evaluasi efek terapi obat antiepilepsi monoterapi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu
kelainan otak kronis dengan berbagai macam penyebab yang ditandai serangan
epilepsi berulang yang disebabkan oleh bangkitan neuron otak yang berlebihan.
Gangguan ini sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan
konsekuensi psikososial yang berat bagi penderitanya. Di samping itu juga
dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang tinggi, stigma
sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguan
psikiatrik (WHO, 2001). Gambaran klinisnya dapat berupa kejang, perubahan
tingkah laku, perubahan kesadaran. Kondisi ini tergantung lokasi kelainan di otak
(Rahardjo, 2008).
Epilepsi ditemukan pada semua umur dan dapat menyebabkan mortalitas.
Diduga terdapat sekitar 50 juta orang dengan epilepsi di dunia. WHO (2001)
menyebutkan bahwa kejadian epilepsi di negara maju berkisar 50 per 100.000
penduduk, sedangkan di negara berkembang 100 per 100.000 ribu. Epilepsi dapat
menyerang pada laki-laki ataupun perempuan. Secara umum diperkirakan ada 2,4
juta kasus baru setiap tahun, dan 50% kasus terjadi pada masa kanak-kanak atau
remaja (WHO,2006). Insiden tertinggi terjadi pada umur 20 tahun pertama,
menurun sampai umur 50 tahun, dan setelah itu meningkat lagi (Ikawati, 2011).
Secara umum, rekomendasi terapi yang tepat pada epilepsi harus
mempertimbangkan rasio risiko dan biaya obat dengan keuntungan/efek
1
terapinya. Keuntungan terapi berkaitan dengan tingkat kualitas hidup penderita
dengan manifestasi adanya penurunan/pengendalian kejang, di samping perbaikan
dalam aspek psikis, kognitif, dan sosial. Efek samping dan biaya terapi
berhubungan dengan dampak klinik, psikologi, sosial dan ekonomi akibat
penanganan epilepsi yang kurang adekuat (Heaney dkk, 2002). Obat Anti Epilepsi
(OAE) merupakan terapi utama pada manajemen epilepsi. Tujuan pengobatan
epilepsi dengan OAE adalah untuk menghindari terjadinya serangan epilepsi
selanjutnya dengan efek samping yang minimal (Wibowo & Gofir, 2006). Terapi
pilihan lainnya termasuk perubahan pola makan, menghindari faktor pencetus
(contohnya alkohol atau kurang tidur), penanaman saraf stimulator dan
pembedahan (Gidal dkk, 2005).
Pemilihan OAE pada pediatrik bukanlah tugas yang sederhana. Banyak
variabel yang harus dipertimbangkan antara lain jenis epilepsi, efikasi/efektivitas,
efek samping, farmakokinetik, formulasi, latar belakang genetik, jenis kelamin,
usia, komorbiditas, status sosial ekonomi, ketersediaan dan biaya OAE (Glauser
dkk, 2006). OAE monoterapi menjadi pilihan dalam memulai pengobatan epilepsi,
karena sebagian besar pasien berhasil dikontrol dengan obat monoterapi pertama
atau kedua yang diberikan. Penggunaan monoterapi dapat mengurangi potensial
interaksi obat dan efek toksik yang merugikan (Louis dkk, 2009). Sebagian besar
pasien epilepsi merespon pengobatan dengan monoterapi, 47% pasien menjadi
bebas kejang dengan percobaan OAE pertama dan 13% mencapai bebasan kejang
dengan percobaan monoterapi kedua (Kwan & Brodie, 2000). Penggunaan
politerapi baru dapat dipertimbangkan ketika pasien gagal dua atau lebih dengan
2
monoterapi (WHO, 2009).
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian
untuk melihat keefektifan terapi obat anti epilepsi secara monoterapi. Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan masukan pada klinisi terkait pengobatan
epilepsi sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan/acuan dalam penyusunan
standar terapi pengobatan epilepsi. Hal ini dimaksudkan agar target utama dari
pengobatan epilepsi yaitu pengurangan frekuensi kejang dan keparahan kejang
dapat tercapai.
Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang merupakan
salah satu rumah sakit pendidikan tipe A yang membantu memberikan fasilitas
untuk melaksanakan kegiatan pendidikan profesi calon dokter dan dokter spesialis
serta menjadi lahan praktek dari Institusi Kesehatan dan Non Kesehatan baik di
wilayah Provinsi DIY maupun dari luar Provinsi DIY bahkan ada dari luar negeri.
Selain itu RS Dr. Sardjito merupakan rujukan tertinggi bagi pasien epilepsi untuk
daerah DIY dan Jawa Tengah bagian Selatan. Pasien epilepsi sekitar 70% dari
jumlah pasien yang datang ke Instalansi Kesehatan Anak Sub. Bagian Neurologi
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. RSUP Dr. Sardjito memiliki jumlah tempat tidur
untuk pasien sebanyak 750 buah. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai efek terapi OAE secara monoterapi pada
pengobatan pasien epilepsi pediatrik di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr.
Sardjito pada periode Januari-Maret 2015.
3
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat disusun rumusan masalah
sebagai berikut :
1.
Bagaimana gambaran pola pengobatan OAE secara monoterapi pada
pengobatan pasien epilepsi pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada periode Januari-Maret 2015 ?
2.
Bagaimanakah efek terapi OAE secara monoterapi pada pengobatan pasien
epilepsi pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta pada periode Januari-Maret 2015 ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1.
Mengetahui gambaran pola pengobatan OAE secara monoterapi pada
pengobatan pasien epilepsi pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada periode Januari-Maret 2015.
2.
Mengevaluasi efek terapi OAE secara monoterapi pada pengobatan pasien
epilepsi pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta pada periode Januari-Maret 2015.
D. Manfaat Penelitian
1.
Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran informasi
terkait efek terapi OAE secara monoterapi pada pengobatan pasien epilepsi
4
pediatrik rawat jalan.
2.
Bagi rumah sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
gambaran pola pengobatan epilepsi menggunakan OAE secara monoterapi
dan sebagai evaluasi dalam memberikan terapi kepada pasien epilepsi
pediatrik secara tepat dan dapat memberikan umpan balik terkait dengan
standar terapi pengobatan epilepsi pada pasien pediatrik.
E. Tinjauan Pustaka
1.
Epilepsi
a.
Definisi Epilepsi
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang
dicirikan oleh terjadinya bangkitan yang bersifat spontan (tidak ada
penyebab) dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi
fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari
sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama. Istilah
epilepsi tidak boleh digunakan untuk bangkitan yang terjadi selama
penyakit akut berlangsung, dan kejang tidak berkala misalnya kejang atau
bangkitan pada hipoglikemi (Harsono, 2007a).
b. Epidemiologi Epilepsi
Epilepsi ditemukan pada semua umur dan dapat menyebabkan
mortalitas, terdapat sekitar 50 juta orang dengan epilepsi di dunia. WHO
5
(2001) menyebutkan bahwa kejadian epilepsi di negara maju berkisar
50 per 100.000 penduduk, sedangkan di negara berkembang 100 per
100.000 ribu. Diperkirakan ada 1-2 juta penderita epilepsi di Indonesia.
Prevalensi epilepsi di indonesia adalah 5-10 kasus per 1.000 orang dan
insidensi sebanyak 50 kasus per 100.000 orang per tahun (Harsono,
2007a). Epilepsi dapat menyerang pada laki-laki ataupun perempuan.
Secara umum diperkirakan ada 2,4 juta kasus baru setiap tahun, dan
50% kasus terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja (WHO,2006).
Insiden tertinggi terjadi pada umur 20 tahun pertama, menurun
sampai umur 50 tahun, dan setelah itu meningkat lagi (Ikawati, 2011).
Kajian Pinzon (2006) terhadap penelitian terdahulu menunjukkan
insidensi epilepsi pada anak-anak adalah tinggi dan memang merupakan
penyakit neurologis utama pada kelompok usia tersebut, bahkan dari
tahun ke tahun ditemukan bahwa prevalensi epilepsi pada anak-anak
cenderung meningkat.
Penelitian Heaney dkk (2002) di Inggris dilakukan secara
prospektif terhadap 369.283 orang, sepanjang pengamatan dijumpai 190
kasus baru epilepsi, 65 diantaranya (34,2%) dimulai saat pada usia <14
tahun. Hasil menyebutkan bahwa penyandang epilepsi masih sangat
banyak, hal ini juga akan menimbulkan dampak sosial masyarakat bagi
penyandangnya (Heaney dkk,2002).
6
c.
Etiologi Epilepsi
Dasar serangan epilepsi adalah gangguan fungsi neuron-neuron
otak dan transmisi pada sinaps. Setiap sel hidup, termasuk
neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik yang disebabkan oleh
adanya potensial membran sel. Potensial membran neuron bergantung
pada
permeabilitas
selektif
membran
neuron
yaitu
perbedaan
konsentrasi ion-ion seperti K, Na, Ca, Cl (Shih, 2007).
Menurut Shorvon (2001) dan Deliana (2002) ditinjau dari
penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
1). Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik yang penyebabnya tidak
diketahui meliputi ±50% dari penderita epilepsi anak, umumnya
mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia >3
tahun.
2). Epilepsi simptomatik disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan
saraf pusat, misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf
pusat (SSP), gangguan metabolik, malformasi otak kongenital,
gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), kelainan
neurodegeneratif dan kejang demam.
3). Epilepsi kriptogenik dianggap simptomatik tetapi penyebabnya
belum diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom
Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik.
7
Beberapa penyebab secara spesifik timbulnya serangan epilepsi
adalah:
1). Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu,
seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak
janin, mengalami infeksi, minum alkohol atau mengalami cedera
(trauma) atau mendapat penyinaran (radiasi).
2). Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen
yang mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan
(forsep), atau trauma lain pada otak bayi.
3). Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
Kejang-kejang dapat timbul pada saat terjadi cedera kepala, atau
baru terjadi 2-3 tahun kemudian. Bila serangan terjadi berulang
pada saat yang berlainan baru dinyatakan sebagai penyandang
epilepsi.
4). Tumor otak, merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum,
terutama pada anak-anak.
5). Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah
otak.
6). Radang atau infeksi. Radang selaput otak (meningitis) atau radang
otak dapat menyebabkan epilepsi.
7). Penyakit keturunan seperti fenilketonuria. Sklerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan timbulnya kejang yang
berulang.
8
8). Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini
disebabkan ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari
normal diturunkan pada anak. Kecenderungan timbulnya epilepsi
yang diturunkan biasanya terjadi pada masa anak-anak (Harsono,
2005).
Epilepsi dapat kambuh kembali dikarenakan beberapa faktor.
Faktor pencetus timbulnya serangan pada penderita epilepsi, diantaranya
yaitu : gangguan emosional, stress, tidur, haid, cahaya tertentu. Faktor
yang lainnya yaitu faktor makan dan minum, suara tertentu, membaca,
drug abuse, lupa atau enggan minum obat, faktor hiperventilasi dan suhu
tubuh penyandangnya (Harsono, 2001).
d. Patofisiologi Epilepsi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak
lebih dominan daripada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam
eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler,
voltage-gated ion-channel opening, dan menguatnya sinkroni neuron
sangat penting artinya dalam hal inisiasi serangan epileptik. Aktivitas
neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan
intraseluler, dan oleh gerakan keluar masuk ion-ion menembus
membran neuron (Harsono, 2007a).
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron
abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan
dengan cetusan potensial aksi secara cepat dan berulang-ulang. Cetusan
9
listrik abnormal ini kemudian menstimulasi neuron-neuron sekitarnya
atau neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan
epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron
abnormal muncul secara bersama-sama, membentuk suatu badai aktivitas
listrik di dalam otak (Harsono, 2007a).
e.
Klasifikasi Epilepsi
Terapi epilepsi tidak hanya berdasarkan atas diagnosa yang
tepat, jenis serangan juga harus ditentukan. Menurut Gidal dkk (2005)
klasifikasi epilepsi berdasarkan tanda-tanda klinik dan data EEG, dibagi
menjadi:
1). Kejang umum (generalized seizure)
Jika aktivasi terjadi pada kedua hemisfere otak secara
bersama-sama. Kejang umum terbagi atas:
a). Absence (Petit mal)
Jenis yang jarang dijumpai ini umumnya hanya terjadi
pada masa anak-anak atau awal remaja. Kesadaran hilang
beberapa detik, ditandai dengan terhentinya percakapan untuk
sesaat.
Penderita
tiba-tiba
melotot
atau
matanya
berkedip-kedip dengan kepala terkulai.
b). Tonik-klonik (grand mal)
Merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi,
biasanya didahului oleh suatu aura. Pasien tiba-tiba jatuh,
kejang, nafas terengah-engah, dan keluar air liur. Bisa terjadi
10
juga sianosis, ngompol, atau menggigit lidah. Serangan ini
terjadi beberapa menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan,
sakit kepala atau tidur.
c). Mioklonik
Serangan ini biasanya terjadi pada pagi hari, setelah
bangun tidur pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba.
d). Atonik
Serangan tipe atonik ini jarang terjadi. Pasien tiba-tiba
kehilangan kekuatan otot yang mengakibatkan pasien terjatuh,
namun dapat segera pulih kembali.
2). Kejang parsial
Kejang
parsial
merupakan
perubahan
klinis
dan
elektro-ensefalografik yang menunjukan aktivitas sistem neuron
yang berbatas di salah satu bagian otak. Kejang parsial ini terbagi
menjadi:
a). Simple partial seizure
Pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran, hanya
terjadi sentakan-sentakan pada bagian tertentu dari tubuh.
b). Complex partial seizure
Pasien mengalami penurunan kesadaran. Penderita
dengan penurunan kesadaran dapat mengalami perubahan
tingkah laku.
11
3). Kejang tak terklasifikasikan
Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak
didukung oleh data yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk
serangan epilepsi pada neonatus misalnya gerakan mata ritmis, dan
gerakan mengunyah serta berenang.
f.
Diagnosa Epilepsi
Diagnosa yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang
terdiagnosa epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi, penderita
epilepsi akan meminum obat dalam jangka waktu yang lama yang
berakibat pada kemungkinan adanya efek yang merugikan akibat OAE
(Wibowo & Gofir, 2006). Konsekuensi psikologis dan sosial ini, dapat
menciptakan disabilitas yang lebih besar pada penderita epilepsi dari
disabilitas akibat gangguan otak itu sendiri. Oleh karena itu lebih baik
tidak menegakkan diagnosa epilepsi sebelum dapat memastikan bahwa
itu benar-benar epilepsi (Kusumaastuti, 2008).
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang
didukung dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Menurut Kusumastuti (2008), langkah-langkah dalam penegakkan
diagnosis dalam praktik klinis adalah sebagai berikut:
1). Anamnesis
Auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata
mengenai gejala dan tanda sebelum, selama, dan pascabangkitan.
Anamnesis lain yang perlu dilakukan adalah anamnesis terhadap
12
faktor pencetus, usia,
durasi, dan frekuensi bangkitan, interval
terpanjang antara bangkitan, kesadaran antara bangkitan, terapi
epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya,
penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis
psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab
maupun komorbiditas, riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam
keluarga, riwayat saat berada dalam kandungan- kelahiran- tumbuh
kembang, riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam, dan riwayat
trauma kepala-stroke- infeksi susunan saraf pusat.
2). Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari tanda-tanda
gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, seperti trauma kepala.
Pemeriksaan neurologis berfungsi untuk
mencari tanda-tanda
defisit neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan
epilepsi.
3). Pemeriksaan penunjang, seperti berikut:
a). Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling
berguna pada dugaan suatu bangkitan untuk membantu
menunjang diagnosis, penentuan jenis bangkitan maupun
sindrom epilepsi, prognosis, dan perlu/ tidaknya pemberian
OAE.
13
b). Pemeriksaan pencitraan otak
Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik di otak
secara non-invasif, seperti: Fuctional brain imaging seperti
Positron Emission Tomography (PET), Singel Photon
Emission
Resonance
Computed
Tomography
Spectroscopy
(MRS),
(SPECT),
Magnetic
Magnetic
Resonance
Imaging (MRI) dan Computed Tomography (CT) Scanning.
c). Pemeriksaan laboratorium
(1).
Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan hematologis di awal pengobatan
sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan diagnosis
banding dan pemilihan OAE, 2 bulan setelah pemberian
OAE untuk mendeteksi efek samping OAE, rutin diulang
setiap tahun sekali untuk memonitor efek samping OAE,
atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.
(2). Pemeriksaan kadar OAE dilakukan untuk melihat kadar
OAE dalam plasma saat bangkitan belum terkontrol,
meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal atau
untuk memonitor kepatuhan pasien.
g.
Prognosis Epilepsi
Prognosis
anak
yang
menderita
epilepsi
tergantung
bermacam-macam faktor medis, sosial, dan psikologis. Secara umum
prognosis epilepsi berhubungan dengan beberapa faktor seperti
14
kekerapan kejang, ada atau tidaknya defisit neurologis atau mental, jenis
dan lamanya kejang (Taslim & Sofyan, 1999). Prognosis epilepsi cukup
baik, pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan
minum obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat
berhenti minum obat (Harsono, 2005).
Prognosis epilepsi pada anak sangat tergantung pada jenis
epilepsi yang dideritanya. Faktor yang berhubungan dengan baiknya
prognosis diantaranya tidak terdapatnya kelainan neurologis dan mental,
tidak kambuhnya kejang, terutama jenis tonik klonik umum, hanya
terdapat satu jenis kejang, dan cepatnya kejang dikendalikan. Umur
onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun merupakan faktor
yang menguntungkan.
Risiko
kekambuhan
setelah
penghentian
pengobatan tergantung pada faktor yang sama dengan remisi kejang.
Faktor yang berhubungan dengan prognosis yang buruk diantaranya
terdapat penyebab kejang organik, terdapatnya kelainan neurologis dan
atau mental, terdapatnya beberapa jenis kejang tonik klonik umum yang
sering dan atau kejang tonik dan atonik (Taslim & Sofyan, 1999).
2.
Terapi Anti Epilepsi
a.
Prinsip Terapi Antiepilepsi
Langkah selanjutnya yang diambil setelah diagnosa epilepsi
ditegakkan adalah membuat rancangan tatalaksana farmakoterapeutik
dengan mempertimbangkan setiap konsekuensi dari masing-masing
pilihan terapi (Harsono, 2007b).
15
Prinsip pengobatan epilepsi adalah :
1). Pengobatan dilakukan bila terdapat minimum 2 kali bangkitan
dalam setahun
2). Pengobatan dimulai diberikan bila diagnosa telah ditegakkan dan
setelah penyandang dan atau keluarganya menerima penjelasan
tujuan pengobatan dan kemungkinan efek samping
3). Pemilihan jenis obat yang sesuai dengan jenis bangkitan
4). Sebaiknya pengobatan dengan monoterapi
5). Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap
sampai dosis efektif tercapai
6). Pada prinsipnya pengobatan dimulai dengan obat antiepilepsi lini
pertama. Bila diperlukan penggantian obat, obat pertama
diturunkan bertahap dan obat kedua dinaikkan secara bertahap
7). Bila didapatkan kegagalan monoterapi maka dipertimbangkan
kombinasi OAE
8). Bila memungkinkan dilakukan pemantauan kadar obat sesuai
indikasi (Kustiowati dkk, 2003).
b. Pediatrik
Pediatrik bukan merupakan miniatur dari orang dewasa. Hal ini
karena pada pediatrik masih terjadi pertumbuhan dan perkembangan
dalam profil farmakologinya yang berbeda dengan populasi dewasa (US.
Department of Health and Human Service, 2014). Menurut Europe
Medicine Agency (EMA) (2001) populasi pediatrik dapat diklasifikasikan
16
menjadi 4 kelompok berdasarkan usia seperti berikut ini:
1). Neonatus (0 - 27 hari)
2). Infant (28 hari - 23 bulan)
3). Anak (2 - 11 tahun)
4). Remaja (12 - 18 tahun)
c.
Memulai Terapi Antiepilepsi pada Pasien Anak
Sebagian besar kasus epilepsi dimulai sejak masa bayi dan anak.
Penderita epilepsi anak, merupakan segmen pasien tertentu, yang dalam
beberapa hal, berbeda dengan pasien dewasa. Manajemen terapi yang
optimal diperlukan pengetahuan tentang kondisi anak, perkembanganya,
status penyakitnya, dan tentu juga pengetahuan farmakologi OAE.
Terapi epilepsi anak memerlukan perhatian khusus yang perlu dicermati,
seperti misalnya pertumbuhan organ pasien, metabolisme hepar,
eliminasi ginjal, profil farmakokinetik OAE, toleransi terhadap OAE,
serta ketaatan mengkonsumsi obat. Hal-hal tersebut berpengaruh
terhadap penyesuaian dosis OAE yang akan diberikan (Wibowo dan
Gofir, 2006).
d. Pengobatan OAE secara Monoterapi pada Pasien Epilepsi Anak
OAE monoterapi menjadi pilihan dalam memulai pengobatan
epilepsi, karena sebagian besar pasien berhasil dikontrol dengan obat
monoterapi pertama atau kedua yang diberikan. Penggunaan monoterapi
dapat mengurangi potensial interaksi obat dan efek toksik yang
17
merugikan (Louis dkk, 2009). Sebagian besar pasien epilepsi merespon
pengobatan dengan monoterapi, 47% pasien menjadi bebas kejang
dengan percobaan OAE pertama, dan 13% mencapai bebasan kejang
dengan percobaan monoterapi kedua (Kwan & Brodie, 2000).
Pengobatan pada pasien epilepsi anak sedapat mungkin dengan
monoterapi. Cara memilih OAE pertama adalah menentukan jenis
epilepsinya. (Wibowo & Gofir, 2006).
Tabel I. Pilihan Terapi Untuk Berbagai Tipe Bangkitan Epilepsi Anak
Tipe seizure
First-line drugs
Second-line drugs
Generalized
tonic-clonic
Karbamazepina,
Lamotigrin,
Valproat,
Topiramata,b
Klobazam,
Levitirasetam,
Okskarbazepina
Absence
Etosuksimid,
Lamotigrinb,
Valproat,
Klobazam, Klonazepam,
Topiramata
Myoclonic
Valproat,
Topiramata
Klobazam, Klonazepam,
Lamotigrin,
Levetirasetam, Pirasetam
Tonic
Lamotigrinb,
Valproat,
Klobazam, Klonazepam,
Levetirasetam,
Topiramata
Atonic
Lamotigrinb,
Valproat
Klobazam, Klonazepam,
Levetirasetam,
Topiramata
Klobazam, Klonazepam,
Valproat, Topiramata
Steroida,
Vigabatrinb
Karbamazepina,
Focal with/without Lamotigrina,
Klobazam, Gabapentin,
secondary
Okskarbazepina,b, Levetirasetam, Fenitoina,
generalisation
Valproat,
Tiagabin
Topiramata,b
Infantile Spasme
Alternatif/obat lain
Obat yang harus
yang dapat
dihindari (mungkin
dipertimbangkan
memperburuk kejang)
Asetazolamida,
Klonazepam,
Fenobarbitala,
Tiagabin, Vigabatrin
Fenitoina,
Primidona,c
Kabarmazepina,
Gabapentin,
Okskarbazepina,
Tiagabin, Vigabatrin
Kabarmazepina,
Gabapentin,
Okskarbazepina,
Tiagabin, Vigabatrin
Asetazolamida,
Fenobarbitala,
Kabarmazepina,
a
Fenitoin ,
Okskarbazepina,
Primidona,c
Asetazolamida,
Kabarmazepina,
a
Fenobarbital ,
Okskarbazepina,
Primidona,c
Fenitoina
Kabarmazepina,
Nitrazepam
Okskarbazepina
Asetazolamidac,
Klonazepam,
Fenobarbitala,
Primidona,c
Keterangan:
a. Enzim hati menginduksi OAE
b. Harus digunakan sebagai pilihan pertama dalam keadaan seperti diuraikan dalam NICE
Technology Appraisal of Newer AEDs for Children
c. Jarang dan perlu inisiasi, jika barbiturat yang digunakan lebih disukai
(NICE Guideline, 2012)
Edukasi yang dapat diberikan pada pasien anak :
18
1). Pasien dan orang tua diharapkan mengetahui permasalahan dan
terapi epilepsi
2). Botol berisi obat epilepsi sebaiknya ditandai
3). Berusaha untuk hidup senormal mungkin
4). Anak-anak sebaiknya banyak melakukan kegiatan fisik yang sesuai
dengan umur mereka
5). Tidur yang cukup, hindari kekurangan tidur (Shih, 2007)
Pembagian dosis OAE untuk terapi pasien anak dapat dilihat
pada Tabel II berikut.
Obat
Fenitoin
Karbamazepin
Okskarbazepin
Lamotrigin
Zonisamid
Etosuksimid
Felbamat
Topiramat
Clobazam
Clonazepam
Fenobarbital
Pirimidon
Vigabatrin
Gabapentin
Valproat
Levetiracetam
Tiagabin
Tabel II. Dosis Obat Antiepilepsi untuk Pediatrik
Dosis awal (mg/kg/hari)
Dosis maintenance
Frekuensi pemberian
(mg/kg/hari)
(kali/hari)
5
5-15
1-2
5
10-25
2-4
5
10-50
2-3
0,5
2-8
1-2
2-4
4-8
2
10
15-30
1-2
15
30-45
3-4
0,5-1
5-9
2
0,25
0,5-1
1-2
0,025
0,025-0,1
2-3
4
4-8
1-2
10
20-30
1-2
40
50-150
1-2
20
20-40
3
10
15-40
2-3
10
20-60
2
Tidak disarankan untuk anak di bawah usia 12 tahun
(Brodie dkk., 2005)
e.
Penggolongan dan Mekanisme Kerja Antiepilepsi
Wibowo & Gofir (2006) membagi mekanisme kerja obat
antiepilepsi menjadi 2 bagian besar, yaitu : efek langsung pada
19
membran yang eksitabel dan efek melalui perubahan meurotransmitter.
Berikut penggolongan OAE berdasarkan pada mekanisme tersebut:
1). Efek langsung pada membran yang eksitabel.
Perubahan pada permeabilitas membran serta mencegah
aliran frekuensi tinggi dan neuron-neuron pada keadaan lepas
muatan listrik epilepsi (Wibowo & Gofir, 2006).
OAE dengan mekanisme ini antara lain:
a). Fenitoin : Ikaphen®, Dilantin®, Kutoin®
Fenitoin diindikasikan sebagai terapi awal atau terapi
tambahan pada serangan parsial kompleks atau serangan tonik
klonik. Efek sampingnya dapat menimbulkan hiperplasia
gingival yang reversibel dan efek samping kosmetik lainnya
(Browne dan Holmes, 2000). Mekanisme aksinya dengan
memblokade kanal natrium dan beraksi dengan konduktansi
pada
klorida
dan
kalsium,
serta
neurotransmisi
voltage-dependent (Shorvon, 2000).
Fenitoin memiliki kinetika eliminasi tergantung dosis
dan dihidroksilasi di hati oleh sistem enzim. Peningkatan
dosis yang kecil dapat meningkatkan waktu paruh dan kadar
dalam serum yang besar. Peningkatan kadar tunak mungkin
tidak proporsional dengan toksisitas yang dihasilkan dari
peningkatan dosis 10% atau lebih (Porter dan Meldrum,
2012).
20
b). Karbamazepin : Tegretol®
Derivat anti depresan trisiklik ini efektif untuk
serangan parsial dan general tonik klonik, dapat diberikan
secara tunggal atau kombinasi. Mekanisme kerja obat ini
dengan menghambat kanal Na selama pelepasan dan
mengalirnya muatan listrik sel-sel saraf serta mencegah
potensial post tetanik (Wibowo & Gofir, 2006).
c). Etosuksimid
Etosuksimid sebagai obat pilihan untuk serangan
absence pada anak-anak yang tidak disertai serangan
tonik-klonik atau mioklonik (Wibowo & Gofir, 2006).
Mekanisme kerja obat ini menghambat kanall Ca tipe
T. Etosuksimid mempunyai efek penting pada arus Ca2+,
menurunkan arus nilai ambang rendah (tipe T). Arus kalsium
tipe T diperkirakan merupakan arus yang menimbulkan
pemacu pada saraf talamus sehingga terjadi gelombang
korteks yang ritmis dari serangan absence. Penghambat arus
tersebut
karenanya
merupakan
kerja
terapeutik
dari
etosuksimid (Katzung, 2002).
d). Valproat : asam dipropilasetat, Depakene®, Depakote®,
Ikalep®
Valproat diindikasikan sebagai drug of choice untuk
epilepsi general idiopatik, epilepsi fokal, epilepsi mioklonik,
21
epilepsi fotosensitif, sindrom lennox dan second-line pada
terapi spasme infantil (Wibowo & Gofir, 2006).
Valproat memiliki mekanisme aksi yang multipel,
yaitu mengahambat kanal Ca tipe T dan meningkatkan fungsi
GABA tetapi hanya terlihat pada konsentrasi tinggi. Obat ini
meningkatkan sintesa GABA dengan menstimulasi Glutamic
Acid Dekarboksilasi (GAD). Obat ini menghasilkan modulasi
selektif pada arus Na selama pelepasan muatan (Wibowo dan
Gofir, 2006).
Valproat menghambat metabolisme beberapa obat
termasuk
fenobarbital,
fenitoin
dan
karbamazepin,
menyebabkan konsentrasi obat-obat tersebut dalam darah
menjadi meningkat. Penghambatan metabolisme fenobarbital
menyebabkan kadar barbiturat meningkat secara tajam hingga
menimbulkan stupor atau koma (Katzung, 2002).
e). Okskarbazepin : Trileptal®
Okskarbazepin
karbamazepin,
merupakan
dikembangkan
10-keto
dalam
analog
upaya
dari
untuk
menghindari autoinduksi dan potensi interaksi sebagaimana
terdapat pada karbamazepin. OAE ini telah memperoleh
lisensi di seluruh dunia, lebih dari 50 negara. Beberapa negara
telah menggunakan okskarbamazepin sebagai obat pilihan
pertama (Harsono, 2007b).
22
Okskarbamazepin digunakan sebagai monoterapi atau
terapi tambahan pada serangan parsial (sederhana, kompleks,
umum sekunder) pada dewasa dan anak-anak, termasuk
pasien yang baru terdiagnosa (Browne dan Holmes, 2000).
Mekanisme aksinya dengan menghambat kanal Na dan
berdampak pada konduktansi kalium dan memodulasi
tegangan tinggi sehingga mengaktivasi kanal Ca (Shorvon,
2000).
f). Lamotrigin : Lamictal®
Lamotrigin diindikasikan sebagai terapi tambahan
pada pasien dewasa dengan serangan parsial yang tidak
terkontrol dengan obat-obat pilihan pertama seperti fenitoin
dan karbamazepin. Lamotrigin memiliki toksisitas tergantung
dosis yang minimal dan tidak memerlukan monitoring hasil
laboratorium (Browne dan Holmes, 2000).
2). Efek melalui perubahan neurotransmitter
a). Penghambatan aksi glutamat
Obat-obat dengan aksi ini antara lain:
(1). Felbamat
Mekanisme kerja obat dengan memperkuat
aktivitas GABA. Felbamat terbukti efektif baik pada
monoterapi maupun terapi tambahan pada serangan
parsial pada pasien dengan usia ≥14 tahun, obat ini juga
23
bermanfaat untuk sindrom lennox-gastaut yang tidak
berespon terhadap terapi lain (Wibowo dan Gofir, 2006).
(2). Topiramat : Topamax®
Topiramat diindikasikan sebagai terapi tambahan
untuk serangan parsial dan untuk serangan umum
tonik-klonik primer pada pasien dewasa dan anak-anak
berusia 2 hingga 16 tahun. Topiramat dilaporkan
memiliki sedikit interaksi dan diberikan sebanyak 2 kali
sehari (Browne dan Holmes, 2000). Mekanisme aksinya
dengan
menghambat
kanal
Na,
memulai
influx
GABA-mediated chloride dan memodulasi efek dari
reseptor GABAA dan bereaksi pada reseptor AMP
(Shorvon, 2000).
b). Mendorong aksi inhibisi Gamma Amino Butyruc Acid
(GABA) pada membran pasca-sinaptik dan neuron
Obat-obat dengan aksi ini antara lain:
(1). Klonazepam : Riklona 2®
Klonazepam sebagai agonis reseptor GABA,
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor
GABAA. Efektif untuk serangan mioklonik, serangan
umum dan sedikit berperan pada serangan parsial. Obat
ini digunakan sebagai terapi adjuvan untuk epilepsi
refrakter. Klonazepam juga digunakan sebagai terapi
24
emergensi pada status epileptikus seperti diazepam
(Wibowo dan Gofir, 2006).
(2). Fenobarbital : fenobarbiton, Luminal®
Fenobarbital beraksi langsung pada reseptor
GABA dengan berikatan pada tempat ikatan barbiturat
sehingga memperpanjang durasi pembukaan kanal Cl,
mengurangi aliran Na dan K, mengurangi influks Ca dan
menurunkan
eksitabilitas
glutamat.
Fenobarbital
merupakan OAE dengan spektrum luas, digunakan pada
terapi serangan parsial dan serangan umum sekunder.
Obat ini digunakan sebagai second drug karena
memberikan efek buruk seperti sedasi dan penurunan
daya kognitif, namun pada status epileptikus, obat ini
masih digunakan sebagai first drug (Wibowo dan Gofir,
2006).
(3). Klobazam : Frisium®
Klobazam merupakan derivat 1,5-benzodazepin
(1982) yang memiliki khasiat antikonvulsi yang sama
kuatnya dengan diazepam. Klobazam digunakan sebagai
obat tambahan pada absence yang resisten terhadap
klonazepam. Tidak dapat dikombinasi dengan valproat
(Tan dan Rahardja, 2000). Klobazam merupakan terapi
tambahan
pada
serangan
parsial,
umum,
terapi
25
intermittent, terapi one-off profilaktik, dan non-konvulsif
status epileptikus (Shorvon, 2000).
(4). Gabapentin : Neurontin®
Gabapentin mempunyai hubungan struktural yang
sangat dekat dengan GABA. Walaupun dirancang
sebagai agonis GABA, pengalaman dan bukti klinis
menunjukan bahwa gabapentin tidak beraksi atau sedikit
beraksi terhadap reseptor GABAA maupun GABAB.
Sementara itu, gabapentin juga tidak berpengaruh
terhadap sintesis GABA. Awalnya gabapentin diteliti
manfaatnya sebagai antispasmodik dan sebagai analgetik.
Kemudian gabapentin diteliti manfaatnya sebagai OAE.
Saat ini gabapentin sudah memperoleh lisensi untuk
dipakai sebagai OAE di Inggris, Amerika Serikat, Eropa
daratan dan berbagai negara lainnya, namun demikian
ada yang menggunakan gabapentin sebagai analgetik
walaupun tanpa lisensi. Gabapentin dipakai sebagai
adjuvan untuk serangan parsial atau serangan umum
sekunder pada terapi epilepsi (Harsono, 2007b).
3). Obat dengan mekanisme lain
a). Levetiracetam : Keppra®
Levetiracetam diterima oleh FDA untuk mengatasi
serangan parsial. Obat ini dapat digunakan bersama dengan
26
obat lain pada orang berusia 4 tahun ke atas. Keppra juga
diterima oleh FDA untuk mengatasi mioklonik pada orang
dewasa dan epilepsi mioklonik juvenil untuk orang berusia 12
tahun ke atas. Obat ini diekskresi di ginjal, dan dosisnya dapat
mengalami perbedaan pada orang yang mengalami gangguan
ginjal.
3.
Efek Terapi
Efek terapi merupakan hasil yang diharapkan setelah pemberian
terapi yaitu meningkatnya outcome. Penilaian outcome pada pasien epilepsi
selain pengurangan keparahan kejang, pengukuran kualitas hidup pasien juga
sangat dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana aspek psikososial pasien.
Pengurangan kejang akan berdampak langsung pada fungsi psikososial
pasien (Sabaz dkk, 2001).
Penurunan jumlah kejang merupakan penilaian outcome yang paling
mudah dilakukan. Pasien datang kontrol ke poliklinik secara rutin, akan
mudah menanyakan jumlah kejang yang terjadi setelah kontrol sebelumnya,
ataupun jumlah kejang yang sesuai periode yang diinginkan, misalnya
sebulan, seminggu, ataupun sehari. Pasien dikatakan berespon terhadap
pengobatan jika pengurangan frekuensi kejang lebih dari 50%. Selain
penurunan jumlah kejang, pengukuran keparahan kejang juga merupakan
parameter efek terapi Obat Anti Epilepsi (Bachtera, 2007).
Cramer dan French (2001) meyebutkan, penilaian kuantitatif
keparahan kejang dapat dilakukan dengan berbagai sistem, seperti :
27
a.
Veterans Administration (VA) Scale
Sistem ini menilai frekuensi kejang yang terjadi pada kejang tipe
parsial (secondarily generalized tonic–clonic, complex partial seizure
dan simple partial seizure) maupun keparahan kejangnya. VA Scale
diselesaikan oleh dokter berdasarkan pertanyaan spesifik tentang
komponen kejang yang dilakukan dengan pemeriksaan dan wawancara.
VA Scale dikritik karena merupakan sistem skoring yang kompleks,
meskipun penilaian terhadap beberapa kejang dapat dihitung.
b.
Chalfont-National Hospital Seizure Severity Scale (NHS3)
Chalfont Seizure Severity Scale merupakan penyederhanaan dari
VA Scale yang kemudian diperbaharui dan berganti nama menjadi
National Hospital Seizure Severity Scale (NHS3). Skala ini digunakan
untuk pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Kuesioner
diberikan oleh dokter yang mewawancarai pasien dan orang-orang yang
menyaksikan tipe kejangnya. Penilaian ini terhadap 3 jenis kejang
( kejang umum, complex partial seizure dan simple partial seizure).
c.
Occupational Hazard Scale
Sistem
ini
menggambarkan
tingkat
bahaya
berdasarkan
frekuensi dan keparahan kejang. Gangguan sosial yang mungkin
disebabkan oleh kejang (seperti, risiko kecelakaan) merupakan suatu hal
yang penting. Skala ini memberikan contoh jenis kejang dan status
pengobatan, digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian pemilihan
pekerjaan pasien berdasarkan tingkat keparahan kejang.
28
d.
Liverpool Seizure Severity Scale (LSSS)
LSSS dikembangkan untuk menilai keparahan kejang pasien
yang dirasakan oleh pasien. Kuesioner dijawab oleh pasien tanpa
adanya interpretasi dari penyedia layanan kesehatan untuk menilai
aktivitas kejang selama 4 minggu sebelumnya. Item skala berfungsi
untuk mendiskripsikan persepsi pasien dari dampak kejang pada fungsi
sehari-hari tanpa menetapkan poin disetiap pertanyaan. Kuesioner ini
tidak memberikan informasi tentang frekuensi yang tepat dari kejang
dan juga tidak menggambarkan klasifikasi kejang secara spesifik.
e.
Hague Seizure Severity Scale (HASSS)
HASSS merupakan pengembangan skala keparahan kejang
untuk anak-anak yang didasarkan pada persepsi orang tua pasien.
Sebagian besar konten HASSS berdasarkan LSSS dan didesain ulang
menjadi kuesioner yang diisi oleh orang tua, bukan pasien.
Komponen dari beberapa kuesioner diatas hampir sama, yaitu :
frekuensi kejang, jenis kejang, durasi kejang, kejadian postictal, durasi
postictal, automatisme, pola yang diketahui, tanda-tanda, menggigit lidah
dan gangguan fungsional (Cramer dan French, 2001)
Kuesioner yang digunakan adalah Hague Seizure Severity Scale
(HASSS) merupakan bentuk kuesioner yang dikembangkan oleh Carpay, dkk.
(1996) untuk mengukur keparahan kejadian kejang yang terjadi selama 3
bulan terakhir berdasarkan persepsi orang tua. Nilai HASSS berkisar antara
13-54 (Carpay dkk.,1996).
29
F. Keterangan Empirik
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola pengobatan dan efek terapi
OAE secara monoterapi dilihat dari frekuensi dan keparahan kejang pada
pengobatan pasien epilepsi pediatrik rawat jalan dengan umur 4-16 tahun di
Instalasi Kesehatan Anak Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
pada periode Januari-Maret 2015. Evaluasi efek terapi dinilai dalam suatu
kuesioner yang diberikan kepada subyek penelitian yang bersedia. Kuesioner
tersebut
berisi
pertanyaan
jumlah
kejang
sebulan
terakhir
dan
pertanyaan-pertanyaan terjemahan dari Hague Seizures Severity Scale (HASSS).
HASSS ditujukan untuk mengukur keparahan kejang.
30
Download