KERJASAMA ANTARA DOKTER DAN AHLI FARMASI PADA LAYANAN INFORMASI KESEHATAN DALAM RANGKA PENINGKATAN KESELAMATAN PASIEN* Czeresna Heriawan SOEJONO, DR., Dr., SpPD-KGer., MEpid., FACP Internist, Konsultan Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI RSCM Pendahuluan Komunikasi adalah tulang punggung dalam pelaksanaan sebuah program di institusi mana pun. Dalam pelayanan kesehatan, komunikasi menjadi lebih penting karena menyangkut kelangsungan hidup serta hak sehat manusia. Komunikasi antar dokter dan antara dokter dengan profesi lain sudah banyak dibahas, walau pun masalah yang ada belum sepenuhnya teratasi. Komunikasi antara dokter dengan ahli farmasi menjadi semakin penting mengingat aktivitas pemberian obat kepada pasien ternyata bukan sekedar penyerahan obat dari penyedia obat kepada pasien. Berbagai aspek layak disimak mengenai komunikasi (dapat juga disebut kerja sama atau kolaborasi) antara dokter dengan ahli farmasi. Peran saling melengkapi Kamus Oxford English Dictionary menyebutkan definisi collaborate sebagai: bekerja sama pada sebuah kegiatan atau proyek; pengertian lain adalah: bekerja sama dengan lawan (dengan kecurigaan/ traitorously). Dalam kenyataan sehari-hari, pengertian yang kedua lebih sering mengemuka (disadari atau tidak) terutama jika pihak yang bekerja sama bukan berasal dari induk disiplin ilmu yang sama. Dengan kompleksnya permasalahan kesehatan maka kerja sama yang lebih baik antar profesi menjadi terasa semakin kebutuhan. Mahasiswa kedokteran diminta ikut dalam rotasi perawat agar dapat lebih memahami peran perawat dalam pengelolaan pasien; perawat diajak bekerja sama dengan fisioterapis dalam berbagai tindakan rehabilitasi untuk mempercepat tercapainya target pengobatan jasmani. Kerja sama antara ahli farmasi dengan dokter belum banyak dibahas dan dilaksanakan dalam praktek pelayanan kesehatan sehari-hari di rumah sakit baik di rawat inap mau pun di rawat jalan. Manfaat yang dapat diperoleh setidaknya dalam hal efisiensi pengobatan mau pun peningkatan keselamatan pasien. Pekerjaan yang dilakukan dokter dan ahli farmasi sebenarnya bersifat saling melengkapi (komplementer); secara hipotetikal dapat dikatakan bahwa kerja sama tersebut dapat memberikan pengaruh positif terhadap keluaran pasien (patient outcome). Wujud kolaborasi antara dokter dan ahli farmasi antara lain misalnya: penelusuranan informasi riwayat obat yang lengkap dan akurat; penyediaan informasi obat yang lege artis; pemanfaatan evidence-based prescribing; deteksi dini kesalahan peresepan obat; pemantauan obat (meningkatkan keamanan obat); meningkatkan costeffectiveness dalam peresepan obat; meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masing-masing pihak demi kepuasan pasien. Kolaborasi yang tidak optimal dapat merugikan pasien. Pemberian obat oral yang tidak disesuaikan dengan sifat farmakokinetik obat yang bersangkutan potensial menurunkan efektivitas obat dan bahkan dapat meningkatkan risiko interaksi obat. Komunikasi Dengan komunikasi yang baik antara dokter dengan ahli farmasi sebenarnya banyak manfaat yang dapat diperoleh terutama dalam hal keamanan dan keselamatan (pengobatan) pasien. Namun dalam praktek sehari-hari baik di rumah sakit (rawat inap) mau pun rawat jalan, jalur untuk membina komunikasi ini sangatlah minim atau tidak ada sama sekali. Jalur komunikasi yang tertata dalam sistem tidak pernah terjalin. Komunikasi yang terjalin ketika masalah muncul sering kali terjadi secara informal dan bersifat insidentil. Komunikasi informal ini memang dapat membantu; namun ada beberapa komponen dalam berkomunikasi yang hilang sehingga belum memadai untuk sebuah kolaborasi. Komunikasi informal (melalui telepon misalnya) sering kali waktunya (timing-nya) tidak tepat; saat dokter menerima telepon belum tentu ia langsung dapat mengingat pasien mana yang sedang dibicarakan. Jika seorang ahli farmasi harus menyampaikan pesan temannya yang kebetulan sudah lewat waktu tugasnya namun belum sempat berjumpa dengan dokter yang merawat, maka belum tentu ahli farmasi tersebut memahami betul keadaan klinis pasien sehingga hasil akhir pembicaraan/ konsultasi tidak optimal. Agar komunikasi terjalin dengan efisien, interaksi/ komunikasi harus masuk dalam sebuah sistem (tim terpadu misalnya); akan ada kesempatan untuk memperkenalkan diri dan menjelaskan peran ahli farmasi pada pengelolaan pasien yang bersangkutan. Selanjutnya, baik dokter mau pun ahli farmasi dapat saling berbagi (dari sudut pandang masing-masing) dan berdiskusi tentang pengelolaan pasien tersebut. Dengan sistem yang dibangun seperti di atas maka kesalahan akibat misscommunication dapat dihindari. Kerja sama tim multidisiplin secara interdisiplin Dalam hubungan kerja sama antara dokter dengan ahli farmasi setidaknya terdapat dua disiplin ilmu dan dua profesi yang berhubungan. Hubungan kerja sama tersebut tentu merupakan hubungan multidisiplin yang pendekatannya seharusnya bersifat interdisiplin dan bukan bersifat multidisiplin. Pendekatan yang bersifat multidisiplin paling sering keliru diinterpretasikan sebagai model interdisiplin. Pada pendekatan yang bersifat multidisiplin ini disiplin atau bidang ilmu terkait berupaya untuk mengintegrasikan pelayanan demi kepentingan pasien. Mereka bertemu, saling berbagi informasi, merencanakan dan menetapkan siapa yang akan ikut berperan/ berkontribusi dan jenis keahlian apa yang dapat diperankan. Namun demikian, setiap bidang ilmu mengembangkan pengalaman di bidang masing-masing kecuali untuk keahlian yang memang berada pada area ‘abuabu’ pada saat mereka melakukan koordinasi. Tugas dan tanggung jawab diterapkan pada setiap bidang ilmu dengan batasan yang tegas sesuai disiplin masing-masing. Setiap bidang melaksanakan (mempraktekkan) pekerjaan mereka secara independen, sangat berhati-hati untuk tidak ‘memasuki wilayah’ bidang lain. Pengembangan profesionalisme terjadi di dalam bidang masing-masing (Satin, 1996). Pada pendekatan yang bersifat interdisiplin, semua perencanaan, pengembangan pengalaman, dan pelaksanaan pelayanan dikerjakan dengan penuh pemahaman bahwa terdapat tumpang tindih dalam hal kompetensi; dipahami pula bahwa masalah-masalah pasien dapat saling terkait. Setiap bidang mampu mengembangkan diri bersama. Mereka bertemu untuk mengevaluasi masalah yang sedang dihadapi, membicarakan tujuan spesifik yang harus dicapai serta mendiskusikan berbagai intervensi yang harus diambil untuk mencapai tujuan tadi. Pekerjaan, tugas dan tanggung jawab diterapkan tidak semata-mata berdasarkan disiplin atau bidang terkait namun juga berdasarkan kompetensi atau kemampuan individu, mau pun atas dasar kebutuhan dan situasi masalah yang sedang dihadapi. Peran dan tanggung jawab setiap disiplin tidaklah kaku namun dapat beralih sesuai perkembangan masalah yang ada saat itu. Pada model ini, identitas dan praktik setiap bidang tidak terikat pada disiplin terkait, melainkan dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan paparan dengan disiplin lain saat bekerja, juga dengan pengalaman yang didapat serta sejalan dengan perkembangan kebutuhan profesional yang semakin mendalam; yang lebih penting adalah sesuai pula dengan kemampuan dan ketertarikan untuk mengembangkan profesinya masing-masing (Satin, 1996; Siegler, 2006). Proses Kolaborasi Proses koordinasi untuk mendapatkan kolaborasi yang dapat bekerja secara optimal memang tidaklah mudah; diperlukan serangkaian proses yang harus dilalui baik secara formal mau pun informal. Pertama, masing-masing pihak harus sepakat untuk membangun kolaborasi ini. Kedua belah pihak seyogyanya duduk bersama dan menuangkan seluruh pemikiran, impian, dan keinginan masing-masing. Kedua pihak harus memahami buah pikiran masing-masing dan menyatakan pentingnya kerja sama ini serta setuju untuk berkolaborasi. Langkah berikutnya adalah menetapkan peran dan fungsi masing-masing dalam pengelolaan pasien. Batasan kegiatan masing-masing pihak perlu dielaborasi secara rinci dan disepakati dengan berpatokan pada kesepakatan pemikiran yang telah dicapai sebelumnya (bahwasanya keselamatan dan kepuasan pasien adalah yang utama serta merupakan tujuan bersama). Kemungkinan terdapatnya tumpang tindih dari berbagai peran yang ada akan terlihat sehingga konflik dapat dihindari. Konflik masih potensial timbul karena setiap disiplin merasa paling memiliki kompetensi (atau setidaknya lebih kompeten daripada disiplin lainnya). Terjadinya konflik bukanlah satu-satunya ancaman; tidak tercapainya apa yang disebut sebagai tujuan bersama juga merupakan hal yang perlu diantisipasi. Perbedaan latar belakang pendidikan/ pelatihan dan kurang lancarnya komunikasi disadari merupakan hal yang harus diselesaikan dengan bijak. Keadaan tersebut di atas disikapi dengan mengedepankan saling pengertian dan pendekatan interdisiplin serta pentingnya komunikasi antar anggota sebagai landasan tercapainya pengertian bersama. Kesepakatan dapat tercapai karena masing-masing pihak ternyata mempunyai visi yang sama. Setelah kesepakatan bersama ditaati, masing-masing pihak akan menegaskan kembali pengertian pendekatan interdisiplin yang harus diterapkan -yang berbeda dari multidisiplin, paradisiplin maupun pandisiplin. Selain itu, perbedaan yang ada dapat disikapi dengan tingkat toleransi yang tinggi dan dianggap sebagai aset positif. Setiap anggota saling membantu dan saling mendukung; mereka berpartisipasi aktif dan self-initiated. Dengan pelaksanaan kolaborasi yang secara sadar mengedepankan pemahaman akan peran masing-masing tersebut diharapkan hasil akhir pengelolaan pasien dapat lebih efisien, terhindarkan dari kesalahan yang tidak perlu, serta terbangun sistem yang menjamin keselamatan pasien dari sisi pengobatan. Penutup Telah dibicarakan perlunya kolaborasi antara dokter dengan ahli farmasi (terutama ahli farmasi klinik). Kesadaran akan adanya peran yang saling melengkapi, rasa percaya yang tinggi, serta komunikasi yang optimal yang tersusun dalam sebuah sistem yang mengedepankan prinsip interdisiplin dalam sebuah tim multidisiplin maka keselamatan dan keamanan pasien akan lebih terjamin. Daftar Pustaka Satin, DG., 1996 The Interdisciplinary, Integrated Approach to Profesional Practice with the Aged. Dalam: Satin DG, Blakeney BA, Bottomley JM, Howe MC, Smith HD, eds. The Clinical Care of the Aged Person, An Interdisciplinary Perspective. New York: Oxford University Press. Hal 391-402. Siegler, EL., 2006 Developing and Managing a High-Functioning Interdisciplinary Team. Dalam : Gallo JJ, Bogner HR, Fulmer T, Paveza GJ, eds. Handbool of Geriatric Assessment. Boston: Jones and Bartlett Publishers. Hal 431-8. Leape, LL., 1999 Pharmacist participation on physician rounds and adverse drug events in the intensive care unit. JAMA; 281(3); July 1999: 267-70. Nijjer, S., 2008 Effective collaboration between doctors and pharmacists. Hospital Pharmacist; vol 15; May 2008: 179-82. *disampaikan pada: launching IONI (Informatorium Obat Nasional Indonesia) 2008, Badan POM Republik Indonesia, tanggal 26 Oktober 2009,di Jakarta.