Penguatan Rupiah, Pertanda Apa? ANALISIS EKONOMI SRI MULYANI INDRAWATI BELAKANGAN ini nilai tukar rupiah makin perkasa secara cepat dan mengesankan dan telah menyentuh kisaran Rp 8.500 per dollar AS. Seperti biasa, penguatan rupiah sangat menarik untuk diamati dan dianalisa, khususnya di Indonesia. Bukan hanya menarik bagi para pedagang valas dan para pengusaha yang memiliki kepentingan dengan perubahan nilai tukar tersebut, tetapi juga bagi para pengamat umum, bahkan juga politisi kita. Hal ini disebabkan dalam sejarah mutakhir perpolitikan Indonesia, semenjak pemerintah Soeharto melepas rupiah dalam rezim nilai tukar bebas Agustus 1997-akibat tekanan spekulasi yang membawa krisis neraca pembayaran dan krisis ekonomi yang diikuti krisis politikpergerakan rupiah terhadap mata uang asing terutama dollar AS telah menjadi indikator politik yang paling menonjol. Selain itu, juga sensitif jpe dan sekaligus ampuh dalam menginterpretasikan kinerja pemerintahan dan suasana politik Indonesia secara umum. ''Dapat diartikan bahwa pemerintahan Megawati untuk saat ini diterima dan mulai didukung oleh pasar.'' Pemerintahan Soeharto runtuh bersama merosotnya nilai tukar rupiah. Kurs rupiah menguat akibat ekspektasi bahwa pemerintah rezim Orde Baru di bawah BJ Habibie akan tumbang dan diganti pemerintah partai-partai yang muncul setelah reformasi terjadi. - sri Mulyani Kurs rupiah kembali merosot tajam di zaman Gus Dur (Abdurrahman Wahid) akibat kinerja pemerintah yang sangat mengecewakan yang berakhir dengan terjungkalnya pemerintahan pertama hasil reformasi. Di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri yang belum genap setahun saat ini, nilai tukar rupiah kembali menguat (apresiasi) secara sangat mengesankan sekitar 20 persen setelah mengalami perlemahan pada awal tiga bulan kepemimpinannya. Interpretasi politis sederhana mengikuti pengalaman tiga presiden sebelumnya dapat diartikan bahwa pemerintahan Megawati untuk saat ini diterima dan mulai didukung oleh pasar dan dianggap telah berjalan sesuai harapan mereka. Beberapa faktor menjelaskan mengapa dukungan pasar cenderung menguat, adalah persetujuan program pemulihan ekonomi oleh Dana Moneter Internasional (IMF) sudah dicapai tiga kali tanpa keributan yang berarti. Selain itu juga persetujuan Paris Club ketiga dan dukungan Consultative Group on Indonesia (CGI) juga diperoleh, meskipun masih dengan beberapa catatan ketidakpuasan dari para kreditor, namun tidak sampai menggelisahkan pasar. *** BILA dukungan internasional dan pasar nampaknya memang cenderung agak royal diberikan pada pemerintahan ini, tentu bukan berarti segala sesuai sudah memuaskan. Bahkan, kalau dilihat dari sisi domestik, masih banyak faktor yang cukup pelik dan memprihatinkan belum tertangani oleh pemerintahan ini. Dari sisi faktor ekonomi terutama tingkat makro, penguatan rupiah terlalu cepat akhir-akhir ini memang agak sulit diterima, paling tidak disandingkan dengan fakta makro ekonomi penunjangnya. Neraca pembayaran kita masih belum menunjukkan banyak perubahan, meskipun ada kecenderungan tertentu yang memang menarik diperhatikan. Sejak semester kedua tahun lalu, ekspor mengalami kemerosotan dan stagnasi pertumbuhan hingga sekitar nol persen akibat lesunya perekonomian global dan hingga kuartal dua tahun ini, meskipun mulai tampak ada perbaikan namun masih sangat belum berarti. Impor juga mengalami penurunan tajam, bahkan hingga minus 23 persen pada kuartal terakhir tahun lalu. Penurunan impor termasuk barang modal dan bahan baku pasti akan mempengaruhi secara negatif pertumbuhan ekonomi tahun ini, meskipun akan menghasilkan surplus neraca perdagangan kita. Transaksi berjalan tahun 2001 memang cenderung menunjukkan surplus yang meningkat dibanding tahun sebelumnya, mencapai di atas 5 milyar dollar AS, namun neraca modal kita masih mengalami defisit kronis. Aliran modal secara neto semenjak krisis terjadi pertengahan 1997 hingga kini masih negatif. Artinya masih terjadi "pelarian" modal ke luar negeri, terutama dari swasta baik yang berbentuk Penanaman Modal Asing (PMA) secara langung atau Foreign Direct Investment yang bersifat jangka panjang maupun modal jangka pendek dengan jumlah yang masih memprihatinkan. Jangan lupa krisis ekonomi Indonesia 1997 memang disebabkan oleh masalah aliran modal di neraca pembayaran kita yang mengalami arus keluar secara drastis dan sangat besar dalam waktu singkat. Bahkan, arus keluar PMA setahun terakhir nampak menunjukkan kecenderungan meningkat yang bisa dijelaskan oleh beberapa faktor penyebabnya. Pertama, masalah keamanan dan kepastian usaha, terutama dirasakan perusahaan PMA pertambangan dan perkebunan umumnya di luar Jawa. Kedua, ruwetnya ekses kebijakan desentralisasi dalam bentuk tuntutan yang tidak masuk akal dari pemerintah daerah dan penduduk sekitar lokasi usaha. Ketiga, perusahaan PMA nonmanufaktur yang bersifat padat tenaga kerja umunya berlokasi di Jawa, mengalami tuntutan buruh yang bereskalasi tinggi dan kenaikan upah minimum yang tajam, telah menyebabkan menurunnya daya tarik dan tingkat pengembalian modal. Keempat, berbagai perubahan peraturan yang di tingkat lapangan cenderung mengakibatkan ketidakpastian berusaha bagi investor, dari mulai aturan perpajakan, kontrak kerja, masalah pertanahan, hingga pengambilan keputusan yang tidak jelas, terutama menyangkut BUMN yang didivestasi. Aliran modal jangka pendek neto juga masih mengalami kemerosotan (arus negatif) meskipun ada kecenderungan perlambatan secara signifikan dari sekitar 6,5 milyar dollar AS tahun 2000, hingga diperkirakan hanya setengahnya tahun 2001. Variabel aliran modal jangka pendek inilah yang menarik dan patut kita simak untuk menjelaskan perkuatan nilai tukar rupiah akhir-akhir ini. *** MESKIPUN data makro 2002 kuartal dua masih belum tersedia bagi publik, dapat diperkirakan berdasarkan fakta di lapangan adanya indikator masuknya aliran modal swasta jangka pendek. Masuknya modal jangka pendek ditujukan terutama untuk pembelian ekuitas/saham maupun ditempatkan dalam di perbankan dalam bentuk tabungan jangka pendek. Indeks harga saham Bursa Efek Jakarta yang menguat menembus jauh di atas angka 500, menjadi salah satu indikatornya. Perbedaan (spread) positif suku bunga riil di dalam negeri dengan luar negeri juga menjadi daya tarik tersendiri. Di sisi lain, melesunya ekonomi global terutama perekonomian Amerika Serikat dan kawasan Asia Timur disertai jatuhnya harga saham mereka, menyebabkan modal internasional mulai bergerak mencari alternatif lokasi yang lebih menarik dan menguntungkan. Indonesia meskipun dengan tingkat risiko masih tinggi, jelas mulai diperhitungkan oleh para pemilik dan pengelola modal internasional. Bahkan, para pemilik modal Indonesia yang sejak krisis masih parkir modal di luar negeri, kemungkinan besar juga mulai gatal untuk membawa kembali modalnya ke negeri ini. Situasi ini di satu sisi memang akan menguntungkan, karena menyebabkan masuknya mata uang asing dan meningkatkan permintaan rupiah untuk transaksi di dalam negeri, yang akan menghasilkan perkuatan rupiah seperti yang kita bisa lihat. Namun, kita juga patut untuk berhatihati. Di satu sisi, Indonesia mempunyai kesempatan sangat besar untuk mengundang modal yang telah lari semenjak krisis ke bumi Nusantara kembali untuk menunjang pemulihan pertumbuhan ekonomi, memperkuat neraca pembayaran dan menstabilkan nilai tukar rupiah. Saingan kita terutama adalah Cina dan negara Asia Tenggara yang juga sedang dalam proses pemulihan ekonomi yang sebenarnya juga menghadapi banyak persoalan domestik masingmasing yang tidak mudah juga. Pemerintah kita jelas memiliki instrumen ampuh untuk menarik modal internasional tersebut. Instrumen tersebut meliputi privatisasi BUMN dan divestasi aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bisa menjadi ujung tombak yang secara efektif dan nyata menghasilkan arus modal masuk. Harga saham dan aset di dalam negeri yang relatif murah jelas, memberikan daya tarik besar bagi pemodal terutama dari luar negeri. Oleh karena itu, kebijakan di bawah kewenangan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi akan menjadi etalase paling penting untuk menentukan apakah Indonesia akan mampu menarik pemodal yang tengah mencari lokasi menguntungkan. Sayangnya kebijakan pemerintah di bidang privatisasi dan divestasi, meskipun secara formal sudah diumumkan dan digariskan, masih menjadi bahan pertengkaran bahkan sesama tim pemerintahan sendiri. Bahkan, bagi berniat membeli aset pun tidak merasa nyaman dan aman karena ada kemungkinan dituduh akan merugikan negara seperti pembeli Bank Central Asia (BCA). Bahkan, transaksi yang sudah dan sedang terjadi juga sering menimbulkan aroma skandal seperti kasus Indomobil, dan yang terakhir juga penjualan saham Indosat. Pemerintah memang harus makin pintar memahami mekanisme pasar, struktur pasar serta sikap dan motivasi pelaku pasar. Sering pasar transaski modal dan aset ini hanya didominasi oleh sedikit pelaku yang sangat mampu melakukan manipulasi proses yang bahkan dibantu dengan oleh eksekutor transaski (BPPN dan orang pemerintahan sendiri), hingga menekan dan merugikan posisi negara. Oleh karena itu diperlukan institusi-institusi penjaga pasar yang kuat, kredibel, dan efektif menjalankan kewenangan dan kekuasaannya agar menjaga integritas transaski dan kemurnian mekansime pasar (kompetisi dan kejujuran). Institusi ini meliputi Bapepam untuk transaksi penjualan saham, Bank Indonesia untuk divestasi bank, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mencegah terbentuknya kartel dan persaingan tidak sehat, juga Kejaksaan Agung untuk menindak kejanggalan yang nyata dalam berbagai transaksi di atas. Disadari, kebijakan penjualan aset yang dikuasai negara untuk perbaikan pengelolaan ekonomi memang sangat sensitif secara politik. Ini mengakibatkan munculnya ambivalensi dalam sikap pemerintah dalam kebijakan ini, yang menggambarkan belum adanya kebulatan komitmen politik dan kepastian operasional. Lemahnya institusi penjaga integritas transaski dan persaingan pasar di atas juga menyebabkan mudahnya terjadi kerugian negara, yang dengan mudah menimbulkan tuduhan bahwa kebijakan yang tadinya bertujuan baik justru dianggap merugikan rakyat. Penyelesaian masalah ini jelas membutuhkan kepemimpinan presiden sebagai manajer puncak untuk menengahi dan menyelesaikannya, baik persoalan di antara timnya sendiri maupun dalam memperjuangkan secara politis untuk mendapatkan dukungan domestik baik di pusat (di dalam pemerintah sendiri maupun dari DPR), maupun dari daerah. Perkuatan rupiah barangkali diibaratkan merupakan gambaran awal dari mulai berkerumunnya calon investor di depan etalase kita dan bahkan mulai masuk dalam toko kita. Apakah kita akan bisa memanfaatkan momentum ini dan mewujudkan minat mereka menjadi transaski yang nyata yang menguntungkan kedua belah pihak untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas aset, membawa perbaikan kesejahteraan rakyat, dan memperkuat stabilitas makroekonomi. Atau seperti beberapa contoh beberapa kasus, justru terjadi premanisasi untuk menakuti pembeli, atau persekongkolan antara pembeli bersama oknum pemerintah untuk merugikan negara. Kedua skenario di atas mungkin terjadi dan saat ini masih dalam proses pertempuran. Yang mana yang akan menang akan menggambarkan kepada publik kualitas sebenarnya dari kepemimpinan dan kredibilitas pemerintah saat ini.*