu di sekitar Sape, Teluk Waworada dan Teluk Bima; (8) batuan gunung api (Tmv) terdiri atas lava dan breksi bersifat dasit, tersebar relatif sempit di sekitar Waworada dan Bima; (9) tufa dasitan (Tmdt) terdiri atas tufa mengandung sisipan tuf hijau dan tuf gampingan di Doro Kawangge; (10) batuan gunung api tua (Tlmv) terdiri atas lava dan breksi bersifat andesit dan basal, tersebar paling luas di bagian tengah dan selatan komplek pegunungan Mpuja; dan (11) batuan terobosan (Tg) tediri atas granodiorit, diorit, sienit dan tonalit. Formasi ini penyebarannya terpencar-pencar di antara batuan gunung api tua di sekitar Sape dan Waworada (Puslitbang Geologi, 1998). Landform Kabupaten Bima dapat dikelompokkan dalam 5 grup fisiografi utama yaitu: Aluvial (A), Fluvio-Marin (B), Marin (M), Karst (K), dan Volkanik (V) serta Grup Aneka Bentuk (X) yang menghasilkan 28 satuan unit lahan (Tabel 1). Tabel 1. Satuan Landform dan Luasannya di Kabupaten Bima No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25-28 Simbol A111 A1128 A13 A15 A2 A23 B2 K2 K3 M12 M17 M32 V112 V113 V114 V115 V12 V13 V16 V17 V31 V32 V33 V4 X1, X2, X3, X4 Landform Jalur sungai braiding Jalur meander Dataran aluvial Jalur Aliran Aluvio-koluvial Dataran antar perbukitan Dataran estuarin Dataran Karst Perbukitan Karst Pesisir Pasir Laguna Teras marin subresen Kaldera Lereng volkan atas Lereng volkan tengah Lereng volkan bawah Aliran lahar Aliran lava Lungur volkan Kerucut anakan Dataran volkan Perbukitan volkan Pegunungan volkan Perbukitan intrusi Pemukiman, danau, lereng curam, p. karang Jumlah Luas 1.573,13 2.524,77 18.383,43 3.086,53 22.480,68 1,733,85 4.397,97 1.393,44 11.816,42 1.194,94 51,11 3.917,69 7.954,56 12.536,88 29.643,32 58.140,53 34.550,63 35.069,59 4.773,46 544,22 9.373,21 106.711,56 14.658,77 3.572,37 18.912,71 408.995,78 % 0,38 0,62 4.49 0,75 5,50 0,42 1,08 0,34 2,89 0,29 0,01 0,96 1,94 3,07 7,25 14,22 8,45 8,57 1,17 0,13 2,29 26,09 3,58 0,8 4,63 100,00 Sumber : Data Sekunder diolah Tahun 2004. Grup Aluvial terbentuk dari bahan endapan (aluvium/koluvium) akibat pengaruh aliran air baik aktivitas sungai (fluvial) maupun gravitasi (koluvial). Grup aluvial didominasi oleh aktivitas sungai yang ada dan hasil koluviasi dari daerah perbukitan/pegunungan disekitarnya yang membentuk dataran aluvial/koluvial. Penyebaran grup aluvial ini menempati areal yang sempit. Bentuk wilayah agak cekung sampai datar dengan lereng berkisar dari 0 sampai 8%. Grup fluvio marin terbentuk dari aktivitas sungai di perbatasan dengan laut dipengaruhi air laut baik yang bersifat konstruktif (pengendapan). Grup fluvio marin ini mempunyai penyebaran relatif sempit, terdapat di daerah muara sungai. Landform ini berupa dataran yang dipengaruhi pasang surut, dengan bentuk wilayah agak datar sampai datar (lereng <3%). Grup marin terbentuk dari aktivitas air laut baik yang bersifat konstruktif (pengendapan) maupun destruktif (abrasi). Grup marin ini mempunyai penyebaran relatif sempit, terdapat di sekitar teluk dan pantai. Landform ini berupa pesisir pasir pantai, laguna, dan teras marin subresen, dengan bentuk wilayah datar sampai agak datar (lereng <3%). Grup karst menempati penyebaran yang sempit yaitu terletak di sekitar selat Sape yang merupakan gugusan pulau-pulau kecil, di sebelah utara dan barat Tawali Wera dan di sekitar Teluk Waworada. Bentukan lahan umumnya bergelombang dan berbukit dengan sebaran dari agak datar sampai bergunung, lereng bervariasi dari 1->45%, tanah umumnya dangkal dan berbatu. Grup volkan merupakan deretan gunung api baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif. Gunung api Sangeang merupakan gunung api yang masih aktif, sedangkan G.Tambora, G. Lambuwu sudah tidak aktif. Bentuk wilayahnya mulai dari agak datar, berombak, bergelombang, berbukit, dan bergunung, kisaran lereng 1%->45%. Sebaran bentuk wilayah dan lereng Kabupaten Bima disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Sebaran Bentuk Wilayah dan Lereng Kabupaten Bima, 2004. No. SL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10-13 Simbol f n u r r-h c o h m X1, X2, X3, X4 Lereng (%) Relief Datar Agak datar Berombak Bergelombang Bergelombang-berbukit Bergumuk Berbukit kecil Berbukit Bergunung Pemukiman, danau, lereng curam, p. karang Jumlah 0-1 1-3 3-8 8 - 15 10 - 25 10 - 25 10 - 25 15 - 45 > 45 Luas 6.204,09 36.613,44 27.064,35 20.500,60 12.043,30 499,60 3.393,55 205.044,04 78.720,09 18.912,71 408.995,78 % 1.52 8.95 6,62 5,01 2,94 0,12 0,83 50,13 19,25 4,63 100,00 Sumber : Data Sekunder diolah, 2004. Dari data sebaran bentuk wilayah dan lereng (Tabel 2), terlihat bahwa Kabupaten Bima dapat dipisahkan menjadi 9 kelas bentuk wilayah dan lereng. Dari hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa 50,13% wilayah kabupaten Bima merupakan wilayah berbukit dengan lereng 15-45% disusul wilayah bergunung dengan lereng > 45% sekitar 19%, dan sisanya adalah wilayah datar, berombak, bergelombang, dan berbukit kecil, yang berlereng agak curam sampai curam. Hasil pengamatan tanah di lapangan dan didukung hasil analisis laboratorium, tanah-tanah di Kabupaten Bima dapat diklasifikasikan kedalam lima ordo, yaitu Entisols, Andisols, Inceptisols, Mollisols, dan Vertisols, menurunkan 11 grup dan 20 subgrup (Soil Survey Staff, 1998) (Tabel 3). Tabel 3. Tanah-tanah yang terdapat di wilayah Kabupaten Bima, NTB. Ordo Entisols Subordo Grup Fluvents Psamments Orthents Hydraquents Endoaquents Ustifluvents Ustipsamments Ustorthents Andisols Vitrands Ustivitrands Inceptisols Aquepts Endoaquepts Ustepts Halaquepts Haplustepts Ustolls Usterts Haplustolls Haplusterts Mollisols Vertisols Aquents Subgrup Typic Hydraquents Typic Endoaquents Typic Ustifluvents Typic Ustipsamments Lithic Ustorthents Vitrandic Ustorthents Typic Ustorthents Lithic Ustivitrands Typic Ustivitrands Fluvaquentic Endoaquepts Typic Endoaquepts Typic Halaquepts Aquic Haplustepts Fluventic Haplustepts Lithic Haplustepts Vitrandic Haplustepts Vertic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustolls Typic Haplusterts PPT, 1983 Aluvial Gleiik Aluvial Gleiik Regosol Haplik Regosol Haplik Regosol Litik Regosol Haplik Regosol Haplik Andosol Litik Andosol Haplik Gleisol Fluvik Gleisol Haplik Gleisol Haplik Cambisol Gleiik Cambisol Fluvik Cambisol Litik Cambisol Andik Cambisol Vertik Cambisol Haplik Brunizem Haplik Grumusol Haplic FAO, 1989 Gleyic Fluvisols Gleyic Fluvisols Haplic Regosols Haplic Regosols Lithic Regosols Haplic Regosols Haplic Regosols Lithic Andosols Haplic Andosols Fluventic Gleysols Haplic Gleysols Halic Gleysols Gleyic Cambisols Fluventic Cambisols Lithic Cambisols Andic Cambisols Vertic Cambisols Haplic Cambisols Haplic Brunizems Haplic Vertisols Sumber : Data Sekunder diolah, 2004. Entisols merupakan tanah-tanah muda, yang belum mempunyai perkembangan profil, dengan susunan horison A-C atau A-C-R, atau A-R. Tanah ini terbentuk dari bahan aluvium, aluvium-marin, marin, dan volkan. Umumnya pada landform dataran, fluvio-marin, dan volkan. Penampang tanah bervariasi, tekstur lempung berpasir sampai pasir berlempung, dan berlapis-lapis (stratified) atau berselang seling. Adanya perbedaan tekstur berlapis-lapis tersebut menunjukkan proses pengendapan dari limpasan sungai yang berulang; sebagian mengandung kerikil di dalam penampang tanah. Warna tanah coklat tua sampai gelap, drainase buruk sampai cepat, struktur lepas sampai masif, konsistensi gembur dan keras pada kondisi kering. Reaksi tanah umumnya agak netral (pH 7), kadar C organik sangat rendah sampai sedang, kadar P 2O5 dan K2O potensial sedang sampai tinggi, basa-basa dapat tukar rendah sampai tinggi dan didominasi oleh Ca dan Mg. KTK tanah rendah, tetapi kejenuhan basanya tinggi. Penggunaan lahan umumnya bervariasi. Andisols merupakan tanah-tanah muda, yang belum/sedikit mempunyai perkembangan profil, dengan susunan horison A-C, A-C-R. Tanah ini terbentuk dari bahan abu volkan (debu, pasir, dan kerikil). Umumnya terbentuk pada landform volkanik. Penampang tanah dangkal sampai dalam, tekstur lempung berpasir sampai pasir berlempung. Warna tanah coklat tua sampai coklat tua kekuningan, drainase sedang, struktur lepas sampai masif, konsistensi gembur dan keras pada kondisi kering. Reaksi tanah umumnya netral, kadar C organik sangat rendah sampai sedang, kadar P2O5 dan K2O potensial sedang sampai tinggi, basa-basa dapat tukar rendah dan didominasi oleh Ca dan Mg. KTK tanah rendah sampai sedang, tetapi kejenuhan basanya tinggi. Umumnya Andisols di kabupaten Bima beriklim kering (ustic). Penggunaan lahan umumnya tegalan, semak, rumput, belukar, semak, dan hutan. Inceptisols, yaitu tanah-tanah yang sudah menunjukkan adanya perkembangan profil, dengan susunan horison A-Bw-C pada lahan kering dengan drainase baik, atau susunan horison ABg-C pada lahan basah dengan drainase terhambat. Tanah terbentuk dari berbagai macam bahan induk, yaitu tuf volkan masam, tuf volkan intermedier (andesitik), tufa pasiran, dan granodiorit serta skis. Tanah ini mempunyai penyebaran paling luas, menempati grup landform dataran volkan, perbukitan volkan, dan dataran tektonik. Tanah dari bahan volkan intermedier berwarna coklat kemerahan, tekstur lempung berliat sampai liat, penampang dalam, dan struktur cukup baik, konsistensi gembur sampai teguh. Reaksi tanah netral, kadar C dan N organik sangat rendah sampai sedang, kadar P dan K potensial sedang sampai tinggi. Kadar basa-basa dapat tukar didominasi oleh Ca dan Mg, KTK tanah rendah, KTK liat rendah sampai tinggi, dan kejenuhan basa tinggi. Pada landform dataran volkan sifat tanah dipengaruhi oleh bahan induknya. Tanah penampang cukup dalam, berwarna coklat kekuningan sampai kemerahan, drainase baik, tekstur halus sampai agak halus, konsistensi gembur sampai teguh, dan reaksi tanah agak masam sampai masam. Sebagian besar telah diusahakan untuk lahan pertanian, seperti persawahan, tegalan dan kebun campuran. Sisanya masih berupa semak belukar dan hutan. Mollisols tergolong tanah-tanah yang mempunyai perkembangan profil dengan susunan horison ABC dengan lapisan atas horison mollic, memperlihatkan struktur cukup kuat. Tanah berkembang dari bahan induk batuan sedimen (batugamping), menempati landform perbukitan Karst volkan dengan penyebarannya sempit. Penampang tanah cukup dalam, warna coklat kemerahan, tekstur agak halus sampai agak kasar, struktur cukup kuat gumpal bersudut, konsistensi gembur sampai teguh dan reaksi tanah netral (kejenuhan basa tinggi). Sebagian besar tanah ini digunakan untuk tegalan/ kebun, buah-buahan, kebun campuran, dan belukar hutan. Vertisols tergolong tanah-tanah yang mempunyai perkembangan profil dengan susunan horison ABC atau AC, memperlihatkan struktur baji yang biasanya retak-retak di musim kemarau dan mengembang di musim hujan. Tanah berkembang dari bahan induk aluvium dan aluviokoluvium dengan penyebarannya sempit. Penampang tanah cukup dalam, warna coklat kekelabuan, tekstur agak halus sampai halus, struktur cukup kuat gumpal bersudut, konsistensi gembur sampai teguh dan reaksi tanah netral (kejenuhan basa tinggi). Sebagian besar tanah ini digunakan untuk sawah tadah hujan, tegalan/kebun, buah-buahan, kebun campuran, dan belukar. Berdasarkan hasil analisis kimia contoh tanah menunjukkan umumnya reaksi tanah netral, kandungan C organik dan N rendah, KTK tanah sedang, dan kejenuhan basa tinggi sehingga tanahtanah tersebut status kesuburannya umumnya termasuk sedang. Tanah-tanah tersebut akan berpotensi jika dilakukan pengelolaan dengan baik, yaitu pemberian pupuk organik, pemupukan berimbang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Kondisi Agroklimat Kondisi iklim suatu wilayah sering digunakan sebagai seleksi awal dalam penyusunan pewilayahan komoditas pertanian. Kabupaten Bima tergolong dalam pola hujan IA dan IIA. Pola IA dengan total curah hujan < 1000 mm/th, bulan kering <7–10 bulan dan bulan basah < 2 bulan. Pola IIA dengan total curah hujan 1000 – 2000 mm/th, bulan kering <5–8 bulan dan bulan basah <4 bulan. Pola IA tersebar di bagian utara memanjang kearah timur dan selatan sedangkan pola IIA di bagian tengah (Balitklimat dan Hidrologi, 2003). Berdasarkan data stasiun setempat, tergolong wilayah dengan curah hujan rendah (<2500 mm/th). Rerata curah hujan tertinggi terjadi di Woha yaitu 2036 mm/th dan terendah di Donggo yaitu 336 mm/th. Jumlah bulan kering (curah hujan <60 mm) selama 5-6 bulan dari April s/d September terjadi di Monta, Wawo, Belo, Woha dan Sanggar, sedangkan jumlah bulan kering (curah hujan <60 mm) selama 9 bulan terjadi di Wera, Sape dan Donggo. Menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson tergolong tipe hujan D dan F, sedangkan menurut Koppen tergolong tipe iklim Aw yaitu tipe iklim hujan tropis dengan curah hujan bulanbulan terkering <60 mm selama 6-9 bulan, suhu udara rata-rata bulan terdingin >18°C dan terpanas >22°C dengan curah hujan <2500 mm/th. Berdasarkan jumlah bulan basah (curah hujan >200 mm) dan jumlah bulan kering (curah hujan <100 mm), tergolong zone D4 dan E4 (Oldeman et al., 1988). Zone D4 dicirikan bulan basah >3 bulan, dan bulan kering berturut-turut <6 bulan. Penyebaran di bagian tengah dan utara yaitu Monta, Wawo, Belo dan Woha. Sedangkan zona E4 dicirikan bulan basah <3 bulan dan bulan kering berturut-turut >6 bulan terdapat di Sape, Donggo dan Wera (Gambar 1). Gambar 1. Grafik Sebaran Hujan di Kabupaten Bima. Rerata suhu udara tahunan antara 27,6°C-28,1°C. Perbedaan rerata suhu bulan terpanas dan terdingin <6°C, menunjukkan Kabupaten Bima sebagian besar tergolong rejim suhu panas (Isohyperthermic), kecuali di beberapa tempat pada ketinggian >1300 m dpl menunjukkan adanya penurunan rerata suhu tergolong ke dalam rejim suhu sejuk (Isothermic) (Tabel 4). Tabel 4. Rerata unsur iklim di Kabupaten Bima Data Unsur Iklim Suhu Udara (C) Kelembaban Udara (%) Lama Penyinaran (%) Kecepatan Angin (Knots) Sumber Keterangan Sumber Bulan Jan Peb Mar Apr Mei Jun 27,5 83,0 36,0 71,5 27,5 84,0 38,0 82,0 28,0 85,0 57,0 73,0 28,0 86,0 57,5 78,0 27,5 28,0 27,0 27,0 27,0 29,0 81,0 81,0 82,0 74,0 75,0 79,0 70,5 69,0 78,0 79,5 77,0 65,5 117,5 125,0 149,5 140,0 142,5 134,5 Jul Agu Sep Okt Nop Des Rerata 28,5 85,0 56,0 99,5 28,0 85,0 35,0 74,5 27,8 81,7 59,9 107,3 : Data Sekunder diolah, 2004. : 1 Knots = 0,515 m/detik atau 44.5 km/hari atau 3,7 km/jam. : Stasiun Meteorogi Muh. Salahuddin Bima. Kondisi Sosial Ekonomi Jumlah penduduk Kabupaten Bima sebanyak 404.775 jiwa, terdiri atas laki-laki 200.411 jiwa dan perempuan 204.775 jiwa (sex ratio 98,07%) dengan 98.493 rumah tangga/kepala keluarga (KK) (BPS, 2003). Penyebaran penduduk tidak merata, wilayah terpadat adalah Kecamatan Woha dengan 519 jiwa/km2 dan terjarang kecamatan Tambora dengan 7 jiwa/km2, atau rerata kepadatan 93 jiwa/km2. Jumlah angkatan kerja produktif (usia 10 tahun ke atas) sebanyak 217.752 jiwa, sebagian besar bekerja di sektor pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan (79,75%), bangunan (7,55%), jasa kemasyarakatan (4,53%), industri pengolahan (4,00%), perdagangan, hotel dan restoran (3,73%), dan lain-lain (0,44%). Aksesibilitas cukup lancar baik melalui darat, laut dan udara. Perhubungan dan transportasi antar kota kecamatan dan desa dapat ditempuh melalui darat dan laut, kecuali ke Kecamatan Tambora dan Sanggar yang harus ditempuh melalui jalan darat melewati kabupaten Dompu. Panjang jalan 1.337,88 km, terdiri atas jalan negara 102,53 km, jalan provinsi 397,33 km dan jalan kabupaten 838,02 km. Kondisi jalan propinsi umumnya aspal, sedangkan jalan di kabupaten sebagian masih berupa jalan tanah diperkeras. Jalan kabupaten tergolong kelas III dengan kondisi jalan sebagian besar dalam keadaan rusak berat (68,11%), 4,50% rusak, 13,49% sedang dan hanya 13,90% dalam kondisi baik. Sarana komunikasi berupa jaringan telepon dan selluler telah menjangkau sebagian wilayah, dengan jumlah satuan sambungan telepon (SST) sebanyak 5.258 SST, di antaranya 1.404 SST untuk keperluan bisnis dan 3.854 SST untuk keperluan rumah tangga. Pola penggunaan lahan terkait dengan kepadatan penduduk. Di wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi, usaha pertanian didominansi oleh usaha tanaman pangan dan hortikultura, sedangkan di wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk rendah berkembang usahatani perkebunan tanaman tahunan. Kondisi demikian menyebabkan terjadinya ketimpangan penggunaan lahan. Di daerah yang jarang penduduknya, lahan-lahan potensial untuk tanaman pangan lebih banyak dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan, karena usahatani tanaman pangan relatif membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak dan pengelolaan yang lebih intensif. Wilayah Kabupaten Bima didominasi hutan dan semak belukar (Tabel 5). Lahan sawah umumnya terletak di dataran aluvial, dataran volkan, dan lereng volkan, terdiri atas sawah irigasi sederhana, dan tadah hujan. Sawah irigasi dapat ditanami 2 kali setahun, tetapi umumnya hanya 1 kali setahun (IP100) dan digilir dengan palawija. Sawah tadah hujan hanya ditanami padi sekali setahun, dan musim kemarau ditanami palawija terutama jagung dan kacang-kacangan. Tabel 5. Penggunaan Lahan di Wilayah Kabupaten Bima tahun 2004 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20-23 Penggunaan Lahan Luas Sawah irigasi Sawah Tadah hujan Tegalan Tegalan dan kebun Kebun kelapa Kebun kopi Kebun jambu mente Tambak Penggaraman Belukar kebun Belukar Belukar hutan Rumput Semak Belukar Semak rumput Mangrove Hutan tanaman industri Hutan dan hutan tanaman Hutan Pemukiman, danau, lereng curam dan pulau-pulau TOTAL % 11.137,79 18.674,77 29.985,68 11.163,90 922,68 1.399,47 641,00 535,26 2.752,91 9.404,77 56.858,20 767,21 51,11 18.304,20 53.581,41 1.109,80 73,94 773,93 168.872,28 18.912,71 423,957.21 2,72 4,57 7,33 2,73 0,23 0,34 0,16 0,13 0,67 2,30 13,90 0,19 0,01 4,48 13,10 0,27 0,02 0,19 41,29 4,63 100.00 Sumber : Data Sekunder diolah, 2004. Pola tanam yang diterapkan umumnya terdiri atas: padi-padi-palawija; padi-palawija-bera; dan palawija-bera. Sebagian persawahan digunakan untuk tanaman palawija, karena secara ekonomi lebih menguntungkan. Pola tanam yang dianjurkan berdasarkan sebaran hujan di wilayah Kabupaten Bima disajikan pada Gambar 2. Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des Tanaman Semusim Padi sawah / gogo Palawija Bera Tanaman Tahunan Tanam bibit Masa pertumbuhan Pemeliharaan tanaman (penyiraman) Gambar 2. Arahan pola tanam di Kabupaten Bima. Arahan pola tanam untuk tanaman semusim, yaitu padi-padi-palawija, padi-palawija-padi atau padi-komoditas lain (palawija, yaitu : kacang tanah, kedelai, jagung, kacang hijau), komoditas selain palawija (sayuran, cabe merah, cabe rawit, tembakau). Sedangkan arahan pola tanam untuk tanaman tahunan seperti tanaman industri (kelapa, jambu mete, kopi), tanaman hortikultura (mangga, serikaya/garoso, sawo, pisang). TPL setahun 2 kali padi (sawah) dijumpai di sebagian wilayah yang mendapat irigasi tehnis dan semi tehnis. Sedangkan TPL setahun 1 kali padi di jumpai pada sawah tadah hujan. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani, sebagian besar usahatani masih menerapkan input rendah sampai sedang. Di sebagian wilayah lahan kering dijumpai komoditas jagung dan padi gogo yang ditanam pada musim hujan dengan menerapkan input rendah. Di sebagian lahan kering dijumpai komoditas sayuran yang diusahakan dengan menerapkan input rendah sampai sedang. Input dan output untuk TPL tanaman tahunan (perkebunan), yaitu kelapa, kopi dan jambu mete, dengan menerapkan input rendah sampai sedang. Hasil analisis gross margin dengan program ALES versi 4.65d (Rossiter and Wambeke 1997) dan kelayakan finansial beberapa komoditas pertanian menunjukkan bahwa pada umumnya tanaman semusim yang diusahakan layak dikembangkan dengan RCR >1,10 (Tabel 6). Untuk tanaman kelapa dan mangga dengan periode analisis 20-30 tahun layak dikembangkan dengan nilai NPV positif, nilai IRR>suku bunga yang berlaku serta BCR >1 (Tabel 7). Tabel 6. Kelayakan usahatani tanaman semusim dengan kondisi produksi optimal di Kabupaten Bima. Tipologi lahan (TL) Wri Wrr Dfc DFc Wri Wri Wri Dha/Wri Dh Jenis tanaman (JT) 2x padi sawah Padi tadah hujan Padi gogo 1x Jagung Kacang tanah Kedele Kacang hijau Cabe rawit Bawang merah Standar Biaya Produksi (Rp/ha) (BP) 5.848.000,00 2.064.000,00 1.686.500,00 2.067.500,00 1.985.000,00 1.657.500,00 1.426.500,00 3.825.000,00 16.724.000,00 Penerimaan (Rp/ha) (REV) 10.080.000,00 5.580.000,00 1.013.500,00 7.350.000,00 5.000.000,00 4.200.000,00 2.118.750,00 4.050.000,00 36.000.000,00 RCR 2,38 2,70 1,60 3,56 2,52 2,53 1,49 2,06 2,15 > 1,10 Sumber : Data primer diolah tahun 2004 Tabel 7. Kelayakan investasi usahatani tanaman tahunan dengan kondisi produksi optimal di Kabupaten Bima Jenis tanaman Kelapa Kopi Sawo Mangga Nilai standar Tipologi lahan (TL) Dep Dep Dhp Dep Periode Analisis (th) Investasi (Rp/ha) 30 15 30 20 45.554.000,00 12.135.000,00 40.455.000,00 2.960.000,00 NPV (Rp) (i=15%) IRR (%) 4.805.656,30 31.694.245,61 37.955.486,13 26.175.908,00 >0 33,32 54,08 43,45 55,16 BCR (i=15%) 1,63 7,25 5,28 15,48 > 1,0 Sumber : Data primer diolah tahun 2004 Dari hasil pengamatan lapangan, wilayah Kabupaten Bima secara umum sesuai untuk pengembangan pertanian, baik tanaman pangan maupun perkebunan dan hortikultura. Faktor penghambat yang dijumpai terdiri atas: media perakaran (tekstur tanah kasar), lereng curam, dan ketersediaan air. Dengan penambahan air irigasi/pengairan dan pemupukan, termasuk pemberian bahan organik, tanah-tanah di wilayah ini masih dapat ditingkatkan produktivitasnya. PEWILAYAHAN KOMODITAS PERTANIAN Sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan komoditas pertanian, maka evaluasi lahan dilakukan baik secara fisik maupun ekonomi dengan menggunakan parameter karakteristik lahan yang berpengaruhi terhadap produktivitas tanaman. Evaluasi lahan dilakukan dengan asumsi masukan (input) “sedang”, yaitu dengan menerapkan teknologi petani yang ada saat ini (existing) dengan didukung oleh bantuan pemerintah seperti kredit permodalan untuk penyediaan sarana produksi dan teknik pengelolaan lahan, seperti pemupukan dan konservasi tanah (CSR/FAO, 1983). Dalam penilaian kesesuaian lahan, parameter kualitas lahan yang dipertimbangkan untuk dievaluasi lahannya dengan TPL input sedang adalah bahaya erosi (eh), media perakaran (rc), dan rejim suhu udara (tc), sedangkan ketersediaan air (wa), retensi hara (nr), dan ketersediaan hara (na) dipertimbangkan pada penilaian lahan input rendah. Dari parameter kualitas lahan tersebut, media perakaran, rejim suhu udara relatif lebih sulit untuk diatasi, dibandingkan dengan kualitas lahan lainnya. Kualitas bahaya erosi bisa tidak dipertimbangkan mengingat sebagian besar wilayah berlereng <8%. Evaluasi lahan secara fisik untuk berbagai komoditas pertanian yang diproses melalui komputer menggunakan program ALES (Rossiter dan Wambeke, 1997), menunjukkan padi sawah, padi gogo, kacang tanah, rambutan, jagung, kedelai, bawang merah, mangga, srikaya, sawo sesuai dikembangkan di Kabupaten Bima. Kelas kesesuaian lahan dikelompokkan menjadi sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3) dan tidak sesuai (N) (Djaenuddin et al., 2003). Hasil pengolahan dengan program Modul Pewilayahan Komoditas (MPK) diperoleh 13 arahan pewilayahan komoditas pertanian sesuai dengan zona agroekologinya serta 4 pewilayahan non pertanian (Tabel 8 dan Gambar 3). Tabel 8. Arahan Pewilayahan Komoditas Pertanian di Kabupaten Bima Kode I/Dj Tanaman Kawasan Konservasi II/De-1 Kopi Sistem Hutan lahan kering II/De-2 Jambu mete, srikaya, kemiri, asam, mangga Pengembangan tanaman perkebunan permanen Pengembangan tanaman perkebunan permanen II/Dj Hutan lahan kering II/Dt Kawasan Konservasi Hutan tanaman industri (jati, Hutan tanaman industri sonokeling) lahan kering III/De Jambu mete Pengembangan tanaman perkebunan III/Def Jambu mete, kelapa, Pengembangan tanaman mangga, srikaya, kemiri, perkebunan/hortikultura/p sawo, jagung,kacang tanah, angan padi gogo IV/De Kelapa Pengembangan tanaman perkebunan IV/Df Padi gogo, jagung, kacang Pengembangan tanaman tanah, kacang hijau, ubi pangan kayu IV/Dfe IV/Wg IV/Wi IV/Wj IV/Wt X1, X2, X3, X4 Satuan Lahan Luas (ha) Luas (%) 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 75, 92, 103, 104, 105 63 78.720,09 19,25 1.399,47 0,34 62, 64, 65, 66, 67, 82, 84, 87, 89, 97, 98, 99, 100, 101, 102 42, 43, 44, 72, 73, 74, 83, 90, 91, 93, 94, 107 68, 88 172.688,17 42,22 33.181,30 8,11 847,87 0,21 641,00 0,16 32.723,28 8,00 922,68 0,23 32.417,75 7,93 20.954,59 5,12 2.752,91 0,67 11.137,79 2,72 1.160,90 535,26 0,28 0,13 18.912,71 4,63 61 40, 41, 59, 60, 86, 95, 96, 71, 79, 80, 81, 82, 106 10, 45 1, 3, 4, 7, 9, 12, 14, 16, 17, 18, 19, 25, 26, 27, 29, 30, 32, 33, 34, 35, 36, 76, 77, 85 Padi gogo, jagung, kedelai, Pengembangan tanaman 8, 13, 20, 21, 22, 23, kacang hijau, bawang pangan/perkebunan/hortik 24, 28, 31, 46, 48, 49, merah, mangga, semangka, ultura 69, 70, 78 srikaya, ubi kayu, kelapa, jambu mete Garam Pengembangan tambak 38 garam Padi sawah, kedelai, kacang Pengembangan tanaman 2, 5, 6, 11, 15 hijau, semangka, bawang pangan/hortikultura merah Hutan mangrove Hutan lahan basah 39, 47 Tambak Pengembangan perikanan 37 air payau Pemukiman, badan air, 108, 109, 110, 111 gawir/lereng curam dan pulau-pulau Jumlah 408.995,77 100,00 Gambar 3. Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Kabupaten Bima, NTB. Berdasarkan 13 arahan pewilayahan komoditas pertanian di atas ditetapkan 6 sistem pertanian yang dapat dikembangkan di Kabupaten Bima, sebagai berikut : 1. Pengembangan tanaman perkebunan di Zona II, yaitu tanaman perkebunan permanen (kopi) seluas 1.399,47 ha (0,34%) dari luas wilayah pada satuan lahan (SL) 63; pengembangan tanaman perkebunan permanen (jambu mete, srikaya, kemiri, asam, mangga) seluas 172.688,17 ha (42,22%) pada SL 62, 64, 65, 66, 67, 82, 84, 87, 89, 97, 98, 99, 100, 101, dan 102; dan pertanian lahan kering tanaman perkebunan (kelapa) di Zona IV seluas 922,68 ha (0,23%) pada SL 10 an 45. 2. Pengembangan hutan tanaman industri lahan kering (jati, sonokeling) di Zona II seluas 847,87 ha (0,21%) pada SL 68 dan 88. 3. Pertanian lahan kering di Zona III, tanaman perkebunan (jambu mete) pada SL 61 seluas 641,00 ha (0,16%); tanaman perkebunan/hortikultura/pangan (jambu mete, kelapa, srikaya, mangga, sawo, kemiri, jagung, kacang tanah, padi gogo) seluas 32.723,28 ha (8,00%) pada SL 40, 41, 59, 60, 86, 95, 96, 71, 79, 80, 81, 82, dan 106 4. Pertanian lahan basah (padi sawah rotasi dengan palawija dan hortikultura semusim) di Zona IV seluas 11.137,79 ha (2,72%), pada satuan lahan 2, 5, 6, 11, dan 15. 5. Pertanian lahan kering di Zona IV, yaitu pertanian tanaman pangan (padi gogo, jagung, kacang tanah, kedelai, kacang hijau, dan ubi kayu) di Zona IV, seluas 32.417,75 ha (7,93%) pada SL 1, 3, 4, 7, 9, 12, 14, 16, 17, 18, 19, 25, 26, 27, 29, 30, 32, 33, 34, 35, 36, 76, 77, dan 85; pertanian lahan kering tanaman pangan/ perkebunan/hortikultura (palawija, ubi kayu, kelapa, mangga, srikaya, jambu mete, kacang hijau, bawang merah, semangka) seluas 20.954,59 ha (5,12%) yaitu SL 8, 13, 20, 21, 22, 23, 24, 28, 31, 46, 48, 49, 69, 70, dan 78. 6. Pengembangan lahan basah di Zona IV berupa tambak garam seluas 2.752,91 ha (0,67%) pada SL 38 dan tambak ikan seluas 535,26 ha (0,13%) pada SL 37 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Kabupaten Bima memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan komoditas pertanian, selain cukup strategis karena berbatasan langsung dengan Propinsi NTT dan mempunyai akses ke Bali dan Jawa baik melaui darat, laut dan udara, juga karena sumberdaya lahannya yang cukup luas. 2. Komoditas pertanian yang sesuai dikembangkan berdasarkan hasil evaluasi lahan secara fisik adalah padi sawah, padi gogo, kacang tanah, rambutan, jagung, kedelai, bawang merah, mangga, srikaya, sawo sesuai dikembangkan di Kabupaten Bima. 3. Hasil pewilayahan komoditas pertanian diperoleh 13 arahan pewilayahan komoditas pertanian di Kabupaten Bima sesuai dengan zona agroekologinya serta 4 pewilayahan non budidaya, yaitu Zona I/Dj (hutan lahan kering), II/De-1 (pengembangan tanaman perkebunan permanen), II/De-2 (pengembangan tanaman perkebunan permanen), II/Dj (hutan lahan kering) , II/Dt (hutan tanaman industri lahan kering), III/De (pengembangan tanaman perkebunan), III/Def (pengembangan tanaman perkebunan/hortikultura/pangan), IV/De (pengembangan tanaman perkebunan), IV/Df (pengembangan tanaman pangan), IV/Dfe (pengembangan tanaman pangan/perkebunan/hortikultura), IV/Wg (pengembangan tambak garam), IV/Wi (pengembangan tanaman pangan/hortikultura), IV/Wj (hutan lahan basah), IV/Wt (pengembangan perikanan air payau), X1, X2, X3, X4 (pemukiman, badan air, gawir/lereng curam, pulau-pulau). 4. Berdasarkan arahan pewilayahan komoditas pertanian ditetapkan 6 sistem pertanian, yaitu sistem pengembangan tanaman perkebunan (Zona II/De dan IV/De); pengembangan hutan tanaman industri lahan kering (Zona II/Dj); pertanian lahan kering tanaman perkebunan (Zona III/De dan III/Def), pertanian lahan basah tanaman padi sawah rotasi dengan palawija dan hortikultura semusim (Zona IV/Wi); pertanian lahan kering tanaman pangan (Zona IV/Df), dan pengembangan lahan basah untuk tambak (Zona IV/Wg dan IV/Wt). Saran Hasil pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan ZAE skala 1:50.000 hendaknya dapat dijadikan dasar dalam perencanaan pembangunan pertanian di Kabupaten Bima. DAFTAR PUSTAKA Bakosurtanal.1998. Peta topografi/rupabumi skala 1:25.000 Kabupaten Bima. Bakosurtanal. Jakarta. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, 2003. Atlas Sumberdaya Iklim Pertanian Indonesia Skala 1:1000.000. Bogor. Balai Penelitian Tanah. 2001. Petunjuk Teknis Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zona Agro Ekologi (ZAE) skala 1:50.000 (Model 1). Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak Bogor. Balai Penelitian Tanah. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak Bogor. BPS. 2003. Bima Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kab. Bima. Budianto, J. 2001. Pengembangan Potensi Sumberdaya Petani Melalui Penerapan Teknologi Partisipatif. Pros. Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian. Mataram. Djaenudin, D, Marwan H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Versi 3. 2000. Balai Penelitian Tanah, Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor. F.A.O, 1983. Guidelines Land Evaluation for Rainfed Agriculture. Soil Bulletin No. 52. Soil Resources Management and Consevation Service Land and Water Development Division FAO. 1978. Guidelines for Soil Profile Description. Soil Resources Development and Cons. Service, Land and Water Development Division. FAO/UNESCO, Rome. Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek. Analisa Ekonomis. Ed. Ke-2. LPFE UI, Jakarta. Las, I., A.K. Makarim, A. Hidayat, A. Syarifuddin, dan I. Mawan. 1990. Pewilayahan Agroekologi Utama Tanaman Indonesia. Puslitbangtan, Edisi Khusus, Pus/03/90.Bogor. Oldeman L.R., Irsal L., and Muladi, 1988. Agroclimatic Map of Bali, Nusatenggara Barat and Nusatenggara Timur Central Research Institute for Agriculture, Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, 1998. Peta Geologi Lembar Sumbawa, Nusa Tenggara Skala 1:250.000. Direktorat Geologi Bandung. Rossister, D, And Van Wambeke, 1997. Automated Land Evaluation System. User’s Manual Version 4.6. Cornell University, Ithaca, New York. Schmidt, F.H., and J.H.A. Ferguson, 1951. Rainfall Type Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verh. No.42. Jawatan Met. dan Geofisik, Djakarta. Soil Conservation Service, 1972. Soil Survery Laboratory Methods and Procedure for Collecting Soil Samples. Soil Sruvey Investigation Report No. 1. USDA-SCS, Washington DC. Soil Survey Staff. 1998. Keys to Soil Taxonomy, 8th edition 1998. Nasional Resources Conservation Service, USDA.