Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP Sanglah

advertisement
ORIGINAL ARTICLE
Intisari Sains Medis 2017, Volume 8, Number 1: 69-73
P-ISSN: 2503-3638, E-ISSN: 2089-9084
Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP
Sanglah Denpasar-Bali
Andre Kristanto
Published by DiscoverSys
CrossMark
ABSTRACT
Introduction: Epilepsy is a neurological disease that is characterized
by episodes of seizures which can be accompanied by loss of
consciousness of the patient. Although it is usually accompanied by
loss of consciousness, there are several types of seizures without loss
of consciousness. The disease is caused by the instability of electrical
charges in the brain which in turn interfere with muscle coordination
and manifest in muscle stiffness or repetitive pounding on the muscle.
Classification of epileptic seizure according to ILAE 1981 include some
general seizures, partial / focal seizures, and not classified seizures.
Case: A 57-year-old woman, Balinese, come to the ER with complaints
a limp, escorted by residents because of fainting. Patients do not know
what happened so he brought the ER. Patients know who she is, what’s
her name, where she was, and the current time. Patient say she felt
a little dizziness, no nausea, no vomiting. Patients are found to fall
unconscious. At that time the patient was at work with his daily activity
carrying stuff. Before fainting said patient lying at the scene while
stamping hands and feet. Not checked how long the patient was lying.
From families were dropping, the patient has a history of epilepsy,
had been hospitalized in the hospital with a diagnosis of epilepsy, but
never control the drug after the return of hospitalization.
Keywords: epilepsy, seizures, tonic-clonic
Cite This Article: Kristanto A. 2017. Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP Sanglah Denpasar-Bali. Intisari Sains Medis 8(1): 69-73.
DOI: 10.15562/ism.v8i1.105
ABSTRAK
Pendahuluan: Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai
dengan episode kejang yang dapat disertai hilangnya kesadaran
penderita. Meskipun biasanya disertai hilangnya kesadaran, ada
beberapa jenis kejang tanpa hilangnya kesadaran. Penyakit ini
disebabkan oleh ketidakstabilan muatan listrik pada otak yang
selanjutnya mengganggu koordinasi otot dan bermanifestasi pada
kekakuan otot atau pun hentakan repetitif pada otot. klasifikasi
bangkitan epileptik menurut ILAE 1981 antara lain bangkitan umum,
bangkitan parsial / fokal, dan tidak terklasifikasi.
Kasus: Pasien perempuan berumur 57 tahun, suku Bali, datang ke
UGD dengan keluhan lemas, diantar oleh warga karena pingsan. Pasien
Program Studi Pendidikan Dokter,
Fakultas Kedokteran, Universitas
Udayana
tidak mengetahui apa yang terjadi sehingga ia dibawa UGD. Pasien
mengenal siapa dirinya, siapa namanya, dimana ia berada, dan waktu
saat itu. Pasien mengatakan dirinya sedikit pusing, tidak ada mual,
tidak ada muntah. Dikatakan pasien ditemukan terjatuh dan pingsan.
Pada saat itu pasien sedang di tempat kerja dengan kesehariannya
mengangkat barang dagangan. Sebelum pingsan dikatakan pasien
terkapar di lokasi kejadian sambil menghentak-hentakkan tangan
dan kaki. Tidak diperiksa berapa lama pasien terkapar. Dari keluarga
yang mengantar, pasien dikatakan memang memiliki riwayat epilepsi,
pernah dirawat inap di rumah sakit dengan diagnosis epilepsi namun
tidak pernah kontrol obat setelah pulang opname.
Kata Kunci: epilepsi, kejang, tonik-klonik
Cite Pasal Ini: Kristanto A. 2017. Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP Sanglah Denpasar-Bali. Intisari Sains Medis 8(1): 69-73.
DOI: 10.15562/ism.v8i1.105
PENDAHULUAN
Correspondence to: Andre Kristanto,
Program Studi Pendidikan Dokter,
Fakultas Kedokteran, Universitas
Udayana
[email protected]
*
Diterima: 22 September 2016.
Disetujui: 3 November 2016.
Diterbitkan: 10 Januari 2017
Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai
dengan episode kejang yang dapat disertai hilangnya kesadaran penderita. Meskipun biasanya disertai hilangnya kesadaran, ada beberapa jenis kejang
tanpa hilangnya kesadaran.
Penyakit ini disebabkan oleh ketidakstabilan
muatan listrik pada otak yang selanjutnya mengganggu koordinasi otot dan bermanifestasi pada
Open access: http://isainsmedis.id/
kekakuan otot atau pun hentakan repetitif pada
otot.
Dokter di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP) harus mampu menegakkan diagnosis
epilepsi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat. Autoanamnesis dan allo-­
anamnesis terhadap pasien, orang tua atau orang
yang merawat dan saksi mata yang mengetahui
69
ORIGINAL ARTICLE
dibagi menjadi terapi farmakologis dan non farmakologis (edukasi dan konseling).
Keberhasilan terapi penyandang epilepsi sangat
tergantung pada kepatuhan pasien dalam menjalani terapi yang diberikan. Oleh karena itu, dokter di
layanan primer berperan penting dalam memantau
perkembangan terapi serta memberikan edukasi
kepada penyandang epilepsi atau keluarganya
tentang penyakit yang dideritanya. Hasil penatalaksanaan epilepsi hendaknya dipantau secara terencana dan berkesinambungan serta dicatat pada
rekam medis di lembar pemantauan.
Gambar 1 Klasifikasi berdasarkan ILAE 2016 (Basic scheme)3
Gambar 2 Klasifikasi berdasarkan ILAE 2016 (Expanded scheme)3
kejadian diperlukan untuk menggambarkan gejala
dan tanda sebelum, selama dan sesudah bangkitan
dan untuk menentukan apakah bangkitan yang
terjadi adalah suatu bangkitan epileptik atau bukan.
Apabila diagnosis epilepsi sudah ditegakkan, secara
klinis maka dokter di tingkat layanan primer harus
segera merujuk pasien ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut yang memiliki dokter spesialis neurologi
untuk mendapatkan penanganan lanjutan guna
menentukan terapi terbaik bagi pasien. Terapi Obat
Anti Epilepsi (AOE) dapat diberikan oleh dokter di
layanan primer berdasarkan hasil konsultasi (rujukan balik) dari spesialis neurologi kecuali pada
daerah yang tidak ada dokter spesialis neurologi
dokter FKTP boleh memberi pertolongan sebelum
merujuk.
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan kondisi bebas bangkitan dengan efek samping
seminimal mungkin sehingga penyandang epilepsi
dapat hidup secara normal dan mencapai kualitas
hidup yang optimal. Terapi penyandang epilepsi
70
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut International League Against Epilepsy
(ILAE) tahun 2005, secara konseptual, epilepsi
didefinisikan sebagai kelainan otak yang ditandai
oleh adanya kecenderungan untuk menimbulkan
bangkitan epilepsi secara terus menerus dengan
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis,
dan sosial.1
Faktor resiko epilepsi antara lain asfiksia
neonatorium, riwayat demam tinggi, riwayat ibu
yang memiliki faktor resiko tinggi (wanita dengan
latar belakang susah melahirkan atau pengguna
obat-obatan, hipertensi), pasca trauma kelahiran,
riwayat ibu yang menggunakan obat anti konvulsan
selama kehamilan, riwayat intoksikasi obat-obatan
maupun alkohol, adanya riwayat penyakit pada
masa anak-anak (campak, mumps), riwayat gangguan metabolisme nutrisi dan gizi, riwayat
keturunan epilepsi.
Penyebab timbulnya kejang pada penderita
antara lain ketidakpatuhan meminum obat sesuai
jadwal yang diberikan oleh dokter dan dosis yang
telah ditetapkan, meminum minuman keras seperti
alkohol, memakai narkoba seperti kokain atau pil
lain seperti ekstasi, kurangnya tidur pada penderita, mengkonsumsi obat lain sehingga mengganggu
efek obat epilepsi.
Klasifikasi bangkitan Epileptik menurut ILAE
1981:2
1. Bangkitan Umum2
1.1. Tonik – klonik
1.2. Absans
1.3. Klonik
1.4. Tonik
1.5. Atonik
1.6. Mioklonik
2. Bangkitan Parsial / Fokal2
2.1. Parsial sederhana
2.2. Parsial kompleks
2.3. Kejang umum sekunder
3. Tidak terklasifikasi2
Gejala-gejala kejang epilepsi antara lain:
Published by DiscoverSys | Intisari Sains Medis 2017; 8(1): 69-73 | doi: 10.15562/ism.v8i1.105
ORIGINAL ARTICLE
1. Bangkitan Umum
Terjadi pada seluruh area otak. Kesadaran akan
terganggu pada awal kejadian kejang. Kejang
umum dapat terjadi diawali dengan kejang parsial
simpleks atau kejang parsial kompleks. Jika ini
terjadi, dinamakan kejang umum tonik-klonik
sekunder.4
1.1. TONIK – KLONIK (GRAND MAL)
Jenis kejang yang paling dikenal. Diawali dengan
hilangnya kesadaran dan sering penderita akan
menangis. Jika berdiri, orang akan terjatuh,
tubuh menegang (tonik) dan diikuti sentakan
otot (klonik). Bernafas dangkal dan sewaktu-waktu terputus menyebabkan bibir dan kulit
terlihat keabuan/ biru. Air liur dapat terakumulasi dalam mulut, terkadang bercampur darah jika
lidah tergigit. Dapat terjadi kehilangan kontrol
kandung kemih. Kejang biasanya berlangsung
sekitar dua menit atau kurang. Hal ini sering
diikuti dengan periode kebingungan, agitasi dan
tidur. Sakit kepala dan nyeri juga biasa terjadi
setelahnya.4
1.2. ABSENS (PETIT MAL)
Kejang ini biasanya dimulai pada masa anak-anak
(tapi bisa terjadi pada orang dewasa), seringkali
keliru dengan melamun atau pun tidak perhatian.
Sering ada riwayat yang sama dalam keluarga.
Diawali mendadak ditandai dengan menatap,
hilangnya ekspresi, tidak ada respon, menghentikan aktifitas yang dilakukan. Terkadang dengan
kedipan mata atau juga gerakan mata ke atas.
Durasi kurang lebih 10 detik dan berhenti secara
tiba-tiba. Penderita akan segera kembali sadar
dan melanjutkan aktifitas yang dilakukan sebelum
kejadian, tanpa ingatan tentang kejang yang terjadi.
Penderita biasanya memiliki kecerdasan yang
normal. Kejang pada anak-anak biasanya teratasi
seiring dengan pubertas.4
1.3. MIOKLONIK
Kejang berlangsung singkat, biasanya sentakan
otot secara intens terjadi pada anggota tubuh atas.
Sering setelah bangkitan mengakibatkan menjatuhkan dan menumpahkan sesuatu. Meski kesadaran
tidak terganggu, penderita dapat merasa kebingungan dan mengantuk jika beberapa episode terjadi
dalam periode singkat. Terkadang dapat memberat
menjadi kejang tonik-klonik.4
1.4. TONIK
Terjadi mendadak. Kekakuan singkat pada otot
seluruh tubuh, menyebabkan orang menjadi kaku
dan terjatuh jika dalam posisi berdiri. Pemulihannya
cepat namun cedera yang terjadi dapat bertahan.
Kejang tonik dapat terjadi pula saat tertidur.4
Published by DiscoverSys | Intisari Sains Medis 2017; 8(1): 69-73 | doi: 10.15562/ism.v8i1.105
1.5. ATONIK
Terjadi mendadak, kehilangan kekuatan otot, menyebabkan penderita lemas dan terjatuh jika dalam
posisi berdiri. Biasanya terjadi cedera dan luka pada
kepala. Tidak ada tanda kehilangan kesadaran dan
cepat pemulihan kecuali terjadi cedera.4
2. Bangkitan Parsial / Fokal
Kejang parsial mungkin tidak diketahui maupun
dibingungkan dengan kejadian lain. Terjadi pada
satu area otak dan terkadang menyebar ke area
lain. Jika menyebar, akan menjadi kejang umum
(sekunder), paling sering terjadi kejang tonik
klonik. 60 % penderita epilepsi merupakan kejang
parsial dan kejang ini terkadang resisten terhadap
terapi antiepileptik.4
2.1. PARSIAL SEDERHANA
Kejang singkat ini diistilahkan “aura” atau “warning” dan terjadi sebelum kejang parsial kompleks
atau kejang tonik klonik. Tidak ada penurunan
kesadaran, dengan durasi kurang dari satu menit.4
2.2. PARSIAL KOMPLEKS
Serangan ini dapat sangat bervariasi, bergantung
pada area dimulai dan penyebaran di otak. Banyak
kejang parsial kompleks dimulai dengan tatapan
kosong, kehilangan ekspresi atau samar-samar,
penampilan bingung. Kesadaran terganggu dan
orang mungkin tidak merespon. Kadang-kadang
orang memiliki perilaku yang tidak biasa. Perilaku
umum termasuk mengunyah, gelisah, berjalan
di sekitar atau bergumam. Kejang parsial dapat
berlangsung dari 30 detik sampai tiga menit. Setelah
kejang, penderita sering bingung dan mungkin
tidak ingat apa-apa tentang kejang.4
Berdasarkan consensus ILAE 2014, epilepsi
dapat ditegakkan pada tiga kondisi, yaitu:6
1. Terdapat dua kejadian kejang tanpa provokasi
yang terpisah lebih dari 24 jam6
2. Terdapat satu kejadian kejang tanpa provokasi,
namun resiko kejang selanjutnya sama dengan
resiko rekurensi umum setelah dua kejang
tanpa provokasi dalam 10 tahun mendatang,
serta,
3. Sindrom epilepsi (berdasarkan pemeriksaan
EEG).6
Tujuan tatalaksana adalah status bebas kejang
tanpa efek samping. Obat-obat lini pertama untuk
epilepsi antara lain:8
1. Karbamazepine, untuk kejang tonik-klonik
dan kejang fokal. Tidak efektif untuk kejang
absens. Dapat memperburuk kejang myoklonik. Dosis total 600-1200 mg dibagi menjadi
3-4 dosis per hari.8
71
ORIGINAL ARTICLE
2. Lamotrigine, efektif untuk kejang fokal dan
kejang tonik-klonik. Dosis 100-200 mg sebagai
monoterapi atau dengan asam valproat. Dosis
200-400 mg bila digunakan bersama dengan
fenitoin, fenobarbital, atau karbamazepine.8
3. Asam valproat, efektif untuk kejang fokal,
kejang tonik-klonik, dan kejang absens. Dosis
400-2000 mg dibagi 1-2 dosis per hari.8
4. Obat-obat yang tersedia di puskesmas8
a. Fenobarbital, dapat dimulai dengan dosis
60mg/hari per oral dinaikkan 30 mg
setiap 2-4 minggu hingga tercapai target
90-120 mg/hari.8
b. Fenitoin (300-600 mg/hari per oral
dibagi menjadi satu atau dua dosis)8
c. Karbamazepine (800-1200 mg/ hari per
oral dibagi menjadi tiga hingga empat
dosis). Obat ini merupakan obat pilihan
untuk pasien epilepsi pada kehamilan.8
Terapi lain berupa terapi non-farmakologi dan
terapi bedah (lobektomi dan lesionektomi).8
Perjalanan Penyakit Pasien
Pasien mengalami kejang berulang saat di UGD,
dengan bangkitan tonik (kaku otot) durasi 4 menit,
tanpa mulut berbuih dan mengompol. Pada pasien
diberikan diazepam 10 mg intravena pelan diencerkan 5cc NaCl. Pasien tersadar setelah episode
kejang, dengan keluhan lemas dan pusing.
PEMBAHASAN
LAPORAN KASUS
Pasien perempuan berumur 57 tahun, suku Bali,
beragama Hindu, datang ke UGD dengan keluhan
Pasien datang dengan keluhan lemas, diantar oleh
warga karena pingsan. Pasien tidak mengetahui apa
yang terjadi sehingga ia dibawa UGD. Os mengenal
siapa dirinya, siapa namanya, di mana ia berada,
dan waktu saat itu. Os mengetahui beberapa orang
yang ada di sampingnya karena masih saudara,
dan beberapa diantaranya tidak dikenal karena
merupakan orang yang mengantarnya ke UGD.
Pasien mengatakan dirinya sedikit pusing, tidak
ada mual, tidak ada muntah.
Dari orang yang mengantar, dikatakan pasien
ditemukan terjatuh dan pingsan. Pada saat itu
pasien sedang di tempat kerja dengan kesehariannya “nyuun barang” karena merupakan profesinya.
Sebelum pingsan dikatakan pasien terkapar di
lokasi kejadian sambil menghentak-hentakkan
tangan dan kaki. Tidak diperiksa berapa lama
pasien terkapar.
Dari keluarga yang mengantar, pasien dikatakan
memang memiliki riwayat epilepsi, pernah dirawat
inap di rumah sakit dengan diagnosis epilepsi
namun tidak pernah kontrol obat setelah pulang
opname dan obat habis.
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit
yang sama seperti dialami pasien.
Status Present, GCS compos mentis, tekanan
darah 140/90 mmHg, nadi 88 kali/menit, laju nafas
20 kali/menit, suhu aksila 36 °C.
72
Status generalis dalam batas normal serta tidak
ditemukan penurunan status neurologis
Laboratorium Darah Lengkap dalam batas
normal dan gula darah sewaktu 106 mg/dL.
Pasien didiagnosis Epilepsi dengan bangkitan
umum tonik-klonik dengan tatalaksana perawatan
di rumah sakit. Dengan pengobatan IVFD NaCl 20
tetes makro per menit, Diazepam 10 mg intravena
pelan bila kejang, Phenitoin 100 mg diencerkan
dalam 20 cc NaCl 0,9 % secara intra vena pelan
dengan kecepatan 5 menit tiap 6 jam, Diazepam
oral 3 x 5 mg, pengobatan simptomatik panas dan
pusing dengan paracetamol 3 x 500 mg.
Dari biodata pasien, pasien merupakan wanita
berumur 57 tahun, mengalami episode kejang
dengan riwayat menderita kejang pertama pada
1 tahun yang lalu dan didiagnosis epilepsi. Dari
tinjauan pustaka, tidak ada kecenderungan timbulnya epilepsi dari umur dan jenis kelamin.
Pada kejang kali ini hingga pasien dibawa ke
rumah sakit, dikatakan pasien ditemukan pingsan
setelah terkapar dan sebelumnya menghentak-hentakkan tangan dan kaki, durasi tidak diketahui pasti.
Dari klasifikasi kejang, dicurigai merupakan kejang
umum tonik-klonik. Kejang jenis ini paling banyak
ditemui. Dimana pada kejang ini terjadi hilangnya
kesadaran sehingga pasien terjatuh jika sebelumnya
pada posisi berdiri. Pada saat episode, dikatakan
penderita menghentak-hentakkan tangan dan kaki
yang mengarahkan pada jenis “klonik”. Tidak bisa
dipastikan apakah terjadi kekakuan otot pada saat
kejadian untuk mengetahui jenis “tonik”. Kejang ini
juga bisa disertai dengan kelemahan otot sfingter
kantung kemih hingga os mengompol, namun pada
pasien ini tidak ditemukan.2,4
Pasien ini dianjurkan untuk rawat inap dengan
terapi epilepsi berupa penitoin 100 miligram sebanyak 4 kali sehari dengan cara pemberian diencerkan
dalam 20 cc NaCl 0,9% secara intravena dengan
kecepatan pemberian 5 menit. Pasien dengan kejang
umum tonik-klonik diberikan terapi asam valproat
atau lamotrigine sebagai terapi lini pertama. Dapat
diberikan fenitoin dengan dosis 300-600 mg/hari
per oral dibagi menjadi satu atau dua dosis.8,9
Published by DiscoverSys | Intisari Sains Medis 2017; 8(1): 69-73 | doi: 10.15562/ism.v8i1.105
ORIGINAL ARTICLE
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai
dengan episode kejang yang dapat disertai hilangnya
kesadaran penderita. Meskipun biasanya disertai
hilangnya kesadaran, ada beberapa jenis kejang tanpa
hilangnya kesadaran. Penyakit ini disebabkan oleh
ketidakstabilan muatan listrik pada otak yang selanjutnya mengganggu koordinasi otot dan bermanifestasi pada kekakuan otot atau pun hentakan repetitif
pada otot. klasifikasi bangkitan epileptik menurut
ILAE 1981 antara lain bangkitan umum, bangkitan
parsial/ fokal, dan tidak terklasifikasi.
Berdasarkan consensus ILAE 2014, epilepsi
dapat ditegakkan pada tiga kondisi, yaitu terdapat
dua kejadian kejang tanpa provokasi yang terpisah
lebih dari 24 jam, terdapat satu kejadian kejang tanpa
provokasi, namun resiko kejang selanjutnya sama
dengan resiko rekurensi umum setelah dua kejang
tanpa provokasi dalam 10 tahun mendatang, serta
sindrom epilepsi (berdasarkan pemeriksaan EEG).
Tujuan tatalaksana adalah status bebas kejang
tanpa efek samping. Obat-obat lini pertama untuk
epilepsi antara lain karbamazepine, lamotrigine,
asam valproat, fenobarbital, fenitoin. Terapi lain
berupa terapi non-farmakologi dan terapi bedah
(lobektomi dan lesionektomi).
Diharapkan pada penderita untuk terapi secara
rutin untuk meminimalisir angka kekambuhan
serta para tenaga medis mendukung penderita dari
segi fisik maupun mental. Bagi pemerintah untuk
mengatur regulasi serta infrastruktur yang memadai untuk penderita dalam menjalani pengobatan.
1.
Published by DiscoverSys | Intisari Sains Medis 2017; 8(1): 69-73 | doi: 10.15562/ism.v8i1.105
Fisher RS, Boas W, Blume W, et al. Epileptic Seizures and
Epilepsy: Definitions Proposed by the International League
Against Epilepsy (ILAE) and the International Bureau for
Epilepsy (IBE). Epilepsia. 2005;46(4):470-2.
2. Bancaud J, Henriksen O, Donnadieu FR, et al. Proposal
for Revised Clinical and Electroencephalographic
Classification
of
Epileptic
Seizures.
Epilepsia.
1981;22:489-501.
3. Fisher RS, Cross JH, French JA, et al. Operational
Classification of Seizure Types by the International League
Against Epilepsy.
4. Anonim. Seizure Smart-Seizure Classification. Diunduh
dari:
https://www.epilepsy.org.au/sites/default/files/
Seizure%20Smart%20-%20Classification%20of%20
Seizures.pdf diakses pada 4 Agustus 2016.
5. Panayiotopoulos CP. Chapter 1: Clinical Aspects of the
Diagnosis of Epileptic Seizures and Epileptic Syndromes.
Dalam: Panayiotopoulos CP.. The Epilepsies: Seizures,
Syndromes and Management. Oxfordshire (UK): Bladon
Medical Publishing; 2005.
6. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A,
Cross JH, et al. ILAE Official Report: A Practical Clinical
Definition of Epilepsy. Epilepsia. 2014;55(4): 475-82.
7. Anonim. Pertolongan Pertama Pada Penyakit Epilepsi.
Diunduh dari: http://penyakitepilepsi.com/pertolongan-pertama-pada-penyakit-epilepsi/
Diakses
pada
4 Agustus 2016.
8. Arifputra A, Sumantri FO. Epilepsi. Dalam: Arifputra A.
Kapita Selekta Kedokteran Edisi II. Jakarta (INA: Media
Aesculapius; 2014.
9. NICE Guideline on AEDs. Diunduh dari: https://
www.epilepsysociety.org.uk/system/files/attachments/
NICEguidelineonAEDsAugust2014_0.pdf Diakses pada
4 Agustus 2016.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution
73
Download