e135: THE FUTURE LANGUAGE DICTIONARY1 Sawirman Universitas Andalas Padang ABSTRACT How is the future dictionary should be created? This question is actually aimed at revising and providing the strategic solutions on the weaknesses of contemporary dictionaries. Instead of the lack of genealogical aspects, most dictionaries do not explain the development of entries historically, and socio-cultural values are even rare to describe. Various dictionaries only meet mere practical functions. In essence, this is the ground of the significance of e135 conceptual framework as one of guidelines in developing the future dictionary. This matter is definitely in accordance with ethical responsibility of any dictionary as a medium of language and cultural values conserving, not only as pure literal reference. Furthermore, this writing is also intended to propose e135 framework to be used as prospective model of developing various dictionaries entries genealogically in the world. Keywords: words geneology, language dictionary, and e135 ABSTRAK Bagaimana gambaran kamus masa depan yang diharapkan? Pertanyaan ini sebenarnya dimaksudkan untuk merevisi dan memberikan solusi strategis terhadap kelemahan-kelemahan kamus bahasa dewasa ini. Selain aspek genealogis yang belum disentuh, kebanyakan kamus tidak memberikan gambaran terhadap perkembangan entri dari masa ke masa. Di samping itu, nilai-nilai kultural dan sosial yang mewarnai perkembangan suatu kata juga jarang sekali dibahas. Kamus-kamus yang beredar selama ini umumnya masih berfokus pada fungsi praktis semata. Hal inilah yang mendasari perlunya kerangka konseptual e135 digunakan sebagai salah satu guideline dalam mengembangkan kamus masa depan. Hal ini sejalan dengan tanggung jawab etis sebuah kamus yang tidak hanya sebagai acuan makna kata tetapi juga sebagai media pelestari bahasa dan nilai budaya. Sembari memberikan masukan terhadap pengembangan kamus bahasa tansi dimaksud, tulisan ini juga mengusulkan kerangka e135 untuk digunakan sebagai salah satu model untuk pengembangan setiap entri secara genealogis dalam pembuatan kamus setiap bahasa di dunia. Kata kunci: genealogis kata, kamus bahasa, dan e135 1 Paper ini merupakan pengembangan dari salah satu subbagian Skim Penelitian Hibah Bersaing Dikti yang penulis ketuai pada tahun 2009-2010 berjudul “Pengembangan Pembelajaran Linguistik Berbasis Kompetensi dan Cultural Studies Menuju Pembentukan Kurikulum Magister dan Mazhab Linguistik Universitas Andalas”. Sawirman 1. Pendahuluan Tanggal 2 Maret tahun 2010, saya diundang sebagai salah seorang keynote speakers untuk membedah sebuah kamus pidgin berjudul Kamus Bahasa Tansi Sawahlunto. Kamus tersebut adalah terbitan Yayasan Pendidikan Roda Yogyakarta tahun 2009 yang ditulis oleh Elsa Putri Ermisah Syafril. Di mata saya, kamus tersebut memiliki spirit etis untuk mengkaji ranah-ranah yang selama ini terpinggirkan dan termarjinalkan. Adalah menjadi alasan mengapa saripati makalah yang disampaikan dalam forum tersebut ditulis dalam jurnal ini. Sebuah kamus bahasa masa depan di mata saya minimal memuat (1) penelusuran kata secara etimologis, (2) penelusuran kata secara genealogis (mengungkap “sejarah ide” kata), (3) menelusuri perkembangan semantis kata dalam konteks kekinian, (4) menelusuri pihak-pihak yang mempopulerkan kata, (5) menelusuri miskonsepsi seputar kata, (6) membandingkan bentuk dan makna kata dengan bentuk dan makna protonya, dan (7) mengungkap pola, imaji, citra, arkeologi, ideologi, dan filsafat yang terdapat dalam setiap kata. Untuk melahirkan kamus berdimensi aspek-aspek tersebut diperlukan sebuah model. e135 diusulkan sebagai salah satu jembatan untuk mencapainya. Secara substansial, materi pengembangan salah satu subbagian Skim Penelitian Hibah Bersaing Dikti yang penulis ketuai pada tahun 2009-2010 ini pernah disampaikan di Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto pada tanggal 2 Maret 2010 dalam forum Alek Tansi untuk membedah sebuah kamus berjudul Kamus Bahasa Tansi karya Elsa Putri Ermisah Syafril terbitan Yayasan Pendidikan Roda Yogyakarta tahun 2009. 263 Linguistika Kultura, Vol.03, No.03/Maret/2010 Gambar 1: Cupilkan Poster Alek Tansi 2. Kata dan Dokumentasinya Kosakata merupakan unsur bahasa paling labil. Kontak bahasa dan budaya biasanya ditandai dengan munculnya kosakata baru. Kemunculan kosakata baru tersebut dapat dianggap sebagai gejala perubahan atau perkembangan sebuah bahasa maupun budaya. Perubahan itu disebabkan oleh faktor eksternal seperti sistem sosial, adat, budaya, agama, kepercayaan, dan ideologi, selain faktor internal termasuk sistem kebahasaan itu sendiri dan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Kosa kata Minang dan bahasa Indonesia (BI) misalnya. Baik secara bentuk maupun semantis sejumlah kosa kata Minang dan bahasa Indonesia (BI) berkembang pesat. Akan tetapi perkembangan ini seakan-akan tidak didata oleh pihak-pihak yang berwenang seperti Pusat Bahasa dan jajarannya. Yang lebih parah lagi bila seonggok kata menghilang dari peredaran. Hilangnya jejak seperangkat leksikon adalah sebuah pertanda hilangnya setupuk budaya, sejarah, dan ideologi yang ada di dalamnya. Elsa Putri Ermisah Syafril (2009) adalah salah seorang yang berpikir ke arah pelestarian itu. Pada saat KTT Bumi PBB di Bali bulan tahun 2002 berlangsung, kata hutang yang dulunya hanya bermakna hutang uang atau hutang emas, berkembang maknanya menjadi hutang ekologis. Pernyataan “Negara majulah yang harus membayar hutang kepada negara berkembang akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya” santer mengemuka kala itu. Pernyataan tersebut memuat “logika terbalik”. Negara-negara Selatan (sebutan lain untuk negara-negara berkembang) seakan-akan tidak perlu lagi membayar hutang uang kepada negara maju, karena kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh negara maju tidak sebanding dengan pinjaman negara berkembang kepada negara maju atau negara-negara utara. Secara semantis kata hutang sudah mengalami perkembangan semantis ke arah meluas yang belum terdaftar dalam entri kamus, misalnya dalam KBBI dan beberapa kamus berbahasa Inggris. 264 Sawirman Dulu orang kita hanya memaknai kata kirim berhubungan dengan barang atau uang, sekarang Indonesia khususnya Jakarta bermasalah dengan kata kirim tersebut akibat adanya banjir kiriman setiap tahun dari Bogor ke Jakarta. Bila difiturkan secara semantis, pada kata kirim yang melekat pada kata uang atau barang memiliki fitur makna kesengajaan [+sengaja], sementara kata kirim pada banjir kiriman memiliki fitur makna ketidakkesengajaan [-sengaja]. Dulu kata cicak dan buaya hanya ditujukan kepada binatang atau playboy pada padanan kata lelaki buaya, sekarang kata-kata ini juga bermakna KPK dan Polisi. Tanpa disadari oleh berbagai pihak, pasca gempa tanggal 30 September 2009 di Sumatera Barat, sejumlah leksikon dan akronim semakin tersosialisasi. Sebut misalnya ACT (Aksi Cepat Tanggap), TTD (Tim Tanggap Derurat), LCB (Liburan Cerdas Bunda), wisata bencana, trauma healing, dan lain-lain. Katakata tersebut perlu diidentifikasi dan sebagiannya perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Gambar 2: Kata peduli adalah salah satu kata yang banyak diberdayakan dan dipadankan dengan kata lain. Foto diambil di BIM bulan Oktober 2009. Gambar 3: Kata peduli dipadankan dengan bantuan. Foto diambil di BIM bulan Oktober 2009. Gambar 4: Kata Tidak Layak Huni yang ditempel oleh PNPM Mandiri pada sejumlah rumah pasca gempa tanggal 30 September 2009 bukan berarti rumah yang tidak bisa ditempati, tetapi dapat dimaknai sebagai rumah yang kerusakannya agak parah sekalipun masih bisa dihuni secara layak. Foto diambil di rumah penduduk bulan Oktober 2009. Kata-kata dengan nuansa terkait masih perlu diteliti. 265 Linguistika Kultura, Vol.03, No.03/Maret/2010 Gambar 5: Salah satu spanduk saat trauma healing dilakukan. Foto diambil 18 Oktober 2009. Kata trauma healing hanyalah salah satu kata dari ratusan kata yang belum ditemukan padanannya dalam konteks bahasa Indonesia pasca gempa 30 September 2009. Gambar 6: Salah satu stiker di mobil bantuan. Foto diambil di BIM Oktober 2009 Pasti masih ingat dalam benak masyarakat Indonesia pada saat kata contreng digunakan dalam Pesta Demokrasi tahun 2004. Dalam KBBI (2002:220), setelah entri kata conteng yang berarti ‘pembungkus atau wadah dari daun atau kertas yang berbentuk kerucut’ langsung meloncat ke entri cop yang bersinonim dengan kata kecup. Dengan demikian, kata contreng belum terdaftar dalam KBBI andalan Indonesia tersebut. Usut punya usut, ternyata kata contreng adalah Dialek Betawi. Permasalahannya sekarang, sudahkah kata-kata itu didaftar dalam KBBI cetakan terkini? Adalah sebuah kekeliruan besar dan akan menjadi cacatan sejarah yang memalukan bila kata ini belum dibakukan menjadi kata resmi bahasa Indonesia. Sejumlah akronim pun beredar kala itu. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) misalnya memunculkan sejumlah akronim baru, dari partai kasih sayang hingga peduli kesejahteraan sesama. PKS tidak menggunakan istilah “Ketua Partai”, tetapi “Presiden Partai” (baca pula Sawirman, 2009). Gambar 7: Kata Dapil Gambar 8: Selain Kata Dapil, kata DP. diberdayakan diberdayakan untuk pula untuk singkatan Daerah Pemilihan singkatan Daerah Pemilihan Bila tidak segera diinventarisasi dan didokumentasi, sejumlah kata tersebut akan mengalami overgeneralisasi sehingga menjauh dari makna aslinya. Dengan 266 Sawirman demikian, sebuah kamus yang merangkul penelusuran kata secara etimologis dan genalogis dengan membandingkan bentuk dan makna kata dengan bentuk dan makna protonya, perkembangan semantis kata dalam konteks kekinian, pihak-pihak yang mempopulerkan dan miskonsepsi seputar kata, serta penelusuran pola, imaji, citra, arkeologi, ideologi, dan filsafat yang terdapat dalam setiap kata diperlukan untuk kamus masa depan. Selama ini aspek genealogis jarang disentuh oleh pembuat kamus. Kebanyakan kamus yang beredar belum memberikan gambaran terhadap perkembangan entri dari masa ke masa. Kealfaan sang pembuat kamus terhadap atensi nilai-nilai kultural dan sosial yang mewarnai perkembangan suatu kata akan berkonsekuensi pada ketiadaan tanggung jawab etis. Hal inilah yang mendasari diusulkannya kerangka konseptual e135 untuk dijadikan sebagai salah satu guideline dalam mengembangkan kamus masa depan. 3. e135 sebagai Model Pengembangan Entri Kamus e135 merupakan singkatan dari “Enkripsi 135”2. Ada lima tahapan analisis dalam e135 yang disimbolkan dengan angka 5. Lima tahapan tersebut dirangkul menjadi satu kata, yakni RESET (Refleksi, Ekspresi, Signifikasi, Eksplorasi, dan Transfigurasi) yang masing-masingnya dilandasi dengan landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis seperti dalam tabel berikut. Tabel 1: Landasan Analisis dalam e135 5 Objek Material/ 5 Objek Formal 5 Tahapan Ontologis Epistemologis Analisis Filosofi, Fokus, Abstraksi I Refleksi Pendekatan, Epistem, Data Logika, Sistem, Teori Bahasa sebagai cermin Pendekatan formalis Logika reflektif Epistemologi objektif Sistem langue Teks Wacana Formalis Bahasa sebagai ekspresi Pendekatan fungsional Logika ekspresi Otoritas pemproduksi teks Epistemologi subjektif Sistem parole Abstraksi fungsi Intrateks Fungsi wacana Bahasa sebagai permainan Pendekatan kritis Logika semantis Otoritas pengonsumsi teks Epistemologi pragmatis Sistem tanda Abstraksi makna Interteks Semiotik Otoritas teks/ produk Abstraksi bentuk II Ekspresi III Signifikasi 2 Aksiologis Ada perubahan singkatan untuk huruf e pada e135 pada artikel ini. Pada beberapa artikel saya terdahulu, huruf e pada e135 menyimbolkan sebuah eksemplar. Perubahan tersebut tiada lain untuk menghargai masukan responden selama melakukan uji coba pada model ini selama penelitian Hibah Bersaing tahun 2009. 267 Linguistika Kultura, Vol.03, No.03/Maret/2010 IV Eksplorasi V Transfigurasi Bahasa ajang dialektis Pendekatan posmodernis Logika dialektis Otoritas intersubjektif Epistemologi metaetis Sistem dialektis Abstraksi efek makna Hiperteks Hipersemiotik Bahasa sebagai kesenangan Pendekatan cultural studies Logika filosofis Otoritas interpretan Epistemologi hermeneutis Sistem nilai Abstraksi solusi strategis “Cultural studies” Pemetaan Bahasa Setiap paradigma memiliki objek material dan objek formal. Objek material dan objek formal diaplikasikan pada lima tahapan analisis (simbol angka 5 pada e135). Sebagai titik tolak pemahaman, masing-masing tahap diberi penjelasan akademis ringkas seperti berikut. a. Tahap refleksi Beberapa filosofi yang mendasarinya tahap refleksi adalah language is a mirror of mind (bahasa adalah cermin pikiran, refleksi realitas, atau refleksi sebenarnya) seperti yang diungkapkan Chomsky, text is operational of language seperti yang disebut Halliday. Tahap ini menyediakan ruang bagi penganut yang menganggap tanda yang tersaji dalam wacana/tanda dinilai sama dengan realitas empirik (X=X). Wacana/tanda berperan sebagai reflektor sekadar menghadirkan fakta atau peristiwa yang ada atau berlangsung dalam realitas empiris. Pendekatan/teori wacana formalis atau teori-teori linguistik (mikro) dapat digunakan pada tahap refleksi. Tahap ini merupakan ruang bagi para linguis untuk membedakan analisis wacana yang mereka lakukan dengan analisis wacana yang juga dilakukan oleh para ahli dalam sejumlah disiplin ilmu. Pemanfaatan wacana formalis yang dimaksudkan tidak harus tergantung dengan sebuah teori besar (grand narrative) tertentu. Tipe data sebuah wacana/teks dijadikan sebagai titik sentral untuk memilih teori-teori formalis yang sepadan. Bila sebuah wacana/teks memuat klausa pasif, maka teori pemasifan dan pendatifan perlu diungkap terlebih dahulu. Sejumlah teori pasif/datif dalam sejumlah aliran (baik wacana maupun sintaksis) dapat digunakan pada tahap ini. Perlu diingat bahwa tidak ada satu pun teori yang betul-betul mampu mengakomodasi semua tipe data dalam wacana/teks yang beragam. Dengan kata lain, tahap refleksi menampung aneka teori formalis atau linguistik mikro yang sesuai dengan tipe data yang dianalisis. Tahap refleksi memaknai teks/wacana sebagai sebuah produk dalam wujudnya secara fisik (“object oriented”). Objek material atau data yang digunakan adalah teks (dalam artian teks atau wacana yang ditelaah, bukan intrateks, interteks atau hiperteks). Tahap refleksi adalah elaborasi sistem langue, determinisme teori sistem (mencari makna dari sumber standar dan hukum keteraturan), kategori benar-salah, linear, bahasa sebagai cermin monolitik, abstraksi bentuk, dan logika operasi praktis (sesuai nilai tukar) yang memposisikan teks sebagai sebuah instrumen. 268 Sawirman b. Tahap ekspresi Ekspresi merupakan hubungan antara bahasa sebagai tanda dengan konsep mental yang dipresentasikannya dengan realitas yang ada tentang fakta, manusia, keadaan, peristiwa, benda nyata, atau objek fiktif. Sebagai kesatuan intelectual organic (meminjam istilah Gramsci), praktik wacana, bahasa, atau tanda yang dipresentasikan ke ruang publik adalah koleksi sejumlah ide, pikiran, dan gagasan subjektif pemproduksi teks. Sebuah wacana merupakan hasil konstruksi pengarang dengan percampuran faktor subjektivitas, ideologi, kultur, dan nilai yang dianut pembuat teks. Konstruksi realitas yang dibuat pemproduksi teks dari berbagai objek atau peristiwa menjadi wacana bermakna dan dapat menentukan citra terhadap objek atau peristiwa dimaksud. Dalam konteks e135, para analis wacana pada tahap ekspresi diharapkan mampu mengungkap ekspresi mental di balik wacana/teks yang dihadirkan secara tersembunyi oleh pemproduksi teks. Pemproduksi teks, wacana, tanda, atau kata yang dimaksudkan bisa precurso3r, instigator4, produser5, distributor6, atau intenceptor7. Dengan kata lain, bias kepentingan dan ideologis setiap subjek (pengarang, media, institusi, dan lain-lain) sebagai pemproduksi teks perlu menjadi titik perhatian tahapan ini. Analis diharapkan dapat “memposisikan diri” sebagai pemproduksi teks pada tahap ini atau disebut “otoritas pengarang”. Dengan demikian, e135 juga menghargai subjek pengeluar teks. Dengan kata lain, e135 tidak serta merta menganggap “pengarang sudah mati” seperti klaim Roland Barthes. Hak pengarang masih dihargai. Objek material tahap ini dilakukan dengan “intrateks”. Term “intrateks” yang dimaksudkan teks-teks sejenis yang juga dihasilkan oleh pemproduksi teks sebagai pelaku representasi. Tahap ekspresi yang dimaksudkan dalam e135 dapat merangkul representasi sejumlah fungsi kewacanaan (abstraksi fungsi). Dalam konteks ini bahasa dianggap menjadi bagian dari sistem representasi. Pertukaran makna terjadi ketika ada akses terhadap bahasa bersama sebagai sistem langue. Bahasa sebagai sistem tanda (sign) akan membawa makna setelah diwujudkan dalam bentuk kata, ungkapan, gaya, diksi, suara, mimik, gestures, kesan, serta wilayah bahasa lainnya. Selain filosofi Gadamer bahasa sebagai rumah ada (language is the house being) dan filosofi Heidegger bahasa sebagai apresiasi, filosofi Halliday bahasa sebagai ekspresi (perasaan, pengalaman, ide, pikiran, gagasan, dan pengalaman) serta filosofi Gibbons bahwa “kata adalah rumah baru bagi gagasan universal” juga melandasi tahapan ini. 3 4 5 6 7 Precursor yang dimaksudkan dalam e135 adalah aktor sosial yang pertama kali menemukan, menciptakan suatu ide, tanda, dan wacana namun tanpa visi strategis. Instigator yang dimaksudkan dalam e135 adalah aktor sosial yang pertama kali memulai atau membangun visi suatu proses taktis atau strategis suatu wacana atau tanda Produser yang dimaksudkan dalam e135 adalah aktor sosial yang memproduksi secara masif sebuah wacana atau tanda. Konsep distributor yang dimaksudkan dalam e135 adalah penyalur suatu wacana atau tanda kepada masyarakat atau komunitas Interseptor yang dimaksudkan dalam e135 adalah aktor sosial yang memotong jalur distribusi suatu wacana atau aktor sosial yang menyerobot atau melakukan sabotase terhadap aliran makna suatu wacana atau tanda 269 Linguistika Kultura, Vol.03, No.03/Maret/2010 Ekspresi merupakan kongretisasi pemakai bahasa yang terbentuk melalui perseptual, pengalaman, dunia ide, kesadaran batin, dan fungsi representasi yang bila dikaitkan dengan statemen Halliday dapat disejajarkan dengan bahasa sebagai wahana ideasional (wahana mengekspresikan sesuatu) dan interpersonal (wahana menilai, menyikapi, dan berinteraksi). Bahasa sebagai ekspresi “logika kesadaran”, sistem parole, emosi, pikiran, ide, dan tingkah laku, bukan hanya sekadar serangkaian kata penunjuk benda. Objek material pada tahapan representasi adalah data interteks. Semua teks yang terkait perlu dipahami secara totalitas sebagai penghargaan pada otoritas the author. c. Tahap signifikasi Signifikasi adalah sebuah istilah yang sudah ada sejak Plato. Plato’s notion that the image-like quality of an expression enables the addressee to recognize what speaker is thinking his initial theory that “the signification of words is given .... (Keller, 1998:111). Term signifikasi (signification) diberdayakan kembali oleh Barthes dalam teori semiotika. Semiotika Barthes memiliki dua tahap pemaknaan, yakni: (1) language object dan (2) signifikasi atau metalanguage (meta-bahasa). Aspek penting yang dikemukakan Barthes pada tahap meta-bahasa adalah pentingnya peran pembaca (otoritas pembaca). Proses pemaknaan terhadap teks adalah negosiasi antara representasi mental pemproduksi teks (sebagai pelaku representasi) dengan representasi mental pembaca teks. Tahap signifikasi dalam e135 menyediakan ruang bagi pembaca seluas-luasnya untuk melacak makna terhadap representasi mental pemproduksi teks. Tahap ini mengharapkan seorang analis teks agar memposisikan diri sebagai seorang pembaca teks yang kritis untuk men-decode atau menginterpretasikan makna teks. Tanda yang tersaji dalam wacana/media belum tentu merefleksikan realitas yang sebenarnya. Bisa saja tanda X mempresentasikan realitas X(tanda semu), atau tanda X mempresentasikan realitas X+ (tanda hiperealitas), atau tanda X mempresentasikan realitas Y (tanda dusta), dan lain-lain. adalah beralasan mengapa tahap signifikasi membutuhkan keaktifan pembaca dalam memaknai sebuah teks agar dapat berfungsi sesuai dengan logika kesetaraan nilai guna sebuah teks atau teks dianggap sebagai komoditas. Semakin penuh pembaca diberi otoritas memaknai sebuah teks, maka semakin sentral peran bahasa sebagai sebuah tanda. Tanda (lingual) dalam sebuah teks tidak hanya berwujud morfem, fonem, kata, frase, klausa, kalimat, dan paragraf, tetapi juga kategori, struktur, klasifikasi, diksi, kata/ klausa kunci, dan ejaan yang digunakan merepresentasikan konsep, gagasan, atau perasaan sehingga memungkinkan pembaca memaknainya. Menurut Saussure language is a system of signs that express ideas, and is therefore comparable to a system of writing, the alphabet of deaf–mutes, symbolic rites, polite formulas, military signals, etc. but is the most important of all these systems8. Fungsi bahasa menurut Stuart Hall juga dapat dianggap sebagai tanda9. Dengan demikian, penggunaan ranah semiotika untuk menganalisis teks/wacana menjadi semakin sentral. Sebagai representasi logika esensial, proposisi, metabahasa, dan sistem 8 Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, Sage Publications, Beverly Hills, California, 1982, hal. 16. dalam Hermawan (2008). 9 Stuart Hall (Ed.), Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices, Sage Publications, London, 1997, hal.5, seperti dikutip Hermawan 2008. 270 Sawirman emik, data interteks dalam konteks ini dijadikan sebagai objek material. Tahap signifikasi e135 yang dilandasi filosofi Wittgenstein, bahasa adalah permainan (language is a game) dianggap sebagai abstraksi makna. d. Tahap eksplorasi Terma eksplorasi berasal dari bahasa Inggris exploration [explore+-tion]. Explore berarti “examined throughly in order to test, learn about” (Hornby, 1987:300). Istilah eksplorasi yang digunakan dalam e135 mengindikasikan agar penjelajahan makna tanda/simbol lingual dianalisis sampai tahapan makna terdalam(depth meaning) seperti harapan Baudrillard. Makna tersembunyi di balik kata eksplorasi e135 dapat disejajarkan dengan (1) surplus meaning, telaah plus, wacana ontologis, atau wacana tambah oleh Paul Ricoeur, (2) wacana baru oleh Roland Barthes, (3) wacana explanatory oleh Chomsky, dan (4) depth meaning oleh Baudrillard. Tahap eksplorasi dilandasi filosofi berpikir Herder kutipan Gibbons (2002:142) yang menganggap bahasa sebagai ajang dialektis untuk mencapai kesadaran reflektif. Sebagai representasi logika paradigmatis, kemenduaan, dan perbedaan sesuai dengan nilai tanda/simbol sebagai ajang dialektis, “data hiperteks” dalam konteks ini dijadikan sebagai objek material agar negosiasi makna dengan kuasa dan dialektika struktur-agen sebuah teks dapat terungkap dalam tahap ini. Para analis wacana pada tahap ini diharapkan tidak lagi mempersoalkan kedudukan tanda/simbol, baik sebagai replika realitas maupun menipu realitas, tetapi lebih concern pada jawaban bagaimana pihakpihak berkepentingan saling memperebutkan, saling mempertentangkan, saling menegasikan, dan saling melakukan tesis, antitesis, sintesis terhadap sebuah tanda/simbol. Otoritas intersubjektif Habermas atau kesesuaian teks dengan interpretasi yang berbeda-beda berdasarkan norma, nilai universal, latar historis, kultural, politis, ideologis, serta konteks ruang dan waktu masing-masing pemproduksi teks ditelaah pada tahap ini. e. Tahap transfigurasi Menurut Ricoeur seperti dikutip Gibbons (2002:xviii), sebuah teks dari sisi penulis teks tercipta melalui tiga tahapan, yakni: (1) pra-figurasi (tahap pengalaman yang belum terumuskan); (2) konfigurasi (perumusan pengalaman dan gagasan oleh penulis teks); dan (3) transfigurasi (penafsiran teks oleh banyak orang secara berbeda). Ketiga tahapan itu menurut Ricoeur dan Gibbons tidak pernah murni dan selalu terdistorsi oleh discursive practices. Dengan demikian, implikasi dari tahap transfigurasi e135 adalah mempersilakan masingmasing analis memaknai wacana secara berbeda tergantung pada pemahaman subjektif antar-analis berdasarkan horizon ekpektasinya. Kebebasan penelaah teks/tanda seperti harapan para hermeneutis, dekonstruksionis, dan posmodernis menjadi konsep kunci tahap transfigurasi. Tahap ini dilandasi filosofi Barthes text is a pleasure yang dapat didekati baik dengan logika filosofis, etis, preskriptif (prediksi ke depan), nilai hidup, nilai religius, kejiwaan, estetis, kesucian, kesakralan, maupun dengan kearifan penelaah teks. Tahap ini adalah “haknya” analisis teks untuk berinterpretasi berbasis sejumlah celah-celah pemaknaan empat tahap sebelumnya. 4. Contoh analisis dengan e135 Untuk memaknai kata dengan lima tahapan dimaksud, antara lain dapat dilihat pada contoh kata teror berikut. 271 Linguistika Kultura, Vol.03, No.03/Maret/2010 a. Tahap refleksi Pada tahap ini, mencari bentuk dan makna proto sebuah kata diperlukan. Pencarian bentuk dan makna proto (asali atau dasar) sebuah kata tidak mungkin hanya ditemukan dari sebuah teks, kamus, atau buku. Kajian interteks pada sejumlah sumber dan referensi harus dibedah secara kritis terlebih dahulu. Berdasarkan penelusuran didapatkan fakta bahwa kata teror sering dikaitkan dengan kekacauan dan kepanikan. Dengan demikian aspek psikologis dan mental menjadi acuan semantis pemaknaan. Salah satu prinsip e135 adalah pengenal prinsip shelter sebagai tempat persinggahan setiap makna. Dengan demikian, makna tahap I akan disimpan dalam shelter 1 seperti pernyataan berikut. Shelter 1 Teror Kata teror sering dikaitkan dengan kekacauan dan kepanikan dengan menjadikan aspek psikologis dan mental menjadi fitur pemaknaan. Kata teror pada awal kemunculannya dilekatkan pada sosok-sosok psikopat (Landau, 2002:700). Analisis pemaknaan kata perlu dilanjutkan ke tahap kedua yang disebut dengan tahap ekspresi. b. Tahap ekspresi Tahap ini perlu mencari pihak-pihak pemproduksi baik secara kelembagaan maupun secara individual serta aneka aspek kepentingan yang termaktub di dalam kata tersebut. Informasi yang didapatkan dapat disimpan pada shelter 2 seperti pernyataan berikut. Shelter 2 Teror Kata teror dalam perspektif sejarah ternyata sebuah kata yang cukup tua. Kata teror dan teroris atau sejenisnya ternyata dikenal hampir pada semua etnis, negara, dan ideologi besar di dunia. Aspek-aspek politis, ideologis, ekonomis, dan ekologis ternyata menjadi latar belakang utama. Aneka terma holy war (“perang suci”) terdapat pada semua ideologi besar dunia (Amstrong, 2001). Stalin (pewaris tahta Lenin) di Rusia saat “memegang sabuk juara pemerintahan teror” menghabisi lawan politiknya Trotsky beserta keluarganya dengan cara sadis. Kata teror masuk ke dalam kosa kata politis pada masa Revolusi Perancis. Istilah red terror dan white terror pernah beredar pada masa revolusi Rusia tahun 1917. Istilah ini berkembang menjadi great terror pada masa yang sama. Semasa perang dingin, Rusia yang dianggap AS sebagai sarang teroris. Gerilya Macan Tamil sekuler mengatasnamakan kemerdekaan wilayah utara Sri Lanka, kelompok Hezbollah mengatasnamakan ekologis untuk mengusir tentara pendudukan Israel, kelompok Hamas (atas nama perjuangan kemerdekaan Palestina), partai Kurdi (atas nama menuntut kemerdekaan Kurdi), IRA (atas nama ideologi), al-Qaida (atas nama ideologi), Lebanon, Irak, India, Lybia, Arab, Sigh, Kurdi, Tamil, Irlandia (atas nama negara), serta Aceh, Ambon, dan Irian (atas nama etnis) pernah mendapat julukan teroris dengan versinya masing-masing. Terlepas dari adanya 272 Sawirman unsur rekayasa atau bukan, tragedy WTC, bom Bali I (12 Oktober 2002), JW Marriott (5 Agustus 2003), Kadubes Australia (9 September 2004), bom Bali II (1 Oktober 2005), peledakan bom Madrid, Spanyol (11 Maret 2004), dan Bom London (7 Juli 2005 yang terjadi tepat pada saat konferensi G8 di Skotlandia) dan bom yang meledak di kota Delhi pada tanggal 29 Oktober 2005 mengatasnamakan ideologis (Piliang, 2004:225; Kendal, 2005; Tobing 2005; Sawirman, 2008). c. Tahap signifikasi Tahap ini perlu mencari pihak-pihak yang menjadi target aksi dan wacana teror baik secara kelembagaan maupun secara individual. Informasi yang didapatkan dapat disimpan pada shelter 3 seperti pernyataan berikut. Shelter 3 Teror Sejarah terorisme dunia merilis catatan panjang aksi kelabu yang dilakukan organisasi yang umumnya bersimbolkan religi dan politis. Seperti yang diungkap oleh John Kendal (pengamat teroris AS) saat diwawancarai oleh Metro TV (salah satu tv swasta di Indonesia) di tahun 2005, hampir semua ideologi besar dunia dan negara di dunia memiliki catatan kelam seputar aksi teror yang dilakukan oleh penganut dan warga negaranya. Kendal mengungkap secara detail sejumlah aliran garis keras, aliran ekstrim, dan noda hitam sejarah yang pernah dilakukan oleh “sekelompok makhluk” mengatasnamakan semua ideologi besar dunia. Target Stalin (pewaris tahta Lenin) di Rusia menghabisi lawan politiknya termasuk Trotsky beserta keluarganya. Semasa perang dingin, AS dijadikan sebagai target wacana teror Rusia dan sebaliknya. Target Fight the Terror AS pasca WTC adalah Al-Qaida, JI, dan lain-lain. d. Tahap eksplorasi Mencari kolokasi dan padanan kata teror dalam konteks kekinian secara multidimensi menjadi titik fokus pada tahap ini. Berdasarkan kolokasi dan padanan kata teror yang didapat dari berbagai sumber dalam konteks kekinian maka pernyataan-pernyataan dalam kamus dapat berisi seperti dalam shelter 4 berikut. Shelter 4 Teror Dalam konteks kekinian10, kata teror dilekatkan pada berbagai ranah. Para penderita penyakit susah tidur (insomnia) juga sering disebut night terror. Sembilan buah kapal milik Angkatan Laut AS diberi nama HMS terror. Terror band adalah nama sebuah grup band terkenal di dunia. di Antartica dan di USA, juga ada nama mount terror (sebuah nama gunung). Sebutan terror core juga dipakai di bidang mode khususnya pemakai gaya ekstrim. Teror juga menjadi judul sebuah komik. Nama kapal Emsworth Oyster yang didesain, dibangun, dan dioperasikan di sebuah desa atau daerah kecil di Inggris juga diberi nama Emsworth teror pada tahun 1890-1900s. Istilah terror fiction juga beredar di kalangan para pengagum fiksi horor. John Kendal tahun 2004 juga mengeluarkan istilah “millenium terrorist” untuk menyebut para pelaku teror yang mau mengorbankan diri atau nyawanya 10 Sebagian contoh diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/terror/graphology 273 Linguistika Kultura, Vol.03, No.03/Maret/2010 untuk sebuah keyakinan atau ideologi yang dianggapnya benar, seperti tragedi WTC, Bom Bali, Bom London, dan lain-lain.Istilah terror fiction juga beredar di kalangan para pengagum fiksi horor. Dewasa ini, kata teror identik dengan kriminal seperti yang marak diberitakan media massa. Kata ini mengalami peyoratif sejak dilekatkan pada Islam pasca tragedi WTC. e. Tahap transfigurasi Tahap ini disebut juga tahapan solutif. Selain simpulan, aneka solusi strategis diharapkan dapat muncul pada tahapan ini berbasis temuan empat tahap temuan sebelumnya seperti pada shelter 5 berikut. Shelter 5 Teror Kata teror ternyata sudah mengalami overgeneralisasi sehingga kehilangan arah makna dari makna asalnya. Kata teror yang secara genealogis sejak awal kemunculannya sampai perkembangan makna dalam konteks kekinian mengalami perubahan secara meluas (broadening). Contoh tersebut baru analisis sekilas aplikasi e135 untuk mengungkap sebuah simbol lingual yang diharapkan dapat menjadi salah satu panduan untuk membuat kamus dan ensiklopedia masa depan. Analisis sejenis juga dapat dilakukan pada semua genre leksikon lainnya. 5. Penutup Kamus impian masa depan adalah kamus yang tidak hanya mampu mendokumentasikan kata, tetapi juga mampu memberikan kecerdasan dan perjuangan etis bagi kemanusiaan. Selain ke arah Postdiscourse Sawirman-e135 (PDS-e135), Postsemiotics Sawirman-e135 (PSS-e135), Postkeyword Sawirman-e135 (PKS-e135), dan Postlingual symbol Sawirman-e135 (PLSe135), dengan segala keterbatasan yang ada, e135 akan dikembangkan ke arah teori menulis (writing theory) dan leksikologi yang berhubungan dengan dunia perkamusan. 274 Sawirman REFERENCE Amstrong, K. 2001a. Sejarah Tuhan Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama Empat Ribu Tahun. Bandung: Mizan. Amstrong, K. 2001b. Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis. Terjemahan Sirikit Syah. Surabaya: Risalah Gusti. Chomsky, Noam. 2001. Maling Teriak Maling: Amerika Sang Teroris. Bandung: Mizan Pustaka. Chomsky, Noam. 2003. Power and Terror Perbincangan Tragedi WTC 11 September 2001. Terjemahan. Yogyakarta: Ikon Teralitera. Hardiman, F.B. 2003. Terorisme: Paradigma dan Definisi. Dalam Marpaung dan Al Araf, (eds). Terorisme, Definisi, Aksi, dan Regulasi. Jakarta: Imparsial. Kuhn, T.S. 2002. The Structure of Scientific Revolution Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Terjemahan Tjun Surjaman. Bandung: Remaja Rosdakarya. Piliang, Y.A. 2003. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Piliang, Y.A. 2004. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. Sawirman, dkk. 2007. Simbol Lingual, Material, dan Wacana Fotografis serta Kontribusinya pada Kebijakan Nasional dan UU Antiterorisme. Laporan Penelitian Hibah Bersaing tahun 2007. Sawirman. 2008. Selamatkan Linguistik dengan e135. Makalah pada National Seminar on Language Literature and Language Teaching di FBSS UNP Padang tanggal 10-11 Oktober 2008 Sawirman. 2009a. e135: Campur Kode “Indomi”, “Indobet”, dan “Indolish” Elit Indonesia Sawirman. 2009b. e135 menuju Teori Linguistik Terapan dan Haki. Dipresentasikan dalam Forum Nominasi Unand Award tanggal tanggal 27 September 2009 di Basko Hotel Padang. Sawirman, dkk. 2009. Pengembangan Pembelajaran Linguistik Berbasis Kompetensi dan Cultural Studies Menuju Pembentukan Kurikulum Magister dan Mazhab Linguistik Universitas Andalas. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Dikti Tahun 2009. Sawirman. 2010. e135 Mengeksplorasi Aneka Ranah Bahasa dan Media. Disampaikan dalam Seminar Internasional Melayu Lintas Media di Gedung E Universitas Andalas tanggal 16 Februari 2010. Syafril, Elsa Putri Ermisah. 2009. Kamus Bahasa Tansi Sawahlunto. Yogyakarta: Yayasan Pendidikan Roda. 275