BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. EPILEPSI 1. Definisi Epilepsi adalah Cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat yang dapat mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik.12 Pelepasan aktifitas listrik abnormal dari sel-sel neuron di otak terjadi karena fungsi sel neuron terganggu. Gangguan fungsi ini dapat berupa gangguan fisiologik, biokimia, anatomi dengan manifestasi baik lokal maupun general.6 Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan / gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.13 Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu13 : a. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya. b. Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan selanjutnya c. Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif, psikologis, dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan. Ketiga elemen di atas harus diperhatikan karena dalam mentatalaksana seorang penyandang epilepsi, tidak hanya faktor bangkitan atau kejang yang perlu diperhatikan namun konsekuensi sosial yang ditimbulkan juga harus diperhatikan seperti dikucilkan oleh masyarakat, stigma bahwa penyakit epilepsi adalah penyakit menular, dan sebagainya.13 Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara tiba-tiba dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut 6,14 (unprovoked). 2. Etiologi Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang yang muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan ini bisa diindikasikan sebagai disfungsi otak.15 Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak atau fungsi sel neuron di otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang atau serangan epilepsi.16 Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat usia serangan pertama kali. Misalnya : usia dibawah 18 tahun kemungkinan faktor penyebabnya ialah trauma perinatal, kejang demam, radang susunan saraf pusat, struktural, penyakit metabolik, keadaan toksik, penyakit sistemik, penyakit trauma kepala, dan lain-lain.6 Bangkitan kejang juga dapat disebabkan oleh berbagai kelainan dan macam-macam penyakit diantaranya ialah trauma lahir, trauma kapitis, radang otak, tumor otak, perdarahan otak, gangguan peredaran darah, hipoksia, anomali kongenital otak, kelainan degeneratif susunan saraf pusat, gangguan metabolisme, gangguan elektrolit, demam, reaksi toksis-alergis, keracunan obat atau zat kimia, dan faktor hereditas.11 3. Faktor Risiko Faktor resiko untuk terjadinya epilepsi pada penderita kejang demam adalah10,17 : a. Jika ada kelainan neurologis atau perkembangan sebelum kejang demam pertama b. Kejang demam kompleks c. Adanya riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung. Masing-masing faktor resiko meningkatkan resiko epilepsi 4-6%; kombinasi faktor resiko tersebut meningkatkan resiko epilepsi menjadi 10-49%.13 Epilepsi diartikan sebagai kejang berulang dan multipel. Anak dengan riwayat kejang demam mempunyai risiko sedikit lebih tinggi menderita epilepsi pada usia 7 tahun dibandingkan dengan anak yang tidak pernah mengalami kejang demam.18 4. Klasifikasi Klasifikasi epilepsi6,13,14,20 : a. Bangkitan Parsial/fokal 1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran) a) Dengan gejala motorik. b) Dengan gejala sensorik. c) Dengan gejala otonomik. d) Dengan gejala psikis. 2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran) a) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran. b) Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan. 3) Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik) a) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi kompleks berkembang menjadi bangkitan umum b) Bangkitan parsial bangkitan umum c) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum a. Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi) 1) Bangkitan lena (absence) Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan terminasi mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik pada mata, dagu dan bibir. 2) Bangkitan mioklonik Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal. 3) Bangkitan tonik Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, dan pupil dilatasi. 4) Bangkitan atonik Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau menyeluruh sehingga pasien terjatuh. 5) Bangkitan klonik Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelojot. dijumpai terutama sekali pada anak. 6) Bangkitan tonik-klonik Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat kemudian diikuti oleh gerakan klonik. 5. Patofisiologi Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain, sehingga terjadilah epilepsi.2 Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas listrik yang berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang penderita dikatakan menderita epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa provokasi. Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak terkontrol. Pada sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi otak, namun pada beberapa kasus epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi mental.3 6. Diagnosis Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu14 : a. Langkah pertama : Memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksisimal merupakan bangkitan epilepsi. b. Langkah kedua : Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukanlah bangkitan tersebut termasuk tipe bangkitan yang mana. c. Langkah ketiga : tentukan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh pasien dan tentukan etiologinya. Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran epileptiform pada EEG.14 Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai berikut : a. Anamnesis Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis.6 Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi14 : 1) Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan a) Keadaan penyandang saat bangkitan : duduk / berdiri / berbaring / tidur / berkemih. b) Gejala awitan (aura, gerakan / sensasi awal / speech arrest). c) Apa yang tampak selama bangkitan (Pola / bentuk bangkitan) : gerakan tonik / klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, maupun deviasi mata. d) Keadaan setelah kejang : bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah, atau Todd’s paresis. e) Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau terdapat perubahan pola bangkitan. 2) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik yang mungkin menjadi penyebab. 3) Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, dan interval terpanjang antar bangkitan. 4) Riwayat bangkitan neonatal / kejang demam. b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. memperhatikan Pada adanya pasien anak, keterlambatan pemeriksa harus perkembangan, organomegali, dan perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.6 c. Pemeriksaan penunjang 1) Pemeriksaan laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin, dan ureum dalam darah. Keadaan seperti Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia, dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna.19,20 2) Elektro ensefalografi (EEG) Elektroensefalograf ialah alat yang dapat merekam aktifitas listrik di otak melalui elektroda yang ditempatkan dikulit kepala. Kelainan EEG yang sering dijumpai pada penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau epileptiform activity. Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi.4,6,11 Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.6 Rekaman EEG dikatakan abnormal ditentukan atas dasar adanya6 : a) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak. b) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta. c) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. 3) Rekaman video EEG Pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi.19 4) Pemeriksaan Radiologis Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala merupakan Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging yang bertujuan untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural di otak dan melengkapi data EEG.6,19 CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi, namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.6,19 5) Pemeriksaan neuropsikologi Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi.19 7. Prognosis Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat.21 Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi serangan baik dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita. Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang) dengan terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.22,23 Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai bebas serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah penghentian obat. Berbagai faktor prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan pada remaja / dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas EEG.22,23 Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal. Risiko kematian yang paling tinggi adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering disebabkan oleh penyakit susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi.22 B. KEJANG DEMAM 1. Definisi Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan gejala demam dan usia, serta tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah kenaikan suhu tubuh lebih dari 380C rektal atau lebih 37,80C aksila.9 Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh diatas 380C (suhu rektal) disebabkan suatu proses ekstrakranium yang paling sering dijumpai pada golongan umur 3 bulan sampai 5 tahun.11,12 Mengenai definisi kejang demam ini masing-masing peneliti membuat batasan sendiri-sendiri, tetapi pada garis besarnya hampir sama. Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah bangkitan kejang pada bayi dan anak yang biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab lain. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk kejang demam.24 Kejang demam terjadi pada anak berumur dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berumur antara 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam yang paling sering pada usia 18 bulan.10,14 2. Manifestasi Klinis Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam. Umumnya serangan kejang tonik-klonik, awalnya dapat berupa menangis, kemudian tidak sadar dan timbul kekakuan otot. Selama fase tonik, mungkin disertai henti nafas dan inkontinensia. Kemudian diikuti fase klonik berulang, ritmik dan akhirnya anak setelah kejang letargi atau tidur. Bentuk kejang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya hentakan atau kekakuan fokal.10 Serangan kejang terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bengkitan dapat berbentuk tonik, klonik, tonik-klonik, fokal atau akinetik. Pada kejang demam sederhana, umumnya kejang berhenti sendiri, setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf. Sedangkan pada kejang demam kompleks dapat disertai hemiparesis, kemudian dapat pula berkembang menjadi status epileptikus.10,11 3. Patofisiologi Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu energi dari metabolisme. Bahan baku metabolisme otak yang penting ialah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paruparu dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam (lipid) dan permukaan luar (ion). Pada keadaan normal membran sel neuron dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya kecuali Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan luar sel maka terdapat potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.11 Keseimbangan potensial membran dapat dirubah oleh adanya11 : a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. b. Rangsangan mendadak berupa mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya. c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan. Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1°C akan menaikan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak yang berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu, dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron, dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion Kaliun maupun Natrium melalui membran. Perpindahan ini mengakibatkan lepas muatan listrik yang besar, sehingga meluas ke membran sel lain melalui neurotransmitter, dan terjadilah kejang.11 Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Pireksia akan menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemia neuron karena kegagalan metabolisme di otak. Kejang demam yang berlangsung lama dapat menimbulkan kerusakan anatomi otak berupa kehilangan neuron dan gliosis terutama di daerah yang peka seperti hipokampus dan amigdala. Kerusakan di daerah ini merupakan prekursor timbulnya epilepsi lobus temporalis yang berlatar belakang kejang demam.10 4. Klasifikasi Kejang demam dibagi atas 2 bentuk10,14 : a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) 1) Kejang demam yang berlangsung singkat (< 15 menit). 2) Umumnya kejang akan berhenti sendiri. 3) Kejang umum tonik-klonik yang terjadi sekali dalam 24 jam. 4) Tidak ditemukan defisit neurologis. 5) Sembuh spontan. b. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) 1) Kejang berlangsung lama (> 15 menit). 2) Bentuk kejang bersifat fokal atau parsial. 3) Berlangsung beberapa kali (multipel) dalam 24 jam. Kejang demam sederhana tidak menyebabkan kelumpuhan, meninggal atau mengganggu kepandaian. Risiko untuk menjadi epilepsi dikemudian hari juga sangat kecil, sekitar 2% hingga 3%. Risiko terbanyak adalah berulangnya kejang demam, yang dapat terjadi pada 30 sampai 50% anak. Risiko-risiko tersebut lebih besar pada kejang demam kompleks.25 5. Diagnosis Umumnya kejang demam pada anak berlangsung pada permulaan demam akut, berupa serangan kejang klonik umum atau tonik klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda neurologi post iktal, pemeriksaan EEG pada kejang demam dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang unilateral.26 Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak yang mempunyai risiko untuk terjadinya epilepsi. Elektroensefalogram (EEG) yang dikerjakan 1 minggu setelah kejang demam dapat abnormal, biasanya berupa perlambatan diposterior. 95% kasus kejang demam EEGnya abnormal bila dikerjakan segera setelah kejang demam. Kira-kira 30% penderita akan memperlihatkan perlambatan di posterior dan akan menghilang 7 sampai 10 hari kemudian. Pemeriksaan EEG tidak dianjurkan dilakukan secara rutin. Indikasi pemeriksaan EEG pada suatu kejang demam kompleks adalah: demam <38,5oC, usia awitan < 1 tahun, ditemukan paralisis Todd atau adanya defisit neurologik.10,14,26 Pemeriksaan pungsi lumbal diindikasikan pada saat pertama sekali timbul kejang demam untuk menyingkirkan adanya proses infeksi intra kranial, perdarahan subaraknoid atau gangguan demielinasi. Pemeriksaan pungsi lumbal dianjurkan pada anak-anak yang berusia < 18 bulan, dan mutlak perlu pada bayi usia < 12 bulan (pada usia ini sulit ditemukan suatu gejala perangsangan meningeal sehingga kemungkinan suatu meningitis atau ensefalitis dapat lolos dari pemeriksaan).10,14,26 6. Penatalaksanaan Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah : Mencegah kejang demam berulang, mencegah status epilepsi, mencegah epilepsi dan/ atau retardasi mental, normalisasi kehidupan anak dan keluarga.26 Pada penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu : a. Pengobatan Fase Akut Prioritas utama pada anak yang sedang mengalami kejang adalah menjaga agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik (asetaminofen oral 10 mg/kg BB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kg BB,4 kali sehari).26 Diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut, karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Efek terapeutiknya sangat cepat, yaitu antara 30 detik sampai 5 menit dan efek toksik yang serius hampir tidak dijumpai apabila diberikan secara perlahan dan dosis tidak melebihi 50 mg per suntikan. Diazepam dapat diberikan secara intravena atau rektal, jika pemberian secara intramuskular absorbsinya lambat. Dosis diazepam pada anak adalah 0,3 mg/kg BB, diberikan secara intravena pada kejang demam fase akut, tetapi pemberian tersebut sering gagal pada anak yang lebih kecil. Jika jalur intravena belum terpasang, diazepam dapat diberikan per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg pada berat badan lebih dari 10 kg.11,26 Bila diazepam tidak tersedia, dapat diberikan luminal suntikan intramuskular dengan dosis awal 30 mg untuk neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan – 1 tahun, dan 75 mg untuk usia lebih dari 1 tahun. Efek samping diazepam adalah mengantuk, hipotensi, penekanan pusat pernafasan, laringospasme dan henti jantung. Penekanan pada pusat pernafasan dan hipotensi terutama terjadi bila sebelumnya anak telah mendapat fenobarbital. Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan efektif untuk mengantisipasi kejang demam akut pada anak. Kecepatan absorbsi midazolam ke aliran darah vena dan efeknya pada sistem syaraf pusat cukup baik; namun efek terapinya masih kurang bila dibandingkan dengan diazepam intravena.11,26 b. Mencari dan Mengobati Penyebab Penyebab dari kejang demam baik itu kejang demam sederhana maupun epilepsi yang diprovokasi oleh demam biasanya infeksi traktus respratorius bagian atas dan otitis media akut. Pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat perlu untuk mengobati infeksi tersebut. Pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi untuk mencari penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan elektrolit. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan pada anak dengan kejang yang tidak diprovokasi oleh demam dan pertama kali terjadi, terutama jika kejang atau pemeriksaan post iktal menunjukkan abnormalitas fokal.11,26 c. Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap.26 Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu : 1) Profilaksis intermittent pada waktu demam Pengobatan profilaksis intermittent dengan antikonvulsan segera diberikan pada waktu pasien demam (suhu rektal lebih dari 38ºC). Pilihan obat harus dapat cepat masuk dan bekerja ke otak. Antipiretik saja dan fenobarbital tidak mencegah timbulnya kejang berulang. Diazepam oral efektif untuk mencegah kejang demam berulang dan bila diberikan intermittent hasilnya lebih baik karena penyerapannya lebih cepat.26 Diazepam diberikan melalui oral atau rektal. Dosis per rektal tiap 8 jam adalah 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg. Dosis oral diberikan 0,5 mg/kgBB perhari dibagi dalam 3 dosis, diberikan bila pasien menunjukkan suhu 38,50C atau lebih. Menggunakan klonazepam sebagai obat anti konvulsan intermittent (0,03 mg/kg BB per dosis tiap 8 jam) selama suhu diatas 380C dan dilanjutkan jika masih demam. Efek samping klonazepam yaitu mengantuk, mudah tersinggung, gangguan tingkah laku, depresi, dan salivasi berlebihan.26 Kloralhidrat supositoria berkhasiat untuk mencegah kejang demam berulang. Dosis yang diberikan adalah 250 mg untuk berat badan kurang dari 15 kg, dan 500 mg untuk berat badan lebih dari 15 kg, diberikan bila suhu diatas 380C. Kloralhidrat dikontraindikasikan pada pasien dengan kerusakan ginjal, hepar, penyakit jantung, dan gastritis.26 2) Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Tiap Hari Indikasi pemberian profilaksis terus menerus adalah26,27 : a) Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau gangguan perkembangan neurologis. b) Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang tua atau saudara kandung. c) Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis sementara atau menetap. d) Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang multipel dalam satu episode demam. Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1–2 tahun setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1–2 bulan. Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat, tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsi dikemudian hari. Pemberian fenobarbital 4 – 5 mg/kg BB perhari dengan kadar sebesar 16 mg/mL dalam darah menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam. Efek samping fenobarbital ialah iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif ditemukan pada 30–50% kasus. Efek samping fenobarbital dapat dikurangi dengan menurunkan dosis.11,26 Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat, obat ini lebih baik dibandingkan dengan fenobarbital. Dosis asam valproat adalah 15–40 mg/kgBB perhari dibagi 2-3 dosis. Efek samping yang ditemukan adalah hepatotoksik, pankreatitis, tremor dan alopesia. Fenitoin dan karbamazepin tidak memiliki efek profilaksis terus menerus.11,26,27 7. Prognosis Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Apabila melihat umur, jenis kelamin dan riwayat keluarga, lennoxbuchthal mendapatkan11 : a. Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita 50% dan pria 33%. b. Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga adanya kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada tanpa riwayat kejang 25%. Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi27 : a. Kejang demam berulang. b. Kelainan motorik. c. Gangguan mental dan belajar. d. Epilepsi. Angka kejadian epilepsi berbeda-beda, tergantung dari cara penelitian, misalnya Lumbantobing pada penelitannya mendapatkan 6%, sedangkan Livingston mendapatkan dari kejang demam sederhana hanya 2,9% menjadi epilepsi dan epilepsi yang di provokasi oleh demam ternyata 97% menjadi epilepsi.11 Epilepsi yang terjadi setelah kejang demam bermacam-macam, yang paling sering adalah epilepsi motorik umum yaitu kira-kira 50%.24 C. MEKANISME TERJADINYA EPILEPSI PADA KEJANG DEMAM Kejang demam yang berlangsung singkat tidak bahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang yang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.11 Kejang demam yang berlangsung lama dapat menimbulkan kerusakan anatomi otak berupa kehilangan neuron dan gliosis terutama di daerah yang peka seperti hipokampus dan amigdala. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” dikemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan.10,11 Kejang demam dapat berkembang menjadi epilepsi diperkirakan melalui mekanisme biokimiawi, neurofisiologi, neuropatologi, inhibisi dan eksitasi, dan efek kindling (stimulasi berulang “menurunkan ambang batas” untuk terjadinya kejang kembali).10 Menurut beberapa kepustakaan sebagaimana dikutip oleh Raharjo, kejang demam menjadi epilepsi kemungkinan melalui mekanisme sebagai berikut6 : 1. Kejang yang lamanya lebih dari 30 menit akan mengakibatkan kerusakan DNA dan protein sel sehingga menimbulkan jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat proses inhibisi. Hal ini akan mengganggu keseimbangan inhibisi-eksitasi, sehingga mempermudah timbulnya kejang. 2. Kejang yang berulang akan mengakibatkan kindling effect sehingga rangsang dibawah nilai ambang sudah dapat menyebabkan kejang. 3. Kejang demam yang berkepanjangan akan mengakibatkan jaringan otak mengalami sklerosis, sehingga terbentuk fokus epilepsi. 4. Kejang demam yang lama akan mengakibatkan terbentuknya zat toksik berupa amoniak dan radikal bebas sehingga mengakibatkan kerusakan neuron. 5. Kejang demam yang lama akan mengakibatkan berkurangnya glukosa, oksigen, dan aliran darah otak sehingga terjadi edema sel, akhirnya neuron menjadi rusak. D. KERANGKA TEORI Kejang Demam Kejang demam Kompleks Suplai O2 dan glukosa ke otak menurun Hipoksia Reseptor Nafas Meningkat Metabolisme Anaerob Hiperkapnea Gangguan Inhibisi - Ekshibisi Asidosis laktat Edema Otak Kerusakan Neuron Otak Epilepsi Gambar 2.1 Bagan kerangka teori E. KERANGKA KONSEP Kejang Demam Kejadian Epilepsi Gambar 2.2 Bagan kerangka konsep F. HIPOTESIS Ada hubungan riwayat kejang demam dengan kejadian epilepsi pada anak usia 6 -14 tahun di RSUP Dr. Kariadi Semarang.