NILAI-NILAI SOSIAL-EKONOMI KERBAU PENDATANG DI LINGKUNGAN MASYARAKAT TORAJA SOCIO-ECONOMIC VALUES OF THE ENTRANTS BUFFALO IN TORAJA SOCIETY ENVIRONMENT Oleh : Martha B. Rombe*) ABSTRACT Toraja society considers buffalo as the symbol of prosperities. In former times, most assessments and transactions always votes with the value of buffalo. Besides that, in social status to distinguish a person, it will be determined based on the number of buffaloes he had. Buffalo also as a symbol sacrifice to respecting the deceased. Following to the Toraja traditionally, the soul of the deceased need many buffaloes to make the journey will be quicker to arrive at paradise. So they slaughtering buffaloes as much as the family can prepare it. The action was resulted in decreasing population and it caused entrants buffalo from another regions. This study is aimed to determine the effects of socio-economic values in Toraja society environment on the entrants buffalo. The results show that every buffalo, without exception has terms of different value, depending on the physical condition, skin color, shape of horn, hair, and tail condition in relation to influence social status and economic value of Toraja society. Perception of consumers on these values are “good” in score 75.88% among the idealist scores. That scoring affected the value of entrance buffalo in cheaper price position Key words : Socio-economic values, Toraja society environment, and entrance buffalo. ABSTRAK Masyarakat Toraja menganggap ternak kerbau sebagai symbol kemakmuran. Pada masa lampau, kebanyakan penilaian serta transaksi selalu diputuskan berdasar pada nilai kerbau. Selain itu, dalam membedakan status sosial seseorang dapat dinilai berdasarkan jumlah kerbau yang dimilikinya. Ternak kerbau, juga merupakan simbol pengorbanan dalam menghormati orang yang meninggal. Menurut keyakinan adat tradisi Toraja, arwah dari orang yang meninggal membutuhkan banyak kerbau yang akan menghantar perjalanannya agar dapat cepat tiba di nirwana. Dengan demikian, kerbau disembelih sebanyak mungkin sebatas kemampuan keluarga dalam mempersiapkannya. Tindakan tersebut telah menyebabkan penurunan populasi sehingga mengakibatkan masuknya kerbau pendatang dari berbagai daerah lain. Studi ini dilakukan untuk mengetahui nilai-nilai sosial-ekonomi kerbau pendatang di dalam lingkungan masyarakat Toraja. Hasil studi menunjukkan bahwa pada setiap ekor kerbau tanpa kecuali, memiliki nilai-nilai sosial berupa : kondisi fisik, warna kulit, bentuk tanduk, bulu serta kondisi ekor.Nilai-nilai sosial ternak kerbau dalam hubungannya dengan pengaruh status sosial masyarakat Toraja berdampak pada nilai ekonomi ternak tersebut. Masyarakat konsumen menanggapi “baik” kehadiran kerbau pendatang pada skor 75,88% dari skor ideal. Skoring tersebut berdampak pada nilai ekonomi kerbau pendatang ke posisi harga cukup murah. Kata-kata kunci : Nilai-nilai sosial-ekonomi, lingkungan masyarakat Toraja, dan kerbau pendatang, *) Martha B. Rombe, Staf pengajar Jurusan Sosial-ekonomni Fakultas Peternakan UNHAS. PENDAHULUAN Analisis terhadap hubungan diantara variabel-variabel biologi dengan sosial-ekonomi sangat rumit karena berkaitan dengan lingkungan suatu masyarakat serta status sosial-ekonomi masyarakat tersebut. Ternak kerbau di dalam lingkungan masyarakat Toraja merupakan jenis ternak yang memiliki peranan sangat penting. Menurut Avatar (2007) hampir seluruh kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja tidak dapat terpisahkan dengan ternak kerbau. Jauh sebelum uang dijadikan alat transaksi penukaran, ternak kerbau sudah dipergunakan sebagai alat penukar atau penilai terhadap sesuatu objek tertentu yang dianggap berharga. Oleh karena itu, di dalam mendukung Program Peningkatan Populasi Ternak Kerbau di Toraja bukan hanya Teknologi ramah lingkungan saja, melainkan Sosial-ekonomi yang ramah lingkungan juga sangat berperan penting. Masyarakat Toraja menganggap ternak kerbau sebagai simbol kemakmuran dan merupakan status sosial seseorang. Selain itu, ternak kerbau juga merupakan simbol pengorbanan untuk menghormati orang yang meninggal sehingga memiliki arti penting dalam setiap ritual pesta kematian (Patty, 2008). Setelah adanya mata uang sebagai alat tukar modern yang disahkan oleh pemerintah maka nilai tukar ternak kerbau juga dihargai dalam satuan rupiah. Kerbau belang atau yang disebut “Tedong Bonga” adalah ternak kesayangan masyarakat Toraja sehingga kerbau tersebut merupakan ternak andalan di dalam setiap upacara adat dan ritual. Dengan demikian, kerbau belang merupakan standar tertinggi dalam menentukan harga pasaran, nilainya dapat mencapai puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah (Sandhi, 2008). Pada Seminar Lokakarya Kerbau yang dilaksanakan oleh Pemda Kabupaten Tana Toraja bersama dengan Dirjen Peternakan (2009) dinyatakan bahwa populasi kerbau belang di Toraja sudah tinggal 3.675 ekor saja. Data Biro Pusat Statsitik, Kabupaten Tana Toraja tahun 2009 menunjukkan penurunan populasi ternak kerbau di Tana Toraja, sejak dari tahun 2003. Rata-rata penurunan populasi ternak kerbau tersebut setiap tahun adalah 4212 ekor. Hal ini tiada lain akibat dari jumlah ternak kerbau yang dipotong untuk upacara kedukaan adalah sekitar 13.000 ekor per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat maka didatangkan kerbau dari Kabupaten lain seperti: Enrekang, Mamasa, Palopo, Pangkep, Makassar, Takalar, Bantaeng; bahkan dari luar Propinsi yaitu : Ambon, Kalimantan, Kupang, Sumbawa, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara (Dinas Pertanian dan Pangan, Kabupaten Tana Toraja, 2009; BO’DO’, 2010). Kehadiran kerbau pendatang ini membutuhkan biaya transportasi yang tentunya akan berdampak pada peningkatan harga jual. Informasi dari para pedagang kerbau di Pasar Hewan Rantepao Tana Toraja, justru menyatakan harga kerbau asal daerah lain umumnya lebih murah jika dibandingkan dengan harga kerbau lokal. Berdasarkan latar belakang nilai sakral ternak kerbau dan informasi perbedaan harga yang mencolok, maka nilai sosial-ekonomi di lingkungan masyarakat Toraja terhadap kerbau pendatang, telah dilakukan penelitian. MATERI DAN METODE PENELITIAN Sumber data penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari 91 responden konsumen kerbau yang kebetulan ditemui (sampling aksidental ) sesuai prosedur Sugiyono (2002). Pasar hewan Rantepao merupakan pusat kegatan transaksi hewan ternak, khususnya ternak kerbau dan babi. Pengumpulan data berlangsung selama dua setengah bulan.Kegiatan pengumpulan data dilakukan setiap pekan pada hari pasar. Metode pengumpulan data dilakukan dengan survey lapangan dan wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansiinstansi terkait; baik Dinas Peternakan, Biro Pusat Statistik, serta Tokoh-tokoh Adat dan Pemerintah Daerah setempat. Untuk mengukur tanggapan responden terhadap nilai-nliai sosial ekonomi ternak kerbau pendatang maka digunakan skala likert. Variabel sosial ekonomi dijabarkan menjadi indikator terukur. Instrumen berupa pertanyaan atau pernyataan yang perlu dijawab oleh responden. Setiap jawaban dihubungkan dengan bentuk pernyataan atau dukungan sikap yang diungkapkan dengan kategori: sangat baik dengan skor = 5, baik = 4, cukup baik = 3, tidak baik = 2 dan sangat tidak baik = 1. Riduwan (2008). Adapun nilai-nilai sosial-ekonomi yang diberi skor menurut petunjuk tokoh adat adalah: kondisi fisik, kondisi warna kulit, kondisi tanduk, kondisi ekor, warna bulu, kondisi pusaran bulu dan harga kerbau pendatang. Oleh karena nilai-nilai sosial-ekonomi tersebut berada dalam kondisi penilaian secara visual maka sebagai lampiran tulisan ini juga ditampilkan gambaran kerbau di Pasar Hewan Bolu, Rantepao dan kerbau belang sebagai ternak kesayangan masyarakat Toraja yang mempunyai nilai sosial-ekonomi paling tinggi, disamping kerbau aduan.yang gagah. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebagai hasil pengumpulan data tanggapan konsumen terhadap ternak kerbau pendatang dari daerah lain, sesuai dengan nilai sosial-ekonomi di lingkungan masyarakat Toraja maka diperoleh nilai skor dari 5 kriteria penilaian untuk setiap indikator tanggapan serta persentase skoring sebagai berikut : Tabel 1. Tanggapan Responden Terhadap Nilai-Sosial Ekonomi Kerbau Pendatang No Indikator tanggapan 45455 1 Kondisi 45 455 Fisik 2 KondisiWarna Kulit 3 Kondisi Tanduk 4 Kondisi Ekor 5 KondisiWarnaBulu 6 Kondisi PusaranBulu 7 Kondisi Harga Total Skor Skor ideal Persentase Tanggapan 374 326 372 319 349 350 327 455 455 455 455 455 455 455 82,20 71,65 81,76 70,11 76,70 76,92 71,87 2417 sangat baik baik baik baik baik baik cukup murah 75,88 baik 2417 Pada Tabel 1. terlihat tanggapan responden menyatakan kondisi fisik kerbau pendatang adalah sangat baik dengan skor 82,20 % dari skor ideal. Kondisi fisik ternak kerbau pendatang cukup disukai konsumen di lingkungan masyarakat Toraja karena berbadan tegap dan berbobot. Kondisi kerbau seperti ini akan memberikan kebanggaan tersendiri. Di lingkungan masyarakat Toraja persoalan harga kerbau tidak menjadi permasalahan jika dibandingkan dengan kebanggan konsumen sebagai pengguna ataupun penyumbang yang kondisi fisik kerbauya itu dalam keadaan prima. Hal ini disebabkan kebanyakan pedagang kerbau pendatang sudah menggemukkan kerbaunya lebih dulu sebelum dipasarkan agar si pemiliknya memperoleh tambahan keuntungan. Lain halnya dengan kondisi warna, karena merupakan salah satu karakteristik yang menjadi pertimbangan bagi konsumen dalam menentukan nilai sosial ternak kerbau. Razak (2010) menyatakan bahwa kerbau di Tana Toraja memiliki ciri fisik yang khas dibanding kerbau daerah lain, terutama pada warna kulitnya. Warna kulit yang membedakan ternak kerbau asal daerah lain dari kerbau lokal, umumnya berwarna hitam pudar atau hitamkekuningan (bukan tedong-bonga). Sekalipun tanggapan kondisi fisik ternak kerbau pendatang sangat baik serta persyaratan kondisi lainnya baik, tapi karena warnanya hitam maka nilai ekonominya akan lebih rendah; apalagi bila warnanya bule-albino bahkan tidak mempunyai nilai sosial-ekonomi sama sekali di lingkungan masyarakat Toraja. Meskipun tanggapan responden terhadap warna kulit kerbau pendatang dalam penelitian ini adalah baik, dengan skor 71,65 % dari skor ideal, namun warna kulit mendapat tanggapan responden yang terendah sesudah ekor. Kerbau-kerbau yang disembelih setelah selesai kegiatan ritual atau pesta adat, tanduknya akan diletakkan atau dipasang di depan rumah adat (Tongkonan) keluarga. Kondisi tanduk kerbau pendatang yang panjang dan modelnya melengkung ke atas, termasuk kriteria tanduk yang baik.sehingga mendapat tanggapan yang baik dari responden dengan skor 81,76% dari skor ideal. Kriteria tanduk yang terbagus menurut BO’DO’ (2008) selain panjang, modelnya ada 5 kriteria, harus simetris, melengkung ke atas (kecuali “tekken langi’), juga harus seimbang dengan besarnya kepala. Hal ini akan menjadi suatu kebanggaan keluarga, karena semakin banyak jumlah tanduk seimbang yang diletakkan tersusun ke atas di depan Tongkonan maka semakin tinggi pula status sosial-ekonomi keluarga tersebut. Kondisi ekor kerbau yang bernilai sosial-ekonomi tinggi di lingkungan masyarakat Toraja adalah yang memiliki ekor panjang yaitu harus melewati lututnya, bersih, gemuk, dan pada bagian ujungnya terdapat cukup banyak bulu (Payangan, 2004). Kondisi ekor kerbau pendatang bernilai sosial paling rendah dari nilai sosial lainnya meskipun masih kategori baik dengan nilai skor 70,11% terhadap skor ideal. Kondisi ekor kerbau pendatang umumnya pendek sehingga kurang disukai oleh konsumen. Salah satu faktor yang menyebabkan harga ternak kerbau pendatang ini lebih rendah dibanding kerbau lokal adalah kondisi ekor. Pusaran bulu kerbau yang mempunyai nilai sosial-ekonomi di dalam lingkungan masyarakat Toraja adalah yang terdapat di bagian hidung, pundak serta pinggul. Bila pusaran terdapat pada bagian tengah leher sebelah atas, sangat tidak bernilai sosial-ekonomi sebab secara kepercayaan-tradisional diyakini bahwa apabila kerbau itu disembelih atau menghilang, maka pertanda bahwa si pemilik kerbau tersebut juga akan segera meninggal. Demikian pula dengan pusaran bulu yang letaknya hanya di bagian bahu saja atau di bagian perut, diyakini bahwa jika kerbau tersebut pergi atau hilang maka tidak akan kembali, serta tidak berumur panjang (Batosamma, 1985; Mardi, 2005). Hasil penelitian terhadap kerbau pendatang memperlihatkan kondisi pusaran bulunya mempunyai nilai sosial baik dengan skor 76,92% terhadap skor ideal sehingga disukai konsumen. Demikian juga warna bulu mendapat tanggapan yang baik dari responden sejajar dengan pusaran bulu dengan skor 76,70 dan 76,92% terhadap skor ideal. Selanjutnya, tanggapan dari responden tersebut terhadap nilai ekonomi (yang dinyatakan dalam harga) adalah cukup murah dengan skor 71,87% dari skor ideal. Secara keseluruhan Tabel.1, memperlihatkan nilai skor tanggapan konsumen di lingkungan masyarakat Toraja terhadap nilai sosial kerbau pendatang adalah baik.dengan skor rata-rata 75,88% terhadap skor ideal. Hasil ini juga memberi indikasi bahwa harga kerbau pendatang yang menurut informasi para responden cukup murah, tidak semata-mata dinyatakan begitu saja nelainkan berkaitan erat dengan tinggi-rendahnya indikator tanggapan konsumen dalam penilaian sosial-ekonomi di lingkungan masyarakat Toraja..dibandingkan kerbau lokal yang memang dipelihara secara khusus dengan baik. KESIMPULAN Kehadiran kerbau-kerbau pendatang di lingkungan masyarakat Toraja sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial-ekonomi yang berlaku tanpa kecuali. Pada dasarnya, tanggapan masyarakat Toraja terhadap nilai-nilai sosial-ekonomi kerbau pendatang adalah baik dengan skor 75,88%.terhadap skor ideal. Tanggapan nilai-nilai sosial yang berada di bawah skor ideal ini berdampak pada nilai ekonomi yaitu harga ternak kerbau pendatang berada pada posisi cukup murah jika dibandingkan dengan harga kerbau lokal. DAFTAR PUSTAKA - Avatar, X. 2007. Potret upacara kematian di Tanah Toraja. Forum Flobamor. Kabupaten Tana Toraja. - Batosamma, T.J. 1985. Penerapan Teknologi Inseminasi Buatan Untuk Pelestarian Sumber Daya Kerbau Belang di Tana Toraja. Disertasi IPB. Bogor. - Biro Pusat Statistik Kabupaten Tana Toraja. 2009. Populasi Ternak Kerbau di Kabupaten Tana Toraja. - BO’DO’, S. 2008. Kerbau Dalam Tradisi Orang Toraja. Pusat Kajian Indonesia Timur. Universitas Hasanuddin - __________. 2010. Kerbau Sumbawa Siap Menyuplai Toraja. Berita Terkini Toraja Diaspora. Toraja Cyber News. - Dinas Pertanian dan Pangan, Kabupaten Tana Toraja. 2009. Informasi jumlah pemotongan dan kehadiran kerbau pendatang di Tana Toraja. - Mardi Romo, USD. 2005. Tradisi Aluk Todolo Tana Toraja. Pastor BS. Yogyakarta. - Patty, JHI. 2008. Kerbau sebagai symbol status sosial dalam tradisi rambu solo. Jurnal Filsafat. Fakultas Filsafat UGM. - Payangan, D. 2000. Ternak Kerbau Peluang Karakteristik di Kecamatan Rindingallo, Kabupaten Tana Toraja. Skripsi Fakultas Peternakan UNHAS. - Pemda Kabupaten Tana Toraja. 2009. Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau. Kerjasama Pemda Kabupaten Tana Toraja dengan Dirjen Peternakan dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Rantepao, Tana Toraja. - Razak. 2010. Upacara kematian di Tana Toraja. Liburan Info. Majalah Travel Club Toraja. - Sandhi, T. 2008. Tana Toraja, Tradisi di Tengah Globalisasi. The Photo’s. Jember. - Simamora, B. 2002. Panduan Riset Perilaku Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. - Sugiono. 2002. Statistika Untuk Penelitian. Penerbit Alfabeta. Bandung. LAMPIRAN (Copy: all about Tana Toraja buffaloes) Keadaan Pasar Hewan di Rantepao, Kabupaten Tana Toraja