DISKURSUS TEORETISASI KONFLIK , RESOLUSI KONFLIK Konflik

advertisement
DISKURSUS TEORETISASI KONFLIK , RESOLUSI KONFLIK
Konflik merupakan konsep sosial yang sering dimaknai secara berbeda, bahkan pluralitas
makna konflik ini membuatnya menjadi ambigu. Setidaknya pandangan seperti ini diwakili oleh
dua perspektif perubahan sosial. Pertama, persepektif struktural fungsional cenderung
memandang konflik sebagai gejala patologi sosial yang disebabkan oleh ketidakharmonisan dari
sub sistem dalam proses adaptasi menuju perubahan. Pandangan ini menyatakan bahwa sumber
konflik terjadi karena salah satu sub-sistem tidak berfungsi. sehingga konflik difahami sebagai
penghambat perubahan social. Dan pada akhirnya perspektif struktural fungsional memandang
konflik sebagai gejala yang traumatik dan perlu dihindari.1
Kedua, perspektif kelas cenderung memandang konflik sebagai gejala yang sehat dalam
masyarakat, bahkan menunjukkan berjalannya fungsi dari sub sistem masyarakat. Sehingga
konflik bukan sebagai gejala patologi, bahkan sebagai gejala dinamika dalam proses perubahan.
Energi konflik inilah yang dianggap sebagai embrio perubahan, bahkan jika konflik tidak ada
dalam masyarakat justru ini yang merupakan masyarakat yang tidak sehat.
Kajian tentang konflik merupakan kajian yang sudah sangat lama dan sangat kaya.
Berbagai konstruksi teori telah dimunculkan dari yang paling sederhana sampai yang paling
kompleks. Simon Fisher (dkk) melakukan identifikasi sebab-sebab terjadinya konflik dalam 6
ranah besar; pertama, teori hubungan masyarakat. Teori ini menjelaskan bahwa konflik terjadi
karena polarisasi yang senantiasa terjadi dalam masyarakat yang kemudian menimbulkan
ketidakpercayaan, permusuhan. Kedua, teori negosiasi prinsip, menganggap bahwa konmflik
disebabbkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh
fihak-fihak yang mengalami konflik. Ketiga, teori kebutuhan massa, berasumsi bahwa konflik
yang berakar sangat dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia, baik fisik, mental atau
sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Issue yang mengemuka adalah keamanan, identitas,
pengakuan, partisipasi dan otonomi. Keempat, teori identitas berasumsi bahwa konflik
disebabkan karena identitas yang terancam oleh fihak lain. Kelima, teori kesalahfahaman
budaya, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan daam cara berkomunikasi di
antara berbagai budaya yang berbeda. Dan yang keenam adalah teori transformasi konflik yang
Lihat dalam uraian menarik tentang pendekatan-pendekatan ini dalam Nasikun, Mohtar Mas’oed, Sosiologi Politik,
Yogyakarta, PAU UGM, 1995
1
berasumsi bahwa konflik diseabbkan oleh masalah-masalah ketidakselarasan dan ketidakadilan
yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan otonomi. 2
Unit analisis terjadinya konflik antara masyarakat atau etnis dengan negara dapat
dipetakan dalam 2 kategori besar; pertama, konflik domestik belaka yang tidak kemudian
berimbas dengan proses pemisahan secara politik ataupun teritorial. Kedua, konflik antara negara
dengan masyarakat atau etnis yang berimplikasi terhadap proses pemisahan diri dari negara.
Kategori yang kedua ini kemudian menjadi diskursus konflik dalam wacana separatisme.3
Jeffrey Z Rubin (dkk) melakukan studi untuk mengidentifikasi variabel yang bisa
mendorong ekskalasi konflik ataupun sebaliknya.
periods of rapidly expanding achievement, ambiguity about relative power, individious
comparasion, status inconsistency, weaking normative consensus, zero sum thinking,
communication among group members, the availabilty of leadership. Sedangkan faktor yang bisa
meredakan konflik adalah; consensus about norms. Lack of informations about others
attainments. Physical and psychological segregation, existence of a strict status system, social
mobility, physical and social barriers to communication, removal of actual or potential
leadership and blocking outside support4
Variabel yang sangat sering dipergunakan untuk mengurangi ekskalasi konflik adalah
dengan melakukan perjanjian yang melibatkan fihak ketiga, agar kelompok yang sebelumnya
tidak mau diajak perundingan kemudian mempertimbangkan fihak ketiga sebagai instrumen
yang bisa menyelesaikan masalah bersama. William Zartman mengusulkan variabel negosiasi
preventif melibatkan pihak ketiga dengan mempertimbangkan stakes, attitude, tactic (masalah,
cara mensikapi masalah dan taktik yang dilakukan) guna mengurangi ekskalasi konflik.5 Peranan
mediasi fihak ketiga inilah yang seringkali diyakini akan mampu memoderatkan tuntutan
separatisme menjadi otonomi atau bentuk konsesi politik lainnya.
2
Simon Fisher dkk, Mengelola Konflik; Ketrampilan dan Strategi Untuk Bertindak, Jakarta, The British Council,
2004
3
WolterS. Jones, The Logics of International Relation, New York, 2002
4
Lihat dalam Jeffrey Z.Rubin, Dean G. Pruitt, Sung Hee Kim, Socail Conflict: Escalation, Stalmate and Settlement,
New York, McGraw-Hill, 1994
5
I. William Zartman, Preventive Negotiation: Avoiding Conflict Escalation, New York, Rowman & Littlefield
Publishers Inc, 2002
Dalam literasi hubungan internasional konflik menurut John Spanier6 bisa dipilah dalam
beberapa hal: Pertama, konflik dalam area high-politics. Jenis konflik ini terjadi lebih
berlandaskan pada issue-issue keamanan, idiologi dan gejala persaingan antar negara yang
bersifat prestise-politik baik yang bersifat global, regional maupun nasional, bahkan sub
nasional. Ada kecenderungan konflik semacam ini akan
menghasilkan pola penyelesaian zero-sum-game. Yakni
1) Luasnya konflik,
yakni semakin luas
konflik maka harus
mutlak dan kalah mutlak, sehingga dalam tataran issue ini
didekati dari banyak sisi.
merupakan gejala either and or.
2) Intensitas konflik,
yakni semakin intens
Kedua, konflik dalam area low politics.7 Konflik ini
konflik maka harus
terjadi lebih didasarkan pada issu-issue ekonomi, sosial,
didekati dengan resolusi
budaya, teknologi, lingkungan, dan gejala persaingan antar
yang juga intens. 3)
Ketampakan konflik,
negara cenderung bersifat pragmatisme politik, sehingga
semakin ketampakan
dalam batas tertentu ini merupakan perpanjangan gejala
tinggi juga harus
merkantilisme pada masa klasik. Ada kecenderungan konflik
didekati dengan
penyelesaian
semacam ini akan menghasilkan pola penyelesaian non-zero-sumformulasi
game. Yakni
permainan yang
yang lebih jelas atau
permainan yang akan menghasilkan aktor yang menanng
memungkinkan terjadi tawar-menawar, sehingga akan tercipta formula kompromi antara fihak
manifest
yang bersengketa. Kompromi inilah yang kemudian akan menjadi resolusinya, sehingga Charles
Tilly menyatakan konflik semacam ini merupakan gejala issue more and less.
Studi yang mencoba mengeksplanasi tentang penyebab timbulnya kekerasan dan konflik
telah dilakukan secara akumulatif, baik oleh Ted Gurr8 dengan teori deprivasi relatifnya, maupun
Smelser9 dengan aspek yang mendukung terciptanya konflik. Teori yang lebih mutakhir
mencoba menjelaskan konflik dari sisi inherensi dan kontigensinya. Teori ini dikemukakan oleh
Henry Eickstein10 yang menyatakan terdapat sejumlah konflik yang terjadi lebih didasarkan
karena terdapatnya persoalan internal yang kemudian ditansformasikan ke luar.
Hal serupa juga telah disampaikan oleh Wolter S. Jones yang dinyatakan dalam bentuk
lain dengan penciptaan integrasi bersama melalui penciptaan musuh bersama. Dari sisi
6
John Spanier, Games Nations Playing, New York, 1992
Ibid.,
8
Ted Gurr, Why Men Rebel, New Jersey, princenton Unicersity Press, 1970, hal. 24
9
Lihat dalam Neil Smelser, Theory of Collective Behaviour, New York. The Free Press, 1971, hal. 79
10
Lihat dalam Harry Eickstein, Internal War Problems and Approaches, London, The Free Press of Glencoe Collier
Macmillan, 1964, hal. 142
7
kontigensi lebih disebabkan karena terciptanya milieu atau lingkungan yang akan membentuk
konflik. Jadi konflik lebih disebabkan oleh persoalan ekternal yang dalam batas tertentu sebagai
hasil rekayasa dari fihak lain, atau dikondusifkan secara struktural oleh lingkungan. Smelser
maupun Jones tampaknya juga telah mengidentifikasinya dalam literasi sebelumnya.
Literasi yang mencoba menformulasikan resolusi konflik pernah dibangun oleh Coob
dan Elder11 yang memetakan konflik dari 1) Luasnya konflik, yakni semakin luas konflik maka
harus didekati dari banyak sisi. 2) Intensitas konflik, yakni semakin intens konflik maka harus
didekati dengan resolusi yang juga intens. 3) Ketampakan konflik, semakin ketampakan tinggi
juga harus didekati dengan formmulasi penyelesaian yang lebih jelas atau manifest.
Studi ini kemudian dikembangkan oleh William Ury12 yang mencoba menciptakan
resolusi konflik dengan memberikan barrier agar ekskalasi konflik berjalan dengan lambat
sehingga mudah diselesaikan. Setidak terdapat 3 langkah yang bisa dijalankan: 1) Secara proaktif
melakukan aktivitas resolusi konflik untuk menyalurkan ketegangan yang bersifat laten. 2)
Segera menyelesaikan konflik yang muncul dipermukaan 3) Upaya pembendungan terhadap
segala macam kekuatan perrtahanan yang potensial menyebabkan konflik.
11
Lihat Roger Cobb dan Charles Elder, Participation in American Politics: The Dynamics of Agenda-Building,
Allyn and Bacon, Boston, 1972
12
William Ury, Getting to Peace: Transforming Conflict at Home, at Work and in the World, New York, 1999
Download