BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Preparasi dan

advertisement
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Preparasi dan Aplikasi Nanopartikel Perak
a. Hasil Preparasi Nanopartikel Perak
Sintesis nanopartikel perak dilakukan menggunakan metode
reduksi. Larutan AgNO3 direduksi menggunakan natrium sitrat
(C6H5O7Na3) dan polivinil alkohol (PVA) sebagai agen penstabil.
Koloid nanopartikel perak yang terbentuk berupa larutan berwarna
kuning kecokelatan seperti terlihat pada Gambar 6. Reaksi kimia yang
terjadi adalah sebagai berikut (Haryono dan Harmami, 2010) :
4Ag+(aq) + C6H5O7Na3(aq) + 2H2O(l)
4Ag0(s) + C6H5O7H3(aq) + 3Na+(aq) + H+(aq)+ O2(g)
(1)
Gambar 6. Koloid Nanopartikel Perak
Karakterisasi larutan AgNO3 dan nanopartikel perak dilakukan
menggunakan Spektrofotometer UV-Vis. Hasil spektrum UV-Vis
pada Gambar 7 (a) menunjukkan absorbansi larutan perak nitrat 10-3
M sebesar 2,897 pada panjang gelombang 219 nm. Gambar 7 (b)
39
merupakan hasil spektrum UV-Vis koloid nanopartikel perak yang
telah dipreparasi. Dua puncak muncul di panjang gelombang 429 nm
dan 219 nm pada spektra ini. Puncak absorbansi yang muncul pada
panjang gelombang 429 nm dengan absorbansi 0,333 menunjukkan
bahwa ion Ag+ telah direduksi menjadi Ag0. Adapun puncak pada 219
nm menunjukkan masih adanya kandungan ion Ag+ yang belum
tereduksi menjadi Ag0 pada koloid tersebut. Hasil ini sesuai dengan
penelitian Solomon (2007).
(a)
(b)
Gambar 7. Spektrum UV-Vis: (a) Larutan AgNO3 1x10-3 M dan
(b) Nanopartikel Perak Hasil Preparasi
40
Nanopartikel perak yang telah dipreparasi dapat diaplikasikan
pada sampel. Serat poliester ukuran 10cm x 10cm dicelupkan dalam
koloid nanopartikel perak selama 24 jam dan diputar menggunakan
shaker pada kecepatan 150 rpm. Kemudian, serat poliester
dikeringkan dalam oven dengan suhu 70oC hingga kering. Serat
poliester yang telah terdeposit nanopartikel perak berubah warna
menjadi lebih cokelat seperti pada Gambar 8.
(a)
(b)
Gambar 8. (a) Serat Poliester (b) Serat Poliester Terdeposit
Nanopartikel Perak
b. Analisis Gugus Fungsi
Tabel 1. Hasil Analisis Gugus Fungsi Sampel P
No
Bilangan Gelombang (cm-1)
Gugus Fungsi
1
3416,67
-OH alkohol
2
2962,50
C-H ulur
3
1716,34
Karbonil ulur
4
1233,34
C-O tekuk
5
1016,19
C-O ulur
6
719,92
C-H goyang
41
Data hasil analisis gugus fungsi berupa spektrum IR seperti
Gambar 9 yang menunjukkan hasil analisis gugus fungsi sampel P dan
P-Ag. Berdasarkan interpretasi spektrum IR, serat poliester memiliki
serapan pada beberapa bilangan gelombang seperti pada Tabel 1.
(a)
(b)
Gambar 9. Spektrum IR : (a) Sampel P dan (b) Sampel P-Ag
Hasil intepretasi spektrum IR menunjukkan bahwa pada
sampel P dan P-Ag mengandung gugus –OH alkohol, C-H ulur, C=O
ulur, C-O tekuk C-O ulur dan C-H goyang. Seperti pada Tabel 2,
42
gugus –OH alkohol muncul pada bilangan gelombang 3417,12 cm-1
yang diperkuat dengan dua serapan C-O pada bilangan gelombang
1261,93 dan 1018,13 cm-1. Dua serapan gugus C-H juga muncul pada
2958,33 dan 719,92 cm-1. Gugus karbonil menunjukkan serapan pada
1720,32 cm-1.
No
Tabel 2. Hasil Analisis Gugus Fungsi P-Ag
Bilangan Gelombang (cm-1)
Gugus Fungsi
1
3417,12
-OH alkohol
2
2958,33
C-H ulur
3
1720,32
Karbonil ulur
4
1261,93
C-O tekuk
5
1018,13
C-O ulur
6
719,92
C-H goyang
2. Hasil Modifikasi Serat Poliester Terdeposit Nanopartikel Perak
Menggunakan Senyawa HDTMS
Modifikasi permukaan serat poliester dan serat poliester
terdeposit nanopartikel perak menggunakan senyawa HDTMS
dilakukan dengan metode pencelupan. Pencelupan menggunakan
HDTMS dalam etanol 4% dilakukan selama 60 menit dengan
kecepatan 150 rpm. Setelah pencelupan, sampel dikeringkan dalam
oven dengan suhu 80oC selama 10 menit dilanjutkan dengan reaksi
curing selama 60 menit dengan suhu 110oC.
Berhasilnya pelapisan HDTMS pada permukaan serat poliester
dan serat poliester terdeposit nanopartikel perak ditandai dengan
adanya serapan gugus Si-O-Si, gugus Si-C dan gugus alkil pada
43
spektra IR. Gambar 10 menunjukkan spektrum IR sampel P-HDTMS
dan P-Ag-HDTMS. Tabel 3 menunjukkan interpretasi spektrum IR
untuk sampel P-HDTMS dan P-Ag-HDTMS.
(a)
(b)
Gambar 10. Spektrum IR : (a) Sampel P-HDTMS (b) Sampel P-Ag-HDTMS
Tabel 3 menunjukkan puncak khas yang muncul pada sampel
P-HDTMS dan P-Ag-HDTMS. Beberapa gugus fungsi baru
membedakan antara karakterisasi sebelum dan sesudah penambahan
HDTMS. Spektrum IR P-HDTMS dan P-Ag-HDTMS menunjukkan
adanya gugus –OH alkohol, Si-O-Si, C-O ulur, C-H goyang, C-H ulur,
C=O, dan Si-C. Perbedaan pada hasil spektra IR sampel P-HDTMS
44
dan P-Ag-HDTMS adalah terletak pada daerah sidik jari. Intensitas
pita serapan gugus fungsi karbonil, –OH alkohol dan C-H alifatik
poliester
mengalami
penurunan
bila
dibandingkan
sebelum
penambahan senyawa HDTMS. Senyawa HDTMS mempengaruhi
serapan pada beberapa gugus fungsi pada poliester.
Tabel 3. Hasil Analisis Gugus Fungsi pada P-HDTMS dan P-AgHDTMS
P-HDTMS
P-Ag-HDTMS
Bilangan
Gugus
Bilangan
Gugus Fungsi
Gelombang (cm-1)
Fungsi
Gelombang (cm-1)
3275,61
-OH alkohol
3278,91
-OH alkohol
2838,07
C-H ulur
2838,00
C-H ulur
1088,38
Si-O-Si
1087,98
Si-O-Si
1710,13
C=O
1710,22
C=O
813,18
Si-C
813,14
Si-C
-
Ag
518,47
Ag
3. Hasil Pengukuran Diameter Penghambatan Sampel terhadap
Bakteri Escherichia coli ATCC 35218
Gambar 11. Pengamatan Mikroskopis Bakteri : Escherichia coli
ATCC 35218 (Perbesaran 10 x 10)
45
Gambar
11.
merupakan
Escherichia coli ATCC 35218
pengecatan
gram.
Pengamatan
hasil
pengamatan
bakteri
secara mikroskopik dengan
mikroskopis
terhadap
bakteri
Escherichia coli ATCC 35218 dilakukan dengan pengecatan gram.
Kemudian
diamati
menggunakan
mikroskop
cahaya
dengan
perbesaran 10 x 10. Bakteri Escherichia coli ATCC 35218 sebagai
bakteri gram negatif berukuran seragam dan berwarna kemerahan.
Bakteri ini termasuk dalam golongan bakteri berbentuk batang.
P
N
P-Ag
(a)
P-HDTMS
N
P-Ag-HDTMS
(b)
Gambar 12. Zona Bening pada: (a) Modifikasi Menggunakan Nanopartikel
Ag (b) Modifikasi Nanopartikel Ag dan HDTMS
46
Zona bening di sekitar sampel digunakan sebagai parameter uji
aktivitas antibakteri. Zona bening terbentuk disebabkan oleh
pertumbuhan bakteri yang terhambat di area tersebut karena adanya
aktivitas antibakteri atau senyawa tertentu yang menyebabkan matinya
bakteri di area tersebut. Semakin besar zona bening mengindikasikan
sampel semakin efektif menghambat pertumbuhan bakteri. Gambar 12
menunjukkan zona bening yang terbentuk pada sampel. Zona bening
diukur tiap tiga jam menggunakan jangka sorong. Tabel 4 merupakan
data hasil pengukuran diameter zona bening pada uji aktivitas
antibakteri sampel poliester terhadap bakteri Escherichia coli ATCC
35218.
Tabel 4. Aktivitas Antibakteri Sampel Poliester terhadap Bakteri
Escherichia coli ATCC 35218
Sampel
Diameter Zona Bening pada Pengamatan pada Jam ke- (cm)
30
48
51
54
72
75
78
24
27
P-Ag
0,157
0,171
0,201
0,258
0,283
0,294
0,293
0,279
0,269
0,222
P
0,002
0,002
0,002
0,001
0,001
0,002
0,001
0,003
0,002
0,001
0,148
0,178
0,236
0,250
0,304
0,270
0,226
0,224
0,220
0,186
0,046
0,061
0,091
0,099
0,094
0,090
0,083
0,081
0,081
0,081
P-AgHDTM
S
PHDTM
S
96
Gambar 13 memperlihatkan bahwa aktivitas antibakteri
terendah merupakan sampel P dan aktivitas tertinggi dimiliki oleh
sampel
P-Ag.
Secara
umum,
grafik
menunjukkan
adanya
kecenderungan aktivitas antibakteri sampel poliester meningkat
seiring dengan lamanya inkubasi. Diameter zona hambat sampel P-Ag
47
tertinggi
terjadi
pada
pada
jam
ke-60.
Sampel
P-HDTMS
memperlihatkan peningkatan aktivitas antibakteri terjadi hingga
inkubasi 48 jam. Namun setelah melewati jam ke-48 terlihat
penurunan hasil dan cenderung stabil. Mulai jam ke-90 zona bening
Diameter Zona Bening
(cm)
pada sampel P-Ag-HDTMS mulai stabil.
0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
P-Ag
P
P-Ag-HDTMS
P-HDTMS
2427304851545760636669727578818487909396
Pengamatan Jam ke-
Gambar 13. Grafik Aktivitas Penghambatan Bakteri Escherichia coli
ATCC 35218
4. Hasil Pengukuran Diameter Penghambatan Sampel terhadap
Bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923
Gambar 14. Pengamatan Mikroskopis Bakteri Staphylococcus aureus
ATCC 25923 (Perbesaran 10x10)
48
Seperti bakteri Escherichia coli ATCC 35218, pengecatan gram
juga dilakukan pada bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923.
Gambar 14 merupakan hasil pengamatan bakteri Staphylococcus aureus
ATCC 25923 secara mikroskopik dengan pengecatan gram. Bakteri
Staphylococcus aureus ATCC 25923 merupakan bakteri gram positif
sehingga memiliki warna ungu. Bentuk dari bakteri ini bulat dan
biasanya bergerombol sehingga terlihat seperti anggur.
N
P-Ag
P
(a)
N
P-AgHDTMS
P-HDTMS
(b)
Gambar 15. Zona Bening pada: (a) Modifikasi Menggunakan
Nanopartikel Ag (b) Modifikasi Nanopartikel Ag dan
HDTMS
49
Pengamatan zona bening dilakukan hingga jam ke-96. Tabel 5
merupakan data hasil pengukuran diameter zona bening pada uji
aktivitas antibakteri sampel poliester terhadap bakteri Staphylococcus
aureus ATCC 25923. Gambar 15 menunjukkan zona bening yang
terbentuk di sekitar sampel. Semakin besar zona bening yang terbentuk
maka aktivitas antibakterinya semakin tinggi.
Tabel 5. Aktivitas Antibakteri terhadap Bakteri Staphylococcus aureu
ATCC 25923
Sampel
Pengamatan pada Jam ke72
48
51
54
75
78
96
0,303
0,286
0,284
0,281
0,116
0,092
0,097
0,094
0,071
0,156
0,169
0,142
0,152
0,152
0,141
0,021
0,013
0,011
0,011
0,011
0,011
24
27
30
P-Ag
0,203
0,219
0,297
0,324
0,360
0,394
P
0,062
0,062
0,063
0,074
0,085
0,097
0,119
0,180
0,151
0,007
0,007
0,010
0,016
P-AgHDTMS
PHDTMS
Gambar 16 memperlihatkan bahwa aktivitas antibakteri terendah
ditunjukkan oleh sampel P-HDTMS dan aktivitas tertinggi ditunjukkan
oleh sampel P-Ag. Secara umum, grafik menunjukkan aktivitas
antibakteri sampel poliester cenderung meningkat seiring dengan
lamanya inkubasi. Diameter zona hambat sampel P-Ag tertinggi terjadi
pada pada jam ke-60. Sampel P-Ag-HDTMS menunjukkan aktivitas
antibakteri lebih tinggi dibandingkan sampel P.
50
Diameter zona Bening (cm)
0.5
0.4
0.3
P-Ag
0.2
P
0.1
P-Ag-HDTMS
P-HDTMS
0
2427304851545760636669727578818487909396
Pengamatan Jam ke-
Gambar 16. Grafik Aktivitas Penghambatan Bakteri Staphylococcu
aureus ATCC 25923
5. Hasil Uji Hidrofobisitas
(a)
(b)
(c )
(d)
Gambar 17. Sudut Kontak yang Terbentuk (a) Sampel P; (b) Sampel P-Ag;
(c) Sampel P-HDTMS; (d) Sampel P-Ag-HDTMS
Pengukuran sudut kontak dilakukan untuk menentukan sifat
hidrofobisitas (antiair) keempat sampel. Semakin besar sudut antara
permukaan sampel dengan cairan yang diteteskan di atasnya
menunjukkan bahwa sampel memiliki hidrofobisitas yang semakin
51
besar pula. Gambar 17 memperlihatkan sudut kontak yang terjadi pada
keempat sampel. Hasil pengukuran sudut kontak pada keempat sampel
menunjukkan bahwa sampel P-HDTMS memiliki sudut kontak paling
besar dan diikuti oleh sampel P-Ag-HDTMS, sampel P, dan sampel PAg seperti yang tersaji dalam Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Pengukuran Sudut Kontak Sampel Poliester
Sampel
Sudut Kontak
P
105,5o
P-Ag
96,5o
P-HDTMS
114,5o
1090
P-Ag-HDTMS
6. Uji Statistika
Hasil data pengukuran diameter zona bening pada sampel
poliester terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus
diuji secara statistik untuk mengetahui ada tidaknya hubungan aktivitas
antibakteri poliester terhadap perlakuan atau modifikasi, waktu
inkubasi, dan jenis bakteri. Tabel 7 memperlihatkan hasil uji ANOVA
pada perbandingan data pengukuran diameter zona bening yang
terbentuk terhadap jenis perlakuan atau jenis sampel. Nilai variasi
antar kelompok pada Tabel 7 lebih besar dari variasi dalam kelompok,
maka dapat diartikan terdapat hubungan antara aktivitas antibakteri
dengan perlakuan pada sampel poliester. Hal ini ditunjukkan dengan
sigma yang bernilai 0,00 (p < 0,05).
52
Tabel 7. Hasil Uji ANOVA Jenis Sampel terhadap Diameter Zona
Hambat (a) Escherichia coli ATCC 35218 dan (b)
Staphylococcus aureus ATCC 25923
Jumlah Kuadrat
db
Rata-rata Kuadrat
Antar Kelompok
0,867
3
0,289
Dalam Kelompok
0,077
76
0,001
Total
0,944
F
Sig.
286.939 0,000
79
(a)
Jumlah Kuadrat
db
Rata-rata Kuadrat
Antar Kelompok
0,942
3
0,314
Dalam Kelompok
0,058
76
0,001
Total
1,000
79
F
Sig.
408.932 0,000
(b)
Adapun
Tabel
8
merupakan
hasil
uji
ANOVA
pada
perbandingan data pengukuran diameter zona bening yang terbentuk
terhadap waktu inkubasi. Sigma pada Tabel 8 bernilai 1 (p > 0,05),
sehingga dapat diartikan tidak terdapat hubungan antara aktivitas
antibakteri sampel poliester dengan waktu inkubasi. Uji lanjut LSD
tidak dilakukan pada perbandingan data pengukuran diameter zona
bening yang terbentuk terhadap waktu inkubasi karena tidak
memperlihatkan adanya hubungan.
Uji lanjutan LSD dilakukan untuk mengetahui perbedaanperbedaan antar keempat jenis sampel. Data yang akan diuji
menggunakan LSD harus dinyatakan berbeda secara signifikan pada
uji ANOVA untuk mendapatkan hasil uji yang valid. Tabel 9
memperlihatkan hasil uji LSD data aktivitas antibakteri terhadap
53
bakteri E.coli dan S.aureus. Keenam kombinasi perbandingan jenis
sampel menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada aktivitas
antibakteri terhadap bakteri E.coli maupun S.aureus.
Tabel 8. Hasil Uji ANOVA Diameter Zona Hambat terhadap Waktu
Inkubasi (a) Escherichia coli ATCC 35218 dan (b)
Staphylococcus aureusATCC 25923
Jumlah Kuadrat
Rata-rata Kuadrat
db
Antar Kelompok
0,029
19
0,002
Dalam Kelompok
0,971
60
0,016
Total
1,000
79
F
Sig.
0,094
1,000
(a)
Jumlah Kuadrat
Rata-rata Kuadrat
db
Antar Kelompok
0,029
19
0,002
Dalam Kelompok
0,971
60
0,016
Total
1,000
79
F
Sig.
0,094
1,000
(b)
Uji t dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan aktivitas
antibakteri keempat sampel terhadap bakteri Escherichia coli dan
Staphylococcus aureus. Hasil uji ini memperlihatkan bahwa semua
jenis sampel nilai signifikansi kurang dari taraf kesalahan 5% (0,05).
Sampel P, P-HDTMS, dan P-Ag-HDTMS menunjukkan nilai
signifikansi 0,00. Adapun sampel P-Ag memiliki nilai signifikansi
0,03 (Lampiran 4). Berdasarkan hasil uji t dapat dikatakan bahwa
terdapat perbedaan pengaruh secara signifikan yang diberikan oleh
modifikasi
poliester
terhadap
Staphylococcus aureus.
54
bakteri
Escherichia
coli
dan
Tabel 9. Interpretasi Hasil Uji Lanjut LSD: Antara Jenis Sampel
terhadap Diameter Zona Hambat Bakteri Escherichia coli
ATCC 35218 dan Staphylococcus aureus ATCC 25923
Variabel (Jenis Sampel)
Kesimpulan pada
E.coli
S.aureus
(P) – (P-Ag)
Signifikan
Signifikan
(P) – (P-HDTMS)
Signifikan
Signifikan
(P) – (P-Ag-HDTMS)
Signifikan
Signifikan
(P-Ag) - (P-HDTMS)
Signifikan
Signifikan
(P-Ag) – (P-Ag-HDTMS)
Signifikan
Signifikan
(P-HDTMS) – (P-Ag-HDTMS)
Signifikan
Signifikan
B. Pembahasan
1. Hasil dan Aplikasi Preparasi Nanopartikel Perak
a. Hasil Preparasi Nanopartikel Perak
Preparasi nanopartikel perak pada penelitian ini dilakukan
menggunakan metode reduksi. Pereduksi yang digunakan adalah
natrium sitrat (C6H5O7Na3) yang memiliki kemampuan mereduksi
cukup kuat. Keberadaan oksigen (O2) dapat mengganggu proses
reduksi. Hal ini disebabkan oksigen (O2) dapat mengoksidasi
nanopartikel perak yang telah terbentuk. Oleh karena itu, selama
proses reduksi berlangsung gas nitrogen (N2)
dialirkan untuk
mengusir keberadaan oksigen (O2) dan uap air yang terbentuk selama
proses reduksi (Saputra, dkk., 2010: 204).
Pengukuran serapan menggunakan spektrofotometer UV-Vis
pada koloid nanopartikel perak dilakukan pada rentang panjang
gelombang 190 nm- 600 nm. Terbentuknya nanopartikel perak
menunjukkan serapan khas di sekitar 429 nm. Reduksi ion perak juga
55
dapat dilihat secara fisik pada perubahan warna larutan dari tidak
berwarna menjadi berwarna kuning hingga kecokelatan sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Junaidi, dkk (2015).
Reaksi antara ion Ag+, H2O dan natrium sitrat terjadi seperti
reaksi (1) (Ariyanta, Wahyuni dan Priatmoko, 2014). Berdasarkan
nilai potensial standarnya, reaksi (1) dapat dituliskan seperti reaksi (3)
dan (4). Reaksi (3) dan (4) ini memiliki nilai potensial sel -0,445 volt.
Nilai potensial sel yang negatif menunjukkan bahwa reaksi redoks ini
tidak dapat terjadi secara spontan.
4Ag+(aq) + C6H5O7Na3(aq) + 2H2O(l)
4Ag0(s) + C6H5O7H3(aq) + 3Na+(aq) + H+(aq)+ O2(g)
(1)
Ag+ + e
Ag0
Eo= 0,799 volt
(3)
2 H2O
4H+ + O2 + 4e
Eo= -1,224 volt
(4)
Eosel = Eoreduksi + Eooksidasi
Eosel = 0,779 volt + (– 1,224) volt
Eosel = -0,445 volt
Meskipun reaksi (3) dan (4) ini memiliki nilai potensial sel
negatif, reaksi reduksi Ag+ menjadi Ag0 tetap dapat berlangsung
dengan adanya ion sitrat. Ion sitrat dan ion Ag+ dapat membentuk
kompleks
[Ag+.......(C6H5O7)-]
atau [Ag3(C6H5O7)n+1]3n-. Kedua
macam kompleks memiliki peran yang penting dalam reduksi dan
pembentukan nanopartikel perak (Jiang, Qin, & Zhang, 2010). Ion
sitrat akan mengkatalis reaksi ini sehingga reduksi ion Ag+ menjadi
Ag0 tetap dapat berlangsung walaupun secara lambat.
56
Nanopartikel perak yang telah berhasil dipreparasi berwarna
kuning
kecoklatan
seperti
terlihat
pada
Gambar
6.
Hasil
spektrofotometer UV-Vis pada Gambar 7 menunjukkan bahwa
serapan nanopartikel perak 10-3 M sebesar 0,333 pada panjang
gelombang 429 nm. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ion
Ag+ telah tereduksi menjadi nanopartikel perak (Ag0). Hal ini
menunjukkan kesesuaian dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa
koloid nanopartikel hasil preparasi terbukti merupakan koloid dengan
ukuran berskala nanometer (Ahmad et al., 2011a).
Gambar 18. Reaksi Deposisi Nanopartikel Perak pada Serat Poliester
Kemungkinan interaksi yang terjadi antara nanopartikel perak
dan serat poliester adalah nanopartikel akan berinteraksi dengan gugus
-OH yang terdapat pada serat poliester. Ujung dari rantai panjang
poliester memiliki gugus –OH yang dapat berinteraksi dengan
nanopartikel dan membentuk ikatan –OAg seperti pada Gambar 18.
Nanopartikel perak akan melapisi permukaan serat poliester sehingga
57
dapat meningkatkan sifat antibakteri dari serat poliester (Montazer &
Allahyazadeh, 2013).
2. Modifikasi
Serat
Poliester
Terdeposit
Nanopartikel
Perak
Menggunakan Senyawa HDTMS
Ketika
serat
poliester
maupun
hasil
modifikasinya
terhidrofobisasi oleh HDTMS, ikatan Si-O-Si terbentuk. Vibrasi Si-OSi ulur muncul di sekitar 1060-1090 cm-1. Vibrasi Si-C ulur juga akan
muncul pada kisaran 787 cm-1 dengan intensitas cukup tinggi.
Hidrokarbon dengan rantai panjang yang dimiliki oleh senyawa
HDTMS juga akan menunjukkan vibrasi pada kisaran bilangan
gelombang 2850 cm-1 yang menunjukkan vibrasi C-H simetris (Gao,
Zhu, & Guo, 2009; Manatunga, de Silva, & de Silva, 2016: 777-788).
Spektra FTIR dari serat poliester dan serat poliester terdeposit
nanopartikel perak setelah dilapisi dengan senyawa HDTMS telah
dihasilkan seperti pada Gambar 10 (a) dan (b). Gambar 10 (a)
memperlihatkan kemunculan vibrasi pada 3278,61 cm-1, 1088,38 cm-1,
2838,07 cm-1, dan 813,18 cm-1 yang berturut-turut menunjukkan
vibrasi dari gugus –OH alkohol, gugus Si-O-Si ulur, C-H simetris, dan
Si-C ulur. Adanya gugus –OH alkohol diperkuat dengan serapan
karbonil pada 1710,13 cm-1. Adapun Gambar 10 (b) terlihat vibrasi
pada 3278,91 cm-1, 1087,98 cm-1 , 2838,00 cm-1, dan 813,14 cm-1
yang mana menunjukkan vibrasi dari gugus –OH alkohol, Si-O-Si ulur,
C-H simetris, dan Si-C ulur. Sesuai dengan hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Manatunga, de Silva, & de Silva (2016) sebelumnya,
58
spektrum IR kedua sampel menunjukkan bahwa sampel telah
terhidrofobisasi senyawa HDTMS.
Gambar 19. Reaksi Pelapisan Senyawa Silan
Senyawa HDTMS termasuk ke dalam senyawa organosilan.
Kebanyakan dari senyawa organosilan memiliki satu substituen
organik dan tiga substituen yang kurang stabil sehingga mudah
dihidrolisis. Reaksi pelapisan permukaan materi menggunakan
59
senyawa organosilan ini terbagi menjadi empat bagian seperti pada
Gambar 19. Pertama, reaksi hidrolisis yang terjadi pada ketiga
substituen kurang stabil, kemudian terjadi reaksi kondensasi
membentuk oligomer. Senyawa oligomer ini kemudian membentuk
ikatan hidrogen dengan gugus OH yang terdapat pada ujung rantai
poliester. Ketika pengeringan atau reaksi curing berlangsung, H2O
akan terlepas dan terbentuk ikatan kovalen antara senyawa oligomer
dengan substrat (Arkles, 2006).
Apabila spektrum P-HDTMS dan P-Ag-HDTMS dengan
spektrum P dan P-Ag dibandingkan, terlihat bahwa P-HDTMS dan PAg-HDTMS memiliki gugus fungsi yang tidak berbeda dengan P dan
P-Ag. Tetapi intensitas pita serapan beberapa gugus fungsi pada PHDTMS dan P-Ag-HDTMS lebih rendah dibandingkan pita serapan
P dan P-Ag. Sesuai dengan penelitian Tamimi dan Herdyastuti (2013),
penambahan senyawa seperti HDTMS pada polimer mengakibatkan
penurunan intensitas pita serapan beberapa gugus fungsi yang ada
pada poliester. Beberapa serapan gugus fungsi seperti serapan
karbonil pada daerah sekitar 1700 cm-1, dua serapan gugus C-O pada
sekitar daerah 1700 dan 700 cm-1. Penambahan senyawa pada
permukaan poliester mengakibatkan tertutupinya gugus fungsi yang
terkandung sehingga menurunkan kemampuan gugus fungsi dalam
mengabsorpsi maupun mengemisikan radiasi IR.
60
3. Sifat Hidrofobisitas
Parameter sudut kontak diuji untuk menentukan sifat
hidrofobisitas (wettability) sampel. Permukaan yang memiliki sudut
kontak lebih dari 90o dapat dikatakan sebagai permukaan yang
hidrofobik. Secara teori, sudut kontak maksimal untuk permukaan
yang halus adalah 120o. Permukaan dengan micro-texture atau micropatterned dengan sifat hidrofobik dapat memiliki sudut kontak hampir
mencapai
150o
dan
sering
disebut
dengan
permukaan
superhidrophobic yang mirip dengan “lotus effect”(Arkles, 2006).
Rata-rata hasil pengukuran sudut kontak memperlihatkan
bahwa sudut kontak pada sampel P sebesar 105,5o, sampel P-Ag
sebesar 96,5o, sampel P-HDTMS sebesar 114,5o, dan sampel P-AgHDTMS sebesar 109o. Hasil tersebut menunjukkan bahwa permukaan
semua sampel bersifat hidrofob karena memiliki sudut kontak > 90o.
Secara alami serat poliester memiliki permukaan yang
hidrofob (Messiry, Ouffy, & Issa, 2015). Hasil uji sudut kontak ini
memperlihatkan kecenderungan bahwa dengan penambahan senyawa
HDTMS dapat meningkatkan wettability dari permukaan bahan uji.
Hal ini disebabkan senyawa silan berinteraksi dengan permukaan
suatu bahan dengan membentuk ikatan kovalen dan menurunkan
tegangan permukaan kritis permukaan hingga lebih kecil dari
tegangan permukaan kritis air sehingga permukaan serat poliester
menjadi bersifat lebih hidrofob. Hal ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Arkles (2006) bahwa senyawa silan dapat
61
meningkatkan hidrofobisitas permukaan suatu material. Namun,
penambahan
nanopartikel
perak
sebagai
bahan
antibakteri
menimbulkan penurunan sudut kontak yang terjadi pada sampel.
Deposit nanopartikel perak pada poliester menyebabkan luas daerah
kontak poliester dengan HDTMS semakin sempit. Dengan demikian
HDTMS tidak dapat melapisi poliester secara sempurna. Modifikasi
nanopartikel perak cenderung mengakibatkan turunnya sudut kontak
permukaan serat poliester dengan maupun tanpa modifikasi senyawa
HDTMS.
4. Uji Aktivitas Antibakteri terhadap Bakteri Escherichia coli ATCC
35218 dan Staphylococcus aureus ATCC 25923
Pengujian
ini
dilakukan
untuk
mengetahui
pengauh
penambahan senyawa HDTMS terhadap aktivitas antibakteri sampel
poliester. Pengujian ini dilakukan menggunakan metode difusi disk.
Parameter yang diuji adalah zona bening yang terjadi di sekitar sampel.
Secara umum nanopartikel perak memiliki kemampuan untuk
menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli ATCC 35218
maupun Staphylococcus aureus ATCC 25923. Hal ini dibuktikan
dengan alur grafik yang terjadi seperti pada Gambar 13 dan Gambar 16.
Zona hambat pada bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus
sudah mulai terlihat dengan jelas dan dapat diukur pada inkubasi 24
jam pertama. Terbentuknya zona bening pada 24 jam inkubasi awal
menunjukkan telah terjadi perusakan protein pada bakteri Escherichia
62
coli maupun Staphylococcus aureus akibat ada maupun tidaknya
modifikasi pada serat poliester.
Setiap jenis sampel menunjukkan aktivitas antibakteri yang
berbeda-beda. Beberapa sampel menunjukkan aktivitas antibakteri
yang sangat tinggi. Sebaliknya, ada beberapa sampel yang
menunjukkan aktivitas antibakteri yang sangat rendah. Perbedaan
aktivitas
antibakteri
pada
setiap
jenis
sampel
yang
terjadi
menunjukkan bahwa perlakuan atau modifikasi yang dilakukan
terhadap serat poliester memberikan pengaruh terhadap aktivitas
antibakteri. Hal ini dibuktikan dengan uji ANOVA yang menunjukkan
sigma yang bernilai 0,00 (P < 0,05). Interpretasi nilai probabilitas
kurang dari 0,05 adalah terdapat hubungan antara aktivitas antibakteri
poliester terhadap modifikasi yang diberikan pada serat poliester
terhadap aktivitas antibakteri. Hubungan yang dimaksud adalah setiap
jenis modifikasi memberikan pengaruh yang berbeda terhadap
aktivitas antibakteri serat poliester. Uji lanjutan LSD memperkuat
hasil uji ANOVA ini. Hasil uji LSD menunjukkan kombinasi
perbandingan antar jenis sampel menunjukkan perbedaan yang
signifikan. Modifikasi poliester menggunakan nanopartikel perak,
HDTMS, dan kombinasi keduanya memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap aktivitas antibakteri poliester.
Gambar 13 memperlihatkan bahwa sampel poliester murni (P)
memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli yang
63
terendah diikuti oleh sampel P-HDTMS, sampel P-Ag-HDTMS dan
yang paling tinggi adalah sampel P-Ag. Sampel P-HDTMS
menunjukkan aktivitas antibakteri lebih baik bila dibandingkan dengan
sampel P. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa HDTMS juga
memiliki kemampuan menekan pertumbuhan bakteri. Akan tetapi,
penambahan senyawa HDTMS pada serat poliester yang telah
terdeposit nanopartikel perak (sampel P-Ag-HDTMS) menunjukkan
aktivitas antibakteri yang lebih rendah dibandingkan dengan poliester
yang terdeposit nanopartikel saja (P-Ag).
Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh Gambar 16. Sampel P
menunjukkan aktivitas antibakteri yang lebih bagus terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dibandingkan bakteri Escherichia coli. Sampel
P juga memiliki aktivitas antibakteri lebih tinggi dibandingkan dengan
sampel P-HDTMS. Hal ini dapat diartikan aktivitas antibakteri dari PHDTMS lebih efektif terhadap bakteri Staphylococcus aureus bila
dibandingkan dengan bakteri Escherichia coli. Sampel P-Ag
menunjukkan efektifitas paling tinggi di antara keempat sampel.
Aktivitas antibakteri P-Ag-HDTMS terhadap bakteri Staphylococcus
aureus lebih rendah bila dibandingkan dengan P-Ag seperti yang
terjadi pada bakteri Escherichia coli.
Nanopartikel perak digunakan sebagai zat antibakteri pada
modifikasi poliester. Apabila nanopartikel perak yang telah terdeposit
pada serat poliester terlapisi senyawa HDTMS maka intensitas
64
interaksi
nanopartikel
Berkurangnya
interaksi
perak
dan
bakteri
nanopartikel
semakin
perak
berkurang.
dengan
bakteri
mengakibatkan terhambatnya aktivitas antibakteri sampel poliester.
Hal ini menunjukkan bahwa modifikasi pada poliester berpengaruh
terhadap aktivitas antibakteri poliester tersebut.
Penghambatan
aktivitas
bakteri
terhadap
bakteri
Staphylococcus aureus rata-rata lebih besar terjadi bila dibandingkan
dengan bakteri Escherichia coli. Perbedaan aktivitas penghambatan
kedua bakteri ini juga diperlihatkan pada uji t. Hasil uji t menunjukkan
bahwa semua jenis sampel nilai signifikansi kurang dari taraf
kesalahan 5% (0,05). Sampel P, P-HDTMS, dan P-Ag-HDTMS
menunjukkan nilai signifikansi 0,00. Adapun sampel P-Ag memiliki
nilai signifikansi 0,03 seperti pada Lampiran 4. Artinya, kedua bakteri
ini menunjukkan respon yang berbeda terhadap sampel poliester yang
diujikan terhadap kedua bakteri.
Perbedaan ini disebabkan komposisi dinding sel antara kedua
bakteri berbeda. Dinding sel berperan penting sebagai proteksi
tekanan osmotik internal yang mencapai 5 - 20 atm dan juga berperan
dalam pembelahan sel. Bakteri gram negatif hanya memiliki lapisan
tipis peptidoglikan dan dilindungi membran luar. Tidak seperti
dinding sel gram positif, pada dinding sel gram negatif tidak
ditemukan asam teikoat. Selain itu, dinding sel bakteri gram negatif
65
lebih
rentan
terhadap
kerusakan
mekanis
karena
jumlah
peptidoglikannya rendah (Shagam, 2006).
Adapun bakteri gram positif memiliki beberapa lapisan
peptidoglikan bergabung bersama membentuk struktur tebal dan kaku.
Dinding sel bakteri gram positif juga mengandung asam teikoat, yang
terdiri atas gugus -OH (seperti ribitol dan alkohol) dan fosfat.
Bermacam gugus fungsi inilah yang memiliki peranan penting dalam
interaksi nanopartikel perak dengan bakteri. Hal ini menyebabkan
aktivitas
antibakteri
poliester
lebih
efektif
terhadap
bakteri
Staphylococcus aureus (Wheelis, 2007).
Gambar 20. Mekanisme Pembentukan Protein Korona (Jin et al., 2015)
Mekanisme aktivitas antibakteri dapat dijelaskan melalui
interaksi antara perak dengan bakteri yang membentuk protein korona
seperti yang terlihat pada Gambar 20. Ketika nanopartikel perak
dicampurkan dengan bakteri pada media kultur, pada tahap pertama
nanopartikel perak bergabung dengan garam dan protein membentuk
protein korona. Protein korona akan mendekati dan menempel pada
66
dinding sel bakteri lalu merusaknya hingga terjadi lisis sehingga
penetrasi dapat terjadi. Setelah masuk, nanopartikel yang masih
berupa protein korona segera melepaskan ion perak. Ion perak akan
mengganggu dan merusak membran bakteri, DNA bakteri dan protein
seperti enzim yang bekerja pada proses vital bakteri sehingga aktivitas
metabolisme sel terganggu dan menyebabkan matinya bakteri tersebut
(Rai, Yadav, & Gade, 2009; Jin et al., 2015).
67
Download