Materi segitiga diberikan pada siswa kelas VII SLTP semester 2

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembelajaran
1. Hakikat Pembelajaran
Dalam proses pendidikan di sekolah secara keseluruhan, pembelajaran
merupakan aktivitas paling utama. Ini berarti bahwa keberhasilan pencapaian tujuan
pendidikan banyak tergantung kepada bagaimana proses pembelajaran dapat
berlangsung secara efektif. Menurut Uno, pembelajaran merupakan proses interaksi
antara pengajar dan peserta didik.1 Pembelajaran yang menimbulkan interaksi belajarmengajar antara guru-siswa mendorong perilaku belajar siswa. Pembelajaran
merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu
dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan
kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk
membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Guru bertindak membelajarkan dengan mengajar. Mengajar menurut Tyson
dan Caroll ialah...a way working with student ... a process of interaction... the teacher
does something to student; the student do something in return.2 Dari definisi tersebut
tergambar bahwa mengajar adalah sebuah cara dan sebuah proses hubungan timbal
1
http://etd.eprint.ums.ac.id/14029/6/BAB_II.pdf, diakses 19 Mei 2012
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2010), hal.179
2
17
18
balik antara siswa dan guru yang sama-sama aktif melakukan kegiatan. Guru adalah
pemegang kunci pembelajaran. Pelaku aktif dalam belajar adalah siswa, sedangkan
pelaku aktif pembelajaran adalah guru. 3 Apabila interaksi antar personal (guru dan
siswa) di dalam kelas terjadi dengan baik, maka kegiatan belajar pun akan terjadi.
Sebaliknya jika interaksi guru-siswa buruk, maka kegiatan belajar siswa pun tidak
akan terjadi atau mungkin terjadi tetapi tidak sesuai dengan harapan. Untuk
keberhasilan dalam kegiatan pembelajaran sesuai dengan tujuan yang diharapkan,
sebelumnya siswa dilatih cara konsentrasi, ketelitian, kesabaran, ketekunan, keuletan,
peningkatan daya ingat serta belajar dengan metode bayangan. Disamping itu siswa
dapat melakukan “SSN” (Senyum, Santai dan Nikmat) yang artinya siswa dapat
melakukan dengan senyum (dalam hati) berarti senang dalam proses kegiatan
pembelajaran, santai berarti siswa dapat mengikuti kegiatan pembelajaran tidak
tegang/stres serta siswa dapat menikmati kegiatan pembelajaran. 4 Dengan proses
tersebut akhirnya siswa dapat menguasai materi sesuai yang diharapkan dengan
benar. Disamping itu guru harus memberikan motivasi kepada semua siswa,
mendesain pembelajaran dalam suasana yang menyenangkan untuk membangkitkan
semangat belajar.
Berdasarkan rumusan Meier, ada beberapa komponen pembangun suasana
pembelajaran yang menyenangkan. Pertama, bangkitnya minat. Secara sederhana,
minat sering dipadankan dengan “gairah” atau “keinginan yang menggebu-gebu”.
3
Dimyati dan Mujiono, Belajar dan Pembelajaran. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), hal. 250
Iif Khoiru Ahmadi dan Sofan Amri, PAIKEM GEMBROT. (Jakarta: Prestasi Pustakaraya,
2011), hal. 6
4
19
Apabila di dalam diri seseorang tidak muncul gairah untuk mengajar atau belajar
tentang hal yang akan diajarkan atau dipelajarinya, maka di dalam lingkungan belajar
mengajar itu sulit dikatakan ada kegembiraan. Kedua, adanya keterlibatan penuh si
pembelajar dalam mempelajari sesuatu. Apa yang dipelajari dan siapa yang ingin
mempelajari perlu ada jalinan yang akrab dan saling memahami. Ketiga, terciptanya
makna. Sesuatu yang mengesankan atau inspiratif biasanya akan menghadirkan
makna. Apabila pembelajaran itu kering, monoton, dan hampa dari hal-hal yang
membuat suasana menjadi segar dan ceria, tentulah akan sulit menciptakan makna
dalam suatu pembelajaran. Keempat, pemahaman materi atas materi yang dipelajari.
Apabila minat seorang siswa dapat ditumbuhkan ketika mempelajari sesuatu, lantas
dia terlibat secara aktif dan penuh dalam membahas materi-materi yang
dipelajaarinya, dan ujung-ujungnya dia terkesan dengan sebuah pembelajaran yang
diikutinya, tentulah pemahaman materi yang dipelajarinya dapat muncul secara
sangat kuat. Kelima, nilai yang membahagiakan. Rasa bahagia yang dapat muncul
dalam diri siswa sebagai seorang pembelajar bisa saja terjadi karena dia merasa
mendapatkan makna ketika mempelajari sesuatu.5 Kelima komponen tersebut saling
berkaitan satu dengan yang lainnya.
Banyak kiat yang dapat diterapkan untuk mendekati pembelajaran secara
inovatif antara lain dengan penataan kelas yang lebih baik yang memungkinkan
munculnya interaksi antara guru dengan siswa dan siswa dengan sesamanya, sehingga
memudahkan proses bimbingan kegiatan dan pengalaman belajar secara langsung dan
5
Ngainun Naim, Menjadi Guru Inspiratif. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) hal. 175-178
20
terbuka yang efektif dan menyenangkan. Pembelajaran yang menyenangkan akan
memiliki hasil yang berbeda dengan pembelajaran yang dilaksanakan dengan penuh
keterpaksaan, tertekan, dan terancam. Pembelajaran yang menyenangkan akan
mampu membawa perubahan terhadap diri pembelajar.
2. Prinsip-prinsip Pembelajaran
Berikut ini adalah prinsip umum pembelajaran dari beberapa pakar
pembelajaran yang meliputi:6
a. Perhatian dan Motivasi
Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar. Dari kajian
teori belajar pengolahan informasi terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tidak
mungkin terjadi belajar. Perhatian terhadap pelajaran akan timbul pada siswa apabila
bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Apabila bahan pelajaran itu dirasakan
sebagai sesuatu yang dibutuhkan, diperlukan untuk belajar lebih lanjut atau
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, akan membangkitkan perhatian dan juga
motivasi untuk mempelajarinya. Apabila dalam diri siswa tidak ada perhatian
terhadap pelajaran yang dipelajari, maka siswa tersebut perlu dibangkitkan
perhatiannya. Dalam proses pembelajaran, perhatian merupakan faktor yang besar
pengaruhnya, kalau peserta didik mempunyai perhatian yang besar mengenai apa
yang dipelajari peserta didik dapat menerima dan memilih stimuli yang relevan untuk
diproses lebih lanjut di antara sekian banyak stimuli yang datang dari luar. Perhatian
6
http://id.wikipedia.org/wiki/Pembelajaran, diakses tanggal 22 Mei 2012
21
dapat membuat peserta didik untuk mengarahkan diri pada tugas yang akan diberikan,
melihat masalah-masalah yang akan diberikan, memilih dan memberikan fokus pada
masalah yang harus diselesaikan.
Selain perhatian, motivasi mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar.
Motivasi adalah tenaga yang menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang.
Motivasi mempunyai kaitan yang erat dengan minat. Siswa yang memiliki minat
terhadap sesuatu bidang studi tertentu cenderung tertarik perhatiannya dan dengan
demikian timbul motivasi untuk mempelajarinya. Misalnya, siswa yang menyukai
pelajaran matematika akan merasa senang belajar matematika dan terdorong untuk
belajar lebih giat, karenanya adalah kewajiban bagi guru untuk bisa menanamkan
sikap positif pada diri siswa terhadap mata pelajaran yang menjadi tanggung
jawabnya. Motivasi dapat diartikan sebagai tenaga pendorong yang menyebabkan
adanya tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu. Adanya tidaknya motivasi dalam
diri peserta didik dapat diamati dari observasi tingkah lakunya.
Apabila peserta didik mempunyai motivasi, ia akan bersungguh-sungguh
menunjukkan minat, mempunyai perhatian, dan rasa ingin tahu yang kuat untuk ikut
serta dalam kegiatan belajar; berusaha keras dan memberikan waktu yang cukup
untuk melakukan kegiatan tersebut; terus bekerja sampai tugas-tugas tersebut
terselesaikan. Motivasi dapat bersifat internal, yaitu motivasi yang berasal dari dalam
diri peserta didik dan juga eksternal baik dari guru, orang tua, teman dan sebagainya.
Berkenaan dengan prinsip motivasi ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
22
dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran, yaitu: memberikan dorongan,
memberikan insentif dan juga motivasi berprestasi.
b. Keaktifan
Menurut pandangan psikologi anak adalah makhluk yang aktif. Anak
mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai kemauan dan aspirasinya
sendiri. Belajar tidak bisa dipaksakan oleh orang lain dan juga tidak bisa dilimpahkan
pada orang lain. Belajar hanya mungkin terjadi apabila anak mengalami sendiri. John
Dewey mengemukakan bahwa belajar adalah menyangkut apa yang harus dikerjakan
siswa untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari dirinya sendiri, guru
hanya sebagai pembimbing dan pengarah. Menurut teori kognitif, belajar
menunjukkan adanya jiwa yang aktif, jiwa mengolah informasi yang kita terima,
tidak hanya menyimpan saja tanpa mengadakan tansformasi. Menurut teori ini anak
memiliki sifat aktif, konstruktif, dan mampu merencanakan sesuatu. Anak mampu
mencari, menemukan dan menggunakan pengetahuan yang telah diperolehnya.
Thordike mengemukakan keaktifan siswa dalam belajar dengan hukum "law of
exercise"-nya yang menyatakan bahwa belajar memerlukan adanya latihan-latihan.
Hubungan stimulus dan respon akan bertambah erat jika sering dipakai dan akan
berkurang bahkan lenyap jika tidak pernah digunakan. Artinya dalam kegiatan belajar
diperlukan adanya latihan-latihan dan pembiasaan agar apa yang dipelajari dapat
diingat lebih lama. Semakin sering berlatih maka akan semakin paham. Hal ini juga
23
sebagaimana yang dikemukakan oleh Mc.Keachie bahwa individu merupakan
"manusia belajar yang aktif selalu ingin tahu".
Dalam proses belajar, siswa harus menampakkan keaktifan. Keaktifan itu dapat
berupa kegiatan fisik yang mudah diamati maupun kegiatan psikis yang sulit diamati.
Kegiatan fisik bisa berupa membaca, mendengar, menulis, berlatih keterampilanketerampilan dan sebaginya. Kegiatan psikis misalnya menggunakan pengetahuan
yang dimiliki dalam memecahkan masalah yang dihadapi, membandingkan suatu
konsep dengan yang lain, menyimpulkan hasil percobaan dan lain sebagainya.
c. Keterlibatan Langsung/Pengalaman
Belajar haruslah dilakukan sendiri oleh siswa, belajar adalah mengalami dan
tidak bisa dilimpahkan pada orang lain. Edgar Dale dalam penggolongan pengalaman
belajar mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah belajar melalui
pengalaman langsung. Dalam belajar melalui pengalaman langsung siswa tidak hanya
mengamati, tetapi ia harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan dan
bertanggung jawab terhadap hasilnya. Sebagai contoh seseorang yang belajar
membuat tempe yang paling baik apabila ia terlibat secara langsung dalam
pembuatan, bukan hanya melihat bagaimana orang membuat tempe, apalagi hanya
mendengar cerita bagaimana cara pembuatan tempe. Pembelajaran yang efektif
adalah pembelajaran yang menyediakan kesempatan belajar sendiri atau melakukan
aktivitas sendiri. Dalam konteks ini, siswa belajar sambil bekerja, karena dengan
bekerja mereka memperoleh pengetahuan, pemahaman, pengalaman serta dapat
24
mengembangkan keterampilan yang bermakna untuk hidup di masyarakat. Hal ini
juga sebagaimana yang di ungkapkan Jean Jacques Rousseau bahwa anak memiliki
potensi-potensi yang masih terpendam, melalui belajar anak harus diberi kesempatan
mengembangkan atau mengaktualkan potensi-potensi tersebut. Sesungguhnya anak
mempunyai
kekuatan
sendiri
untuk
mencari,
mencoba,
menemukan
dan
mengembangkan dirinya sendiri. Dengan demikian, segala pengetahuan itu harus
diperoleh dengan pengamatan sendiri, pengalaman sendiri, penyelidikan sendiri,
bekerja sendiri, dengan fasilitas yang diciptakan sendiri. Pembelajaran itu akan lebih
bermakna jika siswa "mengalami sendiri apa yang dipelajarinya" bukan "mengetahui"
dari informasi yang disampaikan guru, sebagaimana yang dikemukakan Nurhadi
bahwa siswa akan belajar dngan baik apabila yang mereka pelajari berhubungan
dengan apa yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa
terlibat aktif dalam proses belajar di sekolah. Berbagai sudut pandang para ahli
tersebut menunjukkan berapa pentingnya keterlibatan siswa secara langsung dalam
proses pembelajaran. Pentingnya keterlibatan langsung dalam belajar dikemukakan
oleh John Dewey dengan "learning by doing"-nya. Belajar sebaiknya dialami melalui
perbuatan langsung dan harus dilakukan oleh siswa secara aktif. Prinsip ini
didasarkan pada asumsi bahwa para siswa dapat memperoleh lebih banyak
pengalaman dengan cara keterlibatan secara aktif dan proporsional, dibandingkan
dengan bila mereka hanya melihat materi/konsep. Modus Pengalaman belajar adalah
sebagai berikut: kita belajar 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita
dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70%
25
dari apa yang kita katakan, dan 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan. Hal ini
menunjukkan bahwa jika guru mengajar dengan banyak ceramah, maka peserta didik
akan mengingat hanya 20% karena mereka hanya mendengarkan. Sebaliknya, jika
guru meminta peserta didik untuk melakukan sesuatu dan melaporkan nya, maka
mereka akan mengingat sebanyak 90%. Hal ini ada kaitannya dengan pendapat yang
dikemukakan oleh seorang filsof Cina Confocius, bahwa: apa yang saya dengar, saya
lupa; apa yang saya lihat, saya ingat; dan apa yang saya lakukan saya paham.
Berdasarkan kata-kata bijak ini kita dapat mengetahui betapa pentingnya keterlibatan
langsung dalam pembelajaran.
d. Pengulangan
Prinsip belajar yang menekankan perlunya pengulangan adalah teori psikologi
daya. Menurut teori ini belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia yang
terdiri atas daya mengamati, menanggap, mengingat, mengkhayal, merasakan,
berfikir dan sebagainya. Dengan mengadakan pengulangan maka daya-daya tersebut
akan berkembang, seperti halnya pisau yang selalu diasah akan menjadi tajam, maka
daya yang dilatih dengan pengadaan pengulangan-pengulangan akan sempurna.
Dalam proses belajar, semakin sering materi pelajaran diulangi maka semakin ingat
dan melekat pelajaran itu dalam diri seseorang. Mengulang besar pengaruhnya dalam
belajar, karena dengan adanya pengulangan "bahan yang belum begitu dikuasai serta
mudah terlupakan" akan tetap tertanam dalam otak seseorang. Mengulang dapat
secara langsung sesudah membaca, tetapi juga bahkan lebih penting adalah
26
mempelajari kembali bahan pelajaran yang sudah dipelajari misalnya dengan
membuat ringkasan. Teori lain yang menekankan prinsip pengulangan adalah teori
koneksionisme-nya Thordike. Dalam teori koneksionisme, ia mengemukakan bahwa
belajar ialah pembentukan hubungan antara stimulus dan respon, dan pengulangan
terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya respon benar.
e. Tantangan
Teori medan (Field Theory) dari Kurt Lewin mengemukakan bahwa siswa
dalam belajar berada dalam suatu medan. Dalam situasi belajar siswa menghadapi
suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu terdapat hambatan dalam mempelajari
bahan belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi hambatan itu dengan
mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila hambatan itu telah diatasi, artinya tujuan
belajar telah tercapai, maka ia akan dalam medan baru dan tujuan baru, demikian
seterusnya. Menurut teori ini belajar adalah berusaha mengatasi hambatan-hambatan
untuk mencapai tujuan. Agar pada diri anak timbul motif yang kuat untuk mengatasi
hambatan dengan baik, maka bahan pelajaran harus menantang. Tantangan yang
dihadapi dalam bahan belajar membuat siswa bersemangat untuk mengatasinya.
Bahan pelajaran yang baru yang banyak mengandung masalah yang perlu dipecahkan
membuat siswa tertantang untuk mempelajarinya. Penguatan positif dan negatif juga
akan menantang siswa dan menimbulkan motif untuk memperoleh ganjaran atau
terhindar dari hukuman yang tidak menyenangkan.
27
f. Penguatan
Prinsip belajar yang berkaiatan dengan balikan dan penguatan adalah teori
belajar operant conditioning dari B.F. Skinner.Kunci dari teori ini adalah hukum
effeknya Thordike, hubungan stimulus dan respon akan bertambah erat, jika disertai
perasaan senang atau puas dan sebaliknya bisa lenyap jika disertai perasaan tidak
senang. Artinya jika suatu perbuatan itu menimbulkan efek baik, maka perbuatan itu
cenderung diulangi. Sebaliknya jika perbuatan itu menimbulkan efek negatif, maka
cenderung untuk ditinggalkan atau tidak diulangi lagi. Siswa akan belajar lebih
semangat apabila mengetahui dan mendapat hasil yang baik. Apabila hasilnya baik
akan menjadi balikan yang menyenangkan dan berpengaruh baik bagi usaha belajar
selanjutnya. Namun dorongan belajar itu tidak saja dari penguatan yang
menyenangkan tetapi juga yang tidak menyenangkan, atau dengan kata lain adanya
penguatan positif maupun negatif dapat memperkuat belajar. Siswa yang belajar
sungguh-sungguh akan mendapat nilai yang baik dalam ulangan. Nilai yang baik itu
mendorong anak untuk belajar lebih giat lagi. Nilai
yang baik dapat
merupakan operan conditioning atau penguatan positif. Sebaliknya, anak yang
mendapat nilai yang jelek pada waktu ulangan akan merasa takut tidak naik kelas,
karena takut tidak naik kelas ia terdorong untuk belajar yang lebih giat. Di sini nilai
jelek dan takut tidak naik kelas juga bisa mendorong anak untuk belajar lebih giat,
inilah yang disebut penguatan negatif.
28
g. Perbedaan individual
Siswa merupakan makhluk individu yang unik yang mana masing-masing
mempunyai perbedaan yang khas, seperti perbedaan intelegensi, minat bakat, hobi,
tingkah laku maupun sikap, mereka berbeda pula dalam hal latar belakang
kebudayaan, sosial, ekonomi dan keadaan orang tuanya. Guru harus memahami
perbedaan siswa secara individu, agar dapat melayani pendidikan yang sesuai dengan
perbedaannya itu. Siswa akan berkembang sesuai dengan kemampuannya masingmasing. Setiap siswa juga memiliki tempo perkembangan sendiri-sendiri, maka guru
dapat memberi pelajaran sesuai dengan temponya masing-masing. Perbedaan
individual ini berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa. Karenanya, perbedaan
individu perlu diperhatikan oleh guru dalam upaya pembelajaran. Sistem pendidikan
kalsik yang dilakukan di sekolah kita kurang memperhatikan masalah perbedaan
individual, umumnya pelaksanaan pembelajaran di kelas dengan melihat siswa
sebagai individu dengan kemampuan rata-rata, kebiasaan yang kurang lebih sama,
demikian pula dengan pengetahuannya.
B. Hakikat Pembelajaran Matematika
1. Hakikat Matematika
Istilah matematika berasal dari kata Yunani “mathein” atau “manthenein” yang
artinya “mempelajari”. Mungkin juga, kata tersebut erat hubungannya dengan kata
Sansekerta “medha” atau “widya” yang artinya “kepandaian”, “ketahuan”, atau
29
“inteligensi”.7 Karena, dengan menguasai matematika orang akan dapat belajar untuk
mengatur jalan pemikirannya dan sekaligus belajar menambah kepandaiannya.
Dengan kata lain belajar matematika sama halnya dengan belajar logika, karena
kedudukan matematika dalam ilmu pengetahuan adalah sebagai ilmu dasar. Dengan
matematika kita dapat berlatih berfikir secara logis dan ilmu pengetahuan lainnya bisa
berkembang dengan cepat. Sehingga, untuk dapat berkecimpung di dunia sains,
teknologi, atau disiplin ilmu lainnya, langkah awal yang harus ditempuh adalah
menguasai matematika secara benar.
Morris Kline mengatakan bahwa matematika itu bukanlah pengetahuan
menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu
terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan
sosial, ekonomi, dan alam.8
Perlu diketahui, bahwa matematika itu berbeda dengan dengan disiplin ilmu
lainnya. Matematika mempunyai bahasa sendiri, yakni bahasa yang terdiri atas
simbol-simbol dan angka. Sehingga jika kita ingin belajar matematika dengan baik,
maka langkah yang harus ditempuh adalah kita harus menguasai bahasa pengantar
dalam matematika, harus berusaha memahami makna-makna di balik lambang dan
simbol tersebut. Bahasa matematika berusaha dan berhasil menghindari kerancuan
arti, karena setiap kalimat dalam matematika sudah memiliki arti tertentu.
7
Moch. Masykur dan Abdul Halim Fathani, Mathematical Intelligence. (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2007),hal. 42
8
Erman Suherman, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. (Universitas Pendidikan
Indonesia, 2003), hal 17
30
Matematika bukan saja menyampaikan informasi secara jelas dan tepat, melainkan
juga singkat. Suatu rumus yang ditulis dengan bahasa verbal membutuhkan rentetan
kalimat yang banyak sekali, dimana makin banyak kata-kata yang dipergunakan
makin besar pula peluang untuk terjadinya salah informasi dan salah interpretasi,
maka dalam bahasa matematika cukup ditulis dengan model yang sederhana sekali.
Dengan kata lain, ciri bahasa matematika adalah bersifat ekonomis, sebagaimana
yang dikemukakan Morris Kline.9
Komunikasi yang terjadi dalam matematika dapat terjadi, antara lain: 1) dunia
nyata, ukuran dan bentuk lahan dalam dunia pertanian (geometri), banyaknya barang
dan nilai logam dalam dunia bisnis dan perdagangan (bilangan), ketinggian pohon
dan bukit (trigonometri), kecepatan gerak benda angkasa (kalkulus), sensus dan data
kependudukan (statistika), dan sebagainya; 2) struktur abstrak dari suatu sistem,
antara lain struktur sistem bilangan (grup, ring), struktur penalaran (logika
matematika), dsb; 3) matematika sendiri, yaitu bentuk komunikasi yang digunakan
untuk pengembangan diri matematika yang disebut “metamatematika”.10
Courant dan robbin mengatakan bahwa untuk dapat mengetahui apa
matematika itu sebenarnya, seseorang harus mempelajari sendiri ilmu matematika itu,
yaitu dengan mempelajari mengkaji, dan mengerjakannya.11
9
Masykur, Mathematical Intelligence..., hal. 49
Ibid.,hal 51
11
Suherman, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer..., hal. 18
10
31
2. Pembelajaran Matematika di Sekolah
Matematika merupakan subyek yang sangat penting dalam sistem pendidikan di
seluruh dunia. Berdasarkan dari hasil penelitian di Indonesia, ditemukan bahwa
tingkat penguasaan peserta didik dalam Matematika pada semua jenjang pendidikan
masih sekitar 34%.12 Anggapan masyarakat, khususnya dikalangan pelajar,
matematika masih merupakan mata pelajaran sulit, membingungkan, bahkan sangat
ditakuti oleh sebagian besar pelajar.
Matematika, oleh sebagian besar siswa masih dianggap sebagai momok, ilmu
yang kering, teoetis, penuh dengan lambang-lambang, rumus-rumus yang sulit dan
sangat membingungkan. Akibatnya, matematika tidak lagi menjadi bagian yang
sangat subyektif dan kehilangan sifat netralnya. Repotnya lagi, kondisi tersebut
diperparah oleh sikap guru pengajar matematika yang sering berperilaku killer, galak,
mudah marah, suka mencela, monoton, dan terlalu cepat dalam mengajar.
Secara umum, tujuan diberikannya matematika di sekolah adalah untuk
mempersiapkan peserta didik agar bisa menghadapi perubahan kehidupan dan dunia
yang selalu berkembang dan sarat perubahan, melalui latihan bertindak atas dasar
pemikiran logis, rasional, dan kritis. Juga untuk mempersiapkan siswa agar dapat
bermatematika dalam kehidupan sehari-hari, mempelajari ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni (IPTEKS). Sedangkan penekanan tujuan umumnya pembelajaran
12
Masykur, Mathematical Intelligence..., hal. 34
32
matematika di sekolah adalah penataan nalar, pembentukan sikap siswa dan
keterampilan dalam penerapan ilmu matematika.13
Pembelajaran matematika di sekolah tidak bisa terlepas dari sifat-sifat
matematika yang abstrak dan sifat perkembangan intelektual siswa. Oleh karena itu
perlu memperhatikan beberapa sifat atau karakteristik pembelajaran matematika di
sekolah, yaitu:14
a. Pembelajaran matematika adalah bertahap
Bahan kajian matematika diajarkan secara berjenjang atau bertahap, yaitu
dimulai dari hal yang konkrit dilanjutkan ke hal yang abstrak, dan hal yang sederhana
ke hal yang kompleks. Bisa dikatakan dari konsep yang mudah menuju konsep yang
lebih sukar.
b. Pembelajaran matematika mengikuti metoda spiral
Dalam setiap memperkenalkan konsep atau bahan yang baru perlu
memperhatikan konsep atau bahan yang telah dipelajari siswa sebelumnya. Bahan
yang baru selalu dikaitkan dengan bahan yang telah dipelajari sekaligus untuk
mengingatkannya kembali. Metoda spiral bukanlah mengajarkan konsep dengan
pengulangan atau perluasan saja tetapi harus ada peningkatan.
c. Pembelajaran matematika menekankan pola pikir deduktif
Matematika adalah ilmu deduktif, matematika tersusun secara deduktif
aksiomatik. Namun deikian kita harus dapat memilih pendekatan yang cocok dengan
13
Ibid, hal. 36
Suherman, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer..., hal. 68-69
14
33
kondisi anak didik. Misalnya sesuai dengan perkembangan intelektual siswa di SLTP,
maka dalam pembelajaran matematika belum seluruhnya menggunakan pendekatan
deduktif tapi masih campur dengan induktif.
Sebagai contoh dalam pengenalan fungsi, tidak diawali oleh definisi fungsi
tetapi diawali dengan memberikan contoh-contoh relasi yang diantaranya ada yang
merupakan fungsi. Sehingga dari pengamatan contoh-contoh tersebut kelihatan
bedanya antara relasi biasa dengan relasi yang khusus yang disebut fungsi.
d. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi
Kebenaran dalam matematika sesuai dengan struktur deduktif aksiomatiknya.
Kebenaran-kebenaran dalam matematika pada dasarnya merupakan kebenaran
konsistensi, tidak ada pertentangan antara kebenaran suatu konsep dengan yang
lainnya. Suatu pernyataan dianggap benar bila didasarkan atas pernyataan-pernyataan
terdahulu yang telah diterima kebenarannya. Dalam pembelajaran matematika di
sekolah, meskipun ditempuh pola induktif tetapi generalisasi suatu konsep haruslah
tetap bersifat deduktif. Kebenaran konsistensi tersebut mempunyai nilai didik yang
sangat tinggi dan amat penting untuk pembinaan sumber daya manusia dalam
kehidupan sehari-hari.
Untuk dapat mendukung pelaksanaan pembelajaran matematika di sekolah,
harus disusun konsep kurikulum matematika yang digunakan secara jelas dan terarah
sehingga proses pembelajaran matematika dapat berjalan sesuai yang diharapkan.
Secara detail, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun
34
2006, dijelaskan bahwa tujuan pembelajaran matematika di sekolah adalah agar
peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:15
a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat
dalam pemecahan masalah,
b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika
dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan
pernyataan matematika,
c. Memecahkan masalah meliputi kemampuan memahami masalah, merancang
model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh,
d. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk
memperjelas masalah,
e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Menyelenggarakan proses pembelajaran matematika yang lebih baik dan
bermutu di sekolah adalah suatu keharusan yang tidak dapat ditawar lagi. Jika selama
ini matematika dianggap sebagai ilmu yang abstrak dan kering, penuh rumus-rumus
dan soal-soal, maka sudah saatnya bagi siswa untuk menjadi lebih akrab dan familier
dengan matematika.
15
Masykur, Mathematical Intelligence..., hal. 52-53
35
Pembelajaran matematika di sekolah dapat efektif dan bermakna bagi siswa jika
proses pembelajarannya guru dapat menghadirkan masalah-masalah kontekstual dan
realistik, yaitu masalah-masalah yang sudah dikenal, dekat dengan kehidupan seharihari siswa. Guru perlu mengajar dengan berbagai variasi metode pembelajaran,
sehingga setiap siswa merasakan disapa dan dikembangkan sesuai intelegensi
mereka. Terkait dengan itu, Zulkardi menjelaskan, menurut De Lange, masalah
kontekstual dapat digali dari: 1) situasi personal siswa, yaitu situasi yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari siswa, baik di rumah dengan keluarga, dengan teman
sepermainan dsb; 2) situasi sekolah atau akademik, yaitu situasi yang berkaitan
dengan kehidupan akademik di sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan
proses pembelajaran; 3) situasi masyarakat, yaitu situasi yang terkaitdengan
kehidupan dan aktivitas masyarakat sekitar di mana siswa tinggal, dan 4) situasi
saintifik atau matematik, yaitu situasi yang berkaitan dengan fenomena subtansi
secara saintifik atau berkaitan dengan matematika itu sendiri.16
Dalam proses pembelajaran matematika, siswa sering kali mengalami kesulitan
dengan aktivitas belajarnya. Oleh karena itu, guru perlu memberikan bantuan atau
dorongan kepada siswa dalam pembelajaran matematika. Dorongan merupakan
semua strategi yang digunakan guru dalam membantu usaha belajar siswa melalui
campur tangan yang bersifat memberi dukungan. Dorongan yang diberikan guru,
misalnya pemberian petunjuk kecil, pemberian model prosedur tugas, pemberitahuan
tentang kekeliruan dalam langkah pengerjaan soal, mengarahkan siswa pada
16
Ibid.,hal. 60-61
36
informasi tertentu, menawarkan sudut pandang lain dan usaha menjaga agar rasa
frustasi siswa terhadap tugas tetap berada pada tingkat yang masih dapat ditanggung.
Dorongan menjadi penanda interaksi sosial siswa dan guru yang mendahului
terjadinya internalisasi pengetahuan, keterampilan, dan disposisi, dan menjadi alat
pembelajaran
yang
dapat
mengurangi
keambiguan
sehingga
meningkatkan
kesempatan siswa mengalami perkembangan.
Angie menambahkan beberapa tips untuk membentuk situasi belajar yang
kondusif untuk anak, diantaranya:17
a. Lingkungan yang aman dan tidak mengancam anak.
b. Reward dan punishment sebaiknya tidak digunakan dalam belajar, keduanya
sukses digunakan untuk pembentukan kebiasaan namun bukan pada proses belajar.
c. Beri respon secepatnya saat anak tengah belajar matematika, orangtua tak hanya
berkomentar ketika menilai hasilnya.
d. Jangan sampai membuat anak tertekan, yang justru membuat anak menjadi sulit
mencerna dan memahami matematika.
e. Hindari menerapkan sistem pembelajaran konsolidasi, yang membuat anak belajar
menyelesaikan soal dengan cepat dengan menggunakan satu metode penyelesaian,
sehingga kemampuan anak tidak bertambah luas.
3.
Penilaian
Penilaian pembelajaran matematika ditekankan pada proses dan hasil berfikir.
Dalam proses berpikir perlu dilihat tata nalar, alasan (reasoning), dan kreativitas.
17
Ibid.,hal. 82-83
37
Proses dan hasil berpikir tersebut dinilai dari segi kelogisan, kecermatan, efisiensi,
dan ketepatan (efektivitas). Khusus kreatifitas dinilai dari segi keragamannya.
Penilaian pembelajaran perlu diusahakan menyeluruh dalam arti meliputi
“langkah kerja” dan “hasil kerja”. Tinggi rendahnya nilai didasarkan pada ragam
berikut.
a. Langkah benar, hasil benar
b. Langkah benar, hasil salah
c. Langkah salah, hasil benar
d. Langkah salah, hasil salah
Cara menilai dapat dilakukan antara lain melalui:
1) Pengamatan terhadap siswa sewaktu bekerja, mengajukan pertanyaan,
berdialogdengan siswa lain.
2) Mendengarkan dengan cermat apa yang sedang diperbicangkan siswa.
3) Mendengarkan secara cermat pendapat siswa.
4) Melalui tes.
Setelah mengadakan penilaian, tentunya akan ada dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama, proses pembelajaran matematika berhasil dengan baik.
Sedangkan kemungkinan kedua, sebaliknya, sehingga tindak lanjutnya adalah
perbaikan atau pengayaan. Program perbaikan ditujukan bagi siswa yang mengalami
kesulitan belajar sedangkan pengayaan ditujukan bagi siswa yang lebih cepat dan
berminat dengan pelajaran matematika. Untuk mengadakan program perbaikan, guru
38
perlu mendiagnosa kesulitan belajar siswa terlebih dahulu, kemudian mencari tahu
dimana letak kesulitannya.18
C. Model Pembelajaran Kooperatif
1. Hakikat Model Pembelajaran
Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari pada
strategi, metode atau prosedur. Joyce menyatakan bahwa setiap model pembelajran
mengarahkan kita mendesain pembelajaran untuk membantu peserta didik
sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Adapun Soekamto, dkk
mengemukakan maksud dari model pembelajaran adalah:
Kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematik dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan
berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar
dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Eggen dan Kauchak bahwa
model pembelajaran memberikan kerangka dan arah bagi guru untuk mengajar.
Model-model
pembelajaran
dapat
diklasifikasikan
berdasarkan
tujuan
pembelajarannya, sintaks (pola urutannya) dan sifat lingkungan belajarnya. Sintaks
(pola urutan) dari suatu model pembelajaran adalah pola yang menggambarkanurutan
alur tahap-tahap keseluruhan yang pada umumnya disertai dengan serangkaian
kegiatan pembelajaran. Sintaks dari suatu model pembelajaran tertentu menunjukkan
dengan jelas kegiatan-kegiatan apa yang harus dilakukan oleh guru atau siswa.
18
Suherman, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer...,hal. 71-72
39
Tiap-tiap model pembelajaran membutuhkan sistem pengelolaan
dan
lingkungan belajar yang sedikit berbeda. Misalnya, model pembelajaran kooperatif
memerlukan lingkungan belajar yang fleksibel seperti tersedia meja dan kursi yang
mudah dipindahkan. Pada model pembelajaran diskusi para siswa duduk di bangku
yang disusun secara melingkar atau seperti tapal kuda. Sedangkan model
pembelajaran langsung siswa duduk berhadap-hadapan dengan guru. Pada model
pembelajaran kooperatif siswa perlu berkomunikasi satu sama lain, sedangkan pada
model pembelajaran langsung, siswa harus tenang dan memperhatikan guru.
Menurut Joyce dan Weil model pembelajaran mempunyai lima unsur, yaitu: (1)
syntax, yaitu langkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system, adalah
suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of reaction,
menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan
merespon siswa, (4) support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan
belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5) instructional dan nurturant effects—
hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan yang disasar (instructional
effects) dan hasil belajar di luar yang disasar (nurturant effects).19
Arends menyeleksi enam model pembelajaran yang sering dan praktis
digunakan guru dalam mengajar yaitu: presentasi, pembelajaran langsung,
pembelajaran konsep, pembelajaran kooperatif, pembelajaran berdasarkan masalah,
dan diskusi kelas. Arends dan pakar model pembelajaran yang lain berpendapat,
I
Wayan
Santyasa,
“Model-Model
Pembelajaran
Inovatif”
http://www.freewebs.com/santyasa/pdf2/model-model pembelajaran, diakses 19 Mei 2012
19
dalam
40
bahwa tidak ada satu model pembelajaran yang paling baik diantara yang lainnya,
karena masing-masing model pembelajaran dapat dirasakan baik apabila telah
diujicobakan untuk mengajarkan materi pembelajaran tertentu. Dari beberapa model
pembelajaran yang ada, perlu kiranya diseleksi model pembelajaran mana yang sesuai
untuk mengajarkan suatu materi tertentu.20
2. Pembelajaran Kooperatif (cooperative learning)
Pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa
belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang
anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang
bersifat heterogan. Abdulhak menjelaskan bahwa “pembelajaran kooperatif
dilaksanakan melalui sharing proses antara peserta belajar, sehingga dapat
mewujudkan pemahaman bersama antara peserta belajar itu sendiri.”21 Dalam
pembelajaran kooperatif siswa pandai mengajar siswa kurang pandai tanpa merasa
dirugikan. Siswa kurang pandai dapat belajar dalam suasana yang menyenangkan
karena banyak teman yang membantu dan memotivasinya. Menurut Priyanto, Siswa
yang sebelumnya terbiasa bersikap pasif, setelah menggunakan pembelajaran
kooperatif akan terpaksa berpartisipasi secara aktif agar bisa diterima oleh anggota
kelompoknya.22
20
Iif Khoiru Ahmadi dan Sofan Amri, PAIKEM GEMBROT: Mengembangkan Pembelajaran
Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan, Gembira dan Berbobot. (Jakarta: PT. Prestasi
Pustakaraya, 2011), hal. 7-11
21
Rusman. Model-Model Pembelajaran. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), hal. 203
22
Made Wena. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. (Jakarta : PT. Bumi Aksara,
2011), hal. 189
41
Menurut Thompson, dkk., dalam pembelajaran kooperatif, siswa belajar
bersama dalam kelompok-kelmpok kecil yang saling membantu satu sama lain.23
Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 6 siswa, dengan kemampuan
yang heterogen. Maksud kelompok heterogen adalah terdiri dari campuran
kemampuan siswa, jenis kelamin, dan suku. Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa
menerima perbedaan dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya.
Dalam model ini siswa memiliki dua tanggung jawab, yaitu mereka belajar untuk
dirinya sendiri dan membantu sesama anggota kelompok untuk belajar. Pembelajaran
kooperatif mewadahi bagaimana siswa dapat bekerja sama dalam kelompok, tujuan
kelompok adalah tujuan bersama.
Dalam pembelajaran ini akan tercipta sebuah interaksi yang lebih luas, yaitu
interaksi dan komunikasi yang dilakukan antara guru dengan siswa, siswa dengan
siswa, siswa dengan guru (multy way traffic comunication).
Model Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang banyak
digunakan dan menjadi perhatian serta dianjurkan oleh para ahli pendidikan. Hal ini
dikarenakan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Slavin dinyatakan
bahwa: (1) penggunakan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi
belajar siswa dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial, menumbuhkan
sikap toleransi, dan menghargai pendapat orang lain, (2) pembelajaran kooperatif
dapat memenuhli kebutuhan siswa dalam berfikir kritis, memecahkan masalah, dan
23
Umi Kulsum. Implementasi Pendidikan Karakter Berbasisa PAIKEM. (Surabaya: Gena
Pratama Pustaka, 2011), hal. 81
42
mengintegrasikan penetahuan dengan pengalaman. Dengan alasan tersebut, model
pembelajaran kooperatif diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran.24
Menurut Slavin ada tiga konsep penting pada pembelajaran kooperatif yaitu:
(1) Penghargaan kelompok, yang akan diberikan jika kelompok berhasil melampaui
kriteria tertentu yang telah ditetapkan.
(2) Tanggung jawab individual maksudnya, bahwa kesuksesan kelompok tergantung
pada pembelajaran individual dari semua anggota kelompok. Tanggung jawab ini
berfokus pada kegiatan anggota kelompok dalam membantu satu sama lain untuk
belajar dan memastikan bahwa setiap anggota kelompok telah siap menghadapi
evaluasi atau mengerjakan kuis tanpa bantuan yang lain.
(3) Kesempatan sukses yang sama maksudnya, bahwa semua siswa memberi
kontribusi kepada kelompoknya dengan cara meningkatkan belajar mereka dari
yang sebelumnya. Hal ini memastikan bahwa siswa dengan prestasi tinggi,
sedang dan rendah sama-sama tertantang untuk melakukan yang terbaik dan
bahwa kontribusi dari semua anggota kelompok ada nilainya.25
Jika kelompok memperoleh nilai diatas kriteria yang ditentukan dalam hal hasil yang
dicapai, proses pencapaian hasil dengan kerjasama yang baik dalam kelompok, akan
diberikan penghargaan. Pertanggungjawaban individu menitikberatkan pada aktivitas
anggota kelompok yang saling membantu dan kerjasama dalam belajar. Setelah
24
Rusman. Model-Model Pembelajaran..., hal. 206
Robert E. Slavin, Cooperatve Learning : Teori, Riset dan Praktik, (Bandung: Nusa Media,
2008), hal. 10
25
43
proses ini, diharapkan para siswa akan mandiri dan siap menghadapi tes-tes
selanjutnya. 26
Menurut Roger dan David Johnson ada lima unsur dasar dalam pembelajaran
kooperatif (cooperative learning), yaitu sebagai berikut:
(1)Ketergantungan positif (positive interdependence), yaitu dalam pembelajaran
kooperatif, keberhasilan dalam penyelesaian tugas tergantung pada usaha yang
dilakukan oleh kelompok tersebut. Keberhasilan kerja kelompok ditentukan oleh
kinerja masing-masing anggota kelompok.
(2)Tanggung jawab perseorangan (individual accountability), yaitu keberhasilan
kelompok sangat tergantung dari masing-masing anggota kelompoknya. Oleh
karena itu, setiap anggota kelompok mempunyai tugas dan tanggung jawab yang
harus dikerjakan dalam kelompok tersebut.
(3)Interaksi tatap muka (face to face promotion interction), yaitu memberikan
kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka
melakukan interaksi dan diskusi untuk saling memberi dan menerima informasi
dari anggota kelompok lain.
(4)Partisipasi dan komunikasi (participation communication), yaitu meltih siswa
untuk dapat berpartisipasi aktif dan berkomunikasi dalam kegiatan pembelajaran.
26
Buchari Alma, Hari Mulyadi, Girang Razati, B Lena Nuryati S. Guru Profesional. (Bandung:
Alfabeta, 2009), ha. 82
44
(5)Evaluasi proses kelompok, yaitu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok
untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerjasama mereka dengan
lebih efektif.27
Prosedur atau langkah-langkah pembelajaran kooperatif pada prinsipnya terdiri
dari empat tahap, yaitu sebagai berikut:
1. Penjelasan Materi, tahap ini merupakan tahapan penyampaian pokok-pokok
materi pembelajaran sebelum siswa belajar dalam kelompok. Tujuan utama
tahapan ini adalah pemahaman siswa terhadap pokok materi pelajaran.
2. Belajar Kelompok, tahapan ini dilakukan setelah guru memberikan penjelassan
materi, siswa bekerja dalm kelompok yang telah dibentuk sebelumnya.
3. Penilaian, dalma pembelajaran kooperatif bisa dilakukan melalui tes atau kuis,
yang dilakukan secara individu atau kelompok. Tes individu akan memberikan
penilaian kemampuan individu, sedangkan kelompok akan memberikan penilaian
pada kemampuan kelompoknya, seperti dijelaskan Sanjaya. “Hasil akhir setiap
siswa adalah penggabungan keduanya dan dibagi dua. Nilai setiap kelompok
memiliki nilai sama dalam kelompoknya. Hal ini disebabkan nilai kelompok
adalah nilai bersama dalam kelompoknya yang merupakan hasil kerjasama setiap
anggota kelompoknya.”
4. Pengakuan tim, adalah penetapan tim yang dianggap paling berprestasi untuk
kemudian diberikan penghargaan atau hadiah, dengan harapan dapat memotivasi
tim untuk terus berprestasi lebih baik lagi.28
27
Rusman, Model-Model Pembelajaran..., hal. 212
45
Dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja, namun
siswa juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut
keterampilan kooperatif. Keterampilan ini berfungsi untuk melancarkan hubungan,
kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan mengembangkan
komunikasi antar anggota kelompok, sedangkan peranan tugas dilaakukan dengan
membagi tugas antar anggota kelompok selama kegiatan.
Ada tiga bentuk keterampilan kooperatif sebagaimana diungkapkan oleh
Lundgren, yaitu:
1) Keterampilan kooperatif tingkat awal
Meiputi: (a) menggunakan kesepakatan, (b) menghargai kontribusi, (c)
mengambil giliran dan berbagi tugas, (d) berada dalam kelompok, (e) berada
dalam tugas, (f) mendorong partisipasi, (g) mengundang orang lain untuk
berbicara, (h) menyelesaikan tugas pada waktunya, (i) menghormati perbedaan
individu.
2) Keterampilan kooperatif tingkat menengah
Meliputi: (a) menunjukkan penghargaan dan simpati, (b) mengungkapkan
ketidaksetujuan dengan cara yang dapat diterima, (c) mendengarkan dengan
aktif, (d) bertanya, (e) membuat ringkasan, (f) menafsirkan, (g) mengatur dan
mengorganisir, (h) menerima tanggung jawab (i) mengurangi ketegangan.
28
Ibid., hal. 212-213
46
3) Keterampilan kooperatif tingkat mahir
Meliputi: (a) mengelaborasi, (b) memeriksa dengan cermat, (c) menanyakan
kebenaran, (d) menetapkan tujuan, (e) berkompromi.29
Terdapat enam langkah utama atau tahap di dalam pelajaran yang menggunakan
pembelajaran kooperatif, pelajaran dimulai dengan guru menyampaikan tujuan
pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti oleh penyajian
informasi, sering kali dengan bahan bacaan daripada secara verbal. Selanjutnya siswa
dikelompokkan ke dalam tim-tim belajar. Tahap ini diikuti bimbingan guru pada saat
siswa bekerja bersama untuk menyelesaikan tugas. Fase terakhir presentasi hasil
akhiir kerja kelompok, atau evaluasi tentang apa yang telah mereka pelajari dan
memberi penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu.
D. Make A Match
Make a match merupakan salah satu jenis dari metode dalam pembelajaran
kooperatif. Metode ini dikembangkan oleh Lorna Curran.30 Salah satu keunggulan
teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai konsep atau topik,
dalam suasana yang menyenangkan. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata
pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik. Hal-hal yang perlu dipersiapkan
jika pembelajaran dikembangkan dengan make a match adalah kartu-kartu. Kartukartu tersebut terdiri dari kartu berisi pertanyaan-pertanyaan dan kartu-kartu lainnya
29
Ibid., hal. 210-211
Ibid.,hal. 223
30
47
berisi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Langkah-langkah dalam metode
ini yaitu :
a. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang
cocok untuk sesi review (persiapan menjelang tes atau ujian).
b. Setiap siswa mendapat satu buah kartu.
c. Setiap siswa memikirkan jawaban atas soal dari kartu yang dipegang.
d. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan
kartunya (soal/jawaban).
e. Siswa bisa juga bergabung dengan dua atau tiga siswa lain yang memegang kartu
yang cocok. Misalnya, pemegang kartu 3+9 akan membentuk kelompok dengan
pemegang kartu 3× 4 dan 6 × 2. 31
f. Setiap siswa yang dapat mencocokan kartunya sebelum batas waktu diberi poin.
g. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar setiap siswa mendapat kartu yang
berbeda dari sebelumnya.
h. Guru dan siswa membuat kesimpulan terhadap materi pelajaran.
Peneliti berpendapat bahwa teknik dalam model pembelajaran model
pembelajaran kooperatif tipe make a match yang dikembangkan Lorna Curran kurang
efektif untuk diterapkan di kelas yang jumlah siswanya banyak karena akan
menimbulkan kegaduhan yang luar biasa. Kegaduhan yang mungkin terjadi pada saat
mencari kartu jawaban. Sehinggkma peneliti memodifikasi teknik tersebut dalam
31
Anita Lie, Cooperative Laerning Mempraktikan Cooperative Learning di Ruang-Ruang
Kelas. (Jakarta: PT. Grasindo, 2005), hal. 73
48
kelompok kecil beranggotakan 4 anak. Dengan demikian peneliti memodifikasi
teknik yang dikemukakan Lorna Curran. Langkah-langkah model pembelajaran
kooperatif tipe make a match setelah dimodifikasi menjadi sebagai berikut:
a.
Guru menyiapkan kartu soal yang berisi soal sebanyak jumlah siswa dalam satu
kelompok.
b.
Guru membagikan kartu soal kepada masing-masing kelompok, kemudian siswa
diberi waktu secukupnya (dikondisikan) untuk berdiskusi mencari jawaban atas
kartu soal yang diterima sedangkan kartu jawaban diletakkan di meja di depan
kelas. Siswa menuliskan hasil penyelesaiannya dan dikumpulkan bersama kartu
jawabannya.
c.
Siswa
diminta
untuk
mempertanggungjawabkan
jawabannya
dengan
menjelaskan hasil pekerjaannya di depan kelas.
d.
Siswa yang mendapat nilai tertinggi akan mendapatkan reward.
Menurut Isjoni, keunggulan dari make a match yaitu: 32
1) Siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam
suasana yang menyenangkan. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata
pelajaran dan untuk semua tingkatan usia.
2) Bertukar pasangan, teknik ini memberi siswa kesempatan untuk bekerja sama
dengan siswa lain. Pasangan bisa ditunjuk oleh guru atau berdasarkan mencari
pasangan.
32
http://etd.eprint.ums.ac.id/14029/6/BAB_II.pdf, diakses 19 Mei 2012
49
Selain mempunyai keunggulan, make a match juga mempunyai kelemahan yaitu: 33
1) Diperlukan bimbingan dari guru untuk melakukan kegiatan.
2) Waktu yang tersedia perlu dibatasi jangan sampai siswa bermain-main dalam
pembelajaran.
3) Guru perlu persiapan alat dan bahan yang memadai.
Pada penerapan metode make a match, diperoleh beberapa temuan bahwa
metode make a match dapat memupuk kerjasama siswa dalam menjawab pertanyaan
dengan mencocokan kartu yang ada di tangan mereka, proses pembelajaran lebih
menarik. Hal ini merupakan suatu ciri dari pembelajaran kooperatif seperti yang
dikemukakan Lie bahwa, “Pembelajaran kooperatif ialah pembelajaran yang
menitikberatkan pada gotong royong dan kerja sama kelompok. Penerapan metode
make a match juga dapat membangkitkan keingintahuan dan kerja sama diantara
siswa serta mampu menciptakan kondisi yang menyenangkan. Hal ini sesuai dengan
tuntutan dalam KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) bahwa pelaksanaan
proses pembelajaran mengikuti standar kompetensi, yaitu berpusat pada siswa,
mengembangkan keingintahuan dan imajinasi, memiliki semangat mandiri, bekerja
sama dan kompetensi, menciptakan kondisi yang menyenangkan, mengembangkan
beragam kemampuan dan pengalaman belajar sesuai karakteristik mata pelajaran.34
Nurani, “Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match” dalam http://nuranimustintin.blogspot.com/Pembelajaran kooperatif tipe make a match, diakses tanggal 23 Mei 2012
34
Tarmizi Ramadhan, “ Pembelajaran kooperatif
Make A Match” dalam
http://tarmizi.wordpress.com/2008/12/03/pembelajaran-kooperatif-make-a match, diakses tanggal 19
Mei 2012
33
50
Dalam kegiatan-kegiatan yang menyenangkan siswa merasa lebih termotivasi untuk
belajar dan berfikir.
E. Hasil Belajar
1. Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar sering kali digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui seberapa
jauh seseorang menguasai bahan yang sudah diajarkan. Hasil belajar merupakan
pencapaian tujuan pendidikan pada siswa yang mengikuti proses belajar mengajar.
Hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap
dan tingkah lakunya.35
Menurut Nana Sudjana dalam bukunya Penilaian Hasil Proses Belajar
Mengajar mendefinisikan, “Hasil Belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimilki
siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.” Gagne mengklasifikasi hasil belajar
menjadi lima, yaitu keterampilan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal,
ketrampilan psikomotor, dan sikap. Dari lima klasifikasi ini tiga diantaranya
termasuk ranah kognitif, yaitu keterampilan intelektual, informasi verbal, dan strategi
kognitif. 36
Pendapat yang lain tentang hasil belajar ini dikemukakan Howard Kingsley
membagi tiga macam hasil belajar, yakni: “(1) Keterampilan dan kebiasaan, (2)
pengetahuan dan pengertian, (3) sikap dan cita-cita yang masing-masing golongan
dapat diisi dengan bahan yang ditetapkan dalam kurikulum sekolah. Sedangkan
35
Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar..., hal. 45
H. Nashar, Peranan Motivasi..., hal. 79
36
51
Norman E. Gronloud mengatakan: Hasil belajar sangat berguna baik bagi siswa
maupun bagi guru pengelola pendidikan. Hasil belajar dapat disumbangkan untuk
meningkatkan belajar siswa dengan cara: 1. Menjelaskan hasil belajar yang
dimaksud, 2. Melengkapi tujuan pendek untuk waktu yang akan datang, 3.
Memberikan umpan balik terhadap kemajuan belajar, 4. Memberikan informasi
tentang kesulitan belajar, sehingga dapat dipergunakan untuk memilih pengalaman
belajar yang akan datang.
Penggolongan hasil belajar menurut RM. Gagne berkaitan dengan persyaratanpersyaratan yang diperlukan untuk dapat melaksanakan kegiatan belajar dengan baik,
kondisi internal dan eksternal, dan Benyamin S. Bloom pengkategorian hasil belajar
tersebut diperlukan dalam rangka perumusan tujuan pembelajaran. Sedangkan
Howard Kingsley menetapkan macam-macam hasil belajar untuk kebutuhan dalam
menetapkan bahan ajaran dalam kurikulum suatu sekolah maupun penyusunan satuan
pelajaran atau persiapan mengajar untuk kegiatan pembelajaran di kelas. Dengan
berdasarkan kategori hasil belajar sebagaimana diuraikan di atas, ternyata rumusan
tujuan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan pembelajaran yang dianut dalam sistem
kurikulum sekolah sejak tahun 1975 hingga kurikulum pendidikan dasar 1994
menggunakan klasifikasi tujuan dan hasil belajar dari Benjamin S. Bloom yang secara
garis besar terdiri dari tiga domain atau ranah, yaitu ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor. 37
37
Ibid., hal. 80-81
52
Jadi hasil belajar itu adalah merupakan hasil dari perubahan tingkah laku yang
diperoleh individu sebagai tujuan dari perbuatan belajar yang dilakukannya. Hasil
belajar itu meliputi semua aspek perilaku (aspek kognitif, afektif, dan psikomotor).38
Untuk mengetahui sejauh mana proses belajar mengajar mencapai tujuan
pembelajaran yang diharapkan, maka perlu diadakan tes hasil belajar. Tes hasil
belajar adalah tes yang digunakan untuk menilai hasi-hasil pelajaran yang telah
diberikan guru kepada peserta didiknya, dalam jangka waktu tertentu. Untuk
keperluan evaluasi proses belajar mengajar, dapat digunakan tes yang telah
distandardisasikan (standarized test), maupun test buatan guru sendiri (teacher-made
test).
Standarized test adalah test yang telah mengalami proses standardisasi, yakni
proses validitas dan reliabilitas, sehingga tes tersebut benar-benar valid dan reliabel
untuk suatu tujuan. Sedangkan tes buatan guru sendiri adalah suatu test yang disusun
oleh guru sendiri untuk mengevaluasi keberhasilan proses belajar mengajar. Test
buatan guru sendiri ini biasanya terbatas pada kelas atau satu sekolah sebagai suatu
kelompok pemakainya.39
Bentuk tes yang sering dipakai dalam proses belajar mengajar pada hakikatnya
dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) tes lisan, 2) tes tertulis, 3) tes
38
Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar..., hal 43
Harjanto, Peencanaan Pengajaran. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hal. 278-280
39
53
perbuatan/tindakan. Bentuk tes tertulis secara umum dapat dibagi lagi menjadi dua
kelompok, yaitu: a) tes essay, b) tes obyektif.
2. Tipe Hasil Belajar
Menurut Nana Sudjana, tujuan pendidikan yang ingin dicapai dalam suatu
pengajaran terdiri dari 3 macam yaitu: bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Ketiga aspek tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan yang harus
nampak sebagai hasil belajar.
(1) Tipe hasil belajar bidang kognitif
Tingkat hasil belajar kognitif dari yang paling rendah sampai paling tinggi yang
dikemukakan oleh Bloom adalah sebagai berikut:40
a. Pengetahuan, menekankan pada proses
mental
dalam mengingat
dan
mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah siswa peroleh secara
tepat sesuai dengan apa yang telah mereka peroleh sebelumnya.
b. Pemahaman, berhubungan dengan penguasaan atau mengerti tentang sesuatu.
c. Penerapan, kemampuan kognitif untuk memahami aturan, hukum, rumus dan
sebagainya dan menggunakan untuk memecahkan masalah.
d. Analisis, kemampuan untuk memilah sebuah struktur informasi ke dalam
komponen sedemikian hingga hirarki dan keterkaitan antar idea dalam informasi
tersebut menjadi tampak dan jelas.
40
Suherman, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer...,hal. 224
54
e. Sintesis, kemampuan memahami dengan mengorganisasikan bagian-bagian ke
dalam kesatuan
f. Evaluasi, kemampuan membuat penilaian dan mengambil keputusan dari hasil
penilaiannya.
(2) Tipe hasil belajar afektif
Bidang
afektif
disini
berkenaan
dengan
sikap.
Bidang
ini
kurang
diperhatikanoleh guru, tetapi lebih menekankan bidang kognitif. Hal ini didasarkan
pada pendapat beberapa ahli yang mengatakan, bahwa sikap seseorang dapat
diramalkan perubahannya, bila seseorang telah menguasai bidang kognitif tingkat
tinggi.
Beberapa tingkatan bidang afektif sebagai tujuan dan tipe hasil belajar dari yang
sederhana ke yang lebih komplek yaitu:
a. Receiving atau attending, yakni semacam kepekaan dalam menerima rangsangan
dari luar yang datang pada siswa, baik dalam bentuk masalah situasi dan gejala.
b. Responding atau jawaban, yakni reaksi yang diberikan seseorang terhadap
stimulus dari luar.
c. Valuing atau penilaian, yakni berhubungan dengan nilai dan kepercayaan
terhadap stimulus.
55
d. Organisasi, yakni pengembangan nilai ke dalam system organisasi, termasuk
menentukan hubungan satu nilai dengan nilai lainnya dan kemantapan prioritas
yang dimilikinya.
e. Karakteristik nilai atau internalisasi, yakni keterpaduan dari semua nilai yang
dimiliki seseorang yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya.
(3) Tipe hasil belajar bidang psikomotor
Hasil belajar bidang psikomotorik tampak dalam bentuk keterampilan,
kemampuan bertindak individu. Ada 6 tingkatan ketrampilan yaitu:
a. Gerakan refleks yaitu keterampilan pada gerakan tidak sadar.
b. Keterampilan pada gerakan-gerakan dasar.
c. Kemampuan pesreptual termasuk di dalamnya membedakan visual , adaptif,
motorik, dan lain-lain.
d. Kemampuan di bidang fisik, misalnya kekuatan keharmonisan dan ketetapan.
e. Gerakan-gerakan skill, mulai dari dari ketrampilan sederhana sampai pada
ketrampilan yang kompleks.
f. Kemampuan yang berkenaan dan komunikasi non decorsive seperti gerakan
ekspresif, interpretative.
56
F. Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match pada
Materi Segitiga
Materi segitiga diberikan pada siswa kelas VII SLTP semester 2. Pembelajaran
tentang geometri ini dapat mengembangkan pemahaman siswa terhadap dunia sekitar.
Kemampuan tentang pengenalan bangun datar ini sudah mulai dikenalkan kepada
siswa sejak sekolah dasar sampai sekolah menengah. Oleh karena itu, dalam setiap
pembelajaran guru memperhatikan penguasaan materi prasyarat yang diperlukan.
Dalam setiap pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan masalah yang
kontekstual.
Siswa akan tertarik untuk mempelajari bangun datar jika mereka terlibat secara
aktif dalam kegiatan pembelajaran , baik secara individu maupun kelompok.
Salah satu upaya yang dilakukan peneliti untuk meningkatkan hasil belajar
belajar siswa dalam mempelajari segitiga adalah model pembelajaran kooperatif tipe
make a match. Dengan pembelajaran ini diharapkan siswa dapat menguasai konsep
segitiga. Dengan menguasai konsep tersebut maka hasil belajar siswa diharapkan
dapat meningkat.
Pembelajaran materi ini dengan menggunakan metode kooperatif tipe make a
match dilaksanakan sebagai berikut:
1. Guru memberikan sedikit materi tentang segitiga.
2. Siswa diminta menyebutkan contoh segitiga yang ada di lingkungan kita.
57
3. Guru membimbing siswa menemukan jenis-jenis segitiga serta rumus luas dan
kelilingnya.
4. Guru memberikan contoh soal tentang materi yang telah disampaikan.
5. Setelah materi selesai, guru membentuk kelompok heterogen untuk review.
6. Guru memberikan kartu soal kepada tiap-tiap kelompok.
7. Siswa diberi waktu untuk berdiskusi dengan kelompok dan guru memantau serta
memotivasi siswa agar peran-peran tim benar-benar dilaksanakan serta
memberikan bantuan seperlunya.
8. Siswa mencari kartu jawaban sesuai dengan jawaban yang telah didiskusikan.
Siswa harus menyertakan penyelesaian setiap soal yang telah ditemukan kartu
jawabannya.
9. Guru menunjuk siswa secara acak untuk mengerjakan soal ke papan. Hal itu
dilakukan memastikan bahwa semua siswa telah menguasai materi.
10. Guru memberikan penegasan dan kesimpulan.
11. Sebagai kegiatan akhir guru memberikan hadiah kepada kelompok terbaik serta
memberikan motivasi kepada kelompok lain.
G. Tinjauan Materi Segitiga
Sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), materi bangun
datar segitiga diajarkan pada kelas VII SMP / MTs pada semester genap. Dalam
materi ini nantinya diharapkan siswa mampu mengidentifikasi jenis-jenis segitiga,
58
menghitung sudut dalam dan sudut luar segitiga dan siswa mampu menghitung luas
dan kelilingnya.41
1. Mengidentifikasi jenis-jenis segitiga
Berdasarkan panjang sisinya, ada 3 macam yaitu:
a. Segitiga sebarang, yaitu segitiga yang sisi-sisinya tidak sama panjang. Pada
C
gambar berikut, AB  BC  AC.
A
B
b. Segitiga sama kaki, yaitu segitiga yang mempunyai dua buah sisi sama
panjang. Gambar dibawah segitiga sama kaki ABC dengan AB=BC.
C
B
A
c. Segitiga sama sisi, yaitu segitiga yang memiliki tiga buah sisi sama panjang
dan tiga buah sudut sama besar. Segitiga ABC pada gambar di bawah ini
merupakan segitiga sama sisi.
A
41
C
B
Dewi Nuharini, Matematika Konsep dan Aplikasinya untuk Kelas VII SMP dan MTs,
(Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hal. 233-249
59
Berdasarkan besar sudutnya, ada 3 jenis segitiga yaitu:
a. Segitiga lancip, yaitu segitiga yang ketiga sudutnya merupakan sudut lancip.
Besar sudut lancip yaitu antara 0°dan 90°. Pada gambar dibawah ketiga sudut
pada  ABC adalah sudut lancip.
C
B
A
b. Segitiga tumpul, yaitu segitiga yang salah satu sudutnya merupakan sudut
tumpul. Besar sudut tumpul yaitu antara 90  180 . Pada  ABC dibawah
ini,  ABC adalah sudut tumpul.
C
A
B
c. Segitiga siku-siku, yaitu segitiga yang salah satu sudutnya merupakan sudut
siku-siku. Besar sudut siku-siku yaitu 90 . Pada gambar di bawah ini  ABC
siku-siku di titik C.
C
A
B
60
2. Mengidentifikasi sifat-sifat segitiga istimewa.
a. Segitiga siku-siku.
Besar salah satu sudut pada segi tiga siku-siku adalah 90
b. Segitiga sama kaki
 Segitiga sama kaki dapat dibentuk dari dua buah segitiga siku-siku yang
sama besar dan sebangun.
 Segitiga sama kaki mempunyai dua buah sisi yang sama panjang dan dua
buah sudut yang sama besar.
 Segitiga sama kaki mempunyai sebuah sumbu simetri.
c. Segitiga sama sisi
 Segi tiga sama sisi mempunyai tiga buah sisi yang sama panjang dan tiga
buah sudut yang sama besar.
 Setiap segitiga sama sisi mempunyai tiga sumbu simetri
3. Untuk setiap segitiga, jumlah besar sudut-sudutnya = 180 0
Besar sudut luar segitiga adalah jumlah sudut dalam segitiga yang bukan pelurus.
4. Menghitung keliling segitiga.
Keliling ∆ ABC = AB + BC + AC
 cab
 abc
61
Jadi, keliling ∆ ABC adalah:
K  abc
5. Menghitung luas segitiga.
Luas setiap segitiga 
1
alas x tinggi
2
Jika diketahui luas = L cm 2 , alas = a cm, dan tinggi = t cm, maka:
𝐿=
1
𝑎×𝑡
× 𝑎 × 𝑡 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝐿 =
2
2
Segitiga Berdasarkan Besar Sudut
Segitiga
Berdasarkan Panjang
Sisi
Lancip
Siku-siku
Tumpul
Sama sisi
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Sama kaki
Ada
Ada
Ada
Sebarang
Ada
Ada
Ada
Download