BAB II

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. EPILEPSI
1.
Definisi
Epilepsi adalah Cetusan listrik lokal pada substansia grisea
otak yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat yang
dapat mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan
fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten
dan stereotipik.12 Pelepasan aktifitas listrik abnormal dari sel-sel
neuron di otak terjadi karena fungsi sel neuron terganggu. Gangguan
fungsi ini dapat berupa gangguan fisiologik, biokimia, anatomi dengan
manifestasi baik lokal maupun general.6
Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya
bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode).
International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali
definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya
faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik,
perubahan
neurobiologis,
kognitif,
psikologis,
dan
adanya
konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan
sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya. Sedangkan
bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan / gejala yang
timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau
sinkron yang terjadi di otak.13
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang
baru dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu13 :
a.
Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya.
b.
Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya
bangkitan selanjutnya
c.
Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan.
Ketiga elemen di atas harus diperhatikan karena dalam
mentatalaksana seorang penyandang epilepsi, tidak hanya faktor
bangkitan atau kejang yang perlu diperhatikan namun konsekuensi
sosial yang ditimbulkan juga harus diperhatikan seperti dikucilkan
oleh masyarakat, stigma bahwa penyakit epilepsi adalah penyakit
menular, dan sebagainya.13
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan
serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara
tiba-tiba dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran,
disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak
yang
bukan
disebabkan
oleh
suatu
penyakit
otak
akut
6,14
(unprovoked).
2.
Etiologi
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang
berulang yang muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah
kelainan bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak terkontrol baik
sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan ini bisa diindikasikan
sebagai
disfungsi
otak.15 Gangguan
fungsi
otak
yang
bisa
menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf
pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi,
anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau
kelainan yang dapat menganggu fungsi otak atau fungsi sel neuron di
otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang atau serangan
epilepsi.16
Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan
melihat usia serangan pertama kali. Misalnya : usia dibawah 18 tahun
kemungkinan faktor penyebabnya ialah trauma perinatal, kejang
demam, radang susunan saraf pusat, struktural, penyakit metabolik,
keadaan toksik, penyakit sistemik, penyakit trauma kepala, dan
lain-lain.6 Bangkitan kejang juga dapat disebabkan oleh berbagai
kelainan dan macam-macam penyakit diantaranya ialah trauma lahir,
trauma kapitis, radang otak, tumor otak, perdarahan otak, gangguan
peredaran darah, hipoksia, anomali kongenital otak, kelainan
degeneratif susunan saraf pusat, gangguan metabolisme, gangguan
elektrolit, demam, reaksi toksis-alergis, keracunan obat atau zat kimia,
dan faktor hereditas.11
3.
Faktor Risiko
Faktor resiko untuk terjadinya epilepsi pada penderita kejang
demam adalah10,17 :
a.
Jika ada kelainan neurologis atau perkembangan sebelum kejang
demam pertama
b.
Kejang demam kompleks
c.
Adanya riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
Masing-masing faktor resiko meningkatkan resiko epilepsi
4-6%; kombinasi faktor resiko tersebut meningkatkan resiko epilepsi
menjadi 10-49%.13 Epilepsi diartikan sebagai kejang berulang dan
multipel. Anak dengan riwayat kejang demam mempunyai risiko
sedikit lebih tinggi menderita epilepsi pada usia 7 tahun dibandingkan
dengan anak yang tidak pernah mengalami kejang demam.18
4.
Klasifikasi
Klasifikasi epilepsi6,13,14,20 :
a.
Bangkitan Parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a) Dengan gejala motorik.
b) Dengan gejala sensorik.
c) Dengan gejala otonomik.
d) Dengan gejala psikis.
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan
kesadaran.
b) Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan.
3) Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)
a) Bangkitan
parsial
sederhana
berkembang
menjadi
kompleks
berkembang
menjadi
bangkitan umum
b) Bangkitan
parsial
bangkitan umum
c) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial
kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum
a.
Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi)
1) Bangkitan lena (absence)
Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan
terminasi mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang
disertai gerakan klonik pada mata, dagu dan bibir.
2) Bangkitan mioklonik
Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang
dapat umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau
lebih ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau
tunggal.
3) Bangkitan tonik
Merupakan
kontraksi
otot
yang
kaku,
menyebabkan
ekstremitas menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat
deviasi bola mata dan kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi
seluruh batang tubuh. Wajah menjadi pucat kemudian merah
dan kebiruan karena tidak dapat bernafas. Mata terbuka atau
tertutup, konjungtiva tidak sensitif, dan pupil dilatasi.
4) Bangkitan atonik
Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi
hanya kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung
atau menyeluruh sehingga pasien terjatuh.
5) Bangkitan klonik
Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi
kejang kelojot. dijumpai terutama sekali pada anak.
6) Bangkitan tonik-klonik
Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat
kemudian diikuti oleh gerakan klonik.
5.
Patofisiologi
Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena
adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar
neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi
pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron
bersinapsis dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu
masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan
terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian
inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi
cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu
potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau
menghambat neuron lain, sehingga terjadilah epilepsi.2
Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan
oleh aktivitas listrik yang berlebihan pada sebagian atau seluruh
bagian otak. Seorang penderita dikatakan menderita epilepsi bila
setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa provokasi. Bangkitan
epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan
inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak
terkontrol. Pada sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi
otak, namun pada beberapa kasus epilepsi disertai oleh kerusakan
struktural otak yang mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi
mental.3
6.
Diagnosis
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu14 :
a.
Langkah pertama : Memastikan apakah kejadian yang bersifat
paroksisimal merupakan bangkitan epilepsi.
b.
Langkah kedua : Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka
tentukanlah bangkitan tersebut termasuk tipe bangkitan yang
mana.
c.
Langkah ketiga : tentukan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan
oleh bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh
pasien dan tentukan etiologinya.
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan
epilepsi berulang (minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau
tanpa adanya gambaran epileptiform pada EEG.14
Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis
adalah sebagai berikut :
a.
Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan
menyeluruh. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi
sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan
lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan
merupakan kunci diagnosis.6
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi14 :
1) Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan
a) Keadaan penyandang saat bangkitan : duduk / berdiri /
berbaring / tidur / berkemih.
b) Gejala awitan (aura, gerakan / sensasi awal / speech
arrest).
c) Apa yang tampak selama bangkitan (Pola / bentuk
bangkitan) : gerakan tonik / klonik, vokalisasi,
otomatisme,
inkontinensia,
lidah
tergigit,
pucat,
berkeringat, maupun deviasi mata.
d) Keadaan setelah kejang : bingung, terjaga, nyeri kepala,
tidur, gaduh gelisah, atau Todd’s paresis.
e) Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau
terdapat perubahan pola bangkitan.
2) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun
riwayat penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik
maupun penyakit sistemik yang mungkin menjadi penyebab.
3) Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, dan interval
terpanjang antar bangkitan.
4) Riwayat bangkitan neonatal / kejang demam.
b.
Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
sebagai
pegangan.
memperhatikan
Pada
adanya
pasien
anak,
keterlambatan
pemeriksa
harus
perkembangan,
organomegali, dan perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat
menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.6
c.
Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium,
natrium, bilirubin, dan ureum dalam darah. Keadaan seperti
Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia, dan
hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan
kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan
glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen,
kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan
petunjuk yang sangat berguna.19,20
2) Elektro ensefalografi (EEG)
Elektroensefalograf ialah alat yang dapat merekam
aktifitas listrik di otak melalui elektroda yang ditempatkan
dikulit kepala. Kelainan EEG yang sering dijumpai pada
penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau
epileptiform activity. Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada
semua
pasien
epilepsi
dan
merupakan
pemeriksaan
penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi.4,6,11
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan
adanya
kelainan
umum
pada
EEG
menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.6
Rekaman EEG dikatakan abnormal ditentukan atas
dasar adanya6 :
a) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah
yang sama di kedua hemisfer otak.
b) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih
lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta.
c) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada
anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike),
paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat
yang timbul secara paroksimal.
3) Rekaman video EEG
Pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan
apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan
biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus
dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat
menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi.19
4) Pemeriksaan Radiologis
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan
MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala merupakan
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging yang
bertujuan untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan
struktural di otak dan melengkapi data EEG.6,19
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada
kontra indikasi, namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini
merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi
dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding
dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil
diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan
hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang
sangat
mungkin
dilakukan
terapi
pembedahan.
MRI
bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan
kiri.6,19
5) Pemeriksaan neuropsikologi
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien
epilepsi
dengan
pertimbangan
akan
dilakukan
terapi
pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan
apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian
juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada
dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi.19
7.
Prognosis
Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya
jenis epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan
minum obat. Prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada
50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat,
sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum
obat.21 Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi
serangan baik dengan pengobatan maupun status psikososial, dan
status neurologis penderita. Batasan remisi epilepsi yang sering
dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang) dengan terapi. Pada
pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus dipertimbangkan
untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.22,23
Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah
bebas serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE.
Setelah tercapai bebas serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan
terapi, maka perlu dipikirkan untuk menurunkan dosis secara berkala
sampai kemudian obat dihentikan, perlu mempertimbangkan risiko
terjadinya relaps setelah penghentian obat. Berbagai faktor prediktor
yang meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan pada
remaja / dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran
abnormalitas EEG.22,23 Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa
penderita epilepsi memiliki risiko kematian yang lebih tinggi
dibanding populasi normal. Risiko kematian yang paling tinggi adalah
pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit
kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering
disebabkan oleh penyakit susunan saraf pusat yang mendasari
timbulnya bangkitan epilepsi.22
B. KEJANG DEMAM
1. Definisi
Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan gejala
demam dan usia, serta tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun
kelainan lain di otak. Demam adalah kenaikan suhu tubuh lebih dari
380C rektal atau lebih 37,80C aksila.9
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh diatas 380C (suhu rektal) disebabkan suatu
proses ekstrakranium yang paling sering dijumpai pada golongan
umur 3 bulan sampai 5 tahun.11,12
Mengenai definisi kejang demam ini masing-masing peneliti
membuat batasan sendiri-sendiri, tetapi pada garis besarnya hampir
sama. Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang
demam adalah bangkitan kejang pada bayi dan anak yang biasanya
terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam
tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab lain.
Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari
4 minggu tidak termasuk kejang demam.24 Kejang demam terjadi pada
anak berumur dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam
terjadi pada anak berumur antara 6 bulan sampai dengan 22 bulan.
Insiden bangkitan kejang demam yang paling sering pada usia 18
bulan.10,14
2. Manifestasi Klinis
Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam. Umumnya
serangan kejang tonik-klonik, awalnya dapat berupa menangis,
kemudian tidak sadar dan timbul kekakuan otot. Selama fase tonik,
mungkin disertai henti nafas dan inkontinensia. Kemudian diikuti fase
klonik berulang, ritmik dan akhirnya anak setelah kejang letargi atau
tidur. Bentuk kejang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik ke
atas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan
berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya hentakan atau
kekakuan fokal.10
Serangan kejang terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu
demam, berlangsung singkat dengan sifat bengkitan dapat berbentuk
tonik, klonik, tonik-klonik, fokal atau akinetik. Pada kejang demam
sederhana, umumnya kejang berhenti sendiri, setelah kejang berhenti
anak tidak memberikan reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah
beberapa detik atau menit anak akan sadar kembali tanpa adanya
kelainan saraf. Sedangkan pada kejang demam kompleks dapat
disertai hemiparesis, kemudian dapat pula berkembang menjadi status
epileptikus.10,11
3. Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ
otak diperlukan suatu energi dari metabolisme. Bahan baku
metabolisme otak yang penting ialah glukosa. Sifat proses itu adalah
oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paruparu dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Sel
dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam (lipid)
dan permukaan luar (ion). Pada keadaan normal membran sel neuron
dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui
oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya kecuali Klorida (Cl-).
Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi
ion Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan
sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan
luar sel maka terdapat potensial membran dari sel neuron. Untuk
menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan
bantuan enzim Na-K-ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.11
Keseimbangan potensial membran dapat dirubah oleh adanya11 :
a.
Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
b.
Rangsangan mendadak berupa mekanis, kimiawi, atau aliran
listrik dari sekitarnya.
c.
Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit
atau keturunan.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1°C akan menaikan
metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat
20%. Pada anak yang berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65%
dari seluruh tubuh, dibandingkan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi
pada kenaikan suhu tubuh tertentu, dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron, dan dalam waktu singkat
terjadi difusi ion Kaliun maupun Natrium melalui membran.
Perpindahan ini mengakibatkan lepas muatan listrik yang besar,
sehingga meluas ke membran sel lain melalui neurotransmitter, dan
terjadilah kejang.11
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi
energi di otak, jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur
suhu. Pireksia akan menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga
kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi
perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder
akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan
mengakibatkan iskemia neuron karena kegagalan metabolisme di otak.
Kejang demam yang berlangsung lama dapat menimbulkan kerusakan
anatomi otak berupa kehilangan neuron dan gliosis terutama di daerah
yang peka seperti hipokampus dan amigdala. Kerusakan di daerah ini
merupakan prekursor timbulnya epilepsi lobus temporalis yang
berlatar belakang kejang demam.10
4.
Klasifikasi
Kejang demam dibagi atas 2 bentuk10,14 :
a.
Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
1) Kejang demam yang berlangsung singkat (< 15 menit).
2) Umumnya kejang akan berhenti sendiri.
3) Kejang umum tonik-klonik yang terjadi sekali dalam 24 jam.
4) Tidak ditemukan defisit neurologis.
5) Sembuh spontan.
b.
Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
1) Kejang berlangsung lama (> 15 menit).
2) Bentuk kejang bersifat fokal atau parsial.
3) Berlangsung beberapa kali (multipel) dalam 24 jam.
Kejang demam sederhana tidak menyebabkan kelumpuhan,
meninggal atau mengganggu kepandaian. Risiko untuk menjadi
epilepsi dikemudian hari juga sangat kecil, sekitar 2% hingga 3%.
Risiko terbanyak adalah berulangnya kejang demam, yang dapat
terjadi pada 30 sampai 50% anak. Risiko-risiko tersebut lebih besar
pada kejang demam kompleks.25
5.
Diagnosis
Umumnya kejang demam pada anak berlangsung pada
permulaan demam akut, berupa serangan kejang klonik umum atau
tonik klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda neurologi post iktal,
pemeriksaan EEG pada kejang demam dapat memperlihatkan
gelombang lambat di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris,
kadang-kadang unilateral.26
Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks
atau anak yang mempunyai risiko untuk terjadinya epilepsi.
Elektroensefalogram (EEG) yang dikerjakan 1 minggu setelah kejang
demam dapat abnormal, biasanya berupa perlambatan diposterior.
95% kasus kejang demam EEGnya abnormal bila dikerjakan segera
setelah kejang demam. Kira-kira 30% penderita akan memperlihatkan
perlambatan di posterior dan akan menghilang 7 sampai 10 hari
kemudian. Pemeriksaan EEG tidak dianjurkan dilakukan secara rutin.
Indikasi pemeriksaan EEG pada suatu kejang demam kompleks
adalah: demam <38,5oC, usia awitan < 1 tahun, ditemukan paralisis
Todd atau adanya defisit neurologik.10,14,26
Pemeriksaan pungsi lumbal diindikasikan pada saat pertama
sekali timbul kejang demam untuk menyingkirkan adanya proses
infeksi intra kranial, perdarahan subaraknoid atau gangguan
demielinasi. Pemeriksaan pungsi lumbal dianjurkan pada anak-anak
yang berusia < 18 bulan, dan mutlak perlu pada bayi usia < 12 bulan
(pada usia ini sulit ditemukan suatu gejala perangsangan meningeal
sehingga kemungkinan suatu meningitis atau ensefalitis dapat lolos
dari pemeriksaan).10,14,26
6.
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah :
Mencegah kejang demam berulang, mencegah status epilepsi,
mencegah epilepsi dan/ atau retardasi mental, normalisasi kehidupan
anak dan keluarga.26
Pada penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu
dikerjakan, yaitu :
a.
Pengobatan Fase Akut
Prioritas utama pada anak yang sedang mengalami kejang
adalah menjaga agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian
dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah aspirasi.
Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga
berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian
oksigen harus dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan intubasi.
Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus
diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air
hangat (diseka) dan pemberian antipiretik (asetaminofen oral 10
mg/kg BB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kg BB,4 kali
sehari).26
Diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang
demam fase akut, karena diazepam mempunyai masa kerja yang
singkat. Efek terapeutiknya sangat cepat, yaitu antara 30 detik
sampai 5 menit dan efek toksik yang serius hampir tidak dijumpai
apabila diberikan secara perlahan dan dosis tidak melebihi 50 mg
per suntikan. Diazepam dapat diberikan secara intravena atau
rektal, jika pemberian secara intramuskular absorbsinya lambat.
Dosis diazepam pada anak adalah 0,3 mg/kg BB, diberikan secara
intravena pada kejang demam fase akut, tetapi pemberian tersebut
sering gagal pada anak yang lebih kecil. Jika jalur intravena
belum terpasang, diazepam dapat diberikan per rektal dengan
dosis 5 mg bila berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg pada
berat badan lebih dari 10 kg.11,26
Bila diazepam tidak tersedia, dapat diberikan luminal
suntikan intramuskular dengan dosis awal 30 mg untuk neonatus,
50 mg untuk usia 1 bulan – 1 tahun, dan 75 mg untuk usia lebih
dari 1 tahun. Efek samping diazepam adalah mengantuk,
hipotensi, penekanan pusat pernafasan, laringospasme dan henti
jantung. Penekanan pada pusat pernafasan dan hipotensi terutama
terjadi bila sebelumnya anak telah mendapat fenobarbital.
Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan
efektif untuk mengantisipasi kejang demam akut pada anak.
Kecepatan absorbsi midazolam ke aliran darah vena dan efeknya
pada sistem syaraf pusat cukup baik; namun efek terapinya masih
kurang bila dibandingkan dengan diazepam intravena.11,26
b.
Mencari dan Mengobati Penyebab
Penyebab dari kejang demam baik itu kejang demam
sederhana maupun epilepsi yang diprovokasi oleh demam
biasanya infeksi traktus respratorius bagian atas dan otitis media
akut. Pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat perlu untuk
mengobati infeksi tersebut. Pemeriksaan laboratorium dilakukan
atas indikasi untuk mencari penyebab, seperti pemeriksaan darah
rutin, kadar gula darah dan elektrolit. Pemeriksaan CT-Scan
dilakukan pada anak dengan kejang yang tidak diprovokasi oleh
demam dan pertama kali terjadi, terutama jika kejang atau
pemeriksaan post iktal menunjukkan abnormalitas fokal.11,26
c.
Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang
Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan,
karena menakutkan keluarga dan bila berlangsung terus dapat
menyebabkan kerusakan otak yang menetap.26
Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu :
1) Profilaksis intermittent pada waktu demam
Pengobatan
profilaksis
intermittent
dengan
antikonvulsan segera diberikan pada waktu pasien demam
(suhu rektal lebih dari 38ºC). Pilihan obat harus dapat cepat
masuk dan bekerja ke otak. Antipiretik saja dan fenobarbital
tidak mencegah timbulnya kejang berulang. Diazepam oral
efektif untuk mencegah kejang demam berulang dan bila
diberikan
intermittent
hasilnya
lebih
baik
karena
penyerapannya lebih cepat.26
Diazepam diberikan melalui oral atau rektal. Dosis
per rektal tiap 8 jam adalah 5 mg untuk pasien dengan berat
badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan
berat badan lebih dari 10 kg. Dosis oral diberikan 0,5
mg/kgBB perhari dibagi dalam 3 dosis, diberikan bila pasien
menunjukkan
suhu
38,50C
atau
lebih.
Menggunakan
klonazepam sebagai obat anti konvulsan intermittent (0,03
mg/kg BB per dosis tiap 8 jam) selama suhu diatas 380C dan
dilanjutkan jika masih demam. Efek samping klonazepam
yaitu mengantuk, mudah tersinggung, gangguan tingkah laku,
depresi, dan salivasi berlebihan.26
Kloralhidrat supositoria berkhasiat untuk mencegah
kejang demam berulang. Dosis yang diberikan adalah 250 mg
untuk berat badan kurang dari 15 kg, dan 500 mg untuk berat
badan lebih dari 15 kg, diberikan bila suhu diatas 380C.
Kloralhidrat
dikontraindikasikan
pada
pasien
dengan
kerusakan ginjal, hepar, penyakit jantung, dan gastritis.26
2) Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Tiap Hari
Indikasi pemberian profilaksis terus menerus adalah26,27 :
a) Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada
kelainan atau gangguan perkembangan neurologis.
b) Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat
genetik pada orang tua atau saudara kandung.
c) Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau
diikuti kelainan neurologis sementara atau menetap.
d) Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12
bulan atau terjadi kejang multipel dalam satu episode
demam.
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan
selama 1–2 tahun setelah kejang terakhir, kemudian
dihentikan secara bertahap selama 1–2 bulan. Pemberian
profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah
berulangnya kejang demam berat, tetapi tidak dapat
mencegah timbulnya epilepsi dikemudian hari. Pemberian
fenobarbital 4 – 5 mg/kg BB perhari dengan kadar sebesar 16
mg/mL dalam darah menunjukkan hasil yang bermakna
untuk mencegah berulangnya kejang demam. Efek samping
fenobarbital ialah iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif
ditemukan pada 30–50% kasus. Efek samping fenobarbital
dapat dikurangi dengan menurunkan dosis.11,26
Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat,
obat ini lebih baik dibandingkan dengan fenobarbital. Dosis
asam valproat adalah 15–40 mg/kgBB perhari dibagi 2-3
dosis. Efek samping yang ditemukan adalah hepatotoksik,
pankreatitis, tremor dan alopesia. Fenitoin dan karbamazepin
tidak memiliki efek profilaksis terus menerus.11,26,27
7.
Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya
baik. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar
antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.
Apabila melihat umur, jenis kelamin dan riwayat keluarga, lennoxbuchthal mendapatkan11 :
a.
Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada
wanita 50% dan pria 33%.
b.
Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat
keluarga adanya kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang
pada tanpa riwayat kejang 25%.
Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang
menjadi27 :
a.
Kejang demam berulang.
b.
Kelainan motorik.
c.
Gangguan mental dan belajar.
d.
Epilepsi.
Angka kejadian epilepsi berbeda-beda, tergantung dari cara
penelitian, misalnya Lumbantobing pada penelitannya mendapatkan
6%, sedangkan Livingston mendapatkan dari kejang demam
sederhana hanya 2,9% menjadi epilepsi dan epilepsi yang di provokasi
oleh demam ternyata 97% menjadi epilepsi.11 Epilepsi yang terjadi
setelah kejang demam bermacam-macam, yang paling sering adalah
epilepsi motorik umum yaitu kira-kira 50%.24
C. MEKANISME TERJADINYA EPILEPSI PADA KEJANG DEMAM
Kejang demam yang berlangsung singkat tidak bahaya dan tidak
menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama
(lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya
terjadi hipoksemia,
hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang
tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan
meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme
otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga
terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang yang
lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang
mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan
timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.11
Kejang demam yang berlangsung lama dapat menimbulkan
kerusakan anatomi otak berupa kehilangan neuron dan gliosis terutama di
daerah yang peka seperti hipokampus dan amigdala. Kerusakan pada
daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang
berlangsung lama dapat menjadi “matang” dikemudian hari, sehingga
terjadi serangan epilepsi yang spontan.10,11 Kejang demam dapat
berkembang
menjadi
epilepsi
diperkirakan
melalui
mekanisme
biokimiawi, neurofisiologi, neuropatologi, inhibisi dan eksitasi, dan efek
kindling (stimulasi berulang “menurunkan ambang batas” untuk terjadinya
kejang kembali).10
Menurut beberapa kepustakaan sebagaimana dikutip oleh Raharjo,
kejang demam menjadi epilepsi kemungkinan melalui mekanisme sebagai
berikut6 :
1.
Kejang yang lamanya lebih dari 30 menit akan mengakibatkan
kerusakan DNA dan protein sel sehingga menimbulkan jaringan parut.
Jaringan parut ini dapat menghambat proses inhibisi. Hal ini akan
mengganggu keseimbangan inhibisi-eksitasi, sehingga mempermudah
timbulnya kejang.
2.
Kejang yang berulang akan mengakibatkan kindling effect sehingga
rangsang dibawah nilai ambang sudah dapat menyebabkan kejang.
3.
Kejang demam yang berkepanjangan akan mengakibatkan jaringan
otak mengalami sklerosis, sehingga terbentuk fokus epilepsi.
4.
Kejang demam yang lama akan mengakibatkan terbentuknya zat
toksik berupa amoniak dan radikal bebas sehingga mengakibatkan
kerusakan neuron.
5.
Kejang demam yang lama akan mengakibatkan berkurangnya glukosa,
oksigen, dan aliran darah otak sehingga terjadi edema sel, akhirnya
neuron menjadi rusak.
D. KERANGKA TEORI
Kejang Demam
Kejang demam Kompleks
Suplai O2 dan glukosa
ke otak menurun
Hipoksia
Reseptor Nafas Meningkat
Metabolisme Anaerob
Hiperkapnea
Gangguan Inhibisi - Ekshibisi
Asidosis laktat
Edema Otak
Kerusakan Neuron Otak
Epilepsi
Gambar 2.1 Bagan kerangka teori
E. KERANGKA KONSEP
Kejang Demam
Kejadian Epilepsi
Gambar 2.2 Bagan kerangka konsep
F. HIPOTESIS
Ada hubungan riwayat kejang demam dengan kejadian epilepsi
pada anak usia 6 -14 tahun di RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Download