BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Escalation of Commitment Oleh Brockner (1992) eskalasi komitemen didefinisikan sebagai tendensi oleh pengambil keputusan untuk bertahan atau mengeskalasi serangkaian tindakan yang gagal. Kanodia et al. (1989) menjabarkan eskalasi sebagai keputusan manajer yang tidak rasional karena meskipun tidak sadar secara langsung maupun tak langsung manajer cenderung mengabaikan kepentingan perusahaan dan lebih mementingkan kepentingan ekonomi pribadinya. Eskalasi komitmen yang tidak rasional (nonrational escalation of commitment) digunakan untuk menunjukkan keadaan dimana individu membuat keputusan yang tidak rasional berdasarkan keputusan rasional masa lalu atau untuk membenarkan tindakan yang dilakukan. Staw dan Ross (1978) menunjukkan persepsi, pemahaman dan keyakinan sebelumnya menyatakan investasi menguntungkan tetapi bukti selanjutnya menunjukkan kinerja investasi merosot. Staw dan Ross (1991) mengelompokkan faktor-faktor yang menyebabkan eskalasi komitmen yaitu faktor proyek, psikologi, sosial dan struktural/organisasional 2.2. Pengaruh personality dan perilaku escalation of commitment Perilaku seseorang bisa diprediksi dengan menggunakan sifat kepribadian seseorang (personality). Menurut Barrick dan Mount (2005) Sifat merupakan hal dasar dari kepribadian individu yang melandasi pemikiran, perasaan, dan perilaku seseorang. Konsep personality yang sering digunakan dalam penelitian saat ini 4 adalah The Big Five Personality (McCrae dan Costa, 1987). Digunakanya konsep tersebut dikarenakan konsep ini mampu menonjolkan ciri-ciri suatu kepribadian dan mampu diaplikasikan pada kultur yang berbeda. Dimensi Big Five tidak mencerminkan perspektif teoritis tertentu, tetapi merupakan hasil dari analisis bahasa alami manusia dalam menjelaskan dirinya sendiri dan orang lain (John & Srivastava, 1999). Perbedaan individu yang paling mendasar digambarkan hanya dengan satu istilah yang terdapat pada setiap bahasa (Pervin, et. al, et.al, 2005). Konsep tersebut membagi kepribadian menjadi openness to experience, conscientiousness, extraversion, agreeableness, dan neuroticism. Menurut Goldberg (1990), individu yang memiliki sifat Openness to experience (O) adalah mereka yang bersifat ingin tahu, berwawasan luas, imajinatif, reflektif, terbuka dengan berbagai cara-cara baru. Orang yang memiliki keperibadian seperti ini mampu menyelesaikan masalah dalam waktu singkat, informasi terbatas, dan ketidakpastian yang tinggi (McAdams dan Pals, 2006; Denissen dan Penke, 2008). Menurut Maharani (2013) Keterbukaan terhadap pengalaman (Openess) mendeskripsikan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas mental individual dan kehidupan eksperiensial. Auditor dengan kepribadian openness to experience akan mampu mengatasi stres kerja hal ini dikarenakan auditor memiliki inovasi, kecerdasan, dan teknik-teknik baru dalam memecahkan sehingga mengurangi peluang terjadinya perilaku disfungsional (Rustiarini, 2010). Manajer investasi yang memiliki kepribadian openness akan cenderung tidak melakukan escalation of commitment. Hal ini akan lebih baik lagi untuk 5 mendukung individu yang memiliki kepribadiann openness to experience untuk tidak melakukan tindakan tidak rasional. H1a: Individu yang memiliki sifat Openness to experience cenderung tidak melakukan escalation of commitment. Menurut Previn, et.al. (2005), individu dengan sifat Conscientiousness tinggi dikarakteristikkan sebagai individu yang terorganisir, bertanggungjawab, praktis, peduli dan pekerja keras. Tanda pribadi yang memiliki kepribadian tersebut adalah adanya sifat-sifat seperti dapat diandalkan, rajin, disiplin, memiliki kompetensi dan tanggung jawab (Goldberg, 1990). Conscientiousness pada dasarnya mendeskripsikan perilaku berorientasi tugas dan tujuan dan control impuls yang dipersyaratkan secara sosial (Pervin, et. al, 2005). Seseorang dengan kepribadian Conscientiousness yang tinggi memiliki motivasi yang kuat untuk bekerja (Zimmerman, 2008) dan individu tersebut biasanya berorientasi pada tugas (Ashton and Lee, 2007). Dalam konteks ini Manajer investasi yang memiliki kecenderungan untuk tidak melakukan escalation of commitment apabila memiliki kepribadian conscientiousness karena mempertimbangkan kelangsungan karirnya jangka panjang. H1b: Individu yang memiliki sifat Conscientiousness cenderung tidak melakukan escalation of commitment. Sifat kepribadian extraversion menurut Pervin, et. al (2005) dikarakteristikan dengan senang berbicara, tegas, suka tantangan, energik, berani. Judge et al. (2002) menyatakan bahwa memiliki sifat banyak bicara, energik, semangat, memiliki emosi yang positif, menyukai tantangan, mudah bergaul, serta 6 cepat beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Manajer yang memiliki kepribadian suka tantangan dan berani ini akan cenderung mengambil keputusan dengan resiko daripada menghindari resiko. Sehingga lebih berani melakukan escalation of commitment. H1c: Individu yang memiliki sifat Extraversion cenderung melakukan escalation of commitment. Pervin, et. al (2005) menyatakan bahwa Agreeableness dikarakteristikkan sebagai peribadi yang baik hati, kooperatif, tidak egois, dapat dipercaya, dermawan. Goldberg (1990) mendeskripsikan pribadi tersebut sebagai pribadi yang menyenangkan, memiliki rasa toleransi dan memaafkan yang tinggi, perhatian, serta kooperatif. Agreeableness identik dengan penciptaan hubungan baik dengan meminimalisir konflik interpersonal, memelihara kerjasama, dan melakukan negosiasi untuk menyelesaikan konflik (Graziano dan Tobin, 2002). Individu dengan sifat agreeableness identik dengan keinginan untuk memelihara kerjasama dan meminimalkan konflik interpersonal. Keinginan untuk memelihara kerjasama tersebut justru memperkuat hubungan stress kerja dan perilaku disfungsional. Manajer investasi adalah pihak yang berperan dalam pelaksanaan escalation of commitment, apabila individu tersebut memiliki berkepribadian agreeableness akan cenderung tidak melakukan escalation of commitment karena individu ini cenderung tidak ingin melakukan konflik antara tim manajemen perusahaan dan direksi perusahaan. H1d: Individu yang memiliki sifat Agreeableness cenderung tidak melakukan escalation of commitment. 7 Individu dengan sifat neuroticism cenderung bersifat tegang, labil, tidak puas dan emosi tinggi (Pervin, et. al, 2005). Orang dengan sifat ini lebih mudah terasa tertekan, tegang dan khawatir. Menurut Lieshout (2002), orang dengan keperibadian tersebut lebih suka mendominasi. Walaupun keperibadian ini lebih cenderung pada keperibadian tidak dikehendaki namun dampaknya terhadap perilaku etis hampir sama dengan pribadi dengan sifat agreeblenes. Sehingga orang yang memiliki kepribadian neuroticism akan mendukung tindakan tidak rasional seperti escalation of commitment. Hal ini dikarenakan manajer yang memiliki sifat ini akan mudah merasa tertekan dan tegang apabila ditekan oleh atasan merekan, dalam hal ini direksi perusahaan, ketika dituntut untuk membuat kondisi perusahaan baik. H1e: Individu yang memiliki sifat Neuroticism cenderung melakukan escalation of commitment. 2.3. Insentif dan personality Govindarajan dan Anthony (2003) menyatakan bahwa insentif bisa positif dan negatif. Insentif yang positif atau reward adalah suatu hasil yang meningktkan kepuasan dari kebutuhan individu. Sedangkan insentif negatif atau punishment adalah suatu hasil yang mengurangi kepuasan individu. Kelly (2010) menyatakan individual incentive sebagai penganugrahan kepada partisipan jika keputusanya akurat. Penelitian teori agensi menyatakan bahwa penggunakaan insentif keuangan mungkin akan menyebabkan manajer mengambil tindakan jangka pendek dan mengesampingkan konsekuensi jangka panjang. Hal ini dikarenakan manajer sebagai agen perusahaan mungkin memiliki horison waktu yang pendek terhadap 8 perusahaan dibanding prinsipal (Dikolli, 2001; Lewellen et el., 1987). Penerapan insentif tidak merubah sikap yang mendasari tingkah laku, mereka semata-mata dan hanya kadang-kadang saja merubah apa yang kita lakukan; insentif hanya memotivasi orang untuk memperoleh reward (Kohan, 1993). Ungson dan Steers (1984) menyatakan bahwa hubungan antara kompensasi dengan kinerja kurang konsisten dan menjadi sebuah kontrovesi. Kusuma (2004) dalam penelitianya menemukan bukti dimana kompensasi (Bonus dan pinalti) meningkatkan kecenderungan untuk melanjutkan tindakan yang disfungsional. Kusuma (2004) mengatakan bahwa ketika kompensasi diperkenalkan, semua manajer akan meningkatkan tendensi mereka untuk melanjutkan proyek. Hal ini dikarenakan mereka berfikir jika mereka menghentikan projek, maka mereka tidak akan mendapatkan apa-apa. Oleh karena itu dirumuskan hipoteis kedua: H2a: Insentif akan memperlemah hubungan sifat Openness to experience terhadap escalation of commitment. H2b: Insentif akan memperlemah hubungan sifat Conscientiousness terhadap escalation of commitment H2c: Insentif akan memperkuat hubungan sifat Extraversion terhadap escalation of commitment. H2d: Insentif akan memperlemah hubungan sifat Agreeableness terhadap escalation of commitment. H2e: Insentif akan memperkuat hubungan sifat Neuroticism terhadap escalation of commitment. 9