BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Serat Poliester Serat adalah material dengan perbandingan panjang dan diameter 100 : 1 serta mudah dibengkokkan. Serat yang baik memiliki luas penampang nol, tidak memiliki ketahanan terhadap lenturan, puntiran, dan tekanan dalam arah memanjang. Namun, serat memiliki tahanan terhadap tarikan dan akan mempertahankan keadaan lurusnya (Hartanto dan Watanabe, 1987) Poliester ditemukan pertama oleh Whinfield dan Dickson dari Calico Printers Association, Inggris. Serat poliester yang pertama kali ditemukan disebut Teryleme dan pada tahun 1954 serat poliester sudah diproduksi secara komersial. Di Amerika Serikat, Du Pont berhasil memiliki paten polimer dan mulai dengan produksi serat poliester yang diberi nama Dacrons. Poliester tersusun atas senyawa ester sebagai unit ulang dan memiliki koefisien elastisitas yang tinggi serta stabilitas dimensinya baik, sehingga bahan ini sering dipakai sebagai bahan pakaian (Hartanto dan Watanabe, 1987). Poliester seperti polietilen tereftalat (PET) terbentuk dari reaksi antara etilen glikol dengan asam tereftalat atau etil ester seperti pada Gambar 1. Reaksi ini dilakukan pada suhu tinggi menggunakan autoclave selama lima sampai delapan jam. Kemudian hasilnya didiamkan di dalam vakum untuk mendapatkan berat molekul 8 tinggi sehingga membentuk serat dengan kualitas yang bagus (Purohit, Chawada, & Dholakiya, 2012). Gambar 1. Reaksi Polimerisasi Polietilen Tereftalat Ketahanan dari serat poliester sangat bagus, sehingga poliester sering dicampur dengan serat alami lain yang bersifat mudah kusut (less wrinkle-resistant) untuk memproduksi serat jenis baru yang mudah dicuci dan mudah disetrika (easy-care fabric). Secara alami, serat poliester telah memiliki sifat hidrob. Oleh karena itu selain sebagai bahan pakaian jadi, serat poliester juga sering digunakan sebagai bahan pakaian olah raga, pakaian dalam dan seperai (Hassan et al., 2011). Berikut ini merupakan beberapa karakteristik dari poliester (Tortora, 1982: 55-57): a. Memiliki massa jenis berkisar antara 1,38 sampai 1,22 bergantung dari jenis poliester. 9 b. Tingkat kelembaban dari serat ini cukup rendah berkisar antara 0,20,8 % sehingga serat ini memiliki daya serap terhadap cairan yang rendah. Namun, serat ini memiliki kemampuan membawa uap air ke permukaan serat tanpa adanya absorbsi. Kemampuan ini sering disebut wicking ability. c. Stabilitas dimensi poliester yang telah diberi perlakuan heat-setting sangat bagus. Perlakuan ini dilakukan di bawah suhu termosetnya. Poliester yang belum diberi perlakuan apapun biasanya akan mengkerut bila dipanaskan pada suhu tinggi. d. Titik leleh serat poliester berkisar antara 480-550oF. e. Serat poliester juga memiliki sifat chemical resistance yang artinya serat ini tahan terhadap bahan kimia seperti yang dipakai pada proses dry-cleaning atau bahan pemutih pakaian. Poliester tahan terhadap asam namun tidak tahan terhadap adanya basa kuat. f. Poliester juga tahan terhadap bakteri, jamur, dan ngengat. Serat poliester adalah material dengan perbandingan panjang dan diameter 100 : 1 yang disintesis melalui reaksi antara etilen glikol dengan asam tereftalat atau etil ester. Secara alami, serat poliester telah memiliki sifat hidrofobb, wicking ability, less wrinkle-resistant, easy-care fabric sehingga selain sebagai bahan pakaian sering digunakan sebagai bahan pakaian olah raga, pakaian dalam dan sprai. 2. Nanopartikel Perak Nanoteknologi pada abad ke-21 menjadi suatu tren penelitian di kalangan peneliti dan industri sehingga banyak dihasilkan produk-produk 10 berbasis nanomaterial dan nanoteknologi dalam berbagai bidang kehidupan. Industri tekstil telah menggunakan nanoteknologi sebagai metode modifikasi produk tekstil untuk meningkatkan kualitas produknya. Salah satu modifikasi pada serat kain adalah deposit nanopartikel untuk memunculkan sifat antibakterinya (Jiang, Yuen, & Kan, 2007). Nanopartikel merupakan suatu partikel dengan ukuran kurang dari 100 nm. Salah satu nanopartikel yang banyak dan sering sekali diteliti dan memiliki nilai manfaat serta nilai ekonomis tinggi adalah nanopartikel perak. Nanopartikel perak memiliki sifat antibakteri dan katalitik serta memiliki potensi aplikasi yang luas seperti untuk tekstil, kosmetik, biosensor, dan katalis (Ristian, Wahyuni, dan Supardi, 2014). Nanopartikel perak dapat disintesis menggunakan berbagai macam metode, misalnya menggunakan senyawa pengompleks (Ghorashi & Kamali, 2011), metode magnetron sputtering (Jiang, Qin, & Zhang, 2010), metode reduksi (Zhang et al., 2014), metode fotokimia atau fotosintesis (Selvam & Slvakumar, 2015) dan metode elektrokimia (Stefan et al., 2011). Proses reduksi dilakukan pada alat atau ruangan yang kedap udara sehingga uap air tidak mengganggu laju alir dari gas nitrogen. Waktu dan temperatur reduksi sangat mempengaruhi hasil dari sintesis nanopartikel perak ini. Terbentuknya partikel perak berukuran nano dapat dideteksi secara visual dengan ditandai adanya perubahan warna pada koloid perak 11 menjadi kuning hingga kecokelatan. Warna koloid dipengaruhi oleh ukuran nanopartikel perak yang terbentuk (Saputra, dkk, 2011). Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut (Ariyanta, Wahyuni, dan Priatmoko, 2014) : 4Ag+(aq) + C6H5O7Na3(aq) + 2H2O(l) 4Ag0(s) + C6H5O7H3(aq) + 3Na+(aq) + H+(aq)+ O2(g) (1) Sintesis nanopartikel perak pada penelitian ini dilakukan menggunakan metode reduksi larutan perak nitrat menggunakan natrium sitrat sebagai agen pereduksi dan senyawa polivinil alkohol (PVA) berfungsi sebagai agen penstabil. Menurut Haryono, dkk (2008) metode reduksi ini sering digunakan dalam sintesis nanopartikel perak karena selain mudah dilakukan metode ini juga ramah lingkungan. PVA mampu mencegah terjadinya aglomerasi dari nanopartikel perak. Sehingga senyawa ini dapat digunakan sebagai penstabil dalam sintesis nanopartikel perak (Pimpang et al., 2008). 3. Senyawa HDTMS Silan merupakan suatu monomer dari senyawa silikon yang memiliki empat substituen yang terikat pada atom inti silikon. Keempat substituen dapat berupa gugus non reaktif, gugus organik reaktif maupun gugus anorganik reaktif dengan struktur dasar R’-Si(OR)3 seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2. Gugus substituen R’ dapat berikatan dengan senyawa anorganik dan pada gugus Si(OR)3 dapat mengikat senyawa organik secara bersamaan (Goyal, 2006). 12 Gambar 2. Struktur Senyawa Isobutiltrimetoksisilan Heksadesiltrimetoksisilan (HDTMS) merupakan salah satu senyawa turunan dari silan yang memiliki gugus alkoksida dan rantai panjang alkil dengan 16 atom karbon. Senyawa ini memiliki kemampuan untuk menurunkan energi permukaan pada suatu material. Penurunan energi permukaan akan mengakibatkan permukaan material akan memiliki sudut kontak yang semakin besar (Shateri-Khalilabad & Yazdanshenas, 2013). Struktur molekul dari senyawa HDTMS adalah seperti Gambar 3. Menurut Goyal (2006) senyawa silan ini merupakan senyawa serba guna yang digunakan pada berbagai bidang seperti adhesi promoters, coupling agent, crosslinking agent, dispersing agents, dan surface modifiers. Gambar 3. Struktur Senyawa HDTMS Sifat fisik dari Heksadesiltrimetoksisilan adalah sebagai berikut (Fisk dan Disley, 2011): Titik leleh : -1oC Titik didih : 275oC 13 Titik nyala : 165oC Berat jenis : 0,89 g/mL Indeks bias : 1,4356 Senyawa Heksadesiltrimetoksisilan adalah salah satu turunan senyawa silan dengan tiga gugus alkoksida dan rantai panjang alkil dengan 16 atom karbon. HDTMS dapat digunakan sebagai bahan pelapisan permukaan material untuk mendapatkan permukaan yang hidrofob. 4. Bakteri Bakteri adalah mikroorganisme bersel tunggal dengan panjang beberapa mikrometer dan memiliki morfologi berupa tongkat (basil), kokus sampai bentuk spiral. Bakteri hidup di tanah permukaan bumi, di perairan air panas, air laut, di bawah permukaan tanah dan ada yang dapat berkembang pada sampah zat radioaktif. Populasi bakteri dalam 1 gram tanah mencapai 40 juta sel bakteri dan pada 1 mL air jernih dapat mengandung 1 juta bakteri (Subandi, 2010: 54). Menurut Subandi (2010: 57-58) bakteri memiliki 4 klasifikasi menurut bentuk ukuran dan strukturnya. a. Coccus, bentuk bakteri seperti sperik (lensa) atau oval dengan rangkaian yang didasarkan pada hasil pembelahan selnya. Rangkaian dapat berupa diplococcus, staphylococcus dan sarcina. 14 tetracoccus, streptococcus, b. Basil, bentuk bakteri seperti batang. Basilli semuanya dibagi dalam satu belahan yang menghasilkan basil (tunggal), streptobasil (rangkaian basil), dan kokobasil (oval dan serupa dengan coccus. Ukuran basil memiliki lebar antara 0,5 – 1,0 μm dan panjang 1,0 – 4,0 μm. c. Spiral, meliputi dari 3 bentuk, yaitu : Vibrio : lengkung atau batang yang berbentuk koma Spirilium : tebal, spiral, dan kaku Spiroket : tipis, spiral, dan fleksibel d. Bentuk lainnya, dapat berupa trichome, lembaran, bertangkai, filamen, persegi, bentuk bintang, bentuk berkas, berlobus dan pleomorphic. a. Escherichia coli Bakteri Escherichia coli pertama kali ditemukan dan diisolasi oleh Theodor Escherich dari tinja manusia pada tahun 1885. Habitat alami dari spesies bakteri ini berada dalam saluran pencernaan manusia maupun hewan. Morfologi bakteri ini berbentuk coccus atau batang dengan ukuran 0,4 – 0,7 μm x 1,0 – 3,0 μm. Escherichia coli termasuk ke dalam bakteri gram negatif (Carter and Wise, 2004: 50). Escherichia coli biasanya berkolonisasi di saluran pencernaan dalam beberapa jam setelah masuk ke dalam tubuh dan membangun hubungan mutualistik. Namun, strain non-patogenik dari Escherichia coli 15 dapat menjadi patogen, ketika adanya gangguan di dalam pencernaan serta imunosupresi pada host (Sharma,Yngard, & Lin, 2009). Klasifikasi bakteri Escherichia coli menurut Songer and Post (2005) adalah sebagai berikut: Kingdom : Bacteri Phylum : Proteobacteria Class : Gamma Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales Falimy : Enterobacteriaceae Genus : Escherichia Species : Escherichia coli Dinding sel bakteri gram negatif tersusun atas membran luar, peptidoglikan, dan membran dalam. Peptidoglikan yang terkandung dalam bakteri gram negatif memiliki struktur yang lebih kompleks dibandingkan gram positif. Membran luarnya terdiri dari lipid, liposakarida dan protein. Peptidoglikan berfungsi mencegah sel lisis, menyebabkan sel kaku dan memberi bentuk kepada sel (Purwoko, 2007: 125). Bakteri Escherichia coli merupakan salah satu jenis bakteri gram negatif dengan bentuk coccus atau batang dengan ukuran 0,4 – 0,7 μm x 1,0 – 3,0 μm. Dinding sel bakteri Escherichia coli tersusun atas membran luar, peptidoglikan, dan membran dalam. 16 b. Staphylococcus aureus Bakteri berbentuk bulat ini termasuk kedalam bakteri gram positif. Bakteri ini berdiameter sekitar 0,7 – 1,2 μm dan tersusun dalam kelompok atau koloni yang tidak teratur seperti anggur. Bakteri ini fakultatif anareob, tidak membentuk spora dan tidak bergerak. Suhu optimum bakteri ini berkisar pada 37oC (Jawetz et al., 1995: 12) Menurut Berley dalam Cappuccino dan Sherman (1998), klasifikasi bakteri adalah sebagai berikut : Kingdom : Monera Divisio : Firmicutes Class : Bacilli Order : Bacillales Family : Staphylococcaceae Genu : Staphilococcus Species : Staphilococcus aureus S. aureus merupakan bakteri tahan garam, mampu tumbuh pada media mengandung 7,5 - 10% garam yang menyebabkan bakteri ini toleran terhadap kondisi permukaan kulit manusia. Selain itu, S. aureus tahan terhadap pengeringan, radiasi matahari, dan pemanasan dengan suhu 60oC selama 60 menit (Talaro, 2009: 537). Penularan bakteri S. aureus dapat melalui pakaian maupun peralatan media yang terkontaminasi. Adapun beberapa penyakit yang disebabkan bakteri S. aureus antara lain penyakit kulit (folikulitis dan 17 Staphylococcal scalded skin syndrome/sindrom kulit terbakar), impetigo, Staphylococcal toxic shock syndrome, bacteremia, endocarditis, pneumonia, dan lain-lain. Banyaknya strain Staphylococcus aureus resisten obat antimikrobial merupakan suatu permasalahan medis yang kini menjadi sorotan. Strain ini resistan terhadap senyawa antibiotik (Bauman, 2009: 554-555). Bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri anaerob dengan bentuk bulat dengan diameter sekitar 0,7 – 1,2 μm. Bakteri gram positif ini toleran terhadap kondisi permukaan kulit manusia dan dapat menyebabkan beberapa jenis penyakit kulit, impetigo, dll. 5. Aktivitas Antibakteri Zat antibakteri merupakan suatu senyawa-senyawa kimia alami maupun sintetik yang dapat menghambat maupun menghentikan pertumbuhan bakteri dalam kadar yang rendah. Antibakteri alami dapat didapatkan dengan ekstraksi organisme yang mengandung senyawa antibakteri di dalamnya. Adapun senyawa antibakteri sintetik dapat dihasilkan dengan mensintesis senyawa yang sifatnya mirip senyawa antibakteri alami dan diproduksi secara besar-besaran (Madigan, 2005: 254). Menurut Pelczar dan Chan (1998: 266), senyawa antibakteri dapat dibedakan berdasarkan mekanisme kerjanya seperti berikut: a. Menghambat sintesis dinding sel bakteri Bakteri memiliki dinding sel untuk mempertahankan bentuk bakteri dan melindungi bakteri dari tekanan osmotik internal yang 18 tinggi. Tekanan internal gram positif lebih besar tiga hingga lima kali dibandingkan pada gram negatif. Trauma pada dinding sel akan menimbulkan lisis pada sel bakteri. b. Mengganggu permeabilitas membran sel bakteri Membran sitoplasma pada bakteri berperan sebagai barrier permeabilitas selektif dan berfungsi dalam transpor aktif serta mengontrol komposisi internal sel. Bila fungsi integritas membran sel dirusak akan terjadi lisis yang mengakibatkan kematian. Membran sel bakteri memiliki struktur yang berbeda dibanding sel binatang sehingga sangat mudah dikacaukan oleh senyawa tertentu. c. Menghambat sintesis protein sel bakteri Jenis ribosom bakteri berbeda dengan mammalia, ribosom jenis 70S dimiliki oleh bakteri dan jenis 80S dimiliki oleh mamalia. Sub unit masing-masing tipe ribosom memiliki komposisi kimia dan fungsi yang berbeda. Hal in dapat menjelaskan mekanisme zat antibakteri dapat menghambat sintesis protein bakteri tanpa mempengaruhi ribosom pada mamalia. d. Menghambat sintesis atau merusak asam nukleat bakteri Terjadinya ikatan yang kuat antara antibakteri dan enzim DNA Dependent RNA Polymerase bakteri menimbulkan penghambatan sintesis RNA bakteri sehingga bakteri tidak mampu tumbuh dan berkembang. 19 Mekanisme aktivitas antibakteri nanopartikel perak masih belum dapat dijelaskan secara pasti hingga saat ini. Beberapa peneliti mempercayai bahwa nanopartikel perak kembali menjadi ion perak dalam larutan garam dan ion perak tersebut berinteraksi dengan dinding sel bakteri sehingga mengakibatkan lisis. Menurut Chaloupka, Malam, & Sheifalian (2010), beberapa penelitian mempercayai bahwa bactericidal effect terjadi disebabkan oleh interaksi antara ion perak dengan 3 (tiga) komponen penting dari sel bakteri yaitu: peptidoglikan pada dinding sel dan membran plasma; DNA bakteri; dan protein bakteri khususnya enzim yang bekerja pada proses vital sel seperti transpor elektron seperti yang dijelaskan pada Gambar 4. Gambar 4. Mekanisme Aktivitas Antibakteri Nanopartikel Perak (Chaloupka, Malam, & Sheifalian, 2010) Uji aktivitas antibakteri dilakukan berdasarkan standart EN ISO 20743: 2013. Penelitian ini menggunakan bakteri Escherichia coli 20 sebagai gram negatif dan Stephalococcus aureus sebagai gram positif untuk mengetahui aktivitas antibakteri serat poliester, nanopartikel perak, senyawa HDTMS dan perpaduan antara nanopartikel perak dengan HDTMS. Metode yang digunakan adalah difusi menggunakan suatu disk dan inkubasi dilakukan pada suhu 37oC selama 1 jam (Zhang et al., 2016). Diameter zona penghambatan atau zona bening diukur sebagai indikator keefektifan aktivitas antibakteri. Semakin besar zona bening maka semakin efektif aktivitas antibakteri. Semakin besar diameter zona bening menunjukkan bahwa semakin banyak bakteri yang rusak dan mati akibat berinteraksi dengan nanopartikel perak ( Shateri-Khalilabad and Yahdanshenas, 2010). Aktivitas antibakteri merupakan kemampuan suatu zat untuk menghambat maupun menghentikan pertumbuhan bakteri. Diameter zona penghambatan atau zona bening diukur sebagai indikator kekuatan adanya aktivitas antibakteri. Semakin besar zona bening maka semakin efektif aktivitas antibakteri suatu zat. 6. Sudut Kontak Interaksi antara permukaan suatu material dengan cairan dipengaruhi oleh berbagai hal seperti gaya van der Waals, interaksi dipol, ikatan hidrogen dan pertukaran proton. Suatu permukaan dikatakan antikotor atau hidrofobik apabila cairan yang diteteskan di atas permukaan membentuk butiran air dengan sudut kontak cukup besar. Keadaan ini disebabkan gaya interaksi antar molekul air (kohesif) lebih 21 besar dibandingkan gaya interaksi air dengan permukaan (adhesif). Seperti pada Gambar 5, permukaan yang memiliki sudut kontak lebih dari 90o dapat dikatakan sebagai permukaan yang hidrofobik. Secara teori, sudut kontak maksimal untuk permukaan yang halus adalah 120o. Permukaan dengan micro-texture atau micro-patterned dengan sifat hidrophobik dapat memiliki sudut kontak hampir mencapai 150o dan sering disebut dengan permukaan superhidrophobic yang mirip dengan “lotus effect”(Arkles, 2006). Tanaman teratai atau yang sering disebut lotus memiliki daun yang memiliki mekanisme self-cleaning atau pembersihan diri sendiri yang diakibatkan oleh sifat hidrofobisitas (water repellance) yang tinggi. Peristiwa water repellence ini pertama kali ditemukan pada daun teratai sehingga disebut sebagai “lotus effect”. Selain pada daun teratai, sifat hidrofobisitas dan self-cleaning ini juga ditemukan pada tanaman lain seperti tropaeolaceae (nasturtium), kaktus, Alchemilla, tebu, dan juga pada sayap serangga tertentu. Pengukuran sudut kontak biasanya dilakukan menggunakan metode sessile drop. Tiap-tiap pengukuran sampel dilakukan dengan meneteskan sejumlah tertentu air ke permukaan serat poliester yang telah terdeposit nanopartikel perak dan HDTMS serta serat poliester murni sebagai pembanding. Kemudian tetesan yang telah berada pada permukaan serat difoto atau diambil video untuk menentukan sudut kontaknya pada kedua bagian tepi. Besarnya sudut kontak permukaan 22 bahan terhadap tetesan air diukur menggunakan busur derajat. Rata-rata besar sudut kontak dihitung menggunakan persamaan (2) (Darmawan dan Nuraeni, 2011). Suatu permukaan memiliki sifat antiair apabila memiliki tegangan permukaan kritis yang lebih kecil dibandingkan tegangan permukaan kritis air 72 dyne/cm (Wahyudi dan Rismayani, 2008). Gambar 5. Besar Sudut Kontak pada Permukaan Superhidrofilik, Hidrofilik, Hidrofobik dan Superhidrofobik Sudut kontak = 𝑠𝑢𝑑𝑢𝑡 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑎𝑘 𝑘𝑖𝑟𝑖+𝑠𝑢𝑑𝑢𝑡 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑎𝑘 𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛 2 (2) Sudut kontak adalah sudut yang terbentuk antara permukaan materi uji dengan cairan yang diteteskan dipermukaan materi. Besar sudut kontak yang terbentuk merupakan parameter penentuan hidrofobisitas suatu materi. Permukaan yang memiliki sudut kontak lebih dari 90o dapat dikatakan sebagai permukaan yang hidrofobik. Penentuan sudut kontak dilakukan menggunakan metode sessile drop. 7. Analisis UV-Vis Pengukuran absorbansi atau transmitansi dalam spektroskopi UVVis digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif spesies kimia. Prinsip kerja spektrofotometer UV-Vis adalah interaksi yang terjadi 23 antara energi yang berupa sinar monokromatis dari sumber sinar dengan materi yang berupa molekul. Absorbsi dalam daerah ultraviolet dan daerah tampak menyebabkan eksitasi elektron ikatan. Puncak absorbsi dapat dihubungkan dengan jenis ikatan-ikatan yang ada dalam spesies. (Khopkar, 2003: 211). Secara umum, karakteristik nanomaterial sangat bergantung pada ukuran partikel, bentuk partikel, interaksi dengan senyawa penstabil, metode dan kondisi preparasi. Warna koloid nanopartikel perak hasil sintesis dapat berbeda-beda bergantung pada ukuran nanopartikel perak yang terbentuk. Mulai dari kuning, orange, abu-abu, dan ungu. Koloid nanopartikel perak dapat menyerap gelombang pada panjang gelombang tertentu sesuai dengan warna koloid masing-masing. Semakin besar ukuran nanopartikel maka panjang gelombang yang diserap akan semakin bergeser ke arah panjang gelombang yang lebih panjang (Rai, Yadav, & Gade, 2009). Nanopartikel perak umunya memiliki nilai absorbansi maksimal pada 400-500 nm (Solomon, et al., 2007). Absorbansi nanopartikel perak dapat menentukan jumlah nanopartikel yang terbentuk dan panjang gelombang maksimal tersebut menunjukkan ukuran dari nanopartikel perak yang dihasilkan. (Bakir, 2011) 8. Analisis FTIR-ATR Fourier Transform Infrared Attenuated Total Reflectance (FTIRATR) merupakan alat sampling yang sering digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Berbeda dengan FTIR biasa, FTIR-ATR dapat 24 menganalisis secara cepat sampel dengan jumlah sedikit atau sampel yang belum dipreparasi. FTIR-ATR sering digunakan untuk menganalisis film polimer. Hanya dalam waktu 1 menit FTIR-ATR mampu menganalisis film polimer tebal. FTIR-ATR juga mampu mengkarakterisasi struktur kimia dari suatu permukaan polimer (Barbes, Radulescu, & Shiti, 2013). Spektrofotometri Fourier Transform Infrared Attenuated Total Reflectance (FTIR-ATR) digunakan untuk menganalisis gugus-gugus fungsi yang ada pada sampel poliester, seperti gugus fungsi hidroksi, gugus C-H alifatik, dan gugus Si-O-Si yang muncul setelah permukaan poliester dilapisi senyawa HDTMS. Gugus Si-O-Si dari HDTMS memiliki absorbsi khas pada 1100-1000 cm-1 yang overlap dengan serapan C-O sehingga agak sulit untuk dideteksi. Gugus Si-C kemungkinan akan muncul di daerah panjang gelombang 800 cm-1. Gugus metil (-CH3) akan menunjukkan serapan pada daerah 1300-1200 cm-1. Gugus C-H alifatik juga akan menunjukkan serapan pada daerah sekitar 2900 cm-1 (Gao & Guo., 2009). B. Penelitian yang Relevan Penelitian tentang modifikasi serat poliester menggunakan nanopartikel perak dan senyawa HDTMS ini dilakukan dengan mengacu pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Modifikasi ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas dari serat poliester. Nanopartikel perak didepositkan pada serat poliester untuk meningkatkan 25 sifat antibakteri. Adapun senyawa HDTMS ditambahkan pada serat poliester untuk meningkatkan hidrofobisitas permukaan serat. Preparasi nanopartikel perak mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Ariyanta, Wahyuni, dan Priatmoto (2014). Nanopartikel perak dipreparasi menggunakan metode reduksi kimia dengan natrium sitrat sebagai reduktor. Hal ini dilakukan karena metode ini dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk menghasilkan nanopartikel perak. Metode reduksi kimia dapat dikerjakan dengan mudah cepat, murah, dan menggunakan temperatur rendah. PVA sebagai stabilisator dipilih karena memiliki kemampuan untuk mencegah terjadinya aglomerasi nanopartikel perak sehingga ukurannya dapat dipertahankan. Hal ini telah dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh Pimpang, et al. (2008). Shateri-Khalilabad dan Yazdanshenas (2010) telah berhasil membuat serat katun dengan sifat superhidrofobik dan antibakteri. Hasil ini diperoleh dengan mendepositkan nanopartikel perak pada jaringan serat. Modifikasi double-layer dengan senyawa octyltriethoxysilan membuat permukaan serat katun bersifat superhidrofobik dengan sudut kontak sebesar 151o. Kedua modifikasi pada serat katun ini mampu mematikan dan menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif dan gram positif. Permukaan yang superhidrofobik dan antibakteri pada katun juga berhasil dibuat oleh Xue et al. (2012) dengan modifikasi menggunakan 26 nanopartikel perak dan senyawa HDTMS. Nanopartikel perak pada penelitian ini dipreparasi dengan cara mereduksi komplek [Ag(NH3)2]+ menggunakan glukosa. Modifikasi selanjutnya dilakukan dengan pelapisan HDTMS yang menyebabkan permukaan katun bersifat superhidrofobik. C. Kerangka Berpikir Pakaian merupakan suatu kebutuhan penting bagi manusia beradab. Kondisi lingkungan di Indonesia yang semakin hari semakin tercemar mengakibatkan kebutuhan akan pakaian yang memiliki sifat antibakteri dan antikotor semakin meningkat. Namun, Indonesia masih menggantungkan pasokan tekstil impor khususnya tekstil antibakteri dan antikotor yang harganya relatif mahal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Permintaan impor serat poliester paling tinggi di antara serat sintetik yang lain. Nanoteknologi pada abad ke-21 menjadi suatu tren penelitian di kalangan peneliti dan industri sehingga banyak dihasilkan produk-produk berbasiskan nanomaterial dan nanoteknologi dalam berbagai bidang kehidupan. Industri tekstil telah menggunakan nanoteknologi sebagai metode modifikasi produk tekstil. Salah satunya modifikasi serat kain menggunakan nanopartikel untuk memunculkan sifat antibakteri. Hidrofobisitas dan hidrofilisitas merupakan suatu parameter penting untuk menentukan karakteristik suatu permukaan benda. Senyawa silan dan turunannya merupakan suatu senyawa yang dapat diaplikasikan pada suatu permukaan untuk memunculkan sifat hidrofobik maupun sifat hidrofilik. Senyawa HDTMS merupakan suatu senyawa turunan silan yang memiliki 27 fungsi sebagai coating agent sehingga permukaan material tersebut dapat bersifat antikotor (hifrofob). Serat poliester pada penelitian ini dimodifikasi menggunakan nanopartikel perak dan senyawa HDTMS sebagai antibakteri dan antikotor untuk membuat bahan tekstil dengan sifat fisik dan mekanik yang baru. Nanopartikel perak disintesis menggunakan metode reduksi larutan perak nitrat dengan natrium sitrat sebagai reduktor dan PVA sebagai stabilisator. Deposit nanopartikel pada serat poliester dilakukan dengan sentrifugasi pada kecepatan 600 rpm selama 24 jam. Senyawa HDTMS ditambahkan setelah serat poliester terdeposit nanopartikel perak. Reaksi curing dilakukan pada suhu 130oC selama 60 menit. Serat poliester yang telah terdeposit nanopartikel perak dan HDTMS dikarakterisasi serta dianalisis aktivitas antibakteri dan sudut kontaknya. Karakterisasi menggunakan spektrofotometri UV-Vis dilakukan untuk menentukan keberhasilan terbentuknya nanopartikel perak, karakterisasi menggunakan FTIR-ATR dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi pada sampel. Uji aktivitas antibakteri sampel poliester dilakukan dengan mengukur zona hambat atau zona bening yang terjadi terhadap bakteri Escherichia coli ATCC 35218 dan Staphylococcus aureus ATCC 25923. Adapun uji sudut kontak dilakukan dengan metode sessile drop untuk mengetahui sifat hidrofobisitasnya. Analisis data aktivitas antibakteri sampel poliester dilakukan dengan uji statistik Analisys of Variant 28 (ANOVA), Least Significant Different (LSD), Duncan, dan Independent. 29 uji t-