PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN (Studi Analisis Wacana Kritis dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) Oleh Leni Cahyani NIM: 108051000183 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H./2013 M. KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Segala puji bagi Allah SWT, dan kesejahteraan serta kedamaian semoga dilimpahkan kepada mahlukNya yang paling mulia dan sebaik-baik manusia, yakni Nabi Muhammad SAW, para keluarga beliau, para sahabat beliau yang mulia, dan orang-orang yang mengikuti beliau dengan kebaikan hingga hari pembalasan. Dalam penelitian skripsi ini, peneliti menyadari benar bahwa tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak terkait, peneliti tidak dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Karena berkat arahan, bantuan, petunjuk dan motivasi yang diberikan, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini guna mendapatkan gelar Strata Satu (S1) di Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) Dr. Arief Subhan, M.A, Wakil Dekan I Drs. Wahidin Saputra, M.A, Wakil Dekan II Drs. Mahmud Jalal, M.A, dan Wakil Dekan III Drs. Study Rizal LK, M.A. 2. Drs. Jumroni, M.Si dan Umi Musyarofah, M.A selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. ii 3. Bintan Humeira, S.Sos, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk, dan pemikirannya kepada peneliti. Juga menyemangati peneliti untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 4. Khrisna Pabichara selaku peneliti novel Sepatu Dahlan dan Yunarto Wijaya, S.IP., MM sebagai narasumber pengamat politik yang sudah meluangkan waktunya dan memberikan kesempatan untuk wawancara terkait penelitian novel Sepatu Dahlan. 5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah mendidik serta memberikan beragam ilmu. Semoga ilmu para dosen dibalas dengan ruang yang tak terhingga. 6. Seluruh Staf Tata Usaha dan Karyawan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah membantu peneliti dalam hal administrasi selama perkuliahan dan penelitian skripsi ini. 7. Orang tua tercinta IbuSutiyah dan Bapak Cecep Sahara atas kesabaran dan kepercayaan mereka yang tak henti-hentinya mendoakan, memberi dukungan moril maupun materil, semangat dan motivasi kepada peneliti. 8. Teman-teman KPI F,C,D 2008 dan teman-teman seperjuangan lainnya yang tak henti-hentinya menularkan semangat berjuang untuk skripsi. Semoga silaturahmi kita akan tetap terjaga nantinya, dan suatu saat bisa bertemu dan berkumpul kembali untuk mengenang kebersamaan kita. Amin . 9. Dan semua pihak yang telah membantu dalam penelitian skripsi ini iii Peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan yang diberikan dan mohon maaf atas segala kekhilafan yang terjadi selama ini. Harapan peneliti semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi teman-teman mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya bagi peneliti sendiri. Amin Jakarta, 4 Oktober 2013 Leni Cahyani iv DAFTAR PUSTAKA Buku Arifin, Anwar. Komunikasi Politik Filsafat, Paradigma, Teori, Tujuan Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, Jogjakarta: Graha Ilmu, 2011. ____________. Opini Publik, Jakarta: Gramata Publishing, 2010. Badara, Aris. Analisis Wacana Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012. Danial, Akhmad. Iklan Politik Tv, Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru, Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2009. Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LkiS,2006. Firmanzah, Marketing Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. Hasan Lubis, Hamid. Analisis Wacana Pragmatik, Bandung: Angkasa, 1993. Heryanto, Gun gun. Komunikasi Politik Di Era Industri Citra, Jakarta: PT Laswell Visitama, 2010. ________________. Handout Perkuliahan Matakuliah Komunikasi Politik ________________. dan Farida, Ade rina. Komunikasi Politik, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011. Keraf, Gorys. Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, Ende-Flores: Nusa Indah. 1980. Kurnia Syah Putra, Dedi. Media dan Politik Menemukan Relasi antara Dimensi Simbiosis-Mutualisme Media dan Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012. Kusmayadi, Ismail. Think Smart Bahasa Indonesia, Bandung : Media Grafindo Pratama, 2006. Kriyantono, Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana, 2007. Margaretha, Selu Kushendrawati. Hiperrealitas dan Ruang Publik:sebuah analisis cultural studies, Jakarta: penaku, 2011. Oetomo, Dede. Kelahiran dan Perkembangan analisis wacana, dalam PELLBA, Yogyakarta: Kanisius, 1993. 108 109 Rachmat, Jalaludin. Psikologi Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005. Sobur, Alex. Dr. M.Si,. Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006. Sumardjo, Jakob Dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, Jakarta : Penerbit Gramedia, 1986, cet. Ke-1. Sutrisno. Metodologi Research, Jogjakarta: Andi Offset, 1989. Wijana. Dasar-dasar Pragmatik, Yogyakarta: ANDI, 1996. Data Internet AG Eka Wenats Wuryanta, “perspektif teori kritis dan kultur komunikasi massa”, http://ekawenats.blogspot.com/2010/05/perspektif-teori-kritis-dankultur.html. diakses pada tanggal 30 september 2013, pukul 14:37 Wib Damar Fery Ardiyan, “sedikit catatan: Perspektif Kritis,” artikel diakses pada 30 oktober 2013 dari http://banyulanang.blogspot.com/2011/04/sedikitcatatan-perspektif-kritis,html. Kamaruddin, “Komunikasi Politik dan Pencitraan,” artikel diakses pada 06 januari 2013 dari http://kamaruddinblog.blogspot.com/2010/10/komunikasi-politik-dan-pecitraan.html, Shinta Kusuma, “Pencitraan Bukan Kamuflase”, artikel diakses pada Tanggal 17 september 2013 Pukul 15:41 wib. Dari http://www.pesona.co.id/refleksi/refleksi/pencitraan.bukan.kamuflase/00 1/001/134. Widodo S Jusuf, Dahlan Iskan Jangan Menapaki Jejak SBY, artikel diakses pada Tanggal 17 september 2013 Pukul 15:41 wib dari http://politik.kompasiana.com/2012/03/26/dahlan-iskan-janganmenapaki-jejak-sby-445181.html. Yasraf Amir Piliag, Simulacra Politik, http://www.unisosdem.org, diakses pada 2 juni 2013. 14.37 wib. Lain-lain Akmal Fauzi, “Kajian Pencitraan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Tangerang Selatan” (Tangerang Selatan: Saung Kecapi,2013) DAFTAR ISI ABSTRAK ......................................................................................................... i KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii DAFTAR ISI ...................................................................................................... v DAFTAR TABEL ............................................................................................. vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................... 5 C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 6 D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 6 E. Metodologi Penelitian ................................................................. 7 F. Tinjauan Kepustakaan ................................................................. 12 G. Sistematika Penulisan ................................................................. 13 BAB II KAJIAN TEORITIS A. Media Massa Dalam Perspektif Kritis ........................................ 16 B. Analisis Wacana .......................................................................... 17 C. Citra Politik (Political Image)..................................................... 31 BAB III BIOGRAFI KHRISNA PABICHARA DAN SINOPSIS NOVEL SEPATU DAHLAN A. Riwayat Hidup Khrisna Pabichara ............................................. 39 B. Karya-Karya Khrisna Pabichara ................................................. 41 1. Karya Fiksi Khrisna Pabichara.............................................. 41 2. Karya Non-Fiksi Khrisna Pabichara ..................................... 42 C. Gambaran Umum Novel Sepatu Dahlan .................................... 43 1. Latar Belakang Terbitnya Novel Sepatu Dahlan .................. 43 2. Sinopsis Novel Sepatu Dahlan ............................................. 45 BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS PENELITIAN v A. Analisis Wacana Kritis Pencitraan dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara Dilihat dari Analisis Teks .................. 52 B. Analisis Wacana Kritis Pencitraan Dilihat dari Kognisi Sosial .. 88 C. Analisis Wacana Kritis Pencitraan Dilihat dari Konteks Sosial . 94 D. Interpretasi................................................................................... 97 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.................................................................................. 105 B. Saran ............................................................................................ 107 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 108 LAMPIRAN vi DAFTAR TABEL Halaman 1. Tabel 1. Skema Penelitian dan Metode Van Dijk ......................................... 26 2. Tabel 2. Struktur Model Analisis Wacana Van Dijk .................................... 28 3. Tabel 3. Temuan Teks Pada Novel Sepatu Dahlan ...................................... 89 vii 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Dewasa ini perkembangan teknologi sangatlah pesat seiring melihat manusia zaman sekarang yang kini sudah memasuki masyarakat informasi. Beragamnya teknologi sudah menjadi santapan sehari-hari bagi kehidupan manusia. Media misalnya, sebagai alat informasi menjadi sangat penting pada kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Ini dikarenakan kebutuhan yang besar dari masyarakat akan informasi. Informasi menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi masyarakat. Tidak terkecuali yang terjadi pada media tulisan atau cetak yang merupakan bagian dari media massa itu sendiri. “Beragamnya media massa, khususnya media cetak sangat memperkaya dunia baca bagi masyarakat. Semua pesan dari media massa dikonsumsi oleh masyarakat sebagai bahan informasi dan referensi bagi wawasan ilmu pengetahuan mereka. Karena pada dasarnya media adalah saluran dimana seseorang dapat menyatakan gagasan, isi jiwa atau kesadarannya atau dengan kata lain media adalah alat untuk menyampaikan gagasan.”1 Atar Semi dalam bukunya mengatakan sastra merupakan salah satu karya seni yang bermediakan bahasa. Sastra telah menempati dimensi ruang dan waktu dalam peradaban manusia. Kehadiran sastra tidak dapat ditolak, bahkan kehadirannya telah dianggap sebagai suatu karya kreatif yang mempunyai nilai, hasil imajinasi, dan emosi sehingga dapat diterima sebagai realitas sosial budaya.2 1 2 Anwar Arifin, Opini Publik (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h. 116. Atar Semi, Metode Penelitian Sastra (Bandung : Penerbit Angkasa , 1993 ), h. 1. 2 Sastra merupakan media komunikasi yang menyajikan keindahan, memberikan makna terhadap kehidupan atau pemberian pelepasan ke dunia imajinasi.3 Dalam era globalisasi ini, media komunikasi merupakan aspek penting dalam edukasi publik dalam hal ini edukasi politik publik. Selain melalui media massa harian seperti surat kabar, media buku saat ini merupakan media informasi yang sangat disukai. Buku mengenai riwayat orang-orang penting di dunia telah banyak digunakan untuk menyampaikan informasi dengan berbagai macam bentuk dan dikemas secara baik. Hal itu dilakukan untuk dapat mencapai sasaran khalayaknya dengan baik dan harus mempertimbangkan dengan cermat dan tepat. Dalam suatu informasi, bahasa merupakan unsur yang terpenting, bahasa tidak hanya mencerminkan realitas tetapi juga bisa menciptakan suatu realitas. Tentu saja dalam hal ini adalah novel. “Novel adalah salah satu bentuk karya sastra atau karya seni yang mengandung unsur estetika. Hal lain berkaitan dengan isi cerita, sikap yang dideskripsikan dalam novel mampu mengubah sikap hidup seseorang dan memberikan sebuah persepsi terhadap seseorang, mengingat hal itu tentunya novel dapat dimanfaatkan menjadi sarana yang efektif untuk membentuk suatu image dengan sebuah pendekatan yang baru.”4 Novel juga merupakan seni menulis kata-kata yang indah. Itulah kelebihan dari salah satu karya sastra, ia menyodorkan lebih dari sekedar pemberian pengetahuan. Karya sastra seperti novel bisa langsung masuk ke dasar penghayatan yang paling halus dalam diri manusia lewat bahasa, alur cerita, imajinasi yang dirangkai sedemikian rupa. Dalam hal ini sebuah novel menjadi medium dalam pembentukan citra dimana sebuah realita direalisasikan dalam 3 Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi, (Magelang: Indonesiatera, 2003), h. 2. 4 Yunarto Wijaya, wawancara, Selasa, 16 April 2013. 3 berupa karya imajinatif. Seperti yang dikemukakan Baudrillard, bahwa kita hidup dalam era simulakra. Dimana batas antara realitas dan citra telah melebur. Novel dapat memberikan peranan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat, di mana keberadaanya turut membantu perubahan sosial, karena novel tidak hanya sekedar bacaan hiburan saja, tetapi di dalamnya terkandung pelajaran, pengajaran, serta tingkah laku dan pola-pola kehidupan masyarakat. Sehingga hal demikian dapat dengan mudah khalayak terasuki oleh citra yang dibuat tidak sebagaimana adanya. Di Indonesia buku yang mengupas profil pelaku sejarah, politik, budaya dan sebagainya banyak beredar di pasaran. Buku-buku tersebut mengupas tokohtokoh penting yang ada di Indonesia. Termasuk buku dengan berbagai macam alur cerita yaitu novel Sepatu Dahlan. Novel yang salah satunya berfungsi sebagai media komunikasi kini menjadi medium alternatif bagi para politisi untuk melakukan pencitraan, meningkatkan popularitas dan meningkatnya elektabilitas pemilih. Cara ini menjadi efektif karena sebagian isi dari novel mengandung hiburan dan dapat menarik minat pembaca. Berkaitan dengan hal ini, Noura Books yang menerbitkan novel Sepatu Dahlan pandai memilah sosok yang kisah hidupnya dapat dijadikan sebuah novel. Bersamaan Dahlan Iskan di mana Dahlan merupakan salah satu tokoh yang sedang naik daun di tengah masyarakat dengan kebijakan politiknya dan kepribadiannya yang sederhana. Maka CEO dari Noura Books ini membukukan kisah hidup Dahlan kecil dengan harapan selain untuk menghibur seperti lazimnya 4 sebuah novel juga untuk mendapat keuntungan profit dari terbitnya novel Sepatu Dahlan.5 Novel Sepatu Dahlan adalah karangan Khrisna Pabichara yang menceritakan masa lalu menteri BUMN, Dahlan Iskan. Novel yang memaparkan mengenai profil seorang tokoh politisi merupakan novel yang bertujuan salah satunya adalah untuk menunjukkan citra tokoh tersebut. Selain itu novel dengan konsep seperti ini merupakan buku yang bertujuan untuk menunjukkan eksistensi tokoh tersebut. Bahkan untuk meningkatkan popularitas, berkaitan dengan seorang tokoh Dahlan Iskan yang notabenenya adalah publik figur sebagai Menteri BUMN. Karena terkait dengan citra yang baik, dengan sendirinya akan meningkatkan popularitas dan elektabilitas politisi, begitupun sebaliknya. Sehingga tidak salah politisi melakukan pertarungan pencitraan di dunia politik. Novel yang mengupas aspek-aspek kehidupan sosial seseorang terkait dengan kehidupan kesehariannya dan menceritakan proses perjuangan hidupnya, serta hal-hal lain yang ada di sekitarnya merupakan suatu media sosialisasi publik yang sangat efektif. Oleh karenanya, saat ini buku maupun novel yang menceritakan profil seseorang seperti autobiografi maupun biografi saat ini banyak bermunculan. Melihat kisah yang digambarkan dari perjuangan dan pengorbanan yang dialami Dahlan, peneliti melihat bahwa teks tersebut dibentuk berdasarkan kebutuhan dan informasi apa yang akan disampaikan kepada khalayak media, sehingga dikemas melalui sebuah tulisan. Hal itulah yang mendorong keinginan peneliti untuk meneliti lebih jauh cara penyajian suatu pesan dalam novel yang 5 Wawancara Peneliti dengan Suhindrati Shinta (Penyunting Novel Sepatu Dahlan) di Kantor penerbit Noura Books, pada 30 Agustus 2013. 5 juga terkait pencitraannya sendiri. Dan mengingat saat ini kesadaran publik mengenai politik pencitraan semakin meningkat. Sehingga, novel yang ditulis Khrisna Pabichara ini menjadi novel best seller yang pernah ditayangkan dalam program Kick Andy Foundation dan diminati oleh para pembaca. Berdasarkan pemikiran di atas, penelitian ini diberi judul “Pencitraan dalam Novel Sepatu Dahlan” (Studi Analisis Wacana Kritis dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara). B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Dalam novel Sepatu Dahlan terdapat banyak pencitraan yang ditekankan ke dalam teks oleh Khrisna Pabichara. Kemampuannya menciptakan citra terhadap sosok Dahlan dapat menunjukkan eksistensi tokoh Dahlan Iskan, bahkan untuk meningkatkan popularitas, berkaitan dengan seorang Dahlan Iskan yang notabenenya adalah aktor politik. 2. Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini, penulis memberikan batasan masalah pada pencitraan tokoh Dahlan Iskan dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara. Peneliti merumuskan batasan pencitraan tokoh Dahlan Iskan yang mencakup seluruh isi cerita yang terdiri dari 32 bab dan 369 halaman. 3. Rumusan Masalah Mengacu pada batasan masalah di atas, maka peneliti membuat rumusan masalah sebagai berikut : 6 Bagaimana wacana pencitraan dilihat dari segi teks, kognisi sosial dan konteks sosial yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui wacana pencitraan Dahlan Iskan dari segi teks, kognisi sosial dan konteks sosial dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara D. Manfaat Penelitian Dalam melakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dari segi akademis dan praktis, yaitu: 1. Akademis Untuk pengembangan ilmu komunikasi, diharapkan penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi, dan peningkatan wawasan akademis terutama tentang analisis wacana, dengan fokus kepada analisis wacana karya sastra, sehingga secara umum dapat bermanfaat dan memberikan konstribusi bagi kajian komunikasi penyiaran islam. 2. Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi pelengkap dan bahan perbandingan bagi penelitian serupa yang telah ada, dan memberikan inspirasi dan kontribusi bagi para peminat karya sastra dalam menerapkan sebuah gagasan dan mampu memberikan pengetahuan mendasar terkait dengan pengemasan pencitraan melalui sebuah karya sastra bagi masyarakat. 7 E. Metodologi Penelitian 1. Paradigma penelitian Peneliti menggunakan paradigma kritis dalam penelitian tentang politik pencitraan Dahlan Iskan dalam novel Sepatu Dahlan. Aliran ini sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih tepat ideologically Oriented Inquiry, yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu. Ideologi ini meliputi: Neo Marxisme, materialisme, feminisme, Freireisme, partisipatory inquiry, dan paham-paham yang setara. 6 Dilihat dari ontologis paham paradigma ini sama dengan post positivisme yang menilai objek atau realitas secara kritis (critical realism) yang tidak dapat dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah ini, secara metodologis paham ini mengajukan dialog dengan transformasi untuk menemukan kebenaran realitas yang hakiki. 7 Secara epistimologis hubungan antara pengamat dengan realitas yang menjadi objek merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, aliran ini lebih menekankan subjektifitas dalam menentukan suatu ilmu pengetahuan, karena nilai-nilai yang dianut oleh subjek atau pengamat ikut campur dalam menentukan kebenaran tentang suatu hal. 8 “Paradigma kritis ini sebenarnya ingin mengoreksi pandangan konstruktivis yang dianggap kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis ataupun institusional. Analisis wacana dalam paradigma kritis ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. 6 Norman K. Denzin, dan Egon Guba, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta; PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 41. 7 Norman K. Denzin, dan Egon Guba, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, h. 41. 8 Norman K. Denzin, dan Egon Guba, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, h. 41-42. 8 Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai pikirannya.”9 Bahasa ini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak diluar diri si pembicara. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, ataupun berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, ataupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana kritis digunakan untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa.10 2. Metode penelitian Pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, riset ini bertujuan untuk menjelaskan fenomena sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data dalam wawancara.11 Pendekatan kualitatif menurut Kirk dan Miller bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia, baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya.12 Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.13 Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teori yang digunakan adalah Teori Wacana Kritis (Critical 9 Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: Lks, 2001), h. 6. 10 Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 6. Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis: Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2006), h. 58. 12 Nurul Hidayati, Metodologi Penelitian Dakwah dengan Pendekatan Kualitatif (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), Cet ke 1, h. 7. 13 Lexy J. Moeleng, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993), Cet ke 10, h. 3. 11 9 Discourse) model Teun A. Van Djik. Adapun level yang diteliti menurut level CD Van Dijk, yaitu level segi teks, level segi kognisi sosial, dan level segi konteks sosial. Menurut Lexy J. Moleong penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dipahami oleh subjek penelitian, seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Penelitian ini dilakukan secara holistik dan dengan cara deskriptif dan dalam bentuk katakata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.14 Dalam skripsi ini penelitian akan dilakukan dengan menggunakan analisis wacana dari Teun Van Dijk dengan perspektif analisis paradigma kritis yang berpandangan bahwa media bukanlah saluran bebas dan netral. Komunikasi tidak bisa dilepaskan dari kekuatan-kekuatan yang ada yang mempengaruhi berlangsungnya komunikasi.15Analisis wacana Teun A Van Dijk menggambarkan wacana dalam 3 dimensi, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Melalui analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks berita tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Dalam mengadakan penelitian wacana novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara, selain menganalisis teks, juga diperlukan analisis kognisi sosial dan konteks sosial. Menurut Stuart Hall, titik penting dalam memahami media menurut paradigma kritis adalah bagaimana media melakukan politik pemaknaan, karena makna tidak tergantung pada struktur makna itu sendiri, melainkan pada praktik 14 Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, h. 6. Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2001), h. 48. 15 10 pemaknaan. Dari analisis teks akan diteliti elemen-elemen dari struktur mikro, suprastruktur, dan struktur makro yang terdiri dari tema, latar, detil, maksud, bentuk kalimat, pra anggapan, koherensi, kata ganti, leksikon, grafis dan ekspresi yang digunakan wartawan dalam pemberitaanya. Dengan meneliti hal-hal tersebut, akan diungkap representasi bahasa yang berperan dalam membentuk makna mengenai subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu dan strategi-strategi di dalamnya. Dimensi kedua yang dipakai dalam penelitian ini adalah kognisi sosial. Paradigma kritis mempertanyakan posisi wartawan dan media dalam keseluruhan struktur sosial dan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat yang pada akhirnya posisi tersebut memengaruhi berita, bukan pencerminan dari realitas sebenarnya.16 Hal ini diasumsikan dengan meneliti kesadaran mental individu pengarang dalam membuat teks. Dimensi ketiga yang diteliti adalah konteks sosial. Dalam aspek konteks sosial akan diteliti kondisi masyarakat (tren yang sedang berkembang dalam masyarakat) yang memengaruhi keluarnya suatu pemberitaan yang disajikan wartawan, karena pada umumnya sebuah pemberitaan yang keluar di media massa mengacu kepada suatu fenomena yang terjadi dalam suatu masyarakat. 3. Subjek dan Objek Penelitian Adapun subjek penelitian ini adalah penulis novel Sepatu Dahlan yaitu, Khrisna Pabichara sedangkan objek dari penelitian ini hanya fokus pada isi dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara. 4. Teknik Pengumpulan Data 16 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 32. 11 Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara teks/ dokumen research. Sebagai metode ilmiah penelitian ini digunakan untuk memperoleh data dalam bentuk pengamatan dan pencatatan dengan sistematis fenomena yang diselidiki.17 Dalam hal ini, melalui wawancara peneliti mempunyai tujuan untuk menggali secara mendalam terkait proses pemaknaan dan pemaknaan itu sendiri dari narasumber. Peneliti mewawancarai penulis novel Sepatu Dahlan, yaitu Khrisna Pabichara. Dan untuk memperkuat petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi wawancara peneliti juga mewawancarai pengamat politik yaitu Yunarto Wijaya, SIP., MM dan penyunting novel Sepatu Dahlan Suhindrati Shinta. 5. Teknik Analisis Data “Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan ke dalam kategori, menjabarkan dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.”18 Dalam menganalisis data peneliti menggunakan analisis wacana dibandingkan analisis lainnya. Analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi.19 Dalam penelitian ini peneliti menggunakan model Teun A Van Dijk yang menggambarkan wacana dalam 3 dimensi, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Alasan peneliti menggunakan analisis wacana karena penelitian ini tidak hanya membahas teks semata, namun juga dapat melihat bagaimana suatu pesan disampaikan melalui kata, frasa, kalimat ataupun bentuk metafora apa yang disajikan juga terdapat makna ideologi dalam produksi teks. 17 Sutrisno, Metodologi Research (Jogjakarta: Andi Offset, 1989), h. 192. Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, cv. 2010), h. 89. 19 Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Rosdakarya, 2006), cet. Ke-4, h. 48. 18 12 6. Teknik Penulisan Penulisan dalam penelitian ini merujuk kepada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk, yang diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance). F. Tinjauan Kepustakaan Dalam penyusunan penelitian ini, terdapat beberapa skripsi yang dijadikan tinjauan pustaka, diantaranya: 1. Analisis Wacana Pesan Moral Dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Skripsi ini ditulis oleh Siti Aminah, mahasiswi fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Skripsi ini menggunakan model wacana Van Djik yang menggambarkan sturuktur pragmatik atau struktur kebahasaan dalam novel laskar pelangi (LP). Novel yang sangat fenomenal beberapa tahun lalu dengan penjualan terbaik di Indonesia . 2. Analisis wacana citra perempuan dalam tabloid nova edisi khusus kecantikan tanggal 21-27 november 2011. Skripsi ini ditulis oleh Tiara Mustika, mahasiswi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Jurusan Konsentrasi Jurnalistik. Skipsi ini menekankan kepada artikel-artikel tabloid nova yang dapat membentuk pemikiran khalayak mengenai permasalahan seputar makna kecantikan perempuan dan kriteria apa yang harus dimiliki perempuan agar dapat dikatakan cantik.penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis kritis. 3. Analisis wacana sinetron Dewi Fortuna oleh Mira Khairunnisa, Fakultas FISIP UI Depok tahun 1992. Penelitian ini dilakukan dengan dasar bahwa 13 media massa melalui program-programnya dapat membuat khalayak untuk berpikir mengenai hal apapun kepada pemikiran yang diarahkan media massa, termasuk citra mengenai perempuan yang ideal. Skripsi ini mencoba meneliti pembentukan citra perempuan ideal tersebut oleh media massa dengan cara menganalisis wacana-wacana yang terdapat dalam sinetron yang berjudul Dewi Fortuna. Dari beberapa tinjauan pustaka di atas penelitian ini memiliki karakter yang berbeda, hal ini dapat dilihat dari latar belakang dan analisis yang berbeda dari penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Dan penelitian yang penulis lakukan diharapkan memberi tambahan atau pelengkap dari penelitian yang dilakukan sebelumnya. G. Sistematika Penulisan Untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang hal-hal yang diuraikan dalam penulisan ini, maka penulis membagi sistematika penyusunan penulisan, dimana masing-masing dibagi ke dalam sub-sub dengan rincian sebagai berikut: Pada bab satu peneliti akan menguraikan latar belakang masalah yang menjadi alasan peneliti melakukan penelitian terhadap novel Sepatu Dahlan, juga batasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegiatan penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, kajian teori dan sistematika penulisan. Adapun pada bab dua peneliti menguraikan teori-teori yang menjadi landasan dalam kerangka pemikiran dalam penelitian, diantaranya pembahasan mengenai media massa dalam perspektif kritis, selanjutnya pengertian analisis wacana, analisis wacana Teun A. Van Dijk yang terdiri dari tiga level analisis, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial, selanjutnya pada bab ini juga 14 membahas tentang pengertian citra, media massa dalam pencitraan, dan simulakra. Sedangkan pada bab tiga ini berisi biografi (riwayat hidup) penulis yaitu Khrisna Pabichara yang meliputi sejarah singkat Khrisna Pabichara, Karyakaryanya dan ringkasan cerita novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara. Selanjutnya pada bab empat berisi hasil analisis dan temuan peneliti yang meliputi Analisis wacana kritis pencitraan Dahlan dalam novel Sepatu Dahlan dilihat dari analisis teks yang meliputi struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro, analisis wacana kritis novel Sepatu Dahlan dilihat dari kognisi sosial, analisis wacana kritis novel Sepatu Dahlan dilihat dari konteks sosial. Bab terakhir pada penelitian ini berisi penutup yakni, kesimpulan dan saran. Peneliti berharap dapat mendeskripsikan hasil dari penelitian dan menguraikan data secara baik. Sehingga beberapa uraian penting yang peneliti berikan dari hasil penelitian ini akan dirangkum dalam bahasan kesimpulan. Selanjutnya untuk menyempurnakan penelitian ini peneliti menyisipkan saransaran agar menjadi bahan pertimbangan tentang bahasan peneliti yang telah diangkat sebagai pokok permasalahannya. BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Media massa dalam perspektif kritis Perspektif kritis berasal dari asumsi-asumsi teori Marxis. Pendekatan kritis meneliti kondisi sosial serta membongkar tatanan kekuasaan. Teori tradisional cenderung bersifat netral, ia hanya menyediakan diri sebagai alat untuk menganalisis secara teknis setiap hal dan keadaan termasuk masyarakat. Maka teori kritis ini bertujuan memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat yang irasioanal, selain itu, memberikan kesadaran untuk pembangunan masyarakat rasional yang mana merupakan tempat manusia untuk memuaskan semua kebutuhan dan kemampuannya. Sebagaimana yang diungkapkan Marx Horkheimer.1 Bebarapa teoritisi kritis berpendapat bahwa orang bisa bertahan dari gempuran pengaruh media dan bahwa media menyediakan sekian banyak ruang publik di mana kekuatan elite dominan mampu secara efektif dikritisi secara maksimal. Dalam perdebatan teoritis ini memang harus diperlihatkan sejauh mana pendekatan kritis dan kultural ini dibandingkan dengan penelitian yang bersifat empirik positivistik.2 Teori kritis secara klasifikatif dapat digolongkan pada kelompok aliran Neo Marxis, namun dalam perdebatan filosofis ada yang menganggap bahwa teori 1 Damar Fery Ardiyan, “sedikit catatan: Perspektif Kritis,” http://banyulanang.blogspot.com/2011/04/sedikit-catatan-perspektif-kritis,html. artikel diakses pada tanggal 30 september 2013, pukul 14:37 Wib. 2 AG Eka Wenats Wuryanta, “perspektif teori kritis dan kultur komunikasi massa”, http://ekawenats.blogspot.com/2010/05/perspektif-teori-kritis-dan-kultur.html. diakses pada tanggal 30 september 2013, pukul 14:37 Wib. 15 16 kritis teori yang bukan Marxis lagi. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran Marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Media dalam konteks teori kritis selalu berhubungan dengan ideologi dan hegemoni. Hal ini berkaitan dengan cara bagaimana sebuah realitas wacana atau teks ditafsirkan dan dimaknai dengan cara pandang tertentu.3 “Penelitian media massa lebih diletakkan dalam kesadaran bahwa teks atau wacana dalam media massa mempunyai pengaruh yang sedemikian rupa pada manusia. Seluruh aktifitas dan makna simbolik dapat dilakukan dalam teks media massa. Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan idea, kepentingan atau ideologi tertentu eklas tertentu. Pada titik tertentu teks media pada dirinya sudah bersifat ideologis.”4 Teori kritis melihat bahwa media tidak lepas dari kepentingan, terutama sarat kepentingan kaum pemilik modal, negara atau kelompok yang menindas lainnya. Dalam artian ini media menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat. Konsekuensinya logisnya adalah realitas yang dihasilkan oleh media bersifat pada dirinya bias atau terdistorsi. Proses pemberitaan tidak bisa dipisahkan dengan proses politik yang berlangsung dan akumulasi modal yang dimanfaatkan sebagai sumber daya. Ini merupakan proses interplay yang mana proses ekonomi politik dalam media akan membentuk dan dibentuk melalui proses produksi, distribusi dan konsumsi media tersebut. Ini berarti bahwa apa yang terlihat pada permukaan realitas belum tentu menjawab masalah yang ada. Apa yang nampak dari permukaan harian belum 3 Litlejohn (2002), dalam artikel: AG, Eka Wenats wuryanta, “teori kritis dan varian paradigmatis dalam ilmu komunikasi,” http://ekawenats.blogspot.com/2006/06/teori-kritis-danvarian-paradigmatis.html. diakses pada tanggal 30 september 2013, pukul 14:37 Wib. 4 AG. Eka Wenats Wuriyanta, “teori kritis dan varian paradigmatis dalam ilmu komunikasi,” http://ekawenats.blogspot.com/2006/06/teori-kritis-dan-varian-paradigmatis.html. diakses pada tanggal 30 september 2013, pukul 14:37 Wib. 16 17 tentu mewakili kebenaran realitas itu sendiri. Teori kritis pada akhirnya selalu mengajarkan kecurigaan dan cenderung selalu mempertanyakan realitas yang ditemui, termasuk di dalamnya teks media itu sendiri. B. Analisis wacana 1. Konsep Analisis Wacana Dalam suatu studi terhadap media, terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan, yaitu analisis isi, analisis framing, analisis semiotika, dan analisis wacana. Posisi keempatnya sama-sama berada dalam pembahasan terhadap isi media, khususnya dengan, metodologi kualitatif. Perbedannya adalah pendekatan analisis isi hanya bertujuan melihat peristiwa apa yang diberitakan pada suatu media (to find what), sementara kegiatan pendekatan lainnya melihat bagaimana wartawan memandang suatu peristiwa (to find how). Seiring perkembangannya, analisis isi dinilai memiliki banyak keterbatasan untuk menganalisis isi pesan, terutama dalam menyingkap tingkat ideologis suatu media. Sementara seperti yang Alex Sobur katakan bahwa dengan analisis framing, analisis semiotika, dan analisis wacana, dapat dipahami bahwa isi media itu dipengaruhi oleh berbagai komponen dalam institusi media itu sendiri.5 Rincinya, analisis isi hanya melihat apa yang tertulis dalam teks media. Analisis semiotika meneliti tanda-tanda yang terdapat dalam bahasa atau gambar. Analisis framing membedah cara-cara atau ideologi media dalam mengonstruksi fakta dengan melihat bagian-bagian yang ditonjolkan, dihilangkan, dan arah suatu pemberitaan. Sedangkan analisis wacana melihat bagaimana cara media/ 5 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), cet. Ke-4, h. 3. 17 18 wartawan mewacanakan suatu berita, dengan meneliti struktur dan kesinambungan suatu teks. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan analisis wacana. Istilah wacana secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, artinya „berkata‟ atau berucap‟. Kata tersebut mengalami perkembangan menjadi wacana. Jadi kata wacana dapat diartikan sebagai perkataan atau tuturan. Istilah wacana diperkenalkan dan digunakan oleh para linguis di Indonesia sebagai terjemahan istilah dari bahasa inggris discourse. Kata ini diturunkan dari dis (dan/dalam arah yang berbeda) dan currere (lari).6 Dalam buku Alex Sobur dituliskan pengertian wacana menurut Ismail Maharimin, yakni sebagai kemampuan untuk maju (dalam pembahasan) menurut urut-urutan yang teratur dan semestinya, komunikasi buah pikiran, baik lisan maupun tulisan, yang resmi dan teratur.7 Sedangkan menurut Roger Flower dalam buku Eriyanto mengatakan wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya; kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman.8 Mengenai pengertian analisis wacana, Alex Sobur berpendapat bahwa wacana merupakan studi tentang struktur pesan dalam komunikasi atau telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa.9 6 Dede Oetomo, Kelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana, dalam PELLBA (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 3. 7 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, h. 10. 8 Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media , h. 2. 9 Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, h.75. 18 19 Pembahasan wacana pada segi lain adalah membahas bahasa dan tuturan itu harus di dalam rangkaian kesatuan situasi penggunaan yang utuh. Analisis wacana lebih menekankan pada pemaknaan teks dari pada penjumlahan unit kategori, dasar dari analisis wacana adalah interpretasi, karena analisis wacana merupakan bagian dari metode interpretatif yang mengandalkan pengamatan dan penafsiran peneliti.10 Ada tiga pandangan mengenai analisis wacana dalam bahasa. Pandangan pertama dituturkan kaum positivism-empiris, menurutnya analisis wacana menggambarkan tata tuturan kalimat, bahasa, dan pengertian bahasa. Pandangan kedua disebut sebagai konstruktivisme, yang menempatkan analisis wacana sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud dan makna-makna tertentu. Pandangan ketiga, disebut sebagai paradigma kritis yang menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna, di mana bahasa dipahami sebagai reprentasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya.11 Paradigma kritis melihat bahwa media bukanlah saluran bebas dan netral. Media justru dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan.12 Pandangan ini melihat bagaimana kedudukan wartawan dan media yang bersangkutan dalam keseluruhan proses berita. 2. Analisis Wacana dalam Paradigma kritis Menurut Eriyanto, dalam khasanah studi analisis tekstual analisis wacana masuk dalam paradigma kritis dimana paradigma kritis ini melihat pesan sebagai 10 Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks (Yogyakarta: LkiS,2006), cet. Ke- 7, h. 337. 11 Aris Badara, Analisis Wacana: Teori, Metode dan Penerapannya pada Wacana Media (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 19-20. 12 Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, h. 3-6. 19 20 pertarungan kekuasaan, sehingga teks dipandang sebagai bentuk dominasi dan hegemoni satu kelompok kepada kelompok yang lain.13 Sebagaimana dikutip Alex Sobur dalam bukunya Analisis Teks Media, paradigma kritis menurut Stuart Hall bukan hanya mengubah pandangan mengenai realitas yang dipandang alamiah tersebut, tetapi juga berargumentasi bahwa media adalah kunci utama dari pertarungan kekuasaan tersebut, melalui mana nilai-nilai kelompok dominan dimapankan, dibuat berpengaruh, dan menentukan apa yang diinginkan oleh khalayak. Sedangkan menurut Stephen W. Littlejohn paradigma kritis yaitu, perkembangan teori komunikasi massa yang didsasarkan pada tradisi kritis Eropa (Marxis) cenderung memandang media sebagai alat ideologi kelas dominan.14 Fenomena komunikasi massa bukanlah sekedar sebuah proses pengiriman pesan kepada khalayak, tetapi dalam proses tersebut komunikasi dilihat sebagai produksi dan pertukaran pesan pada saat berinteraksi dengan masyarakat yang bertujuan untuk memproduksi makna tertentu. Paradigma kritis melihat bahwa media bukanlah saluran yang bebas dan netral. Media justru dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Paradigma kritis melihat komunikasi dan proses yang terjadi di dalamnya haruslah dengan pandangan holistik. Menghindari konteks sosial akan menghasilkan distorsi yang serius. Paradigma kritis bersifat holistik dan bergerak dalam struktur sosial ekonomi masyarakat. Karena menurut pandangan kritis, komunikasi tidak dapat dilepaskan 13 Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, h. 21-22. Alex sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, h. 144-145. 14 20 21 dari kekuatan-kekuatan yang ada yang mempengaruhi berlangsungnya komunikasi. Menurut Eriyanto ada beberapa pertanyaan yang muncul dari sebuah paradigma kritis, yaitu siapakah (orang/kelompok) yang menguasai/mengontrol media? Kenapa ia mengontrol? Dan Apa keuntungan yang didapat oleh seseorang/kelompok tersebut dengan mengontrol media? Pihak manakah yang tidak dominan?, sehingga tidak bisa mempunyai akses dan kontrol terhadap media bahkan hanya menjadi objek pengontrolan?15 Pertanyaan tersebut menjadi penting karena paradigma ini percaya bahwa media adalah sarana di mana kelompok dominan dapat mengontrol kelompok yang tidak dominan bahkan mengelompokkan mereka dengan menguasai dan mengontrol media. 3. Pengertian Analisis Wacana Kritis Sebagaimana dikutip Eriyanto dalam bukunya analisis wacana menurut Michael Foucault sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga memengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.16 Berdasarkan hal tersebut analisis wacana yang bersifat kritis yaitu suatu pengkajian secara mendalam yang berusaha mengungkap kegiatan, pandangan, dan identitas berdasarkan bahasa yang digunakan dalam wacana. Dari beberapa pengertian wacana yang disampaikan di atas, analisis wacana kritis lebih mengerucut. Dalam pendekatan kritis memandang bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam membentuk subjek 15 16 Alex sobur, Analisis Teks Media, h. 24. Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, h.65. 21 22 serta berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. Analisis wacana kritis yang juga menggunakan pendekatan kritis menganalisis bahasa tidak saja dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkannya dengan konteks untuk tujuan dan praktik tertentu. Analisis wacana kritis menggali secara mendalam unsur-unsur yang terdapat dalam suatu wacana. Mengutip Fairclough dan Wodak dalam Analisis Wacana yang ditulis Aris Badara mengatakan bahwa analisis wacana kritis adalah bagaimana bahasa menyebabkan kelompok sosial yang bertarung dan mengajukan ideologinya masing-masing. Berikut disajikan karakteristik penting dari analisis kritis17 : a. Tindakan. Wacana dapat dipahami sebagai tindakan (actions) yaitu mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Seseorang berbicara menulis, menggunakan bahasa untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. b. Konteks. Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana dipandang produksi dan dimengerti dan dianalisis dalam konteks tertentu. c. Historis. Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks. d. Kekuasaan. Analisis wacana kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan. Wacana dalam bentuk teks, percakapan atau apapun tidak di pandang sebagai sesuatu yang alamiah wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan yang dimaksudkan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dan masyarakat. 17 Aris Badara, Analisis Wacana: Teori, Metode dan Penerapannya pada Wacana Media, h. 29-32. 22 23 Ideologi adalah salah satu konsep sentral dalam analisis wacana kritis karena setiap bentuk teks, percakapan dan sebagainya adalah praktik ideologi atau pancaran ideologi tertentu. Wacana bagi ideologi adalah medium melalui mana kelompok dominan memerkuasai dan mengomunikasikan kepada khalayak kekuasaan yang mereka miliki sehingga absah dan benar.18 4. Model Analisis Wacana Kritis Analisis wacana ini memiliki beberapa model analisis, yaitu model Roger Fowler dkk., model Theo Van Leeuwen, model Sara Mills, model Teun A. Van Djik dan model Norman Fairclough. Secara singkat, perbedaan kelima model tersebut dapat dilihat pada tiga tingkatan analisis wacana: 1) analisis mikro, yang mempelajari unsur bahasa pada teks, 2) analisis makro, yang menganalisis struktur sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat, dan 3) analisis meso, yaitu analisis pada diri individu sebagai pemroduksi teks dan juga analisis pada sisi khalayak sebagai konsumen teks. Pada model analisis Roger Flower dkk., Theo van Leeuwen, dan Sara Mills, analisisnya hanya dipusatkan pada analisis mikro dan analisis makro tanpa mengikutsertakan analisis meso. Ketiga analisis tersebut memiliki kekuatan praktik sosial dan politik yang tercipta dalam masyarakat. Sebagaimana dikutip Eriyanto, Sara Mils dalam konsepnya lebih melihat pada bagaimana aktor ditampilkan dalam teks. Posisi-posisi ini dalam arti siapa yang menjadi subyek penceritaan dan siapa yang menjadi obyek penceritaan akan menentukan bagaimana struktur teks dan bagaimana makna diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. Selain itu juga diperhatikan bagaimana pembaca dan 18 Aris Badara, Analisis Wacana: Teori, Metode dan Penerapannya pada Wacana Media, h. 34. 23 24 penulis ditampilkan dalam teks dan bagaimana pembaca diidentifikasikan dirinya dalam penceritaan teks.19 Adapun Theo Van Leeuwen memusatkan analisisnya terutama pada keterkaitan antara analisis di tingkat mikro dengan analisis di tingkat makro. Ia mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana.20 Sementara, pada model Van Dijk dan Farchlough, selain memasukkan analisis mikro dan makro, terdapat juga analisis meso yang melihat bagaimana suatu konteks diproduksi dan dikonsumsi. Sehingga dapat dipahami bahwa di antara lima model analisis wacana, analisis Van Dijk dan Fairclough memiliki kelebihan di antara tiga analisis lainnya. Namun, model yang paling banyak dipakai adalah model analisis Van Dijk yang dapat mengelaborasikan elemenelemen wacana sedemikian rupa sehingga dapat digunakan secara lebih praktis dan dapat diterapkan pada berbagai bentuk wacana. Kognisi sosial yang diperkenalkan Van Dijk, diadopsi dari ilmu psikologi sosial. Kognisi sosial ini digunakan untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya suatu teks. Dalam metodenya Van Dijk menggunakan metode penafsiran dalam memahami suatu teks. Metode penafsiran ini mempunyai kelebihan yaitu peneliti tidak hanya dapat melihat makna yang terdapat dalam suatu teks semata, tetapi juga dapat menyelami makna yang tersirat dalam teks tersebut. 5. Analisis Wacana Teun A. Van Djik “Critical discourse analisyst (CDA) has become the general label for a study pf text and talk, emerging from critical linguistics, critical semiotics and in general from sosio-politically conscious and oppositional way of investigating language, discource and communication”.21 19 Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, h. 200-201. Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, h. 171. 21 Teun Van Dijk. Aims of Critical Discource Analisyst (Japan: Discourse. 1995), h. 7. 20 24 25 “Discourse analysis is concerned with the study of relationship between language and the contexts in which it is used. Discourse analysist study language in use: written texts of all kinds, like speech and spoken data from conversation to highly institutionalized forms of talk”.22 Dari dua pernyataan di atas dapat dipahami bahwa analisis wacana kritis bermula dari linguistik kritis, semiotika kritis dan kesadaran sosiopolitik dan merupakan sisi lain penelitian mengenai bahasa, wacana dan komunikasi. Penelitian ini berfokus pada hubungan antara bahasa dan konteks. Konteks dalam analisis wacana Van Dijk berfokus pada aspek bahasa non-verbal, aspek sosial dan aspek situasional dari kegiatan komunikasi, misalnya latar belakang sejarah dan politik, situasi di mana teks tersebut diproduksi dan sebagainya: Menurut Van Djik, wacana dapat berfungsi sebagai suatu pernyataan (assertion), pertanyaan (question), tuduhan (accusation), atau ancaman (threat). Wacana juga dapat digunakan untuk mendeskriminasi atau mempersuasi orang lain untuk melakukan diskriminasi.23 Van Dijk menggambarkan bahwa wacana mempunyai tiga dimensi yang terdiri dari teks, kognisi sosial dan konteks sosial yang digabungkan ke dalam suatu kesatuan analisis. Skema penelitian dan metode analisis wacana Van Dijk dapat digambarkan sebagai berikut: Tabel 1. Skema Penelitian dan Metode Van Dijk Struktur Metode Teks Critical Linguistic Menganalisis bagaimana wacana yang digunkan 22 strategi untuk Teun Van Dijk, Handbook of Discourse Analysist (Amsterdam: academic press, 1988), h. 1. 23 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 71. 25 26 menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu. bagaimana strategi tekstual yang dipakai untuk memarjinalkan suatu kelompok, gagasan atau peristiwa tertentu. Kognisi Sosial Menganalisis bagaimana Wawancara mendalam kognisi penulis dalam memahami seseorang atau peristiwa tertentu yang akan ditulis. Konteks Sosial Studi Pustaka, Penelusuran sejarah, dan Menganalisis bagaimana wacana yang wawancara berkembang dalam masyarakat, proses produksi dan reproduksi seseorang atau peristiwa digambarkan. Sumber: Eriyanto24 a. Teks Teun A. Van Dijk membuat kerangka model analisis wacana, ia melihat suatu wacana terdiri atas berbagai struktur/tingkatan, yang masing masing bagian saling mendukung. Van Djik membaginya kedalam tiga tingkatan: 1. Struktur makro. Ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa. 2. Superstruktur adalah kerangka suatu teks, bagaimana struktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh. 24 Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 224. 26 27 3. Struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase yang dipakai dan sebagainya.25 Struktur/elemen yang dikemukakan Van Djik ini dapat digambarkan sebagai berikut26: Tabel 2 Struktur model analisis Wacana Van Dijk Struktur wacana Struktur Makro Superstruktur Struktur Mikro Struktur Mikro Struktur Mikro Struktur Mikro Hal yang diamati TEMATIK (Tema yang dikedepankan dalam suatu berita) SKEMATIK (Bagaimana pendapat disusun dan dirangkai?) SEMANTIK (Makna yang ingin ditekankan dalam teks berita) SINTAKSIS (Bagaimana pendapat disampaikan?) STILISTIK (Pilihan kata apa yang dipakai?) RETORIS (Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan?) Elemen Topik (Tema dalam novel Sepatu Dahlan) Skema (struktur tiga babak, yaitu: awal, konflik, resolusi) Latar, Detil, Maksud, Pranggapan, nominalisasi Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata ganti Leksiskon Grafis, Ekspresi Metafora, b. Kognisi Sosial Van Dijk meneliti teks dari sisi lain yang tidak dilihat oleh penelitian wacana lainnnya, yaitu unsur kognisi sosial, yang meneliti bagaimana suatu teks diproduksi dengan memperhatikan latar belakang kepercayaan, pengetahuan, prilaku, norma, nilai dan ideologi yang dianut wartawan sebagai bagian dari suatu 25 26 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h.73-74 Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 228-229 27 28 grup. Dalam kerangka analisis Van Djik, perlu ada penelitian mengenai kognisi sosial yang meneliti kesadaran mental wartawan, dalam hal karya sastra maka bisa dikatakan kesadaran mental pengarangnya dalam membentuk teks dalam karyanya. Dalam pandangan Van Djik, analisis wacana tidak dibatasi hanya pada struktur teks, karena struktur wacana itu sendiri menunjukkan atau menandakan sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Untuk membongkar bagaimana makna tersembunyi dari teks, maka dibutuhkan suatu analisis kognisi dan konteks sosial. Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahasa.27 Dalam hal ini diperhatikan bagaimana suatu teks diproduksi dan bagaimana cara ia memandang suatu realitas sosial sehingga dituangkan ke dalam sebuah tulisan tertentu dalam dimensi kognisi sosial yang memiliki hubungan erat dengan proses pembuatan teks dimana peristiwa atau informasi yang hendak ditonjolkan, ditutup- tutupi, waktu, kejadian, dan lokasi, keadaan yang relevan atau perangkat yang dibentuk dalam struktur teks. c. Konteks sosial Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi, konteks sangat penting untuk menentukan makna dari suatu tujuan. Konteks sosial berusaha memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa. Pemakaian kata-kata tertentu, kalimat, gaya tertentu bukan semata-mata dipandang sebagai cara berkomunikasi, tetapi dipandang sebagai politik 27 Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 260. 28 29 berkomunikasi suatu acara untuk mempengaruhi pendapat umum, menciptakan dukungan, memperkuat legitimasi, dan menyingkirkan lawan atau penentang. Dalam pandangan Van Djik, teks itu dapat di analisis dengan menggunakan elemen tersebut. Untuk memperoleh gambaran dari elemen struktur wacana (teks) di atas, berikut adalah penjelasan secara singkat: 1) Tematik Elemen tematik menunjukkan pada gambaran umum dari suatu teks. Secara harfiah tema berarti “sesuatu yang diuraikan”, yaitu suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui tulisannya.28 Tema bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks.29 2) Skematik Skematik menggambarkan bentuk wacana umum yang disusun dengan sejumlah kategori seperti pendahuluan, isi, kesimpulan, pemecahan masalah, penutup, dan sebagainya. Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagianbagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti.30 Struktur skematik memberikan tekanan pada bagian mana yang didahulukan dan bagian mana yang bisa dikemudiankan sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi penting. 28 Gorys Keraf, Komposisi; Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, (Ende-Flores: Nusa Indah. 1980), h. 107 29 Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 229 30 Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 232. 29 30 3) Semantik Semantik adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah makna satuan lingual, baik leksikal (unit semantik terkecil) maupun makna gramatikal (makna yang terbentuk dari gabungan satuan-satuan kebahasaan).31 4) Sintaksis Menurut Pateda dalam buku Analisis Teks Media yang ditulis oleh Alex Sobur, Secara etimologis, kata sintaksis berasal dari kata yunani (sun= „dengan‟ + tattein= „menempatkan‟). Jadi secara etimologis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase.32 Sintaksis bisa juga diartikan sebagai tata bahasa yang membahas hubungan antar kata dalam tuturan/kalimat. 5) Stilistik Stilistik menitikberatkan pada style (gaya bahasa) yaitu cara yang digunakan pengarang untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. 6) Retoris Retoris adalah gaya yang diungkapkan ketika seseorang berbicara atau menulis. Misalnya dengan pemakaian kata yang berlebihan (hiperbolik), atau bertele-tele. Retoris mempunyai fungsi persuasif, dan berhubungan erat 31 Wijana, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta: ANDI. 1996), h. 1. Alex sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, h. 80. 32 30 31 dengan bagaimana pesan itu disampaikan kepada khalayak.33 Strategi retoris juga muncul dalam bentuk interaksi, yakni bagaimana pembicara menempatkan/memposisikan dirinya diantara khalayak. C. Citra Politik (Political Image) Rachmat Kriyantono dalam bukunya yang berjudul Teknik Praktis Riset Komunikasi menyatakan bahwa citra merupakan “mental pictures” yang dibentuk akibat terpaan stimulus.34 Citra merupakan sebuah persepsi tentang suatu realitas dan tidak harus selalu sesuai dengan realitas yang ada. Citra terbentuk berdasarkan informasi yang diterima.35 Menurut Nimmo (1978), citra adalah segala hal yang berkaitan dengan keseharian seseorang menyangkut pengetahuan, perasaan dan kecenderungannya terhadap sesuatu. Sehingga citra dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu.36 Jalaluddin Racmat menyatakan bahwa citra membentuk berdasarkan informasi yang kita terima. Media massa bekerja untuk menyampaikan informasi untuk khalayak dimana informasi tersebut membentuk, mempertahankan atau mendefinisikan citra.37 Politik citra merupakan penggambaran tentang suatu tokoh dalam situasi dan kondisi apa saja baik politik, sosial, budaya dan lain-lain. Dimana ia berperan aktif dalam kegiatan politik dan dapat membentuk image diri menjadi sesuatu yang ia inginkan. Kecenderungan politik citra mengarah pada apa yang disebut Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra, sebagai simulasi 33 Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, h. 83-84 34 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana. 2007), h. 350. 35 Jalaludin Rachmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 223. 36 Kamaruddin, Komunikasi Politik dan Pencitraan, http://kamaruddinblog.blogspot.com/2010/10/komunikasi-politik-dan-pecitraan.html, artikel diakses pada 06 januari 2013, pukul 11:17 37 Jalaludin Rachmat, Psikologi Komunikasi, h. 224. 31 32 realitas. Pada dasarnya simulasi realitas ini merupakan sebuah tindakan yang memiliki tujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu (seolah-olah mewakili kenyataan). Ruang pemaknaan di mana tanda-tanda saling terkait dianggap tidak harus memiliki tautan logis.38 Dari definisi-definisi tersebut di atas maka citra itu pada intinya bisa disimpulkan: 1. Kesan yang timbul karena pemahaman akan suatu kenyataan 2. Citra merupakan kesan atau impresi seseorang terhadap sesuatu. 3. Citra merupakan persepsi yang terbentuk dalam benak manusia 4. Citra adalah pencapaian tujuan dari kegiatan PR, Citra sesuatu yang abstrak tidak dapat diukur dalam ukuran nominal, tapi dapat dirasakan, dan bisa diciptakan.39 Citra di dalam politik lebih dari sekedar strategi untuk menampilkan kandidat kepada para pemilih. Tetapi juga berkaitan dengan kesan yang dimiliki oleh pemilih baik yang diyakini sebagai hal yang benar atau tidak. Artinya citra lebih dari sekedar pesan yang dibuat oleh kandidat ataupun gambaran yang dibuat oleh pemilih tetapi citra merupakan negoisasi, evaluasi, dan konstruksi oleh kandidat dan pemilih dalam sebuah usaha bersama. Pada dasarnya praktek politik pencitraan merupakan strategi bagi politisi untuk mendapatkan dukungan dan perolehan suara. Melalui berbagai media dapat membantu mengemas secara signifikan citra aktor dengan mengkostruksi 38 Gun gun Heryanto, Komunikasi Politik; Di Era Industri Citra (Jakarta:Lasweel Visitama, 2010), h. 51 39 Akmal Fauzi, “Kajian Pencitraan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Tangerang Selatan” (Tangerang Selatan: Saung Kecapi, 2013), h. 11. 32 33 masyarakat agar dapat memberikan efek positif. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan kekuasaan dengan kekuatan media dalam memproduksi citra politik. Di masa lampau, bahkan hingga saat ini pun, politik selalu mendapatkan cap buruk. Padahal sesungguhnya semua orang berpolitik, bahkan ketika sikapnya adalah „tidak berpolitik‟ itu adalah suatu bentuk keputusan politik.40 Dengan membanjirnya informasi yang diterima konsumen politik, masing-masing partai politik (dan politisi) perlu memikirkan strategi yang dapat menentukan kemenangan. Ketika semua partai politik (dan politisi) melakukan hal yang sama, yaitu membeberkan rancangan program kerja mereka, makai partai politik (dan politisi) membutuhkan „image‟ untuk membedakan satu partai politik dengan partai politik lainnya.41 Terdapat beberapa hal yang terkait dalam strategi pembangunan image politik, antara lain:42 1. Waktu Untuk membangun image dibutuhkan waktu yang relatif lama karena masyarakat dan media perlu merangkai satu-persatu pesan dan aktivitas politik untuk kemudian dimaknai dan dibentuk pemahaman umum atas image politik. 2. Konsistensi Membangun image membutuhkan konsistensi dari semua hal yang dilakukan partai politik (dan politisi) bersangkutan untuk mencegah ambiguitas 40 Firmanzah, Marketing Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 229 Firmanzah, Marketing Politik, h. 230 42 Firmanzah, Marketing Politik, h. 232 41 33 34 atau inkonsistensi dalam hal-hal yang dilakukan yang membuat image yang terekam di kalangan publik menjadi tidak utuh. 3. Kesan dan Persepsi Image politik adalah kesan dan persepsi publik terhadap apa saja yang dilakukan partai politik (dan politisi) sehingga mereka harus mampu menempatkan kesan, citra, dan reputasi olitik mereka dalam benak masyarakat. Hal ini menjadi sangat sulit karena masyarakat memiliki derajat kebebasan (degree of freedom) yang cukup tinggi untuk mengartikan semua informasi yang mereka terima. 4. Kesadaran Image politik terdapat dalam kesadaran publik yang berasal dari memori kolektif masyarakat. Masyarakat dan publik adalah entitas yang aktif dan dinamis. Penilaian-penilaian yang berlangsung di masyarakat inilah yang dapat memunculkan kesan dan image politik. D. Simulacra Politik Simulasi (simulation) adalah proses penciptaan bentuk nyata melalui model-model yang tidak mempunyai asal-usul atau referensi realitas, sehingga memampukan manusia membuat yang supernatural, ilusi, fantasi, khayali menjadi tampak nyata. Sedangkan simulakra (simulacra) adalah sebuah duplikasi dari duplikasi, yang aslinya tidak pernah ada, sehingga perbedaan antara duplikasi dan asli menjadi kabur.43 Pemikiran Jean Baudrillard masih lekat dengan pemikiran Marshall McLuhan dalam mengkaji fenomena media, dalam membentuk masyarakat 43 Selu Margaretha Kushendrawati, Hiperrealitas dan Ruang Publik: Sebuah Analisis Cultural Studies (Jakarta; Penaku, 2011), h. 88. 34 35 konsumen. The Simulation dan simulacra adalah konsep yang penting dalam menjelaskan efek media, konsep yang diusung oleh Baudrillard ini mengasumsikan apa yang dibangun oleh media akan menjadi kenyataan. Terlebih lagi ketika kenyataan hasil konstruksi media lebih nyata dari kenyataan yang sesungguhnya sehingga menjadi populer konsep hyperrealitas. Begitu besarnya pengaruh media terhadap pembentukan realitas, efek media terasa sangat kuat terhadap khalayak. Dampak histeris yang dapat dilihat secara kasat mata ketika khalayak dan seorang tokoh yang dikonstruk oleh media melakukan meet and great seolah-olah tokoh itu layak dipuja dan diidolakan. Menurut Baudrillard penjelasan di atas adalah manusia hidup dalam era ketidaknyataan, kehidupan yang dijalani melebihi dari aturan normal bagi kebanyakan orang, media telah memanipulasi melalui perkembangan teknologi komunikasi. Baudrillard memudahkan para peneliti melihat fenomena komunikasi berbasis teknologi informasi. Seperti fenomena tentang masyarakat informasi dan realitas simbolik media. Budaya elektronik memudahkan media membangun opini kepada khalayak sehingga mudah berkembang.44 Politik pencitraan pada dasarnya adalah merupakan simbiosis antara strategi politik dengan teknik pencitraan yang di dalamnya ada pengemasan terhadap sesuatu objek pelaku politik baik itu perorangan (tokoh politik) maupun kelompok (partai politik). politik pencitraan digunakan dalam rangka mempengaruhi persespi, perasaan, pilihan dan keputusan politik tertentu.45 44 Dedi Kurnia Syah Putra, Media dan Politik; Menemukan Relasi antara Dimensi Simbiosis-Mutualisme Media dan Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 113-114. 45 Yasraf Amir Piliag, “Simulacra Politik”, http://www.unisosdem.org, diakses pada tanggal 2 juni 2013, pukul 14:37 wib. 35 36 Pendekatan politik pencitraan secara esensial digunakan untuk menciptakan ketersambungan atau kontinuitas antara realitas dan citra politik. namun dalam imagologi politik, pendekatan pencitraan juga bisa digunakan untuk hal sebaliknya, dimana bila terjadi diskontinuitas antara citra politik dan realitas politik. dalam hal ini pencitraan digunakan untuk menciptakan realitas kedua (second reality) yang didalamnya terdapat kebenaran yang dimanipulasi. Sehingga realitas yang digambarkan lewat pencitraan (realitas virtual) seolah-olah merupakan realitas sebenarnya (realitas aktual). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa politik pencitraan merupakan interprestasi dari simulasi realitas (simulakra). Jean Baudrillard dalam simulations (1981) mengatakan bahwa simulakra adalah strategi penyamaran tanda dan citra (disguising), sebuah proses penjungkirbalikan tanda yang menciptakan kekacauan, turbulensi, dan indeterminasi dalam dunia representasi dan pertandaan. Simulakra politik adalah penggunaan tanda dan citra dalam politik, sedemikian rupa, yang di dalamnya citra telah terputus dari realitas yang direpresentasikan sehingga didalamnya bercampur aduk antara yang asli/palsu, realitas/fantasi, kenyataan/fatamorgana, citra/realitas yang menggiring dunia politik ke arah penopengan realitas (masquerade of reality).46 46 Yasraf Amir Piliag, “Simulacra Politik”, http://www.unisosdem.org, diakses pada 2 juni 2013, pukul 14:37 wib. 36 BAB III BIOGRAFI KHRISNA PABICHARA DAN SINOPSIS NOVEL SEPATU DAHLAN A. Riwayat Hidup Khrisna Pabichara Khrisna Pabichara atau yang biasa disapa Daeng Marewa adalah asli orang indonesia, ia lahir di Sulawesi Selatan, tepatnya di daerah Borongtammatea kabupaten Jeneponto 89 kilometer dari Makassar, pada tanggal 10 november 1975. Beliau merupakan putra kelima dari tujuh bersaudara dari sepasang petani Yadli Malik Daeng Ngadele dan Shafiya Djumpa yaitu seorang pendongeng spesial bagi anak-anak dan cucu-cucunya. Khrisna yang memiiki hobi gemar membaca ini mulai merantau sejak SMA untuk menimba ilmu di sekolah SMKI Negeri Ujung Pandang, dengan mengambil jurusan teater. Lantaran jurusan yang dipilihnya, membuat hobi membaca semakin meningkat bahkan menambahkan hobi baru: gila menulis. Namun sangat disayangkan menimba ilmu di SMKI tidak ditamatkan lantaran masa sekolah selama empat tahun engan diteruskan olehnya. Saat duduk di kelas tiga, beliau pindah kemudian melanjutkan pendidikannya ke SMA Muhammadiyah Sungguminasa, Kabupaten Gowa. Meskipun demikian aktivitas berteater tetap dilakoninya. Bersamaan dengan itu pula Daeng Marewa begitu biasa dipanggil oleh orang-orang terdekatnya mendirikan sebuah Teater Tutur di tanah kelahiran, Kabupaten Jeneponto bersama tiga temannya, Agus Sijaya Dasrum, Syaripuddin D, dan Syaifullah Marewa. 39 40 Group Teater yang dibuatnya sering diundang untuk mengisi acara drama dan teater rakyat di TVRI Stasiun Ujung Pandang. Kegiatan berkesenian itu agak berkurang sejak pemilik hobi gila menulis ini melanjutkan pendidikan dengan jurusan akutansi yang ditekuninya, dengan biaya pendidikan yang ditanggung oleh sebuah lembaga perbankan. Maka, beliau mengabdi selama tiga tahun untuk mendalami akutansi. Setelah kontrak kerja usai, Juni 1997, pendiri Teater Tutur ini memutuskan berhenti dan merantau ke tanah Jawa. Bogor menjadi pilihan saya. Hingga saat ini bersama keluarga, saya masih menetap di Bogor.1 Penyuka prosa ini merupakan ayah dari dua orang putri, berprofesi sebagai penyunting lepas dan aktif dalam berbagai kegiatan literasi. Terobsesi menjadi penulis sejak kecil ini mengatakan, ‘jika ada mimpi, cita-cita, atau harapan terbesar dalam hidup saya, pasti ‘menulis’ jawabannya.’ Sejak duduk di sekolah menengah beliau kerap membayangkan buku yang dianggitnya bisa terpajang disalah satu toko buku. Lalu, pada 1997 tahun mulanya Khrisna merantau ke pulau Jawa dan meninggalkan tanah kelahiran, Makassar dengan mengusung harapan besar menjadi penulis. Menekuni hobi sebagai penulis merupakan kenyataan tidak semudah yang terbayangkan. Hingga akhir 2003, tak satupun penerbit yang menerbitkan buku puisi karyanya. Dengan menerima jawaban dari penerbit bahwa kumpulan puisi tak laku di pasar buku, bahkan gubahan penyair ternama sekalipun. Pernyataan tersebut tidak membuatnya putus asa, bahkan akibat penolakan-penolakan itu 1 Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café Housen Cullinary, pada 5 April 2013. 41 membuat gairah pemimpi menjadi seorang penulis ini terbakar semakin membara. Hingga kemudian ia beralih sejenak ke dunia non-fiksi. Pada tahun 2007, akhirnya lahirlah buku pertama yang berjudul 12 Rahasia Pembelajar Cemerlang. Membuatnya seolah bertemu jodoh, setelah sepuluh tahun menunggu untuk dapat melihat hasil karyanya terpajang di sebuah toko buku. Selama sepuluh tahun itu pula, beliau berkutat di dunia pendidikan dan perbukuan, seorang trainer dan motivator pengembangan kecakapan belajar ini juga semakin aktif menulis esai, cerpen dan puisi di media, juga bergiat sebagai penulis dan penyunting di Kayla Pustaka. Dalam bersastra, ia bergiat di Kosakata, Komunitas Mata Aksara dan Kmunitas Planet Senen. Dengan demikian buku demi buku berlahiran. Karya-karyanya atau buku-buku yang telah diterbitkan yaitu sejak April 2013, penyuka prosa ini sudah menggait 16 buku. Fiksi dan non-fiksi. Karya fiksi yang berupa kumpulan puisi, cerita pendek, dan novel. Sedangkan non-fiksi selalu terkait dengan pengembangan kecakapan belajar. Sebagai berikut. B. Karya-karya Khrisna Pabichara 1. Karya-karya fiksi Khrisna Pabichara a. Di Matamu [Tak] Ada Luka (Kumpulan Puisi, 2004) b. Mengawini Ibu (Kumpulan Cerpen: Kayla Pustaka, 2010) c. Gadis Pakarena (Kumpulan Cerpen: Dolphin, 2012) d. Berumah Di Negeri Angin (Puisi) 42 e. Hikayat Para Perindu (Puisi, 2011) f. Seseorang Bernama Cinta (Puisi) g. Semesta Cinta (Puisi) h. Setitik Embun Menggantung di Sudut Matamu (Puisi, 2011) i. Sakramen Rindu (Puisi) j. Tuhan Mengirimkan Kamu Untuk Kurindui (puisi) k. Revolusi Berkomunikasi l. Baby Learning: Cahaya Cinta Cahaya Mata m. Kolecer dan Hari Raya Hantu n. Pepatu Dahlan (Novel: Noura Books, 2012) o. Surat Dahlan (Novel: Noura Books, 2013) 2. Karya-karya non-fiksi Khrisna Pabichara a. 12 Rahasia Pembelajar Cemerlang (Kolbu, 2007) b. Rahasia Melatih Daya Ingat (Kayla Pustaka, 2010) c. Kamus Nama Indah Islami (Zaman, 2010) d. 10 Rahasia Pembelajar Kreatif (Zaman, 2013) Yang menginspirasi pengarang dalam penulisan semua hasil karya yang telah ada adalah dari segala juru. Kadang lahir dari peristiwa yang diamati selama berhari-hari, kadang hanya terpantik dari sekelebatan peristiwa atau cerita. Terdapat sebuah cerpen yang di anggit oleh penulis novel Sepatu Dahlan ini tersebab dari sebuah berita yang ia tonton di televisi, tentang seorang anak yang „mengawini‟ ibu tirinya. Namun sebagian cerpen yang di gubah olehnya selalu berhubungan dengan tradisi dan adat Bugis- Makasar. 43 Seperti halnya cerpen yang di tulisnya berjudul Kedai Kopi Ceu Enah, ditulis setelah beliau menyaksikan fenomena gurandil sebutan bagi penebang emas liar di Gunung Pongkor, Kabupaten Bogor. Dengan meneropong hal-hal di luar, kenangan dari tanah leluhur selalu berkaitan dengan tradisi atau kearifan lokal daerah tertentu. Karena hal demikian terlintas inspirasi untuk menulis cepen tersebut. Begitu pula dengan tulisan non fiksi. Penulis trilogi Novel Sepatu Dahlan ini biasanya mendapatkan ide karena dipicu oleh pengalaman sehari-hari, baik yang disaksikan maupun yang dialaminya sendiri. Seperti pada karyanya yang berjudul Rahasia Melatih Daya Ingat. Buku itu dutulisnya setelah beliau menyaksikan sendiri betapa lucu dan mirisnya nasib kawan yang menderita penyakit lupa yang akut. Begitu pula dengan Kamus Nama Indah Islami. Buku tersebut lahir tersebab sering diminta untuk mencari atau memberi nama bagi bayi yang baru lahir. “Bagi saya, ide itu laksana bintang liar. Saya harus berusaha untuk mencari, memburu, dan menangkapnya. Setelah itu, mengandangkannya lewat tulisan.” C. Gambaran Umum Novel Sepatu Dahlan 1. Latar Belakang Terbitnya Novel Sepatu Dahlan Novel Sepatu Dahlan muncul dari sebuah ide atau gagasan yang dilontarkan oleh Dede Ridwan, CEO Noura Books. Sebuah lini penerbitan Mizan Group. Hal itu dimulai dari perbincangan ringan Dede Ridwan dengan Khrisna Pabichara pada pertengahan Desember 2011. Ide itu lantas ditawarkan penulisannya kepada Khrisna Pabichara dalam percakapan ringan di cipete. 44 Melihat kisah seseorang yang gigih dalam memperjuangkan harapan dan cita-citanya dengan segala keterbatasan dan situasi yang membelit hidup Dahlan membuat Khrisna tanpa berpikir panjang menerima tawaran tersebut kemudian membukukannya. Khrisna merancang buku itu bukan dalam bentuk biografi atau memoar, melainkan dibentuk dalam sebuah novel. Dengan banyaknya informasi terkait sumber cerita mengenai Dahlan Iskan maka novel ini ditulis oleh Khrisna secara berangkai sebagai novel trilogi. Novel yang berdasarkan kisah dari seorang pejuang ditulis Khrisna dengan beberapa peristiwa yang benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata. Namun sebagaimana lazimnya sebuah novel Khrisna mengolah atau meracik beberapa peristiwa, tokoh, dan latar alur dengan imajinasi.Meskipun Khrisna menulis novel sepatu Dahlan pure imajinasi yang berlatar dari kisah nyata. Namun cerita yang dikemasnya menghasilkan suatu daya tarik sendiri bagi peneliti maupun pembaca. Hal itu dapat memancing pembaca untuk membentuk persepsi sendiri atas kisah yang telah disampaikan mengenai kehidupan Dahlan Iskan. Berdasarkan hal tersebut novel Sepatu Dahlan terbit dalam berupa kisah trilogi. Bersamaan dengan hal itu, Khrisna ingin berbagi kabar kepada pembaca perihal ada seseorang yang begitu semangat berjuang dengan harapan dan kesungguhan dalam menjalani kehidupannya dan mampu dengan ketabahan dan keikhlasan melampau situasi yang melilit hidupnya. Hal lain Khrisna ingin menyampaikannya dengan lebih bewarna 45 yaitu, memperhitungkan latar, alur, konflik dan karakter tokoh Dahlan Iskan dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Kemudian semua dileburkan ke dalam sebuah cerita. 2. Sinopsis Novel Sepatu Dahlan Buku ini mengisahkan tentang perjalanan hidup seorang laki-laki bernama Dahlan (tokoh utama dalam kisah ini). Kisahnya berawal dari sebuah desa kecil di Kebon Dalem, Magetan. Sebuah perkampungan kecil di antara perkebunan tebu yang mayoritas penduduknya hidup kekurangan. Tidak ada listrik ataupun fasilitas lainnya. Saat malam datang rumahrumah itu hanya berhias lampu teplok yang tentunya tidak seterang lampu zaman sekarang ini. Perjalanan kehidupan yang diwarnai dengan rasa lapar terus-menerus sudah menjadi keseharian hidup keluarga Dahlan Iskan dimasa kecilnya. Tiwul adalah makanan keseharian mereka karena hanya itu yang mampu mereka beli. Melihat pekerjaan mereka yang hanya nyabit, nguli nandur, dan ngangon domba. Memang sepertinya hanya itulah yang mampu mereka jangkau dari pada bebutiran beras. Kehidupan mendidiknya dengan keras. Baginya rasa perih dan lapar adalah sahabat baik yang enggan pergi. Begitu pula dengan lecet dikakinya, hal tersebut merupakan bukti perjuangan dalam meraih ilmu. Namun, semua itu tidak menyurutkan semangat Dahlan untuk tetap bersekolah. Meskipun setiap hari dia harus berjalan berkilo-kilometer untuk bersekolah tanpa alas kaki. Tak pernah Dahlan kecil merasakan nikmatnya bersekolah dengan memakai sepatu. 46 Tak hanya itu, sejak kelas 3 Sekolah Rakyat sepulang dari sekolah, selain sebagai pengembala domba-domba keluarga, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukannya demi sesuap nasi tiwul. Tak jarang anak seusianya harus membanting tulang, sehingga kehilangan saat-saat bermain bersama temannya. Di bawah terik matahari yang menyengat, yang sering membuatnya pulang dalam keadaan capek luar biasa, tetapi masih harus bekerja lagi. Ia harus bekerja tidak hanya untuk kebutuhannya saja, tapi juga untuk membantu keluarganya. Ia bekerja sebagai kuli nyeset dan kuli tandur. Tidak hanya nguli nyeset dan nguli tandur, ia juga melatih tim voli anak-anak juragan tebu. Rumah atau lebih tepatnya disebut gubuk keluarga Dahlan Iskan berlantai tanah. Yang jika musim hujan lantai menjadi basah dan lembab. Kalau musim kemarau tiba terasa panas dan berdebu. Di atas lantai tanah itulah, dengan menggelar tikar, Dahlan dan adiknya Zain biasanya memejamkan mata. Tidur dengan sangat lelap. Sedangkan dinding rumahnya dari sisa-sisa batu bata merah yang tak terpakai dan sudah dibuang oleh pemiliknya. Di rumah itu tak ada perabot apapun, termasuk ranjang, maupun kasur, selain sebuah lemari kecil tua, yang dipakai untuk menyimpan peralatan dapur dan peralatan membatik sang ibu. Sedangkan pakaian keluarga itu yang hanya ada beberapa pasang. Sudah cukup digantungkan di paku yang ditancapkan pada dinding rumah. Walaupun demikian, Dahlan selalu beranggapan hidup dalam kemiskinan itu, ia sama sekali tidak merasa menderita. Karena ia menjalani hidup itu dengan apa 47 adanya. Sambil tetap bekerja keras dengan disiplin yang tinggi. Kedisiplinan yang selalu diterapkan dari bapak. Ia selalu menanamkan dalam pikirannya bahwa “Hidup bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya.” Karena hati yang lapang dan sifat yang sabar, hidup serba kekurangan, semua itu tidak membuat Dahlan putus asa. Ia tidak merasakan keriangan masa kanak–kanaknya hilang. Ketegasan dan kelembutan hati seorang ibu, membuatnya bertahan. Persahabatan yang murni menyemangatinya untuk terus berjuang. Sepatu. Itulah benda yang paling diidam-idamkan, paling mewah, sekaligus paling tak terbelikan oleh Dahlan Iskan di kala itu. Orangtuanya yang miskin, ayah hanya bekerja sebagai buruh tani (mengerjakan sawah orang lain), dan sekali-kali menjadi kuli bangunan, sedangkan sang ibu sekali-kali menerima pesanan membatik, tidak mampu untuk membelikan Dahlan sepasang sepatu, bekas sekalipun. Meskipun mereka tahu anak laki-lakinya itu sejak lama sangat menginginkannya. Tak jarang, Dahlan terpaksa menelan air liurnya sendiri ketika melihat ada teman-temannya yang memakai sepatu yang dinilainya bagus. Disertai dengan mimpimimpi indahnya suatu waktu kelak bisa memakai dan mempunyai sepatu. Ibu, sosok yang baik hati dan sabar itu, sangat disayang oleh Dahlan. Pernah suatu ketika saat ibu Dahlan sakit, dan harus dirawat di rumah sakit, Zain dan Dahlan lapar karena tidak ada makanan di rumah. Terpaksa Dahlan mencuri tebu di kebun yang dijaga oleh mandor Komar. Namun, nasib baik sedang tidak berpihak ia tertangkap dan harus 48 menanggung malu. Semenjak itulah ia selalu berusaha tidak mencuri meskipun perut menahan rasa sakit karena lapar. Sakit yang diderita ibunya semakin parah sehingga tidak dapat terselamatkan. Ibunya meninggal saat Zain dan Dahlan lama menunggu kepulangan Ayah yang membawa ibunya kembali ke rumah. Kehidupan Dahlan semakin terpuruk setelah ditinggal Ibunya. Harapan untuk mendapatkan sepasang sepatu yang selalu diutarakan kepada ibunya semakin pupus. Karena lebih banyak kebutuhan yang mendesak dan sangat perlu dibandingkan sepasang sepatu. Selain sepatu, Dahlan juga sangat mendambakan sebuah sepeda. Agar dia tidak perlu lagi berjalan kaki pergi-pulang sejauh 12 kilometer untuk sekolah, di bawah terik matahari yang menyengat. Yang sering membuatnya pulang dalam keadaan capek luar biasa, tetapi masih harus bekerja lagi, nguli nyeset. Dari kerja kerasnya itu Dahlan selalu mendambakan akan mampu membeli sepasang sepatu baginya dan adiknya, Zain. Tetapi, selalu saja tidak kesampaian, karena belum juga duitnya cukup terkumpul, selalu ada keperluan lain yang jauh lebih penting. Membeli gula, garam, beras, minyak goreng, dan sebagainya. Namun demikian, kemiskinan bagi Dahlan bukan halangan untuk menuntut ilmu dan meraih impiannya. Keinginan bersekolah di sekolah idamannya. SMP Magetan tak bisa ia rasakan, bukan karena ia tak bisa bersekolah di Magetan, lantaran larangan dari bapak. Bapak melarang karena faktor biaya dan jarak bersekolah yang 49 terlalu jauh. Hingga bapak meimnta Dahlan untuk bersekolah di Pesantren Takeran, karena banyak keluarga yang memang di sekolahkan di sana. Dahlan pun masuk ke Pesantren Takeran dengan melewati masa orientasi yang menyenangkan terutama dengan kata-kata sambutan yang bijak dari Ustad Ilham yang membuat Dahlan merasa bersalah karena telah memandang remeh Pesantren ini. Sejarah pesantren Takeran tak bisa dipisahkan dengan pelarian Pangeran Diponegoro, Kyai Hasan Ulama bersama sahabatnya Kyai Muhammad Ilyas yang mendirikan Pesantren Takeran pada tahun 1430 H. sejarah pesantren takeran juga tidak lepas dari sejarah Kiai Mursid yang mengubah nama pesantren Takeran menjadi Pesantren Sabilil Muttaqien yang ditahan oleh FDR yang didampingi oleh sahabatnya Imam Faham dan tidak kembali lagi. Di pesantren itu pula Dahlan mengikuti tim bola voli di sekolahnya dan menjadi peserta unggulan. Pernah suatu ketika, Dahlan bersama teman satu tim mewakili sekolahnya dalam kejuaraan bola voli kemudian berhasil menjadi juara. Yang pada awalnya Dahlan dan teman-temannya sempat putus asa karena dalam pertandingan tersebut diwajibkan memakai sepatu, sedangkan Dahlan tak memiliki sepatu. Namun ia dan teman setim tidak menyerah begiu saja. Pertandingan tetap dijalaninya. hingga tak disangka karena prestasi yang bagus dalam bola voli Ia dipercayai menjadi ketua tim voli Pesantren Takeran. Demikian pula ia menjadi pelatih voli anak-anak juragan tebu. Untuk menambah tabungannya dengan upah yang tak seberapa. Dengan kepolosan, ketekunan, kerajinan, ketakwaan yang 50 dimiliki oleh Dahlan. Iapun terpilih sebagai pengurus ikatan santri yang baru, yang harus memegang amanat yang dibebankan olehnya. Menjalankannya dengan pesan dari Kiai Irsjad bahwa untuk menjadi pemimpin santri itu harus tawaduk, harus rendah hati, karena menjadi pemimpin bukan berarti menjadi penguasa yang berhak memerintah sekehendak hati, melainkan jadi pelayan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Kemudian harus tawakal. Karena dunia ini hanya persinggahan semata. Jabatan adalah amanat yang dilimpahkan kepada kita, kelak kita akan dimintai pertanggung jawaban. 2 Kehidupan telah mendidik Dahlan kecil dengan keras. Hidup kekurangan, mengharukan, menyedihkan telah dirasakannya. Ketegasan sang ayah dan kelembutan seorang ibu, membuatnya tetap bertahan. Persahabatan yang murni menyemangatinya untuk terus berjuang untuk meraih impiannya. Mendapatkan sepatu dan sepeda menjadi cita-cita besarnya. Baginya kemiskinan bukan untuk ditakuti ataupun disesali. Hingga akhirnya keinginan itu bisa tercapai, dari hasil jeri payah dan kerja keras Dahlan dapat membeli sepasang sepatu untuknya bekaspun tak jadi masalah, sehingga Dahlan juga dapat membelikan adiknya Zain sepasang sepatu. Tiba hari kelulusan para santri Pesantren Takeran membuat Dahlan bersedih karena takut kehilangan sahabat pejuang yang begtu murni, yang saling mendukung, selalu menghadapi bersama-sama, selalu memberikan 2 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, Noura books, Jakarta, 2012. Hal. 158 51 semangat juang, sahabat yang selalu memberikan kisah penuh canda dan tawa. Ketika malam hari Arif berkunjung ke rumah Dahlan dengan sepeda melaju dengan sangat cepat untuk menyampaikan surat penting dari Aisha. Wanita yang ia sukai sejak duduk di sekolah menengah. Namun Dahlan tak pernah memiliki nyali untuk mengatakan perasaan itu kepada Aisha. Surat yang isinya mengatakan bahwa Aisha juga menaruh hati pada Dahlan, dan ia meminta Dahlan untuk menunggunya selama tiga tahun karena setelah lulus Aisha melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta. Sepintas Dahlan merenung dan berpikir meminta izin kepada bapaknya untuk merantau ke Samarinda tempat kakaknya. Keinginan itu direstui oleh bapak Dahlan. Meskipun berat karena Dahlan harus meninggalkan adiknya Zain yang begitu amat disayanginya. BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS PENELITIAN A. Hasil Temuan Penelitian Dalam analisis teks, peneliti memfokuskan pada strategi wacana serta teknik penulisan yang dipakai untuk menggambarkan peristiwa tertentu, dengan cara menguraikan struktur kebahasaan secara makro (tematik), superstruktur (skematik), dan mikro (semantik, sintaksis, stilistik dan retoris). Novel Sepatu Dahlan setebal tiga ratus enam puluh halaman dirangkai oleh Khrisna Pabichara dengan alur yang terdiri atas satu prolog dari halaman satu sampai halaman sembilan, tiga puluh dua episode dari halaman tiga belas sampai halaman tiga ratus lima puluh sembilan dan epilog dari halaman tiga ratus enam pulu empat sampai halaman tiga ratus enam puluh sembilan. Tidak kesemua judul terkait secara langsung tentang pencitraan Dahlan Iskan. Melainkan pula terdapat kisah yang menceritakan sosok Dahlan terkait dengan lingkungan di sekitar. Peneliti menganalisis dan mengkategorikan kalimatkalimat yang terkait secara langsung dengan sosok Dahlan melalui cerita novel tersebut. Hal tersebut dilakukan karena penelitian ini merupakan penelitian dengan tujuan utamanya adalah untuk menganalisa penggambaran pencitraan Dahlan Iskan sebagai tokoh utama dalam Novel Sepatu Dahlan. Secara lebih jelas, analisis teks wacana kritis Novel Sepatu Dahlan mengenai pencitraan yang terbangun atas novel tersebut dapat dijelaskan secara rinci pada masing-masing sub bab di bawah ini melalui elemen analisis teks model Van Dijk. 52 53 1. Struktur makro Unsur global dari wacana disebut tematik. Tema merupakan gagasan inti dari suatu teks yang menggambarkan apa yang ingin disampaikan oleh seorang penulis kepada pembaca melalui tulisannya dalam melihat atau memandang suatu peristiwa. Tema dalam suatu karya fiksi atau novel merupakan gagasan sentral yang menjadi dasar penulisan sebuah karya dan dalam tema itu tercakup persoalan dan tujuan atau amanat penulis kepada pembaca melalui tulisannya. Secara keseluruhan, Novel Sepatu Dahlan menceritakan tentang perjalanan kehidupan Dahlan kecil. Kisah tersebut diawali dengan prolog kemudian mengkisahkan perjuangan hidup Dahlan kecil yang tinggal di Perkampungan, Desa Kebon Dalem Magetan sampai lulus sekolah menengah dan setelah itu berencana merantau. Namun, di akhir cerita novel ini terdapat epilog yang membangunkan dan mengkisahkan cerita baru berupa sebuah mimpi baru bagi Dahlan. a. Mimpi Dan Cita-cita Tema secara umum pada Novel Sepatu Dahlan adalah menguraikan tentang Mimpi dan Cita-cita. Tema tersebut diuraikan penulis dalam bentuk masalah sosial, khususnya kemampuan seseorang untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya dengan menempuh berbagai cara. Khrisna Pabichara mengungkapkan bagaimana upaya yang dilakukan Dahlan kecil untuk meraih mimpi dan cita-citanya berupa sepatu dan sepeda. Dan bagaimana Dahlan kecil dengan lincahnya menggapai visi hidupnya. Tidak pernah takut bermimpi untuk meraih cita-cita 54 setinggi-tingginya. Akan tetapi yang menarik di sini adalah seolah Dahlan paham betul efek dari kerja kerasnya untuk masa depannya. Padahal masa itu adalah masa bermain Dahlan, yang seharusnya tidak terlalu jauh berfikir tentang visi dan misi hidupnya, akan tetapi Dahlan berimajinasi diluar batas anak seusianya. Mengenai sepatu dan sepeda yang menjadi mimpi dan cita-cita terlihat dalam penggalan berikut ini. “Tak ada salahnya bermimpi punya sepatu, tetapi jangan karena mimpi itu belum tercapai lantas kamu putus asa. Hidup ini keras, kamu harus berjuang sendiri” “Meskipun Ibu pasti menyadari bahwa aku memang sejak dulu ingin sepatu, dan keinginan itu semakin bertambah setelah aku menginjak usia remaja. Dengan sepatu itu, kakiku tidak perlu melepuh atau lecetlecet. Meski begitu, aku tak berharap Ibu atau Bapak akan membelikan sepatu untukku. Kemiskinan telah mengajari kami bahwa banyak yang lebih penting dibeli dibanding sepatu.”1 Kemahiran penulis novel dalam merangkai teks terangkai dalam setiap kalimatnya yang ia tulis. Seperti kegigihan Dahlan kecil yang tertulis di dalam teks, sangat terasa dimata pembaca novel. Menggambarkan betapa keinginan Dahlan dalam mewujudkan cita-citanya untuk memiliki sepatu dan sepeda. Teks tersebut juga menggambarkan betapa kemandirian Dahlan semenjak kecil karena ia ingin mewujudkan cita-citanya tanpa dibantu orang tuanya. “Mimpi-mimpiku itu, seandainya sepatu dan sepeda tak layak disebut cita-cita, tak jauh berbeda dengan mimpi-mimpi anak-anak di kampungku. Bedanya, sepenuh daya aku berusaha meraih mimpimimpi itu, dan tak berhenti sampai benar-benar aku memilikinya. Dulu aku sering bertanya-tanya bagaimana rasanya orang-orang berjalan dengan sepatu, dan bertekad kelak aku harus bisa beli sepatu. 1 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, (Jakarta Noura Books PT. Mizan Publika), h. 40-41 55 Harus. Dulu aku juga sering memikirkan enaknya memperpendek jarak tempuh dengan sebuah sepeda, dan kupikir akan sangat menghemat waktu dibanding jalan kaki, hingga aku sangat meninginkan sebuah sepeda.” “Aku pernah nguli nandur berhari-hari, berharap dari upahnya aku bisa membeli sepasang sepatu. Namun, ketika upah itu kuterima, ada barang lain yang mesti ditebus dan itu jauh lebih mendesak dibanding sepatu seperti beras, tepung singkong, cabai, gula, atau minyak tanah. Aku ikut nguli nyeset dan berharap dari upahnya aku bisa punya sepeda, tetapi ada saja yang terjadi sehingga upah itu tak pernah dipakai membeli sepeda.”2 Kegigihan, cita-cita yang tinggi yang dimiliki Dahlan menjadi nilai tersendiri bagi penulis novel dalam mengolah kata-kata, yaitu Khrisna Pabichara. Ia mengatakan usaha yang dilakukan Dahlan kecil sama halnya yang ia lakukan sejak kecil dalam menggapai sebuah mimpi, jeri payah, semangat, dan pantang menyerah. Kesamaan latar belakang menjadi daya tarik sendiri untuk penulis. Alasan inilah yang membuat Khrisna antusias dalam menulis tentang kehidupan Dahlan. Hal demikian tercakup pada hasil wawancara sebagai berikut. “secara pribadi saya menyukai pemikiran dan terobosan Dahlan Iskan yang kerap dituturkan lewat tulisan-tulisan di media. Saya juga ingin berbagi kabar kepada pembaca perihal ada seseorang yang begitu gigih memperjuangkan harapan dan cita-cita sederhananya. Bahkan dengan segala keterbatasan, mampu melampau situasi yang membelit dan melilit hidupnya. Hal lain, masa kecil Dahlan Iskan rada mirip dengan masa kecil saya. Kami lahir dan besar dari keluarga sederhana, sebut saja miskin- yang buat makan saja amat susah. Kami juga samasama mengembala kambing, bedanya hanya pada ternak piaraan: pak Dahlan menggembala kambing, saya menggembala kerbau. O ya, kami juga sama-sama nyeker kalau ke sekolah. Ini saya maksud dengan ada kemiripan latar masa lalu. Kalaupun ada perbedaan, lebih lantaran Dahlan Iskan sekarang sudah kaya. Saya, belum. Hehe”3 2 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 337-338 Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café Housen Cullinary, pada 5 April 2013. 3 56 b. Kesederhanaan Topik lain yang disajikan dalam tema sentral di atas adalah mengenai kehidupan yang sederhana. Tema hidup sederhana tersebut merupakan serangkaian alur cerita yang menggambarkan kondisi kehidupan keluarga Dahlan kecil. Dahlan dibesarkan dilingkungan pedesaan dangan serba kekurangan, begitu pula dengan rumahnya yang berlantai tanah. Jika musim hujan datang lantai selalu basah dan ketika musim kemarau lantai akan selalu berdebu. Disisi lain ada cerita menarik yang yang menggambarkan betapa serba kekurangannya Dahlan saat kecil. Disitu diceritakan Dahlan kecil hanya memiliki satu celana pendek dan satu baju, tapi masih memiliki satu sarung. Diceritakan dalam novel bahwa sarung yang Dahlan miliki bisa jadi apa saja. Mulai jadi alat ibadah, mencari rezeki, alat hiburan, fashion, kesehatan sampai menjadi alat untuk menakut-nakuti. Dimana kisah mengenai kehidupan Dahlan digambarkan Khrisna seperti di bawah ini; “Pakaian misalnya, aku hanya punya sepasang dan itu alamat akan jadi bahan ejekan bagi murid-murid lain yang rata-rata punya orang tua yang mampu membelikan mereka banyak pakaian.”4 Teks ini menjelaskan kondisi kehidupan Dahlan yang sederhana, yang hidup dalam kemiskinan, Dahlan nampak terlihat kekurangan semenjak kecil, tidak pernah membayangkan memiliki pakaian lebih, untuk makan sehari-hari saja belum tentu bisa. Seperti teks yang peneliti temui sebagai berikut. “sebatang pohon mangga yang rimbun tepat berada di tengah halaman. Jelang musim hujan, mangga itu adalah rezeki berlimpah 4 h. 21-22 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, (Jakarta Noura Books PT. Mizan Publika), 57 bagi kami;buah pengganjal perut. Di dekat pagar, tiga pohon kelapa gading berjajar dengan rapi. Tingginya sekitar lima meter. Kelapa gading yang di tengah itu sering mengancam nyawa adikku.”5 Dalam teks di atas dijelaskan bahwa ketika musim hujan tiba adalah rezeky yang berlimpah bagi Dahlan karena mendapatkan buah mangga. Artinya buah mangga itu menjadi makanan pengganjal perut Dahlan dan Adiknya disaat lapar. Selain itu yang digambarkan sederhana dalam kehidupan Dahlan peneliti temukan dalam teks sebagai berikut. “Rumahku. Seperti rumah lainnya di kampung ini, berlantai tanah. Jika musim hujan tiba, akan lembab dan basah. Setiap kemarau datang, lantai tanah itu panas dan berdebu. Di sana, di lantai tanah yang lembab atau berdebu itu, aku dan adikku menggelar tikar setiap malam. Ajaibnya, kami selalu bisa mendengkur dengan nikmat”6 Melalui tulisannya, Khrisna melukiskan secara fakta kondisi kehidupan yang di alami Dahlan kecil. Penggambaran hidup sederhana Dahlan kecil yang disampaikan penulis dalam tulisannya mencerminkan tokoh dengan sosok figur yang sederhana. Dengan adanya figur Dahlan dalam novel, Khrisna menggambarkan fenomena sebagian kehidupan rakyat kalangan bawah, mulai dari masalah ekonomi maupun pendidikan. Hal yang menyangkut tema hidup sederhana juga terdapat dalam kalimat sebagai berikut. “Sejak Ibu meninggal, Bapak jarang di rumah. Setiap malam tiba, dengan lampu teplok di tangan, beliau ke sawah bengkok yang dia garap. Kadang pulang setelah malam larut, kadang beberapa saat sebelum subuh berkumandang, lalu pergi lagi. Aku dan Zain juga sama. Bangun lebih pagi dari biasanya, bersama-sama ke tegalan, pematang-pematang sawah, atau ke jalanan pembatas ladang tebu untuk menyambit rumput. Embun masih tersisa di daun rumput yang 5 6 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 44 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 42 58 kami sabit itu, tapi kami harus berlomba dengan matahari. Setiba di rumah, tak ada sarapan pagi. Paling sekedar teh hangat dari air yang dijerang Bapak..”7 Gambaran kehidupan Dahlan yang sederhana dapat dilihat pada teks di atas yang menjelaskan tidak ada sajian istimewa untuk dihidangkan, hanya sekedar air teh hangat yang disediakan oleh bapak Dahlan. Sederhana yang dimiliki Dahlan tidak hanya sederhana dalam kehidupannya, mulai dari pakaian, kondisi rumah, bahkan untuk makan sehari-hari tak pernah terlihat istimewa. c. Perjuangan Tema selanjutnya menguraikan arti perjuangan seseorang. Berbeda dengan tema sebelumnya, tema perjuangan yang dipaparkan Khrisna menjelaskan seorang anak dusun yang berjuang. Bagaimana perjuangan Dahlan kecil demi mendapatkan pendidikan, susah payah yang ia dapatkan semasa sekolah hingga perjuanganya mendapatkan sepasang sepatu untuk digunakannya saat bersekolah. Kisah Dahlan dalam novel ini bertujuan untuk membangkitkan semangat setiap orang yang membacanya karena berisi pesan moral yang sangat kuat. Salah satunya adalah bahwa setiap orang berhak atas keberhasilan dalam hidupnya. Tidak peduli dia lahir dari keluarga miskin sekalipun. Keras dan pahitnya perjuangan hidup Dahlan kecil untuk tetap terus menuntut ilmu dan bersekolah. Baginya, pendidikan adalah hal yang tidak bisa tergantikan dengan harta kekayaan manapun, siapa yang ingin sukses maka ia 7 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 163 59 harus siap menjadi sosok terdidik walau sesulit apapun perjuangan yang ia hadapi. Baginya rasa perih karena lapar adalah sahabat baik yang enggan pergi. Begitu pula dengan lecet di kakinya, bukti perjuangan dan kegigihan dalam meraih ilmu. Bagaimana tidak, ia harus berjalan berkilo-kilometer untuk bersekolah tanpa alas kaki. Semua itu tak membuat Dahlan putus asa, justru ia terus termotivasi untuk terus belajar dan menggapai cita-citanya. Hal tersebut tercakup dalam teks berikut. “Ibu yang sedang asyik membatik terkejut dan segera mendatangiku. “Capek, le”? Capek banget, Bu,” keluhku sambil membaringkan badan, memejamkan mata. “tidur dulu sebentar.” Aku menggelengkan kepala. “Ndak ada waktu, Bu. Harus nyabit lagi.” “tapi kamu kan baru pulang, le? „ini hari pertama, Bu. Kata bapak, nanti juga terbiasa.” Ibu tersenyum dengan manis, “iya…”8 Teks di atas menunjukkan bahwa Dahlan adalah anak yang suka bekerja keras. Ketika sepulang sekolah ia tetap menjalankan tugasnya menyabit rumput. Meskipun lelah, ia tetap bekerja. Seperti saat ibu menyuruh Dahlan istirahat, namun ia tetap bekerja. Kutipan lain adalah sebagai berikut; “keputusan sudah ditetapkan. Tak boleh ada bantahan atau sanggahan. Tapi, aku bukan orang yang gampang menyerah.”9 “Hari pertama di Pesantren Takeran memang telah mengobati kekecewaan hatiku karena gagal melanjutkan sekolah di tempat impian. Namun, ketika dalam perjalanan pulang, alam menghadirkan kejutan yang tak kalah menyiksa. Matahari tepat berada di ubun-ubun, panas membara. Bayang-bayang memendek. Aku berjalan kaki sepanjang enam kilometer dengan perut keroncongan. Keringat bercucuran di dahi, leher, dan punggung. Kerongkongan yang kering terasa terbakar. Waktu berlalu amat lambat. Setiba di rumah, aku 8 9 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 39-40 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 20 60 terkapar. Tak berdaya karena haus dan lapar. Pandangan berkunangkunang, kesadaran menipis, dada sesak, dan napas tersengal-sengal.”10 Pada teks di atas Khrisna mengungkapkan secara fakta, ini didasarkan penelitian penulis ketempat-tempat dimana dulu Dahlan menjalani hidupnya. Berjalan enam kilometer, mengembala domba, berjalan ditengah-tengah perkebunan tebu dan bergesekan dengan daun tebu tanpa alas kaki. Inilah sebagian penelitian penulis terhadap kisah perjuangan dari seorang Dahlan untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Khrisna terjun langsung ke lapangan untuk merasakan apa yang dirasakan Dahlan ketika itu. Ini dilakukan agar penulis bisa merasakan apa yang dialami Dahlan, dan apa yang di tulis dalam novel dengan kejadian aslinya tidak jauh berbeda. Khrisna menguraikan sosok Dahlan Iskan, tokoh utama dalam novel Sepatu Dahlan dengan berbagai upaya suka cita yang dilewati Dahlan kecil dalam menempuh perjalanan ke sekolah yang setiap harinya dialami ketika pulang dan pergi ke sekolah. Hal demikian dapat menunjukkan citra sebagai pejuang bagi tokoh Dahlan tersebut. Teks yang menguraikan Dahlan Iskan sebagai sosok pekerja keras juga terdapat pada penggalan kalimat berikut. “sungguh aku ingin mengatakan bahwa selama ini tak ada waktu luang agar aku bisa belajar dengan tenang. Setelah salat subuh sudah harus menyabit rumput, terus ke sekolah, setelahnya menyabit rumput lagi, lalu belajar mengaji, ngangon domba, dan tatkala malam sudah menyelimuti Kebon Dalem tak mungkin lagi belajar karena gelap gulita. Tapi, lidahku sekonyong-konyong kelu, tak mampu mengatakan apa pun.”11 10 11 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 39 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 19 61 Kalimat di atas diuraikan kembali oleh Khrisna pada bab ke tujuh yang berjudul „senyum ibu‟ pada cerita novel sepatu Dahlan. “Matahari belum terbit waktu aku pulang nyabit rumput untuk dombadombaku. Biasanya setelah salat Subuh aku bertualang ke pematangpematang sawah atau jalanan pembatas ladang tebu untuk menyabit rumput. Setelah itu, baru berangkat ke sekolah yang letaknya tak seberapa jauh dari Kebon Dalem, tepatnya di Kampung Bukur, di seberang Sungai Kanal.”12 “Aku dan Zain juga sama. Bangun lebih pagi dari biasanya, bersamasama ke tegalan, pematang-pematang sawah, atau ke jalanan pembatas ladang tebu untuk menyambit rumput. Embun masih tersisa di daun rumput yang kami sabit itu, tapi kami harus berlomba dengan matahari.”13 Dalam teks di atas Khrisna menyampaikan sejarah perjuangan yang dialami Dahlan, kerja keras setiap hari, setiap pagi sehabis shalat subuh Dahlan selalu bekerja menyabit rumput setelah itu ia berangkat ke sekolah. Tak hanya itu, sepulang belajar, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukanya demi sesuap nasi tiwul. Mulai dari nguli, nyeset, nguli nandur, sampai melatih tim voli anak-anak juragan tahu. Usaha yang dilakukan Dahlan diselipkan Khrisna dalam bab satu dan bab tujuh yang menceritakan tentang usaha kerja keras untuk menyambung hidupnya. Hal itu dilakukan dengan semangat hidup dan keyakinan atas kekuasaan Allah SWT, Dahlan terus tumbuh menjadi sosok pejuang yang sukses. d. Kedisiplinan Tema selanjutnya menerapkan sebuah kedisiplinan. Dahlan selain dapat dikenal sebagai figur yang sederhana, ia juga dapat dikenal sebagai sosok yang disiplin. Meskipun terlahir dalam kondisi keluarga serba 12 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 74-75 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 163 13 62 kekurangan, namun Dahlan terdidik dengan keras, pendidikan dan kedisiplinan selalu diterapkan dalam dirinya. Sejak kecil Dahlan selalu dididik agar selalu disiplin. Baik dalam segi waktu, sikap, maupun hal-hal yang berkaitan dengan kedisplinan. Hal tersebut dideskripsikan oleh penulis pada bab ke lima dalam novel sepatu Dahlan yang berjudul „berhenti merawat luka‟. “Hari ini aku memakai kemeja baru. Kata Ibu, hadiah dari Bu Mantri karena aku rajin membantu Ibu. Andai saja hadiahnya sepatu. Aku segera mengusir angan-angan tentang sepatu itu sebab hanya akan menambah perih di hati dan lecet di kaki. Tibalah aku di depan papan pengumuman yang terpajang di dinding kantor. Belum seorang pun santri yang datang. Baru aku seorang. Dan, ini hal yang biasa bagiku. Di rumah, Bapak sangat ketat melatih kami soal disiplin, begitulah cara kami menghargai waktu.”14 “seperti aturan-aturan lain di rumahku, larangan itupun tak boleh dilanggar. Kedisiplinan bapak itu telah mengkristal di hatiku.”15 Memiliki sikap disiplin dalam bekerja dan dalam hal apapun terserap pada tokoh Dahlan sejak kecil dalam novel Sepatu Dahlan. Dan apa yang di tuangkan Khrisna mengenai Dahlan dalam novel tersebut tergambar tokoh dengan karakter yang disiplin. Ini tertulis di dalam bab yang ada dalam novel. e. Persahabatan Tema lain yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan adalah tema mengenai sebuah persahabatan. Hal tersebut mengacu pada kisah persahabatan semasa remaja Dahlan. Sebenarnya selain dua hal tersebut, persahabatan juga mewarnai harti-hari Dahlan kecil. Betapa persahabatan membuat segala hal menjadi mudah jika dipikirkan bersama. Tak ada yang tak bisa jika seluruh 14 15 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 53 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h.114 63 sahabat bersatu padu. Bahkan dalam kenakalan pun mereka bersatu, kompak. Kadang dalam persahabatan ada perselisihan, tapi itu membuat persahabatan yang ada kian kental. Persahabatan yang tulus anak-anak miskin dilukiskan penulis dengan baik. Hal tersebut diuraikan penulis dalam teks berikut. “tiga laki-laki dan dua perempuan di hadapanku seperti sepakat memandang ke masa silam. Kadir baru saja merampungkan lagu yang dia dendangkan, lagu yang dia gubah sendiri syairnya. Lagu tentang persahabatan sejati tanpa memandang asal muasal. Lagu yang diilhami oleh persahabatan kami, arif, Imran, Maryati, Komariyah, dia dan aku, dan berharap persahabatan kami tidak berakhir hingga di sini, di masa-masa akhir Madrasah Aliyah Pesantren Sabilil Muttaqien.”16 “Tuhan memberkati hidupku lewat pertemuan dan pertemanan yang hebat.”17 Khrisna menceritakan peritiwa persahabatan yang digambarkan oleh tokoh-tokoh dalam novel Sepatu Dahlan mengacu pada bagaimana seseorang harus bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah dan menghadapi situasi tertentu. Persahabatan yang didasari dari saling menghargai, saling mengormati adalah hal bijak yang seharusnya dilakukan manusia sebagai makhluk sosial. Sesungguhnya sebagai makhluk sosial realitanya kita tidak dapat hidup sendiri. Dengan demikian dapat tercipta sikap toleransi dan rasa persaudaraan yang lebih kental dan kuat. f. Nilai Pendidikan Nilai pendidikan juga menjadi tema yang peneliti tuangkan dalam Novel Sepatu Dahlan. Hal ini mengacu pada hal-hal yang dialami Dahlan Iskan sepanjang hidupnya. Khrisna menyelipkan kisah Dahlan kecil banyak 16 17 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 340 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 344 64 memberikan ajaran dan perilaku yang dapat diterapkan oleh teman-temannya. Setiap manusia memiliki kisah hidup yang berbeda. Namun, kisah yang berbeda tidak membuat seseorang menyerah akan kehidupan yang lebih baik. Sosok Dahlan Iskan yang digambarkan dalam hal demikian terdapat pada kutipan sebagai berikut. “Meski warga Kebon Dalem miskin, anak-anak atau remaja seusiaku semuanya bersekolah. Bagi penduduk Kebon Dalem, kemiskinan bukan halangan untuk menuntut ilmu.”18 Hal demikian terdapat pula dalam teks yang disampikan penulis dalam bab ke enam yang berjudul „Gitar Kadir‟ berupa pesan yang disampaikan. “Kalau tidak ada guru, berusahalah belajar sendiri. Belajar tidak harus di bawah sorot mata guru.”19 Hal lain yang dilukiskan penulis mengenai nilai pendidikan terdapat dalam kutipan sebagai berikut. “Tak ada kegembiraan bagi setiap pencoba selain keberhasilan pada percobaan pertama yang dia lakukan.”20 Hal tersebut diungkapkan kembali oleh Khrisna dalam teks sebagai berikut. “kita dapat menjadi orang yang merasa tidak beruntung karena lahir di tengah-tengah keluarga miskin, bermimpi ketiban rezeki semacam „durian runtuh‟ agar bisa membeli benda-benda idaman, atau membayangkan hal-hal lain yang menggiurkan seperti nasib baik anak-anak orang kaya. Tapi kita dapat juga memilih menjalani hidup dengan wajar dan penuh keriangan, berusaha membantu orang tua sedapat mungkin, meraih segala yang didamba dengan keringat sendiri, dan tetap antusias memandang masa depan.”21 18 Khrisna Pabichara, Khrisna Pabichara, 20 Khrisna Pabichara, 21 Khrisna Pabichara, 19 Sepatu Dahlan, h. 15 Sepatu Dahlan, h. 105 Sepatu Dahlan, h. 115 Sepatu Dahlan, h. 248 65 Kutipan di atas diuraikan Khrisna dengan tujuan untuk memberikan sebuah pesan yang dapat ditiru dari sosok seorang pemimpin „Dahlan Iskan‟ dalam kisah liku hidupnya. Hal tersebut dipuji oleh Putra Nababan sebagai berikut; “bahwa kesederhanaan, kerendahan hati, dan kerja keras yang dibarengi keteguhan hati, bukanlah sekedar gebrakan. Tapi itu semua adalah bentuk ucapan syukur pak Dahlan terhadap apa yang pernah dilalui dan sudah dicapainya.”22 2. Superstruktur Skematik merupakan teks atau wacana umumnya yang mempunyai alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Secara struktur, bangunan novel telah lengkap dan pembaca secara jelas disodorkan pada suatu nilai pemahaman, bahwa dalam hidup seseorang harus selalu dapat mensyukuri apa yang diberikan oleh Tuhan. Struktur bangunan pada novel ini sebagaimana novel pada umumnya dengan menggunakan tiga struktur babak yakni: awal, konflik dan resolusi yang dikemas dalam alur maju-mundur. a. Babak Awal. Khrisna Pabichara membangunnya lewat pendeskripsian di awal cerita dengan memulai cerita dari tahap tengah. Mengisahkan seorang tokoh Dahlan melalui sebuah prolog tentang operasi cangkok liver terhadap tokoh Aku yang menjadi tokoh utama dalam novel. Ketika operasi akan dimulai, mimpi membawanya ke masa lalu di Kebon Dalem. 22 Putra Nababan, Wakil Pemimpin Redaksi dan Penyiar Seputar Indonesia RCTI. Pujian untuk sepatu Dahlan. 66 Tokoh Aku dalam novel ini adalah Dahlan kecil. Dahlan lahir di Kebon Dalem, Kampung kecil dengan enam rumah yang berada saling berjauhan di daerah Takeran, Magetan. Bersama keluarga dan teman-temannya Dahlan diwarnai dengan suka duka. Keluarga Dahlan terdiri dari Bapak, Ibu, Zain (Adik kandung Dahlan). Bapak setiap hari pergi ke sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, Ibu sehari-hari membatik dan mengajari perempuan-perempuan di Kampungnya membatik, Mbak Atun dan Mbak Sofwati sedang bekerja dan kuliah, sedangkain Zain masih kecil. Setelah lulus dari Sekolah Rakyat (SR) dengan tiga angka merah di izajah, Dahlan Ragu untuk melanjutkan sekolah di SMP favorit, SMP Magetan karena niatnya seolah dihalangi oleh sang Bapak. Hingga akhirnya Dahlan memilih melanjutkan sekolah di Tsanawiyah Takeran. Ibu Dahlan memiliki hubungan yang erat dengan kerabat-kerabat di sekolah tersebut. Kedua kakaknya pun pernah bersekolah di sana. Dahlan menikmati masa-masa sekolahnya di Tsanawiyah Takeran. Setiap hari dia harus menempuh perjalanan sekolah sejauh enam kilo meter dengan jalan kaki, itupun tanpa alas kaki sehingga membuat kakinya sering lecet dan melepuh. Tapi semangat bertahan Dahlan mampu mengatasi hal tersebut. Di Tsanawiyah Takeran dan di kampungnya, Dahlan mendapatkan persahabatan bersama teman-temannya, Kadir, Maryati, Imam, Arif, Komariyah, dan Aisha. Di sekolah, Dahlan terpilih sebagai ketua tim Voli, 67 pengurus ikatan Santri, dan mendapat nilai yang baik. Senyuman Bapak yang bangga menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Dahlan. b. Babak Konflik. Pendeskripsian munculya konflik tokoh Aku di dalam novel ini adalah Dahlan kecil. Dahlan tumbuh di Kebon Dalam, kampung kecil dengan enam rumah saling berjauhan di daerah Takeran, Magetan. Bersama keluarga dan teman-temannya, kehidupan Dahlan diwarnai dengan suka duka. Keluarga Dahlan terdiri dari Bapak, Ibu, Zain (adik kandung Dahlan), Mbak Atun dan Mbak Sofwati (kedua-duanya adalah kakak kandung Dahlan). Bapak setiap hari pergi ke sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, Ibu sehari-hari membatik dan mengajari perempuan-perempuan di kampungnya membatik, Mbak Atun dan Mbak Sofwati sedang bekerja dan kuliah, sedangkan Zain masih kecil. Setelah lulus dari Sekolah Rakyat (SR) dengan tiga angka merah di izajah, Dahlan ragu untuk melanjutkan sekolah ke SMP favorit, SMP Magetan karena niatnya seolah dihalangi oleh sang Bapak. Hingga akhirnya, Dahlan memilih melanjutkan sekolah di Tsanawiyah Takeran. Ibu Dahlan memiliki hubungan yang erat dengan kerabat-kerabat di sekolah tersebut. Kedua kakaknya pun pernah bersekolah di sana. Dahlan menikmati masa-masa sekolahnya di Tsanawiyah Takeran. Setiap hari dia harus menempuh perjalanan ke sekolah sejauh enam kilometer dengan jalan kaki, itupun tanpa alas kaki sehingga membuat kakinya sering lecet dan melepuh. Tapi semangat bertahan Dahlan mampu mengatasi hal tersebut. Sebelum berangkat sekolah, Dahlan biasa nyabit 68 rumput untuk domba-domba peliharaannnya. Sepulang sekolah, Dahlan ngangon domba dan dia juga sering kuli nyeset dan kuli nandur. Dahlan sebenarnya ingin membeli sepatu dan sepeda, dua benda yang menjadi impiannya. Akan tetapi uang yang ada terpaksa selalu digunakan untuk membeli keperluan makan. Ketikapun lapar, Dahlan sudah terbiasa menjalani kehidupan dengan perut melilit yang membuat perih. Pernah suatu ketika Dahlan terpaksa mencuri tebu karena dia dan adiknya kelaparan, tetapi Dahlan kedapatan mencuri oleh anak buah Mandor Komar dan harus menjalani hukuman mondok. Hal tersebut menjadi pelajaran bagi Dahlan untuk menjalani hidup dengan jujur dan kerja keras. Petuah-petuah sang Bapak, yang juga sering memberikan dongengdongeng kepada anak-anak kampung di langgar dan kelembutan sang Ibu membuat Dahlan mampu menjalani hidup dengan kesabaran dan semangat bertahan hidup. Ketika sang Ibu meninggal dunia karena menderita penyakit aneh, Dahlan merasakan kesedihan dan kehilangan. Tidak ada lagi kelembutan sang Ibu yang dapat membelainya. Dahlanpun merasakan kehilangan lagi setelah Mbak Atun memutuskan untuk pergi ke Kalimantan. Tapi Dahlan tetap bertahan dan melanjutkan kehidupan bersama Bapak dan Zain. Di Tsanawiyah Takeran dan di kampungnya, Dahlan mendapatkan persahabatan bersama teman-temannya, Kadir, Maryati, Imran, Arif, Komariyah, dan Aisha. Di sekolah, Dahlan terpilih sebagai ketua Tim Voli, Pengurus Ikatan Santri, dan mendapat nilai yang terbaik. Senyuman sang Bapak yang bangga menjadi kebahagiaan 69 tersendiri bagi Dahlan. Puncaknya, ketika Tim Voli Tsanawiyah Takeran yang mengikuti Turnamen Voli memperebutkan piala bergilir Bupati Magetan melaju ke babak final melawan tim favorit juara, SMP Magetan. Meskipun, syarat harus bersepatu sempat menjadi hambatan, dengan bantuan dari para santriwati yang membelikan sepatu untuk Dahlan akhirnya dia bersama teman-teman setim, Dirham, Imran, Fadli, Rahmat, Suparto, Arif, Zainal, dan Rizki berhasil memenangkan turnamen. Hal tersebut menjadi kebanggaan keluarga dan sekolah hingga Dahlan memiliki pekerjaan baru untuk mengumpulkan uang demi mengejar impiannya, sepatu dan sepeda yaitu melatih tim voli anak-anak juragan tebu. Novel ini juga bercerita tentang pembantaian massal terhadap simpatisan PKI di sumur Soco, Cigrok, dan Dusun Dadapan. Ayah Kadir meninggal ketika Kadir masih dalam kandungan karena dituduh sebagai anggota Laskar Merah, bentukan Front Demokrasi Rakyat. Untungnya, Ibu Kadir yang sedang mengandung Kadir berhasil melarikan diri ke rumah kakeknya. Banyak orang terdahulu di Kebon Dalem yang menjadi korban pembantaian massal tersebut. Dengan hasil jerih payahnya sendiri, melatih voli anak-anak juragan tebu, Dahlan berhasil mengumpulkan uang untuk menebus cicilan sepeda dari Arif dan berhasil membeli dua pasang sepatu, satu untuknya dan satu lagi untuk adiknya, Zain. Akhirnya impian Dahlan terwujud, Sepeda dan Sepatu. 70 c. Babak Resolusi. Penyelesaian akhir cerita yang dipaparkan Khrisna dalam Novel Sepatu Dahlan dimulai ketika Dahlan memutuskan untuk kuliah karena respon terhadap surat yang diberikan Aisha. Perjumpaan Dahlan dengan Aisha dimulai ketika Dahlan dan Kadir bernyanyi di halaman sekolah dan sosok gadis berambut panjang itu memandangi Dahlan, peristiwa jatuhnya Dahlan dan Maryati dari sepeda ke selokan, sosok gadis itu juga muncul kembali dalam pandangannya. Dahlan mendapatkan surat dari Aisha yang isinya setelah tiga tahun lagi Aisha akan menunggu di Takeran setelah keduanya lulus sarjana muda. Dahlan tidak ingin merasakan kehilangan lagi. Sudah cukup bagaimana rasanya Ibu dan Mbak Atun meninggalkan Dahlan. Di akhir cerita ini Dahlan harus meninggalkan Zain dan ayahnya. Dengan penyelesaian akhir cerita, kemudian dituliskan kembali dalam sebuah epilog mengenai berhasilnya operasi cangkok liver terhadap tokoh Aku. 3. Struktur Mikro a. Semantik Semantik adalah makna yang ingin ditekankan dalam teks dari hubungan antar kalimat, hubungan antar proposisi yang membangun makna tertentu dalam bangunan teks. Elemen-elemen semantik adalah sebagai berikut: 1) Latar 71 Merupakan bagian teks yang bisa mempengaruhi semantik (arti kata) yang ingin ditampilkan. Novel Sepatu Dahlan mengambil tiga latar. Yang pertama latar tempat, ia mengambil latar di sebuah pedesaan yang disebut dalam novel ini adalah “Desa Kebon Dalem” yang mana merupakan desa tempat tinggal Dahlan semasa kecil. Sebuah kampung kecil dengan enam buah rumah yang letaknya saling berjauhan. Latar yang kedua adalah latar suasana, yang digambarkan pengarang dengan suasana kedaerahan. Pengarang menggambarkan suasana pada Novel Sepatu Dahlan seperti yang dialami tokoh Dahlan Iskan ketika dirinya menghadapi suatu peristiwa. Sehingga suasana yang menegangkan, menyakitkan, menyenangkan, memprihatinkan dan mengharukan diceritakan dalam novel ini. Sedangkan yang ketiga adalah latar waktu, pengarang menunjukkan setting waktu dalam Novel Sepatu Dahlan berupa hari. Situasi pada pagi, siang, sore dan malam hari, selain itu pengarang juga menunjukkan setting tahun dan jam pada Novel Sepatu Dahlan. Mengenai latar tersebut terdapat pada kutipan sebagai berikut. “Kebon Dalem. Itulah kampung kelahiranku. Sebuah kampung kecil dengan enam buah rumah, atau sebut saja gubug, yang letaknya saling berjauhan.”23 “Hari itu di bawah rindang trembesi di halaman gedung berbentuk huruf U, aku membayangkan nasib baru yang akan digariskan Tuhan untukku.”24 23 24 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 13 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, hal. 156 72 Dengan latar tempat, suasana dan waktu tersebut pengarang memberikan gambaran tentang keadaan di mana tokoh-tokoh dalam Novel Sepatu Dahlan diceritakan dengan berbagai kegiatan religius yang dilakukan di Desa Kebon Dalem. Dengan kegiatan anak-anak desa yang selau giat berangkat mengaji pada saat malam hari. Tidak hanya tempat di pedesaan, novel ini juga menjelaskan secara jelas kondisi madrasah tempat Dahlan bersekolah tsanawiyah, serta cerita ketika Dahlan bersama sahabatnya telah lulus menempuh pendidikan di Pesantren Takeran. Pemberian latar semacam ini akan membentuk kesadaran pembaca bahwa berbagai kegiatan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam novel tersebut khususnya tokoh Dahlan telah menunjukkan perjalanan hidupnya dengan berbagai rintangan, harapan dan keinginan yang sederhana menjadi sebuah mimpi dan cita-cita besar. Sehingga pembaca memahami bahwa hidup dengan kesederhanaan, kemiskinan bukan halangan untuk berani bermimpi bahkan untuk mewujudkannya. Kemudian novel ini juga menunjukkan bukti sejarah bangsa Indonesia ketika berada di bawah pengaruh komunismenya. Lalu menunjukkan tempat- tempat kegiatan pemerintahan berlangsung. Kutipan yang menunjukkan latar tersebut adalah sebagai berikut. “lalu, pada pertengahan September 1948, di Madiun, berdirilah sebuah negara, Republik Soviet Indonesia. Negara itu didirikan oleh FDR. Dan, siapa saja yang berani menentang pendirian negara baru itu akan “diamankan”. Bupati magetan, R. Soedibjo, dengan sengit menentang, akibatnya dia langsung “diamankan” oleh 73 Laskar Merah. Sebagai pengganti, FDR memilih seorang kader militan PKI, Soebandi, sebagai Bupati Magetan”25 “Dan, tibalah kami di sumur tua Cigrok yang berada di tengahtengah tegalan dengan batang-batang ketela yang tumbuh liar, semak belukar dan rumput-rumput setinggi lutut, juga beringin besar yang terkenal keramat.”26 2) Detil Berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan komunikator atau pengarang. Pengarang akan menampilkan secara berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik. Sebaliknya ia akan menampilkan informasi dalam jumlah sedikit, hal yang merugikan dirinya. Dalam novel Sepatu Dahlan, pengarang banyak menampilkan informasi yang menguntungkan kedudukannya. Salah satunya adalah detil mengenai perjalanan hidup tokoh utamanya Dahlan Iskan. Dan salah satu yang ditampilkan pengarang dalam jumlah sedikit informasi yang merugikan dirinya terdapat dalam kutipan sebagai berikut. “aku tercenung sendiri setelah menjawab dengan suara yang agak tinggi. Ya, aku baru saja mengalami pengalaman menarik tertangkap basah mencuri tebu untuk kali pertama. Namun, lapar adalah pengalaman lain yang jauh lebih menjengkelkan.”27 “aku berjalan kembali ke arah kampung berharap bisa tiba di sana sebelum beduk Magrib terdengar. Zain pasti sudah letih menungguku. Tiba-tiba aku melihat sebatang pisang dengan buah yang sudah layak ditanak atau dibakar. Pisang itu bukan milik Bapak, apalagi milikku. Ini kebun bengkok, milik pak lurah. Kedapatan mencuri pisang pasti lebih “mengerikan” ketimbang mencuri tebu. Nanang pernah merasakannya, dia dihukum kuli macul Cuma-Cuma selama satu minggu. Selain itu ada banyak bayangan mengerikan dikepalaku, tapi bertahan hidup memang penuh risiko. Jadi, aku kuatkan hati dan memutuskan untuk 25 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 65 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 68 27 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 91 26 74 mengambil setandan pisang itu. Gagang parang yang tadi terselip rapi di punggung telah berpindah ke tanganku.”28 3) Maksud Melihat apakah teks yang dibuat oleh pengarang disampaikan secara eksplisit (langsung) atau implisit (tidak langsung). Elemen maksud dalam novel sepatu dahlan banyak yang disampaikan secara implisit. Salah satu teks yang terdapat dalam cerita itu adalah mengenai penjelasan tentang pemahaman dari suatu istilah. Seperti terdapat pada kutipan sebagai berikut ini: “Mimpi-mimpiku itu, seandainya sepatu dan sepeda tak layak di sebut cita-cita, tak jauh berbeda dengan mimpi-mimpi anakanak di kampungku. Bedanya, sepenuh daya aku berusaha meraih mimpi-mimpi itu, dan tak berhenti sampai benar-benar aku memilikinya. Kalaupun ada anak-anak lain yang punya mimpi berbeda, pasti Kadirlah orangnya. Dia bermimpi punya gitar dan dia korbankan seekor domba kesayangannya demi mewujudkan mimpi itu. Barangkali mimpi anak-anak miskin di mana-mana sama, sederhana. Manakala mimpi itu sudah kupenuhi, anehnya aku merasa ini bukan akhir dari keinginan yang hendak kupenuhi. Ada mimpi baru, mimpi yang tiba-tiba saja ingin kupenuhi, bisa makan setiap kali perut melilit-lilit karena kelaparan. Mimpi ini, mungkin, seperti sepatu dan sepeda, juga sederhana. Tak ada yang aneh, apalagi ajaib.”29 Dari kutipan di atas sangat jelas bahwa informasi yang terdapat dalam teks tersebut disajikan secara tidak langsung. Dengan begitu hubungan antara pengarang dengan pembaca adalah hubungan yang tidak langsung dan tersirat. Makna yang diterima pembaca bisa jadi berbeda. Dalam kalimat tersebut seakan keinginan atau mimpi dari kalangan bawah berbeda dengan kalangan menengah apalagi kalangan atas. 28 29 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan h. 95 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, hal. 338 75 Dan dari kalimat tersebut seakan menandakan bagi kalangan bawah bermimpi itu enggan terlalu tinggi, dengan melihat kehidupannya yang sederhana maka memiliki mimpi yang sederhana pula. Berbeda dengan kalimat yang menyatakan Kadir memiliki mimpi yang berbeda yang disampaikan secara eksplisit bahwa yang dilakukan Kadir dengan menjual domba maka ia bisa mewujudkan mimpinya. Dalam hal ini menunjukkan bagaimana pengarang menggunakan praktik bahasa tertentu untuk menonjolkan perbedaan pada kutipan tersebut. b. Sintaksis Sintaksis adalah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase. Dalam hal ini menerangkan tentang bagaimana pengarang menggunakan kalimat dalam menampilkan sosok sebagai suatu citra yang positif maupun negatif dilakukan dengan memanipulasi menggunakan sintaksis (kalimat). Dalam memanipulasi kalimat dilakukan seperti dengan pemakaian kata ganti, aturan tata kata, pemakaian kalimat aktif atau pasif, peletakan anak kalimat, pemakaian kalimat yang kompleks atau sebagainya. Terkait dengan novel Sepatu Dahlan dimana penelitian ini memfokuskan pada sosok Dahlan Iskan dalam novel tersebut, sintaksis dalam teks tersebut dapat dilihat pada koherensi, bentuk kalimat, maupun kata ganti sehubungan dengan pencitraan Dahlan yang terbentuk, dapat dilihat pada teks di bawah ini. 1) Koherensi 76 Merupakan pertalian antar kata/ kalimat, biasanya dapat diamati dengan memakai kata penghubung (konjungsi): dan, atau, tetapi, namun, seperti, karena, meskipun, jika, demikian pula, agar, dan sebagainya. Hal tersebut terlihat pada kutipan sebagai berikut: “Siapa pun bisa tenang hidup bergelimang harta, meski hati mereka miskin iman, tapi aku tidak akan menjadi orang seperti itu. Lagi pula, tak seberapa penting bagiku harta kekayaan itu, sebab yang selama ini memenuhi kepalaku hanya dua: sepatu dan sepeda. Itu saja.”30 Penempatan kata „tapi‟, „lagi pula‟, dan „sebab‟ pada kutipan paragraf di atas mempunyai fungsi sebagai konjungsi (kata penghubung) antar kalimat yang satu dengan kalimat yang lainnya. Fungsi dari kata penghubung „tapi‟ pada paragraf di atas merupakan kata penghubung yang menunjukan adanya bertentangan dalam suatu konteks, dalam kalimat di atas, dimana kata-kata yang menunjukan suatu pertentangan apabila Dahlan hidup berlimpah harta tidak menjadi orang yang miskin hati. Penulis menyampaikan makna dalam keterangan penegasan bahwa aku tidak akan seperti itu. Dan kata konjungsi „lagi pula‟ yang diletakkan diawal kalimat kedua digunakan sebagai kata yang memiliki makna lain. Dalam konteks di atas dapat dilihat suatu hal yang dipertentangkan. Sedangkan kata „sebab‟ merupakan kata penghubung yang menjelaskan keterangan bahwa kalimat tersebut menjadi penegas bahwa harta kekayaan bukan hal yang penting yang harus kita fikirkan terlalu jauh bagi kita untuk memikirkan kekayaan harta. Namun hal-hal yang 30 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 32 77 dikatakan dapat berbeda dengan realisasi yang ada. Koherensi dalam kutipan di atas yang disampaikan Khrisna lebih menonjolkan pada hal tersebut. 2) Bentuk Kalimat Merupakan sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis. Menjelaskan tentang proposisi-proposisi yang diatur dalam satu rangkaian kalimat. Maksudnya, proposisi-proposisi mana yang akan ditempatkan di awal atau akhir kalimat. Hal tersebut dapat dilihat pada kalimat di bawah ini. “Aku sangat menghormati Bapak, mungkin karena takut atau memang suka, terlepas dari sikap taatnya terhadap aturan-aturan yang dibuatnya.”31 Aku sangat menghormati Bapak, S P O mungkin karena takut atau memang suka, terlepas dari sikap taatnya K terhadap aturan-aturan yang dibuatnya Bentuk kalimat pada teks di atas menunjukkan susunan subjek (yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan). Teks dengan bentuk kalimat seperti di atas menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat yaitu menggambarkan akan sikap Dahlan terhadap orang tuanya. Kalimat tersebut disampaikan dengan mendeskripsikan situasi yang ada. Kata “mungkin karena takut atau memang suka” menunjukkan bahwa sikap taatnya terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh bapaknya dilakukan dengan rasa takut dan patuh terhadap bapaknya. 31 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 17 78 Hal serupa juga dapat dilihat dalam teks berikut. “aku tidak ingin mempermainkan lelaki pendiam yang kukagumi kesetiaannya ini. Aku hanya ingin berbagi hening dengan Subuh dan kesetiaan Bapak yang diam-diam kucemburui, mengira-ngira apakah aku bisa sesetia itu terhadap sesuatu.”32 Aku tidak ingin mempermainkan lelaki pendiam yang kukagumi kesetiaannya ini. Dalam teks di atas tergambarkan akan sikap Dahlan yang dilakukan dengan tujuan agar tidak mengecewakan bapaknya dan berkeinginan untuk setia terhadap sesuatu yang dilakukan. Sikap-sikap tersebut dapat dikatakan merupakan salah satu strategi bentuk pencitraan yang dilakukan Dahlan. 3) Kata Ganti Dalam penelitian ini, fokus perhatian ditujukan pada sosok Dahlan kecil meskipun tidak terlepas dari hal-hal yang sangat dekat dengan diri Dahlan. Kata ganti terhadap Dahlan menunjukkan penggambaran Khrisna sebagai narator dalam novel Sepatu Dahlan. Khrisna menyebut Dahlan dalam novel Sepatu Dahlan sebagai “aku”. Hal tersebut terdapat pada teks berikut. “sewaktu kecil, aku tak pernah membayangkan suatu ketika akan terbaring di kamar operasi dan menunggu detik-detik menegangkan seperti sekarang. Sewaktu kecil, aku tidak pernah berpikir sejenakpun bahwa liver bisa dipotong dan didonorkan kepada orang lain. Sayangnya, hal ini tak mungkin dilakukan kepada ibu. Bukan semata karena teknologi dan ilmu kedokteran, tapi karena kalaupaun memungkinkan, kami tak punya biaya untuk operasi 32 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 25-26 79 walaupun rumah dan seluruh isinya dijual. Sewaktu kecil, aku yak tahu bahwa liver yang dipotong itu bisa tumbuh kembali dengan baik dalam waktu tak terlalu lama. Sekarang, hari ini, di kamar operasi, segera kumasuki gerbang kelahiran baru, jauh dari tanah kelahiran pertama, Kebon Dalem.”33 Melalui kata ganti “aku” tersebut, Khrisna membahasakan dirinya sebagai narator, tanpa mengurangi rasa hormat Khrisna terhadap Dahlan Iskan, Khrisna dengan cara menyebutkan Dahlan Iskan sebagai aku. Kata ganti lain yang digunakan dalam novel Sepatu Dahlan adalah kata ganti “kami” dalam mengungkapkan kisah Dahlan dalam cerita ini. Kata “kami” dalam penggalan kalimat ini seolah-olah Dahlan bercerita tentang keadaan dirinya dan keluarganya pada saat itu. Dan penulis berperan sebagai narator atau pencerita. Contoh kata ganti “kami” serta penulis sebagai narator terlihat pada kutipan sebagai berikut: “Matahari semakin rebah. Air Sungai Kanal mengalir dengan tenang. Di sungai inilah dulu aku mulai mengajari Zain berenang, tubuhnya di ayun-ayunkan oleh Kadir dan Nanang lalu dilemparkan ke dalam sungai, menunggui dia gelagapan-timbultenggelam dengan tangan menggapai-gapai tak beraturan ke udara. Di sungai ini pula kami belajar cara mengatasi keterbatasan. Mencari ikan, memandikan ternak, berleha-leha dengan tokohtokoh wayang, bermain luncur-luncuran, dan belajar menikmati kemiskinan.”34 c. Stilistik Stilistik adalah cara yang digunakan penulis untuk menyatakan maksud melalui pilihan kata yang digunakan. Dalam menyajikan cerita, penulis menggunakan bahasa tertentu sebagai sarana. Gaya bahasa yang 33 34 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 2 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 346 80 digunakan penulis dalam Novel Sepatu Dahlan menunjukkan sosok dengan kepribadian yang dimiliki Dahlan Iskan. Gaya bahasa yang digunakan penulis terdapat dalam kutipan sebagai berikut: “keesokan harinya, sebelum matahari terbit, aku sudah menyusuri jalan raya Takeran. Sisa-sisa hujan dan embun membuat permukaan batu-batu menjadi licin. Sudah dua kali aku terpeleset, terjengkang, dan nyaris jatuh. Lumpur dan bebatuan beberapa kali nyaris membuatku celaka. Sekarang, aku lebih hati-hati..”35 Dari kutipan paragraf di atas penulis menggunakan gaya bahasa yang mencakup pilihan kata yang digunakan seorang sastrawan yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Pilihan kata dalam kalimat di atas menunjukkan bahwa Dahlan adalah anak yang tidak mudah berputus asa. Hidup dalam kemiskinan tidak membuat Dahlan berputus asa. Meskipun sekolah tanpa alas kaki dan banyak rintangan yang dia hadapi. Sebagai penulis, Khrisna mengunakan gaya bahasa, yang pada dasarnya digunakan untuk menunjukkan akan sikap, perbuatan, maupun segala hal yang dapat dikenal dari figur Dahlan Iskan. Hal itu ditemukan dalam hasil wawancara dengan penulis novel Sepatu Dahlan; “saya menulis Sepatu Dahlan dengan bahasa sederhana dan berharap mudah dicerna oleh siapa saja. Tua-muda, laki-laki-perempuan, orangtua-anak, guru-murid, dan lain-lain. nah ini terkait dengan gaya menulis. saya, dengan sadar, menggunakan sudut pandang orang pertama agar lebih “menggigit”. Tentu saja, saya memperhitungkan latar, alur, konflik, dan karakter agar bisa membetot emosi pembaca.”36 d. Retoris 35 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 37 Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café Housen Cullinary, pada 5 April 2013. 36 81 Retoris adalah gaya yang diungkapkan pengarang untuk menyatakan sesuatu dengan sebuah intonasi dan penekanan dalam bentuk tulisan. 1) Grafis Elemen ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan oleh seseorang yang dapat diamati dari teks. Elemen grafis ini biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan lain. Misalnya, pemakaian huruf tebal, cetak miring, pemakaian garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran lebih besar (kapital) termasuk di dalamnnya adalah pemakaian caption, raster, grafik, gambar, atau tabel untuk mendukung arti penting suatu pesan.37 Elemen grafis itu juga muncul dalam bentuk foto, gambar, atau tabel untuk mendukung gagasan, serta pemakaian angka-angka yang diantaranya untuk mensugestikan kebenaran dan ketelitian. Secara lebih detil, elemen grafis dalam analisis wacana Novel Sepatu Dahlan terdapat pada kutipan berikut : “Aku ingin seperti lelaki pemilik kapak yang berhenti mengiba atau mengharapkan belas kasihan orang lain. Sampai hari ini mimpi bersepatu masih menghantui tidurku, dan aku harus berusaha sekuat tenaga untuk mengupayakannya sendiri. Aku takkan bersedih lagi. Kemiskinan bukan untuk ditangisi. Hidup bagi orang miskin sepertiku, harus di jalani apa adanya.”38 Kalimat tersebut ditonjolkan dalam Novel Sepatu Dahlan dalam bentuk dan ukuran huruf lebih kecil dengan bentuk italic untuk menekankan kepada pembaca pentingnya kalimat tersebut. Pengarang juga 37 38 Eriyanto, Analisis Wacana, h. 257-259 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 147 82 menginginkan pembaca menaruh perhatian lebih pada statement yang disampaikan di awal juga di tengah cerita. Kalimat “aku ingin seperti lelaki pemilik kapak yang berhenti mengiba atau mengharapkan belas kasihan orang lain” memberikan efek kognitif, pengarang menyampaikan pesan dalam bentuk intonasi untuk mensugestikan kepada khalayak/pembaca pada bagian mana yang harus diperhatikan dan bagian mana yang tidak. 2) Metafora Elemen lain dari retoris yaitu metafora. Kalimat yang mendukung kiasan, ungkapan sehari-hari, pepatah, nasihat agama, semuanya digunakan pengarang dalam suatu wacana untuk memperjelas pesan utama, agar orang yang membaca akan mudah mengingat dan memahami isi pesan tersebut. Metafora berusaha membandingkan dua hal yang dinyatakan secara eksplisit. Pada Novel Sepatu Dahlan pengarang menyampaikan pesan tidak hanya lewat teks tetapi berupa kiasan yang mengandung muatan informasi sebagai ornamen untuk menguatkan pesan utama. Berikut kutipannya : “ojo kepingin sugih, lan ojo wedi mlarat”. “sumber bening ora bakal nggolek timbo”39 Kalimat tersebut mengandung elemen metafora dan lazim digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang ingin hidup kaya harta dan takut hidup melarat. Pesan yang disampaikan melalui kalimat di atas dalam novel Sepatu Dahlan adalah jangan berlebihan meminta banyak 39 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 31 83 harta namun kita miskin iman lebih baik hidup miskin tetapi tetap beriman, karena kaya tanpa iman atau miskin dengan iman itu bukan sebuah pilihan. Siapa saja bisa bertahan hidup meskipun dalam belitan kemiskinan, hanya saja orang miskin punya banyak keterbatasan, terutama yang terkait dengan uang. Dalam hal ini, Khrisna Pabichara mempertegas sosok dan perilaku Dahlan Iskan dalam kehidupannya yang berubah, tak lagi sesulit dulu untuk mendapatkan sepatu, tak lagi harus menahan saat kelaparan. Keadaan yang berubah menunjukkan suatu hal yang dilakukan Dahlan Iskan selalu bersyukur atas apa yang didapati. Elemen metafora lain juga dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut. “Biasanya, setelah salat subuh aku bertualang ke pematangpematang sawah atau jalanan pembatas ladang tebu untuk menyabit rumput. Setelah itu, baru berangkat ke sekolah yang letaknya tak seberapa jauh dari Kebon Dalem, tepatnya di kampung Bukur, di seberang Sungai Kanal.”40 Terkait dengan analisis wacana mengenai pencitraan Dahlan Iskan dalam Novel Sepatu Dahlan, kutipan di atas merupakan bagian dari elemen metafora yang terkait dengan sosok Dahlan Iskan. Istilah bertualang, wacana mengenai pencitraan tokoh Dahlan merupakan bagian yang menunjukkan majas metafora yang bermakna perjuangan Dahlan Iskan dengan sosok pekerja keras dalam perjalanan hidupnya. 3) Pengingkaran 40 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 74-75 84 Elemen pengingkaran lain tersebut dari retoris adalah menggambarkan pengingkaran. suatu pernyataan Elemen yang berkebalikan. Artinya, penulis mengungkapkan suatu pernyataan yang kemudian digambarkan seolah-olah hal tersebut sejalan dengan pola pikir penulis padahal yang diinginkan penulis adalah hal yang berkebalikan. Khrisna tidak banyak melakukan suatu pengingkaran dalam novel ini. Karena Khrisna menyampaikannya secara terang-terangan terkait pencitraan sosok Dahlan dalam Novel Sepatu Dahlan. Adapun elemen tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini; “Akhirnya, matahari mulai terbenam, dan aku belum menemukan apa pun. Aku sudah coba menangkap ikan di Sungai Kanal, tetapi menjelang Magrib seperti ini sangat susah menagkap satu-dua ekor ikan. Aku juga sudah menyisir pohon-pohon mangga di tepi sungai, tak ada yang berbuah. Aku membuka baju karena keringat di bagian punggung membuat baju itu terasa lengket di kulit. Angin mengeringkan keringatku. Aku menahan gigil dan kesedihan yang kualami. Telah kucoba melakukan apa yang seharusnya kulakukan. Kalaupun aku tak menemukan apa-apa, setidaknya aku telah berusaha. Itu saja. Aku berjalan kembali ke arah kampung berharap bisa tiba di sana sebelum beduk Magrib terdengar. Zain pasti sudah letih menungguku. Tiba-tiba aku melihat sebatang pisang dengan buah yang sudah layak ditanak atau dibakar. Pisang itu bukan milik Bapak, apalagi milikku. Ini kebun bengkok, milik Pak Lurah. Kedapatan mencuri pisang pasti lebih “mengerikan” ketimbang mencuri tebu.”41 Hal. 94-95 Dalam kutipan di atas, Khrisna menyampaikan mengenai tindakan yang dilakukan Dahlan ketika itu. Dahlan, tokoh dalam novel itu diceritakan telah melakukan tindakan mencuri. Namun oleh penulis, sosok Dahlan digambarkan sebagai orang yang sadar dalam mencuri. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan di bawah ini. 41 Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 94-95 85 “Tulang-tulangku terasa lemas, lutut gemeteran, dan bayangan peristiwa memalukan di ladang tebu kembali terputar di benakku. Apa aku mesti melakukan kesalahan yang sama dalam satu hari, demi dua perut yang sedang tak kuat menanggung lapar? Tidak , aku tidak akan mencuri lagi. Maka, kubatalkan niat menebang pohon pisang itu. Aku berlari, terus berlari. Napas mulai ngos-ngosan, tersengal-sengal, dan azan Magrib mengentak-entak gendang telinga. Aku masih berlari dan baru berhenti setelah tiba di jalanan di depan rumah. Dengan napas tersengal-sengal dan tubuh lunglai, aku memasuki halaman rumah. Tiba-tiba terdengar suara seseorang berseru memanggil namaku. Komariyah sedang berjalan ke arahku dengan tangan memegang sesuatu yang ditutupi dengan kain batik. Titipan ibuku. Apa itu? Nasi tiwul, ikan teri, dan sambel terasi.”42 Kesadaran Dahlan yang cepat merupakan tindakan yang memberikan image positif terhadap khalayak atau pembaca. Niat buruk yang terlintas dibenaknya membuat tokoh utama dalam trilogi novel ini dapat mempelajari kembali kesalahan yang pernah dilakukan. Dengan melihat pernyataan kisah Dahlan tersebut, peneliti mengartikan bahwa teks di atas hanya fiksi agar membangun citra positif di tengah mata pembaca. Artinya cerita yang ditulis adalah hipperealita yang dilakukan oleh penulis. Kesimpulan secara keseluruhan dari hasil temuan peneliti dalam novel ini meliputi beberapa pencitraan. Peneliti merangkum temuan pencitraan, temuan teks dan penjelasannya dalam tabel berikut: Tabel 3. Temuan Teks pada novel Sepatu Dahlan Temuan pencitraan Sederhana 42 Temuan Teks “Rumahku. Seperti rumah lainnya di kampung ini, berlantai tanah. Jika musim hujan tiba, akan lembab dan basah. Setiap kemarau Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 95-96 Keterangan Pada teks ini tokoh Dahlan digambarkan dengan sosok yang sederhana. Sederhana disini nampak pada sejak 86 datang, lantai tanah itu panas dan berdebu. Di sana, di lantai tanah yang lembab atau berdebu itu, aku dan adikku menggelar tikar setiap malam. Ajaibnya, kami selalu bisa mendengkur dengan nikmat” h. 42 Disiplin Pekerja keras “Pakaian misalnya, aku hanya punya sepasang dan itu alamat akan jadi bahan ejekan bagi murid-murid lain yang rata-rata punya orang tua yang mampu membelikan mereka banyak pakaian. h. 21-22 kecil, Dahlan yang dibesarkan dilingkungan pedesaan dangan serba kekurangan, begitu pula dengan rumahnya yang berlantai tanah. Jika musim hujan datang lantai selalu basah dan ketika musim kemarau lantai akan selalu berdebu. Sederhana yang dimiliki Dahlan tidak hanya sederhana dalam kehidupannya, mulai dari pakaian, kondisi rumah, bahkan untuk makan sehari-hari tak pernah terlihat istimewa. “Hari ini aku memakai kemeja baru. Kata Ibu, hadiah dari Bu Mantri karena aku rajin membantu Ibu. Andai saja hadiahnya sepatu. Aku segera mengusir angan-angan tentang sepatu itu sebab hanya akan menambah perih di hati dan lecet di kaki. Tibalah aku di depan papan pengumuman yang terpajang di dinding kantor. Belum seorang pun santri yang datang. Baru aku seorang. Dan, ini hal yang biasa bagiku. Di rumah, Bapak sangat ketat melatih kami soal disiplin, begitulah cara kami menghargai waktu.” h. 53 “Ibu yang sedang asyik membatik terkejut dan Pada teks ini, kedisiplinan memang diterapkan oleh sang ayah, hal ini di paparkan oleh penulis tentang kedisiplinan dahlan, terutama dalam soal waktu. Dikatakan dalam novel bahwa ia orang pertama yang datang ke sekolah berdiri didepan papan pengumuman. Penulis novel melakukan penekanan tokoh dahlan yangdisiplin dengan kata “sangat ketat”. Kita dapat membayangkan betapa kerasnya sang ayah dalam menerapkan kedisiplinan bagi anakanaknya (Dahlan). Teks ini menunjukkan bahwa Dahlan Iskan 87 segera mendatangiku. “Capek, le”? Capek banget, Bu,” keluhku sambil membaringkan badan, memejamkan mata. “tidur dulu sebentar.” Aku menggelengkan kepala. “Ndak ada waktu, Bu. Harus nyabit lagi.” “tapi kamu kan baru pulang, le? „ini hari pertama, Bu. Kata bapak, nanti juga terbiasa.” Ibu tersenyum dengan manis, “iya…” h. 39-40 “Kesunyian itu manis, seperti sekarang. Di tepi sungai, bersandar pada sebatang pohon jawi, bermandikan cahaya matahari senja. Aku mengamat-amati kedua tanganku, tangan ini telah bekerja amat keras meski anak-anak lainpun bekerja tak kalah kerasnya”. h. 147 “sungguh aku ingin mengatakan bahwa selama ini tak ada waktu luang agar aku bisa belajar dengan tenang. Setelah salat subuh sudah harus menyabit rumput, terus ke sekolah, setelahnya menyabit rumput lagi, lalu belajar mengaji, ngangon domba, dan tatkala malam sudah menyelimuti Kebon Dalem tak mungkin lagi belajar karena gelap gulita. Tapi, lidahku sekonyong-konyong kelu, tak mampu mengatakan apa pun.” h. 19 adalah anak yang suka bekerja keras. Artinya Dahlan berperilaku menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, dan dapat menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Karakter pekerja keras tertanam sejak kecil dimana ketika sepulang sekolah Dahlan harus tetap menjalankan tugasnya menyabit rumput. Bekerja keras yang seharusnya tidak dirasakan Dahlan pada usianya saat itu. Meskipun lelah, ia tetap bekerja. Seperti saat ibu menyuruh Dahlan istirahat, namun ia tetap bekerja. Pada teks di samping, Khrisna menyampaikan sejarah perjuangan yang dialami Dahlan kecil, kerja keras setiap hari, setiap pagi sehabis shalat subuh Dahlan selalu bekerja menyabit rumput setelah itu ia berangkat ke sekolah, Tak hanya itu, sepulang belajar, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukanya demi sesuap nasi tiwul. Mulai dari nguli, nyeset, nguli nandur, sampai melatih tim voli anakanak juragan tahu. 88 Bersahabat/komunikatif “Tuhan memberkati hidupku lewat pertemuan dan pertemanan yang hebat” h.344 Bersahabat yang peneliti temukan pada sosok Dahlan merupakan tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Amanah Pada teks ini sosok Dahlan dapat dikenal sebagai tokoh yang mampu memegang amanah, dalam arti sosok yang penuh tanggung jawab. Sikap dan perilaku Dahlan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan, dan sebagainya. Berita terpilihnya aku sebagai pengurus Ikatan Santri ternyata sudah didengar oleh bapak. Itu kuketahui tak lama setelah tiba di rumah. Tidak seperti biasanya, bukan zain yang menjawab salamku. Tapi, Bapak. Biasanya, siangsiang begini beliau sudah tidak ada di rumah, kecuali karena alasan khusus yang penting dan mendesak. Jawabannya aku tahu dari mata beliau yang berbinarbinar. “jabatan itu amanat, le,” ujar bapak sambil mengelus kepalaku sewaktu aku mencium punggung tangannya. „tirulah sifat kakakmu, sofwati, jujur dan disiplin.” H. 163 Ketika nama pengurus di sebut satu per satu, aku lihat Bapak menengadah dengan mata berbinar-binar, bercahaya. Hatiku bergetar, sangat terharu. Saban hari bapak bekerja keras demi anak-anaknya, dan selama ini aku lebih sering merepotkan ketimbang membahagiakannya. Tapi hari ini, karena aku, putranya, Bapak berdiri dengan punggung lebih tegak. Senyum seolah tak Bagi Dahlan selama ini ia lebih sering merepotkan bapak ataupun mengecewakannya tp dalam teks ini ada tindakan yang menunjukkan sikap yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu berguna bagi masyarakat dengan amanah yang dia dapat bahwa Dahlan dipercayai mampu menjadi pemimpin yang amanah. s 89 mau lepas dari sepasang bibirnya, apalagi sewaktu kiai Irsyad menjabat tanganku dan menepuk pundakku. h. 165 B. Analisis Wacana Kritis Pencitraan Dilihat dari Kognisi Sosial Novel Sepatu Dahlan terbit berdasarkan keinginan penerbit mizan (noura books) yang menantang salah satu penulis untuk menguraikan kisah hidup semasa remaja Dahlan Iskan. Penulis ingin menyampaikan hal-hal yang terkait dengan kehidupan masa kecil Menteri BUMN. Namun penulis tidak ingin menyampaikannya secara biasa seperti pada media cetak lainnya. Namun lebih berwarna. Penulis menyampaikan ha-hal tersebut dengan bahasa dirinya, yang ringan, sederhana dan menggelitik dengan beberapa sentilan yang disampaikan. Hal di atas tercakup dalam hasil wawancara peneliti dengan penulis novel Sepatu Dahlan yaitu, Khrisna Pabichara. “Gagasan awal penulisan septu dahlan bukan berasal dari saya. Ide penulisan itu pertama kali dilontarkan oleh Deden Ridan, CEO Noura Books, sebuah lini penerbitan Mizan Group, lantas ditawarkan penulisannya kepada saya. Lewat perbincangan ringan di Cipete pada pertengahan Desember 2011, saya terima tantangan itu. Lalu, saya rancang buku itu bukan dalam bentuk biografi atau memoar melainkan novel. Sebagaimana lazimnya novel, ada beberapa peristiwa, tokoh, dan latar alur yang murni imajinasi. Ada juga nukilan peristiwa yang benar-benar terjadi, tetapi saya olah dan racik sedemikian rupa supaya renyah dibaca.”43 43 Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café Housen Cullinary, pada 5 April 2013. 90 Pada analisis kognisi sosial difokuskan bagaimana sebuah teks diproduksi, dipahami, ditafsirkan, disimpulkan, dan dimaknai oleh penulis. Proses terbentuknya teks ini tidak hanya bermakna bagaimana suatu teks itu dibentuk, proses ini juga memasukkan informasi yang digunakan untuk menulis dari suatu bentuk wacana tertentu. Terkait dengan kognisi sosial, pemahaman penulis sangat berpengaruh terhadap sesuatu yang dituangkan ke dalam cerita Sepatu Dahlan. Dalam wawancara yang dilakukan peneliti, pada tanggal 05 April 2013, peneliti menemukan beberapa jawaban terkait pandangannya terhadap pembuatan novel yang terinspirasi dari salah satu tokoh Menteri. Pada penulisan Novel Sepatu Dahlan penulis bertindak sebagai pengamat yang menjelaskan peristiwa yang berlangsung serta suasana perasaan dan pikiran para pelaku cerita. Dalam menentukan tema dan gagasan atau fakta yang dipilih untuk ditulis, peneliti yang dalam hal ini dilakukan oleh penulis novel Sepatu Dahlan diberikan kebebasan serta merta ide yang akan dituangkan. Namun gagasan awal penulisan novel Sepatu Dahlan pertama kali diperintahkan oleh Deden Ridwan sebagai praktisi di dunia perbukuan CEO Noura Books. Dalam wawancara ditemukan di café housen culinary adalah sebagi berikut: “Gagasan penulisan Sepatu Dahlan bukan berasal dari saya. Ide penulisan itu pertama kali dilontarkan oleh Deden Ridwan, CEO Noura Books- sebuah lini penerbitan Mizan Group, lantas ditawarkan penulisannya kepada saya. Saya terima tantangan itu. 91 Lalu, saya rancang buku itu bukan dalam bentuk biografi atau memoar, melainkan novel.”44 Menurut pakar politik yang peneliti wawancarai novel Sepatu Dahlan dikategorikan sebagai novel yang mengandung unsur pencitraan politik. ini terkait isu kenaikan Dahlan Iskan ikut serta dalam pencalonan presiden tahun 2014 yang akan datang. Maka dari itu peneliti mengkaitkan novel ini sebagai salah satu alat pencitraan Dahlan Iskan. Hal itu terungkap dalam hasil wawancara peneliti dengan pengamat politik dari Charta politik, sebagai berikut; “saya sih percaya ya dalam novel itu jelas ada sebuah pencitraan. Kita lihat dari sisi momentum, memang ada 2014 ketika namanya mulai disebut-sebut sebagai salah satu capres atau cawapres dan munculnya buku ini juga pada masa-masa sudah mulai munculnya nama dia sebagai capres atau cawapres. Saya yakin sekali bahwa itu bagian dari kesadaran bahwa dia mungkin memiliki peluang menjadi capres atau cawapres. Mungkin ketika ini tidak berhasil menjadi sebuah bentuk pencitraan yang bersifat politik minimal dia bisa melakukan grand sebagai seorang tokoh, dia bisa menginspirasikan kehidupan dia di sisi lain yaa dengan berbagai macam silih yang pernah dia alami.”45 Namun beberapa pembaca lain menganggap novel ini adalah sebuah karya sastra, sebuah fiksi, novel semata yang melukiskan kisah kehidupan seseorang. Di lihat dari judulnya Sepatu Dahlan itulah pembaca dihadapkan pada suatu istilah yang menarik minat pembacanya. Pada bab per bab diceritakan bahwa Sepatu Dahlan merupakan sebuah mimpi besar yang ingin digapai dalam kisah hidup Dahlan Iskan ketika masa kecilnya di mana ia 44 Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café Housen Cullinary, pada 5 April 2013. 45 Wawancara Peneliti dengan Yunarto Wijaya (Pengamat Politik) di kantor Catra Politik, pada 16 April 2013. 92 merupakan tokoh utama dalam novel tersebut, dan novel ini merupakan kisah nyata dari kehidupan Dahlan Iskan. Tokoh Dahlan dikisahkan dalam novel ini selalu bermimpi ingin memiliki sepatu untuk bersekolah karena keinginannya untuk membeli tidak mungkin diraihnya ketika itu. Sehingga judul tersebut bisa diartikan bahwa „Sepatu‟ itu sebagai mimpi atau cita-cita besar dalam hidupnya. Dengan harus bekerja setelah pulang sekolah untuk membantu orang tua, dan membesarkan adik kemudian berangkat kesekolah tidak menggunakan sepatu. Keadaan kehidupan yang membatasi keinginannya untuk membeli sepatu dan sepeda. Secara mendalam informasi yang digunakan penulis dalam merangkai alur cerita kehidupan tokoh Dahlan Iskan dalam novelnya juga untuk mengenal karakter tokoh berdasarkan pengalaman diri sebagai penulis yang mengamati dengan menginap di kediaman Dahlan selama tiga hari dua malam lalu bertransformasi menjadi keluarga inti Dahlan. Khrisna Pabichara menyajikan tulisan dengan alur kisah mundur ( sorot-balik/ flash back). Khrisna memutuskan diri untuk terbang ke surabaya dan menginap di rumah Dahlan dalam beberapa hari untuk mengamati beragam hal yang dilakukan Dahlan. Dimulai pada saat berbincang santai, berdiskusi, nonton televisi, menerima tamu, hingga pada saat makan bersama dalam satu meja. Hal tersebut terdapat dalam wawancara sebagai berikut; “untuk mengenal karakter tokoh utamanya, awal februari lalu saya memutuskan untuk terbang ke surabaya dan menginap di kediaman Pak Daklan. Selama tiga hari dua malam saya bertransformasi menjadi keluarga inti Dahlan, kemudian saya melihat dan mencatat apa yang dilakukan Dahlan. Mulai dari berbincang santai, nonton 93 televisi, berdiskusi, menerima tamu, hingga makan bersama dalam satu meja.”46 Sebagai penulis yang melakukan pengamatan secara intents, menginap di kediaman Dahlan kemudian berbincang dengannya merupakan pintu masuk untuk mendapatkan segala hal yang berkaitan dengan penulisan novelnya. Berdasarkan hasil wawancara di atas, peneliti melihat bahwasannya ada ikatan emosional antara Dahlan Iskan dengan Khrisna Pabichara. Ini terbukti dari kegiatan Khrisna selama tiga hari di rumah Dahlan Iskan mulai dari kegiatan yang kecil hingga makan malam satu meja bersama keluarga Dahlan Iskan. Peneliti menyimpulkan bahwa Khrisna bukan hanya sebagai penulis Sepatu Dahlan di dalam keluarganya. Tetapi terlihat adanya kedekatan lebih dari sekedar relasi yang ia tunjukkan dalam kunjungannya selama tiga hari di rumah Dahlan Iskan. Kedekatan di atas juga peneliti temukan dalam kutipan hasil wawancara dengan penulis novel Sepatu Dahlan sebagai berikut. “semua perbincangan saya catat dan saya rekam dalam ngobrol santai mengenai banyak hal. Makanya saya harus menseleksi banyak dari perbincangan saya dengan beliau untuk menjadi bahan penulisan novel ini.” 47 Dalam pegamatannya, Khrisna tidak hanya diam di kediaman Dahlan, dia juga mendatangi kota-kota lain yang pernah ditinggali Dahlan dalam perjalanan hidupnya. Di antaranya, kota kelahiran Dahlan Magetan, lalu Madiun, Ponorogo, Kertosono, Ngawi, dan Samarinda. Di kota-kota tersebut, 46 Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café Housen Cullinary, pada 5 April 2013. 47 Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café Housen Cullinary, pada 5 April 2013. 94 Khrisna berburu informasi tentang sosok yang akan ditulis. Baik dari saudara kandung, sahabat, hingga teman-teman angkatan Dahlan saat bersekolah. “bermacam pengalaman menarik yang saya alami ketika saya menggali data di desa-desa yang pernah ditinggali Dahlan, karena saya ingin menggambarkan Dahlan sebagai sosok apa adanya. Bukan sosok malaikat yang turun dari langit.”48 Hal lain yang peneliti temukan adalah penilaian penulis terhadap sosok Dahlan dimana Khrisna ingin mengungkapan kisah Dahlan dengan apa adanya, agar cerita yang ditunjukkan dalam novel menjadi lebih menarik. Namun di akhir kalimat Khrisna mengatakan dahlan bukanlah sosok malaikat yang turun dari langit. Menurut peneliti kalimat diatas membuat persepsi baru untuk peneliti dan khalayak bahwa Dahlan Iskan selama ini bagai seorang malaikat penyelamat yang hadir membawa perubahan. Adanya keinginan menampilkan cerita yang natural dan apa adanya tentang sosok Dahlan juga dikatakan oleh pihak penerbit. Ini dikatakan oleh Suhindrati Shinta sebagai penyunting novel Sepatu Dahlan. “Kita kan misinya pingin membuat buku yang menarik, dan kita ingin mas Khrisna itu menampilkan pak Dahlan yang apa adanya. Artinya bukan menampilkan pak Dahlan yang bagus-bagusnya ajah. Kalo dia melakukan apa yang keliatannya jeleknya itu diungkapkan. Intinya yang paling utama ya tetep supaya orang terinspirasi. Jadi kita nerbitin novel tentu saja sangat ingin orang terinspirasi hal-hal baik jadi misalnya kalo novel trailer itukan kadang-kadang misinya hiburan aja. Dan kalo novel-novel inspiratif seperti ini ya tujuannya supaya orang-orang terinspirasi.. oh pak Dahlan aja bisa gimana ceritanya kamu juga bisa jadi ya tujuannya itu. Pas pembuatan kita diskusi sama penulisnya gimana caranya novelnya itu menarik, gak ngebosenin, dan teknik awal penulisan novelnya gimana, kita juga 48 Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café Housen Cullinary, pada 5 April 2013 95 ingin menampilkan apa adanya. Tentang Human gitu loh, bukan dewa.”49 Penulis dan penerbit lagi-lagi mempunyai pemikiran yang sama dalam penulisan novel ini, yaitu menampilkan alur cerita yang apa adanya dalam novel. Sehingga terkesan lebih menarik dan lebih nyata saat dibaca khalayak. Namun dalam akhir kutipan kalimat wawancara dengan Shinta, ia menyebutkan kalimat tentang „human gitu loh, bukan dewa‟, ini sama halnya dengan apa yang dikatakan Khrisna diakhir kutipan wawancara „Dahlan sebagai sosok apa adanya. Bukan sosok malaikat yang turun dari langit‟. Menurut peneliti dari kedua kutipan di atas mempunyai makna yang sama. Yaitu tidak ingin melebih-lebihkan sosok Dahlan Iskan. Seperti yang peneliti katakan di atas, bahwasanya kutipan-kutipan ini mengandung makna sebaliknya. Yaitu sosok Dahlan sebagai malaikat dan sosok Dahlan sebagai dewa. C. Analisis Wacana Kritis Pencitraan Dilihat dari Konteks Sosial Terkait dengan konteks sosial maka berdasarkan teks pada Novel Sepatu Dahlan dapat diketahui bagaimana pencitraan dan relasi kuasa yang dibangun dan berkembang dalam masyarakat melalui proses produksi dan reproduksi pesan. Peristiwa yang digambarkan melalui penelusuran maupun studi pustaka. Bangunan teks dalam konteks sosial ini, menjadi suatu bangunan berpikir terkait pencitraan Dahlan Iskan. 49 Wawancara Peneliti dengan Suhindrati Shinta (Penyunting Novel Sepatu Dahlan) di Kantor penerbit Noura Books, pada 30 Agustus 2013. 96 Dalam penelitian ini, konteks sosial dilihat melalui studi pustaka. Hal yang terlihat adalah masyarakat sangat terinspiratif, sangat termotivasi pada sosok Dahlan Iskan. Hal tersebut menjadi suatu hal yang sangat penting dalam penelitian ini. Faktor Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN merupakan hal penting untuk disorot. Terkait dengan penelitian ini, Novel Sepatu Dahlan menyajikan wacana pencitraan yang cenderung positif. Hal tersebut terkait dengan konteks sosial yang berkembang dimasyarakat. Terbitnya novel ini bagian dari salah satu dari bentuk pencitraan dari berbagai media yang ada pada saat ini. Banyak buku-buku yang menerbitkan tentang sosok penguasa yang ada di negeri ini. Ini dilakukan agar masyarakat dapat mengenal lebih dekat sosok penguasa yang nantinya akan tampil dihadapan publik. Buku-buku yang diterbitkan menceritakan sosok penguasa yang baik hati, bijaksana, ramah dan sederhana juga berbagai penghargaanpenghargaan yang mereka dapatkan. Itulah yang menjadi senjata utama dari terbitnya buku-buku yang ada saat ini. Begitupula dengan terbitnya novel Sepatu Dahlan. Menurut peneliti isinya tidak jauh berbeda dari buku-buku biografi tokoh penguasa yang ada saat ini, hanya saja pengemasannya yang berbeda. Isinya dikemas lebih ringan dari yang sudah terbit sebelumnya yaitu dalam berbentuk novel agar lebih menarik untuk dibaca oleh khalayak. Teks dalam novel Sepatu Dahlan, menunjukkan bahwa Khrisna secara langsung mendeskripsikan kisah Dahlan Iskan berdasarkan realitas yang ditemui, yang dirangkai dalam suatu alur cerita melalui novel tersebut. Hal-hal 97 positif maupun negatif dari cerita yang menyedihkan kemudian mengharukan disampaikan Khrisna melalui novel Trilogi Sepatu Dahlan yang mudah dipahami dan berkembang dimasyarakat. Dengan hal demikian nampak bahwa media memiliki kebebasan dalam berpendapat. Hal apa saja dapat dituangkan dalam berbagai media seperti yang dilakukan penulis Khrisna Pabichara melalui novel Sepatu Dahlan. D. Interpretasi Berdasarkan penelitian di atas, keseluruhan penjelasan dari analisis wacana baik yang meliputi analisis teks, kognisi sosial maupun konteks sosial, masing-masing memberikan makna tersendiri. Secara teks, analisis wacana mengenai pencitraan Dahlan Iskan disampaikan banyak mengandung suatu pengungkapan realitas mengenai sikap, perbuatan maupun segala hal terkait kehidupannya. Sosok Dahlan Iskan dikenal sebagai menteri BUMN yang pandai membangun suatu pencitraan yang baik. Seperti yang ditulis widodo dalam situs kompasiana pada 12 maret 2012 mengatakan bahwa Dahlan Iskan namanya mulai membuming diperbincangkan dikalangan masyarakat berkaitan dengan citra yang dibentuknya. Misalnya Dahlan Iskan yang melakukan gebrakan dengan membuka pintu tol yang menjadi biang keladi kemacetan beberapa waktu lalu. Orang pun lantas menilai sosok Dahlan Iskan sebagai pribadi yang tegas, berani, dan action-oriented.50 Melihat tindakannya itu secara tidak langsung dapat memberikan asosiasi bahwa Dahlan Iskan 50 Shinta Kusuma, Pencitraan Bukan Kamuflase, dikutip dari pesona.com. http://www.pesona.co.id/refleksi/refleksi/pencitraan.bukan.kamuflase/001/001/134. di akses pada Tanggal 17-09-2013 Pukul 15:41 wib. 98 membangun citra diri yang positif dengan gambaran seseorang tentang ulahnya yang menjadi perhatian publik. Widodo juga mengatakan Dahlan Iskan pandai mengkilapkan citra dari tokoh yang biasa menjadi luar biasa, segala aktifitas tentang Dahlan diceritakan dalam berbagai media. Hal lain juga ditulis widodo tentang wacana pencapresan Dahlan mengemuka menyusul pernyataan Ketua DPP PD Bidang Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan DPP PD, Ulil Abshar Abdalla. Menurut Ulil, Dahlan berpotensi dan punya kapasitas maju pada Pilpres 2014.51 Berdasarkan sumber kantor berita antara yang diposting melalui berita satu.com, bahwa salah satu lembaga survei menyebutkan posisi rating Dahlan Iskan berada pada urutan ke-8 dengan raihan 3,6 persen, berada di bawah Mahfud MD yang dipilih 5,4 persen responden. Sementara posisi pertama capres pilihan responden ditempati Jokowi dengan 18,1 persen, disusul Prabowo Subianto 10,9 persen, dan Wiranto 9,8 persen. Pada urutan keempat, ditempati mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla 8,9 persen, disusul Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie 8,7 persen dan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri 7,2 persen. Namun, dibawah Dahlan Iskan ada nama Hatta Rajasa yang dipilih 2,9 persen responden disusul 51 Widodo S Jusuf, Dahlan Iskan Jangan Menapaki Jejak SBY, dikutip dari kompasiana.com. http://politik.kompasiana.com/2012/03/26/dahlan-iskan-jangan-menapaki-jejaksby-445181.html. Tanggal 17-09-2013 Pukul 15:41 wib. 99 Rhoma Irama sebesar 1,7 persen, Muhaimin Iskandar 1,1 persen persen dan Anas Urbaningrum 0,5 persen. .52 Sosok Dahlan Iskan dalam strategi pencitraan menjadi suatu hal tersendiri dalam kehidupan berpolitik. Kisah hidup sosok Dahlan Iskan dalam novel Sepatu Dahlan menjadi tokoh yang inpiratif bagi khalayak pembaca. Hal tersebut bermaksud membentuk citra Dahlan sebagai tokoh yang gigih, pantang menyerah, disiplin dan beriman. Secara kognisi sosial, makna yang dapat dipetik dalam novel Sepatu Dahlan memberikan pengalaman pribadi yang memberikan keuntungan bagi Khrisna Pabichara sebagai penulis Novel Sepatu Dahlan. Hal tersebut tercakup dalam hasil wawancara peneliti dengan penulis sebagai berikut; “tentu ada manfaat yang saya dapatkan dari sepatu Dahlan. Salah satunya, royalti. Semakin banyak yang beli novel ini, semakin banyak royalti yang saya dapat. Tetapi jangan lupa, ada sumbangan wajib bernama pajak penghasilan sebesar 15% daro royalti itu yang saya dermakan pada negara. Selain itu, tiap satu buku yang terjual disumbangkan sebesar Rp. 1.000 demi “gerakan Septu untuk anak Indonesia”. Gerakan ini terjalin atas kerja sama antara penerbit dengan Kick Andy Foundation.” Akan tetapi pengalaman tersebut menjadi pemahaman tersendiri pada masyarakat mengenai realitas melalui kacamata penulis. Melalui profesi sebagai penulis informasi dapat tergali lebih dalam dan mendetail. Oleh karena itu, novel Sepatu Dahlan ini dapat diungkap secara kritis dan lugas. Cara pandang penulis yang mengamati kisah perjuangan hidup Dahlan Iskan 52 Berita Antara di posting melalui http://www.beritasatu.com/nasional/109048-soalcaprescawapres-2014-dahlan-malumalu-mau.html di akses pada tanggal 02 oktober 2013 pukul 15:52 wib. 100 menjadi pendeskripsian yang ada sebagai suatu pembuka wacana masyarakat agar lebih terbuka dan luas. Hubungan antara Dahlan Iskan dengan Khrisna Pabichara tidak lain hanyalah sebatas tokoh dalam novel dan seorang penulisnya. Dalam proses produksinya Dahlan Iskan tidak bercampur tangan dari ide awal penulisan sampai terbitnya novel Sepatu Dahlan. Artinya Dahlan sama sekali tidak memberikan arahan dan masukan dalam penentuan konsep dan ide cerita sepenuhnya dilakukan oleh penulis. Khrisna Pabichara menjelaskan kepada peneliti mengenai penentuan penulisan novel Sepatu Dahlan dalam hasil wawancara sebagai berikut; “tidak seorangpun yang turut mencampuri penulisan novel Sepatu Dahlan. Termasuk Dahlan Iskan. Bahkan, beliau tidak membaca manuskrip novel ini. Dengan kata lain, tidak ada yang mengarahkan atau mengatur-atur saya dalam penulisan novel ini. Tidak ada pula yang menegaskan mana yang boleh dan apa yang tidak boleh ditulis. Saya bebas sebebas-bebasnya. Pihak penerbitpun hanya terlibat dalam proses penyuntingan: memberikan saran apabila ada yang dianggap butuh tambahan atau perbaikan. Selebihnya tidak ada.”53 Khrisna menyampaikan bahwa menulis novel tersebut bukanlah dengan tujuan pembentukan citra atau sebuah novel pesanan. Namun asusmi peneliti melihat proses yang dilakukan khrisna memiliki kompetensi menciptakan karakter yang baik terhadap sosok Dahlan untuk menampilkannya di depan publik. Asumsi ini peneliti temukan dalam proses pembuatan novel dengan waktu yang singkat dan dengan data kisah hidup Dahlan kecil yang didapat dengan mudah. 53 Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café Housen Cullinary, pada 5 April 2013 101 Secara konteks sosial, menunjukkan makna bahwa proses kehidupan politik merupakan hal yang penuh dengan berbagai macam cara maupun strategi dalam proses pemenangannya. Proses untuk memperoleh kekuasaan dan kemudian mempertahankan kekuasaan tersebut dilakukan melalui berbagai cara baik yang positif maupun negatif. Salah satu proses yang ada merupakan proses pencitraan, dimana efeknya tidak dapat dirasakan sekejap mata melainkan melalui berbagai proses dan waktu yang cukup panjang. Keterbukaan informasi menjadikan proses tersebut menjadi suatu hal yang lebih kompleks. Novel Sepatu Dahlan merupakan salah satu cara pencitraan Dahlan Iskan yang mempunyai tujuan sasaran pasar tersendiri di khalayak. Dalam novel Sepatu Dahlan, sosok Dahlan menjadi sosok yang sangat sederhana dikemas dengan cerita yang sangat dramatis dan menarik. Begitu pun dengan buku-buku biografi Dahlan Iskan lainnya yang muncul setelah terbitnya novel Sepatu Dahlan mempunyai sasaran pasar tersendiri di khalayak. Seperti, Surat Dahlan, Dahlan Iskan Juga Manusia, (certwit) Dahlan Is Dahlan Can dan lain sebagainya. Buku-buku tentang biografi seseorang saat ini menjadi media politik yang efektif bagi mereka yang ingin menarik perhatian dan mempunyai citra baik di mata khalayak. Ini terbukti dengan beredarnya sosok-sosok baru dalam buku biografi. Seperti, Chairul Tanjung Si Anak Singkong, Jokowi Spirit Bantaran Kali Anyar, Mahmud Md Terus Mengalir, dan lain sebagainya. 102 Berbagai hal yang disampaikan penulis merupakan penggambaran yang melahirkan fenomena seolah-olah seperti yang digambarkan atau dicitrakan dari bangunan pencitraan Khrisna yang mengarah pada hiperealitas. Artinya, segala hal yang digambarkan maupun dilukiskan murni cara pandang Khrisna terhadap sosok Dahlan Iskan mencakup pilihan bahasa, dari kata hingga paragraf. Hasil dari proses tersebut merupakan sebuah wacana atau realitas yang membentuk opini massa, massa cenderung apriori, dan opini massa cenderung sinis melihat sisi positif dan negatif sejalan yang disampaikan Khrisna. Akan tetapi hal tersebut tidak serta merta terjadi dikarenakan faktor internal pembaca sendiri. Khrisna membangun sebuah teks dengan muatan simulakra dan hiperrealitas ke dalam novel Sepatu Dahlan dengan cukup jelas dalam novel Sepatu Dahlan simulakra tersebut ditunjukkan melalui bahasa yang mampu menciptakan sosok figur Dahlan Iskan. Sebagaimana simulakra merupakan penampakkan sesuatu yang tak sebagaimana adanya. Dalam hal ini, Khrisna melukiskan beberapa peristiwa, tokoh, dan latar alur dengan imajinasi. Sebagaimana lazimnya sebuah novel, dan instrumen tersebut terklarifikasi dalam salah satu bentuk media simulakra. Hal demikian secara tak langsung dapat menunjukkan konsep yang disitilahkan Baudrillard sebagai hiperrealitas atau sesuatu yang melampaui kenyataan. (menjelaskan tentang hiperealitas) Namun, dalam sebuah novel hal tersebut menjadi mungkin untuk digambarkan melalui imajinasi dengan 103 berlatar kisah nyata. Novel Sepatu Dahlan ini mengandung muatan hiperrealitas yang menyangkut beberapa hal. Pertama, sebuah cerita yang direalisasikan dari sebuah kisah nyata mampu dirangkai sedemikian rupa dengan melakukan riset yang berlangsung cepat selama satu setengah bulan. (jelaskan karena dengan waktu yang sedemikian singkat, ada halnya bahwa dalam novel itu banyak hasil imajinatif penulis). Kemudian dengan melihat konteks latar cerita ketika Dahlan kecil yang kondisinya jauh berubah dengan sekarang. Konsep simulakra dengan novel ini sangat erat kaitannya, dimana simulakra merupakan realita yang dilebih-lebihkan. Begitu pun dalam novel, yang mana novel merupakan karya fiksi dimana isinya boleh saja tidak mencerminkan realita lebih banyak menceritakan fiksi dari pada fakta. Walaupun ada sebagian alur cerita dalam novel yang nyata. Dalam hal ini adalah novel sepatu dahlan yang diangkat dari kisah nyata Dahlan Iskan semasa kecil. Ditambah dengan imajinasi penulis yang mana novel memiliki ruang imajinasi sehingga penulis mengembangkan sebuah cerita novel ini menjadi menarik dan dramatis. Ini penulis sampaikan dalam wawancara dengan peneliti. “sebagaimana lazimnya novel, ada beberapa peristiwa, tokoh, dan latar-alur yang murni imajinasi. Ada juga nukilan peristiwa yang benar-benar terjadi, tetapi saya olah atau racik sedemikian rupa supaya renyah dibaca. Jika seluruh bagian dalam Sepatu Dahlan persis sebagaimana fakta sebenarnya, tentu bukan novel bentuknya. Bisa biografi, bisa memoar. Dengan kata lain novel ini berlatar kisah nyata.”54 54 Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café Housen Cullinary, pada 5 April 2013 104 Kedua, muatan hiperrealitas yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan dapat dilihat melalui sudut pandang (khalayak/pembaca). Seperti yang kita ketahui Dahlan Iskan yang demikian dapat dikenal sebagai figur yang mampu meraih mimpinya dengan segala keterbatasan ekonomi dalam hidupnya. Hingga hal yang dicapai saat ini Dahlan memiliki ratusan media, menjadi Dirut PLN dan menjabat sebagai Menteri BUMN. Hal tersebut sulit direalisasikan dalam kehidupan nyata. Merujuk pada baudrillard bahwa penggunaan tanda dan citra dalam politik, sedemikian rupa, yang di dalamnya citra telah terputus dari realitas yang direpresentasikan sehingga didalamnya bercampur aduk antara yang asli/palsu, realitas/fantasi, kenyataan/fatamorgana, citra/realitas yang menggiring dunia politik ke arah penopengan realitas (masquerade of reality). novel ini menyajikan antara fakta dan imajinasi penulis sudah sulit dibedakan. Dengan demikian cerita tentang Dahlan Iskan yang ada dalam novel sudah sulit dibedakan mana yang realitas dan mana yang fantasis si penulis, mana yang asli dan mana yang palsu, mana yang citra dan mana yang realitas. BAB V PENUTUP Kesimpulan Dalam Analisis Wacana Kritis (Critical Dicourse Analisis / CDA), wacana tidak hanya dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa dianalisis tidak hanya dari aspek kebahasaan saja, tetapi juga menghubungkannya dengan konteks. Konteks disini berarti bahasa dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan oleh peneliti mengenai pencitraan Dahlan Iskan terkait dalam novel Sepatu Dahlan, maka dapat disimpulkan bahwa proses pemaknaan atas pesan yang disampaikan, yaitu melalui struktur teks (makro, superstruktur, dan struktur mikro), dan dalam kognisi sosial dan konteks sosial dalam novel Sepatu Dahlan. Dalam novel tersebut dapat menjadi suatu sarana pembentuk citra diri terhadap tokoh Dahlan yang dibangun oleh Khrisna. Meskipun Khrisna menyampaikan bahwa menulis novel tersebut bukanlah dengan tujuan pembentukan citra atau sebuah novel pesanan. Namun asusmi peneliti melihat proses yang dilakukan Khrisna memiliki kompetensi menciptakan karakter yang baik terhadap sosok Dahlan untuk menampilkannya di depan publik. Asumsi ini peneliti temukan dalam proses pembuatan novel dengan waktu yang singkat dan dengan data kisah hidup Dahlan kecil yang didapat dengan mudah. Dari analisis data yang telah peneliti lakukan tersebut ditemukan melalui analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk dengan tiga level analisis. Sebagai berikut: 105 1) Dilihat dari segi teks, Novel Sepatu Dahlan yang diteliti ini menunjukkan adanya pencitraan dengan mengidentifikasikan kisah pengalaman hidup Dahlan Iskan dengan penekanan makna dan pemilihan kata atau kalimat yang ditonjolkan mengenai sosok Dahlan Iskan seperti: sosok yang sederhana, disiplin, pekerja keras, bersahabat/ komunikatif, dan amanah. 2) Dari segi kognisi sosial, penulis novel ini memahami bahwa terlepas dari tipisnya perbedaan antara fakta dan fiksi, tidak ada kisah hidup Dahlan yang dilebihkan dan dikurangkan, namun dalam hasil wawancara terlontar kalimat tentang ‘human gitu loh, bukan dewa’, ini sama halnya dengan apa yang dikatakan Khrisna diakhir kutipan wawancara ‘Dahlan sebagai sosok apa adanya. Bukan sosok malaikat yang turun dari langit’. Menurut peneliti dari kedua kutipan di atas mempunyai makna yang sama. Yaitu tidak ingin melebih-lebihkan sosok Dahlan Iskan. Seperti yang peneliti sudah jelaskan pada bab IV bahwasanya kutipan-kutipan ini mengandung makna sebaliknya. Yaitu sosok Dahlan sebagai malaikat dan sosok Dahlan sebagai dewa. Ini berdasarkan pengamatan penulis novel selama pembuatan novel ini. 3) Dari segi konteks sosial, melihat maraknya fenomena tindakan politik pencitraan akhir-akhir ini di masyarakat Indonesia banyak tokoh publik yang melakukan pencitraan dalam pertarungan di dunia politik melalui media massa cetak. Seperti buku biografi yang ditulis oleh Wartawan SKH Kompas: Antonius Wisnu Nugroho yang berjudul Pak Beye dan Politiknya, autobiografi maupun novel. Publikasi yang dilakukan pada tokoh-tokoh tersebut dilakukan melalui media massa maupun media sastra. 106 Saran Berdasarkan dengan penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa hal yang dapat menjadi saran baik kepada segenap akademisi Fakultas Ilmu Komunikasi, khususnya Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bagi peminat novel khususnya pecinta karya sastra: 1. Untuk penelitian selanjutnya disarankan menggunakan metode analisis wacana yang beragam di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan agar bisa mengkaji lebih dalam dan mendapat perhatian lebih guna memperkaya khasanah keilmuan komunikasi. 2. Bagi masyarakat ini bisa menjadi gambaran dalam melakukan pencitraan yang menggunakan media massa maupun media sastra. 3. Semoga hal-hal yang baik dalam penelitian ini menjadi masukan yang dapat mengembangkan karya sastra seperti novel yang sarat dengan nilai-nilai positif yang tertuang di dalamnya agar dapat diserap dengan baik. 107