Bab 1 Pendahuluan

advertisement
Bab 1
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Kemunculan adat sebagai sebuah kekuatan baru yang menyandarkan diri pada
legitimasi adat di era reformasi yang telah berlangsung semenjak 1998, adalah
fenomena yang agaknya tidak diramalkan sebelumnya oleh para pengamat di
Indonesia (Henley dan Davidson, 2010: 2). Betapa tidak, bersamaan tahun dengan
diciptakannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 mengenai Pemerintahan
Daerah, produk hukum yang berusaha menjawab tuntutan daerah-daerah agar
kekuasaan yang semula mengumpul di pusat didistribusikan ke daerah-sebagai
salah satu prasyarat demokratisasi yang dilangsungkan pasca lengsernya
Soeharto-, sebuah tuntutan bernada provokatif dihasilkan oleh Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara (AMAN) dalam kongres pertamanya di Jakarta pada Maret 1999.
Tuntutan itu berbunyi: “Kalau negara tidak mengakui kami, kami pun tidak akan
mengakui negara!”
Tuntutan AMAN tersebut menggambarkan bagaimana adat sebagai sebuah
kekuatan yang pernah berpengaruh secara sosial-politik paling tidak hingga masa
pemerintahan colonial Belanda, merespon pergeseran kekuasaan yang terjadi di
ibukota: bahwa pendistribusian kekuasaan ke daerah-daerah di era reformasi mesti
dilangsungkan dengan melibatkan entitas tradisional yang bernama adat. Apa
yang digaungkan oleh AMAN, kemudian menjadi semacam inspirasi bagi
komunitas-komunitas tradisional yang menyandarkan diri pada legitimasi adat di
banyak daerah di Indonesia guna mewujudkan tuntutan yang sama di aras lokal.
Semenjak tuntutan adanya pengakuan Negara atas adat yang dilontarkan oleh
AMAN, gerakan adat dengan berbagai varian, muncul di banyak daerah di
Indonesia. Masyarakat adat yang mengalami marginalisasi pada masa orde baru,
berusaha untuk mengembalikan hak-haknya yang terampas oleh Negara dengan
cara membangun solidaritas kolektif. Tujuannya, untuk mewujudkan kembali
komunitas masyarakat adat yang pernah eksis pada masa lampau, yang mampu
1
mengatur dirinya sendiri secara mandiri (self governing community) serta
mempunyai sumber daya (ekonomi) yang dapat didistribusi dan diredistribusikan
untuk kesejahteraan anggota masyarakatnya (Hudayana, 2009). Para pemimpin
adat yang di masa sebelum berdirinya republik berada di struktur teratas
masyarakat adat, juga bermunculan kembali untuk mengembalikan kekuasaan
yang pernah mereka punyai. Keuntungan-keuntungan sosial, politik, ekonomi,
yang mereka genggam sebagai entitas yang memiliki kekuasaan karena statusnya
sebagai elit di masyarakat adat, menjadi tujuan umum para pemimpin adat
tersebut memunculkan diri kembali. Status sebagai pemimpin atau anggota
masyarakat adat juga digunakan sebagai alat untuk “menempel” pada Negara dan
mengakses sumber daya serta fasilitas yang dimiliki oleh Negara.
Meskipun sama-sama menggunakan adat sebagai landasan untuk kembali muncul,
dapat dilihat dari penjabaran singkat di atas bahwa gerakan adat di Indonesia
bersifat heterogen. Mereka berbeda terutama pada aktor dan tujuan gerakan.
Yang pasti, semenjak kongres pertama AMAN yang terkenal dengan slogan
mengenai tuntutan pengakuan negara terhadap adat, serta diterbitkannya UU
pemerintahan daerah yang praktis mengubah formasi kekuasaan di tingkatan lokal
pada 1999, adat dalam politik di Indonesia hadir dalam pelbagai bentuk; kelahiran
kembali pemerintahan Nagari di Sumatera Barat; kemunculan desa Pakraman
serta Pecalang di Bali; gerakan-gerakan masyarakat adat menuntut kembali tanah
ulayatnya yang dirampas oleh negara pada masa Orde Baru misalnya yang terjadi
di Papua dan Kalimantan; atau kebangkitan para pemimpin adat dengan
memanfaatkan statusnya sebagai puncak dari hierarkhi masyarakat adat yang
berusaha kembali meraih kekuasaan di banyak daerah di Indonesia.
Di Lampung, fenomena terakhir yakni kemunculan para pemimpin adat yang
lazim disebut Penyimbang atau Saibatin1, juga berlangsung secara massif.
Perubahan kekuasaan di level pusat juga segera direspon para penyimbang adat
1
Penyimbang, adalah sebutan bagi orang yang memiliki status tertinggi dalam struktur
pemerintahan adat di Lampung yang diwariskan secara genealogis. Istilah penyimbang, lebih
banyak digunakan oleh masyarakat bersub suku Lampung Pepadun. Sementara masyarakat dengan
sub suku pesisir/ peminggir menyebut pemimpin adatnya sebagai saibatin (satu pemimpin).
Namun karena istilah penyimbang juga dikenal pemakaiannya di masyarakat Lampung Pesisir,
maka penulis memutuskan untuk memakai penyimbang sebagai sebutan bagi para pemimpin adat
agar lebih umum. Konsep mengenai kepenyimbangan, akan dibahas di bab dua.
2
yang setidaknya hingga masa Pemerintahan Kolonial Belanda, merupakan entitas
puncak pada masyarakat adat di Lampung. Penggalian ulang makna adat,
penegasan kembali kepemimpinan adat, hingga penentuan batas-batas wilayah
kekuasaan adat dilakukan guna merespon perubahan politik di aras pusat.
Seperti di daerah-daerah lainnya di Indonesia, kemunculan kembali para
penyimbang adat tersebut semakin massif semenjak terbitnya UU 22/ 1999 yang
mengatur tentang pemerintahan daerah. Di dalamnya, terdapat pasal yang
menyatakan bahwa negara mengakui hak asal usul yang memungkinkan
pemerintahan-pemerintahan “asli” di daerah-daerah untuk muncul kembali
sepanjang masih “diakui” oleh masyarakat setempat. Pengakuan tersebut misalnya
dapat dilihat pada Pasal 18B ayat 2 yang bunyinya: “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.”
Pasal pengakuan negara dalam UU 22/99 tersebut, menjadi celah yang kemudian
dimanfaatkan oleh para pemimpin pemerintahan-pemerintahan “asli” di daerahdaerah untuk muncul kembali. Pengakuan tersebut agaknya menjadi semacam
udara yang terlalu segar untuk tidak dihirup, termasuk oleh para penyimbang di
Lampung yang kekuasaannya telah tergerus sedemikian rupa secara bertahap
dalam periode yang merentang sejak masa kolonial hingga Orde Baru. Menurut
catatan penulis, usaha para penyimbang di Lampung untuk menegaskan kembali
kekuasaannya, bahkan telah berlangsung segera setelah lengsernya Soeharto dari
kekuasaan. Dari telaah literatur yang penulis lakukan, penegasan kembali wilayah
adat serta penegasan penyimbang sebagai entitas pemilik kekuasaan tertinggi adat,
telah dilakukan oleh para penyimbang adat di Marga Pugung, Lampung Barat,
hanya berselang sebulan setelah Soeharto sebagai simbol sentralisasi kekuasaan
Orde Baru, dijatuhkan pada Mei 1998. Otoritas kekuasaan penyimbang adat,
wilayah kekuasaan adat dan wewenang pemberian gelar adat, diatur kembali oleh
para penyimbang dari Marga Pugung dalam sebuah surat keputusan bersama yang
3
didapuk sebagai “undang-undang” yang berlaku bagi seluruh masyarakat adat di
Marga Pugung, Lampung Barat2.
Secara singkat, patutlah diambil kesimpulan awal bahwa telah terjadi perubahan
politik di aras lokal Lampung pada era reformasi dengan kemunculan aktor baru
yang melandaskan dirinya pada legitimasi kekuasaan tradisional (baca: adat).
Namun sayangnya perubahan politik lokal di Lampung itu tidak ditanggapi
dengan kajian yang berusaha membahas bagaimana dampak kemunculan para
penyimbang adat yang sedikit demi sedikit telah berhasil membuat kehadirannya
di masyarakat kembali menjadi penting tersebut-paling tidak sebagai entitas
tertinggi di hierarkhi adat yang layak dihormati-terhadap wajah sosial politik di
Lampung.
Dari telaah literatur yang penulis lakukan misalnya, kajian-kajian mengenai adat
Lampung pembahasannya masih melulu dikaitkan dengan adat sebagai budaya an
sich. Tanpa mengaitkan kehadiran adat (dan pemimpin adat) dengan politik secara
lebih lanjut. Padahal dalam konteks kontemporer, para penyimbang adat mulai
menjadi entitas yang punya peranan di aras politik lokal. Misalnya sebagai pihak
yang melegitimasi kekuasaan modern dengan kekuasaan tradisional dengan
“menempelkan” kekuasaan tradisional yang mereka miliki kepada pemimpin
institusi modern-terutama partai dan pemerintah daerah-lewat mekanisme
pemberian gelar adat.
Karenanya, studi ini dilakukan sebagai usaha untuk menambah tawaran literatur
mengenai tema yang telah banyak mendapat pembahasan: kemunculan elite lokal
yang menyandarkan diri pada legitimasi kekuasaan tradisional seiring dengan
dilokalkannya kekuasaan yang semula memusat pada masa orde baru. Penulis
mafhum bahwa ada kegelisahan mengenai teks-teks yang membahas adat dan
politik yang selama ini lebih banyak didominasi oleh kajian-kajian yang
membahas mengenai
kebangkitan politik tradisi, atau bagaimana
adat
direvitalisasi di ranah lokal pasca kejatuhan Orde Baru (Bayo, 2010: 2). Persis
seperti yang hendak dilakukan oleh tesis ini. Namun sebagai usaha awal di tengah
2
Penjabaran mengenai kasus Marga Pugung, Lampung Barat ini akan dijelaskan lebih lanjut di
Bab 2.
4
kelangkaan kajian mengenai adat dan politik dalam konteks Lampung, kajian
mengenai para penyimbang adat di Lampung tetap punya arti penting.
B. Rumusan Masalah
Pertanyaan besar yang hendak dijawab dalam studi ini adalah mengenai
“Bagaimana Strategi Penyimbang-penyimbang Adat di Lampung Untuk
Meraih Kekuasaan di Era Reformasi?”
Hasil utama yang ingin dicapai dari pertanyaan penelitian di atas adalah
menjelaskan strategi yang dilancarkan oleh para pemimpin adat (Penyimbang) di
Lampung guna meraih kekuasaan di era reformasi, serta implikasinya bagi wajah
sosial politik lokal di Lampung.
C. Kerangka Teori
Kemunculan elit lokal yang menyandarkan diri pada kekuasaan tradisionaltermasuk pemimpin adat-sebagai fenomena politik di Indonesia di tataran lokal,
muncul secara massif pasca Soeharto tumbang dari kekuasaannya. Dengan
jatuhnya Soeharto, praktis simbol sentralisasi kekuasaan memudar, bahkan bisa
dikatakan hilang. Pudarnya pemusatan kuasa ini kemudian dipandang sebagai
celah bagi elit-elit lokal dengan berbagai bentuk legitimasi kekuasaan, termasuk
adat, untuk kembali hadir dan merebut lagi kekuasaannya.
Fenomena kemunculan elit-elit lokal-termasuk pemimpin adat-tersebut lebih
masif seiring dengan dilaksanakannya kebijakan desentralisasi yang disertai
dengan kebijakan-kebijakan pemekaran daerah operasional baru. Agaknya,
perubahan konstitusional tersebut membuat elit-elit yang berlandaskan adat dan
tradisi yang pada masa orde baru kehadirannya biasanya hanya dimaknai tak lebih
sebagai simbol-simbol kebudayaan dan pariwisata, merasa memiliki momen
untuk menegaskan lagi kuasanya.
Bagian ini akan membahas mengenai teori-teori yang akan digunakan dalam
kajian ini. Pertama, akan dibahas mengenai literatur-literatur yang menawarkan
teori mengenai strategi-strategi yang digunakan oleh elit-elit tradisional pasca
5
orde baru. Kajian ini terutama akan meminjam teori yang ditawarkan oleh Greg
Accaioli dan Gerry Van Klinken (akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian
berikutnya). Namun teori-teori yang ditawarkan oleh kajian-kajian sebelumnya
mengenai kemunculan pemimpin tradisional yang akan segera penulis jabarkan,
juga akan penulis pinjam sebagai pisau analisa yang berguna untuk membedah
strategi yang dilakukan oleh para penyimbang adat. Dengan demikian,
pendedahan mengenainya diharapkan dapat lebih komprehensif. Di bagian ini
pula, akan dijabarkan mengenai teori-teori mengenai dua hal yang menjadi tema
besar dalam tulisan ini yakni kekuasaan dan adat.
Memetakan Strategi Para Pemimpin Tradisional
Dwipayana (2004) dalam bukunya “Bangsawan dan Kuasa”, membahas fenomena
kembalinya kuasa kaum bangsawan di dua kota, yakni Surakarta dan kota
Denpasar. Dalam bukunya tersebut, Dwipayana berargumen bahwa kembalinya
kekuasaan bangsawan tradisional di Surakarta dan Bali merupakan dampak dari
bergesernya formasi kenegaraan serta formasi sosial sebagai implikasi dari proses
transisi politik paska 1998. Melemahnya legitimasi negara (orba), serta usaha
untuk menyebarkan kekuasaan ke daerah-daerah, menyebabkan timbulnya konflik
baik antara daerah dengan pusat, ataupun antara entitas-entitas elit lokal dengan
modal kuasanya masing-masing.
Di sini, lebih lanjut menurut Dwipayana, bangsawan tradisional termasuk salah
satu entitas elit lokal yang siap. Karena meskipun legitimasi kekuasaan mereka
tergerus habis, berturut-turut oleh kolonial, kekuatan politik baru pada masa orde
lama, maupun oleh orde baru, kemampuan mereka untuk survive pada era-era
sebelum jatuhnya Soeharto tersebut menciptakan “kekenyalan” tersendiri bagi
mereka untuk segera mengonsolidasikan kekuatan dan memasuki arena kekuasaan
baik politik, negara, dan ekonomi.
Memori kolektif masyarakat akan kejayaan masa lampau kekuasaan keningratan
tradisional, dijadikan basis untuk menciptakan tuntutan-tuntutan “wajar” terhadap
pengakuan akan kebangkitan mereka. Dengan menggunakan sisa-sisa sumber
daya
ekonomi
yang
tersisa
berupa
tanah-tanah
kraton,
serta
dengan
6
mengeksploitasi status keningratan yang dilekatkan pada dirinya, keluarga
ningrat-ningrat di Bali dan Surakarta berafiliasi dengan institusi demokrasi
modern guna merebut kekuasaan politik.
Keberhasilan mereka menembus sekat-sekat kekuasaan modern ini, kemudian
mereka gunakan untuk mengembalikan legitimasi kekuasaan tradisional mereka
dengan mengukuhkan kembali fungsi kraton sebagai pusat kekuasaan melalui
perjuangan di level kebijakan. Tentu saja, pengukuhan kembali keberadaan
mereka sebagai sentra kekuasaan kemudian diarahkan pada kebutuhan untuk
mengakumulasi kapital dengan meraih kembali akses-akses ke ekonomi.
Savirani (2004) mengeksplorasi kemunculan tiga elite lokal di tiga daerah; sultan
di Yogyakarta yang mewakili aristokrasi; bupati di Bantul, Yogyakarta yang
berasal dari kalangan pebisnis; serta ketua DPRD di Buleleng, Bali yang adalah
politisi. Perbedaan basis legitimasi antara ketiganya, menyebabkan perbedaan
strategi yang dipilih oleh mereka untuk kembali meneguhkan kekuasaannya.
Sultan Hamengkubuwono X yang mewakili kalangan elite yang memiliki
legitimasi kultural-tradisional, berusaha untuk mengukuhkan kehadirannya
dengan mendesak rancangan undang-undang keistimewaan Yogyakarta ke
pemerintah pusat. Meskipun basis kekuasaan internal berupa legitimasi kultural
telah melekat sedemikian kuat pada Sultan, RUU keistimewaan menjadi penting
untuk meyakinkan legitimasi kultural tersebut “dilegalkan” oleh negara.
Kajian yang lain mengenai kembalinya pemimpin adat juga dihasilkan oleh
Haboddin (2009). Dalam tesisnya yang berjudul “Karaeng Dalam Pusaran Politik
di Jeneponto,” ia memaparkan kebangkitan bangsawan tradisional Makassar yang
lazim disebut Karaeng, dengan disokong terutama oleh basis kekuasaan
tradisional yang menempatkannya di hierarki teratas dalam masyarakat serta basis
ekonominya sebagai pemilik tanah dan usaha garam. Haboddin melihat bahwa
kekuasaaan Karaeng mulai melemah ketika negara (orde baru) menguat dan
menggeser posisi mereka. Dalam kasus Jeneponto, pada masa orba, Karaeng
kemudian ditempatkan hanya sebagai pengorganisir institusi-institusi lokal.Itupun
ketika peran mereka diperlukan oleh negara, misalnya pada saat pemilihan umum
7
untuk memenangkan partai yang berkuasa pada saat itu (Golkar). Selebihnya,
Karaeng hanya menjadi simbol.
Karaeng mulai menemukan kembali celah untuk kembali merebut kekuasaan
normal paska lengsernya Soeharto dari kursi kekuasaan orba. Mereka menggali
ulang konstruksi budaya yang menempatkan mereka sebagai entitas yang
menempati posisi teratas dalam masyarakat. Ini kemudian menjadi modal yang
signifikan sebagai bahan pertimbangan institusi-institusi modern untuk menaruh
mereka dalam posisi teratas di hierarki institusi, misalnya saja sebagai pemimpin
partai-partai yang banyak bermunculan pada masa demokratisasi, atau paling
tidak sebagai calon anggota legislatif yang dianggap pasti mendulang suara yang
banyak oleh partai.
Selain itu menurut Haboddin, akses mereka ke ekonomi yang masih bisa mereka
pertahankan saat peran mereka sebagai pelaksana pemerintahan dihapus
sedemikian rupa, menjadi modal lain yang juga turut memuluskan jalan untuk
memantapkan kehadiran mereka. Citra mereka sebagai pemimpin murah hati
(benevolent leader) yang rela berkorban dengan memberikan bantuan tanpa
mengharapkan balasan, misalnya dengan memberikan pekerjaan kepada
masyarakat dengan menggunakan sumber-sumber daya ekonomi yang masih
tersisa yakni tanah dan usaha garam, berhasil menempatkan mereka di posisiposisi strategis dalam jabatan-jabatan penting di politik dan birokrasi. Dan seperti
pemimpin adat yang lain, kekuasaan modern yang berhasil mereka raih kemudian
digunakan untuk menciptakan mitos-mitos baru guna meneguhkan status baru
mereka sebagai entitas yang wajar memimpin institusi-institusi kekuasaan modern
karena rekam jejak mereka sebagai pemimpin pada masa lampau.
Sementara itu studi yang dilakukan oleh Abdullah (2006), meneliti mengenai
strategi yang dilakukan oleh kesultanan Ternate guna memenangkan percaturan
politik di ranah lokal. Simbol-simbol identitas adat hingga pengerahan masyarakat
adat, digunakan oleh para pemimpin adat di kesultanan Ternate untuk meraih
tampuk kepemimpinan lembaga politik modern (partai politik). Pilihan strategi
merebut kekuasaan politik modern tersebut dilancarkan untuk meyakinkan usaha
untuk memunculkan kembali peranan mereka di ranah lokal dapat dikuatkan
8
dengan legitimasi yang mereka dapat dari lembaga politik modern yang telah
berhasil mereka rebut.
Buku yang khusus membahas mengenai fenomena kebangkitan adat di Indonesia
paska orde baru adalah “Adat Dalam Politik Indonesia.” 14 tulisan mengenai
kemunculan (masyarakat) adat, dibahas dengan cara yang beragam. Dalam
pengantarnya di dalam buku ini, Henley dan Davidson (2010) menyebutkan
bahwa reorganisasi administrasi besar-besaran oleh proyek otonomi daerah di satu
sisi serta pelaksanaan demokrasi elektoral di sisi yang lain, membuka ruang
politik yang amat besar di tataran lokal. Lagi-lagi, terutama disebabkan oleh
bayangan-bayangan masa lampau mengenai kejayaan mereka, pemimpinpemimpin adat di banyak daerahlah yang berjuang paling keras guna
memenangkan kontrol atas Negara pada tingkat lokal.
Kemunculan kembali adat dalam banyak bentuknya di Indonesia tersebut,
menurut merupakan jawaban atas pertanyaan mengenai pihak mana yang
memenangkan pertarungan untuk mengendalikan sumber daya lokal paska
berakhirnya sistem Negara sentralistik. Menurut mereka, yang paling siap untuk
maju untuk bertarung adalah orang-orang yang secara adat memiliki kelebihan
karena memenuhi syarat legitimasi kekuasaan tradisional. Pemimpin-pemimpin
adat yang memiliki legitimasi kekuasaan tradisional, melihat keruntuhan rejim
orde baru secara tidak terduga sebagai momen yang harus dipergunakan secara
cepat untuk mendorong kebangkitan adat.
Lebih lanjut, Henley dan Davidson menjelaskan bahwa kemunculan adat dalam
politik di Indonesia secara massif paska turunnya Soeharto tak lain karena adat,
yang utamanya berkaitan dengan tiga hal –sejarah, tanah, dan hukum- merupakan
hal yang mendahului hukum-hukum yang berlaku sekarang. Karenanya, ketika
ada celah untuk memunculkan kembali kejayaan adat, yang mendahului segala
hukum yang berlaku sekarang itu, maka tiap masyarakat adat, dengan caranya
masing-masing berusaha untuk memanfaatkannya. Tak jarang cara-cara kekerasan
dilakukan oleh masyarakat adat untuk mendesakkan pelaksanaan (kembali)
hukum adat atau pemberlakuan unsur-unsur adat dalam wilayah kampung
halaman mereka.
9
Dua tulisan di dalam buku ini yang menurut penulis berguna untuk mengerangkai
kajian ini adalah Van Klinken (2002) dan Greg Accaioli. Tulisan Klinken yang
berjudul “Kembalinya Para Sultan: Pentas Gerakan Komunitarian Dalam Politik
Lokal,” menjabarkan fenomena usaha para keturunan kerajaan/ kesultanan di
pelbagai daerah Indonesia yang berusaha untuk menggali, membangkitkan, atau
malahan menaikkan pamor kesultanan mereka yang dalam kurun waktu yang
lama “istirahat”. Identitas, dengan berbagai cara dibangkitkan kembali. Ketika
identitas tersebut tak lagi memiliki akarnya, pilihan yang paling masuk akal
kemudian adalah “menemukan kembali”. Berbagai ruang, digunakan oleh para
sultan tersebut untuk kembali menempatkan dirinya sebagai bagian penting di
masyarakat. Kesultanan yang memiliki legitimasi kekuasaan tradisional yang kuat
seperti Yogyakarta, mampu menggunakannya untuk mendesak pemerintah pusat
melalui rancangan Undang-undang Keistimewaan yang salah satu isi pentingnya
adalah membuat sultan secara otomatis menjadi Gubernur. Sedangkan yang
lemah, mesti rela membangkitkan kembali eksistensinya dengan misalnya
memberikan dukungan kepada kandidat-kandidat bupati oleh organisasiorganisasi yang berlandaskan adat.
Ketika legitimasi serta sumber daya yang dipegang oleh masyarakat adat tidak
begitu signifikan, maka yang logis untuk dilakukan adalah dengan “menempel”
pada kekuatan-kekuatan di luar adat yang dianggap potensial untuk merebut
kekuasaan politik, atau bahkan menempel pada penguasa politik itu sendiri. Tentu
saja pertukaran kepentingan, terutama kepentingan ekonomi serta legitimasi untuk
muncul kembali, menjadi landasan organisasi-organisasi berorientasikan adat
tersebut memberikan dukungannya. Klinken, juga menjelaskan bahwa kembalinya
para Sultan, bahkan dengan menempel kekuasaan, paling tidak dilakukan sebagai
usaha untuk meraih peran minimal sebagai simbol masyarakat tradisional yang
berperan dalam pelaksana tradisi dan kebudayaan. Meski, kebanyakan dari para
Sultan tersebut jelas tidak hanya menginginkan peran minimal tersebut, namun
berambisi membangun kembali kerajaannya yang tergerus habis-habisan oleh
modernitas.
Van Klinken, selanjutnya menerangkan bahwa terkadang beberapa pemimpinpemimpin adat secara sadar mengubah mitos-mitos tentang pemerintahan (adat)
10
hanya untuk membangun kembali kejayaannya yang telah digerus oleh
modernitas dan rejim. Rekonstruksi kejayaan kepemimpinan adat ini bahkan
dilakukan oleh pemimpin-pemimpin adat yang kerajaannya telah lama hilang.
Pemunculan kembali legitimasi kekuasaan pemimpin-pemimpin adat dengan
menemukan kembali (reinvent) definisi mengenai adat tersebut menurut Van
Klinken selain sebagai usaha untuk menciptakan kembali kuasa adat tradisional
dalam masyarakat, juga dimaksudkan untuk menciptakan simbol-simbol
sentralisasi kekuasaan baru yang menggantikan simbolisasi kuasa orde baru,
namun dalam lingkup lokal.
Greg Accaioli (2010), masih dalam buku Adat Dalam Politik Indonesia (2010),
menyebut bahwa ada dua strategi yang dilancarkan oleh pemimpin-pemimpin
adat, yakni “officializing strategy” atau strategi yang diformalkan dan strategi
oposisi. Menurut Accaioli, strategi pertama dilakukan oleh masyarakat adat
dengan memanfaatkan hubungan-hubungan formal maupun informal dengan
administrator-administrator di daerah. Tujuannya, tambah Accaioli, tak lain
adalah untuk mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah atas kehadiran adat
dengan cara “menempel pada negara”. Sementara strategi oposisi dilakukan
dengan berusaha memperoleh klaim atas adat mereka bukan bagian resmi dari
struktur resmi pemerintahan, tetapi sebagai bentuk paralel
yang juga
berkedaulatan, yang haknya perlu dijamin.
Penelitian ini, terutama bersandar pada argumen Van Klinken dan Accaioli
tersebut di atas. Adat sebagai sesuatu yang “cair”, yang dapat dimaknai ulang
untuk kemudian dijadikan basis legitimasi bagi para pemimpin adat (Sultan dalam
tulisan Van Klinken) guna memunculkan kembali peranannya sebagai simbol
tertinggi dalam masyarakat misalnya, penulis anggap berguna untuk menjelaskan
fenomena pemaknaan ulang konsep-konsep adat yang dilakukan oleh para
penyimbang adat untuk membangkitkan kembali kekuasaan tradisionalnya.
Argumen Accaioli mengenai “officializing strategy” para pemimpin masyarakat
adat guna mendesakkan kembali peran sentralnya dengan memanfaatkan aksesnya
ke pemimpin-pemimpin serta pejabat kekuasaan formal, juga saya pinjam untuk
menjelaskan fenomena pelembagaan adat serta pelekatan gelar adat ke pemimpin
11
formal di Lampung. Sebaliknya pula seperti yang dijelaskan Accaioli, kekuasaan
formalpun harus bernegoisasi
dengan kekuasaan informal
(adat)
guna
memperkuat legitimasi kekuasaannya sendiri. Artinya, negara (pemerintah daerah
dalam tulisan ini) tidak seperti pada masa orde baru, kemudian tidak lagi menjadi
kekuatan sentral dan utama dalam konteks politik (lokal) paska orba, sehingga
harus mempertimbangkan untuk memberikan ruang khusus bagi kekuatan lain di
luar dirinya.
(Kepemimpinan) Adat Sebagai Sumber Daya Minimum
Secara umum, adat dipahami sebagai kebiasaan, “set of beliefs,” atau tradisi, yang
mengatur tata laku dalam kehidupan masyarakat. Wignjodipuro (1989)
mengatakan bahwa adat merupakan pencerminan dari kepribadian satu (suku)
bangsa yang didapat dari proses persetujuan dari abad ke abad. Di sini, adat lebih
dilekatkan dengan identitas. Artinya, adat kemudian menjadi hal utama untuk
membedakan satu (suku) bangsa dengan yang lain. Selain itu, adat kemudian
berhubungan dengan bagaimana masyarakat menjalankan “laku”nya berdasarkan
kesepakatan yang kemudian didefinisikan dalam satu aturan tertentu, lisan
maupun tulisan, termasuk mengenai kepemimpinan, dalam adat.
Dalam konteks Indonesia, Burns (2010) menjelaskan bahwa terma adat mulai
mendapat perhatian dari banyak pihak terutama setelah Cornelis van Vollenhoven
(1876- 1972), pendiri Mazhab Leiden mengidentifikasikan adat dengan recht
(hukum). Van Vollenhoven memahami adat dan hukum adat (adatrecht) sebagai
manifestasi dari pandangan hidup yang khas Indonesia, dan karenanya, asing bagi
cara pikir Eropa. Adat, menurutnya, kemudian adalah sesuatu yang mendahului
semua hukum (dalam konteks Indonesia). Karena, ada unsur-unsur mendasar di
dalam adat yang telah menyatukan masyarakat dalam lingkup tertentu di
Indonesia dalam satu identitas, kebiasaan, serta laku tersendiri yang secara
bersamaan memisahkan mereka dari lembaga-lembaga hukum Eropa.
Wignjodipuro (1989, ibid) sendiri menjelaskan bahwa dari perspektif hukum, adat
dipandang sebagai “hukum non statutair” karena pada umumnya, adat, sekaligus
hukum adatbelum, atau bahkan tidak tertulis. Adat, biasanya hanya diwariskan
12
melalui kebiasaan-kebiasaan yang dipraktekkan secara terus menerus dan
biasanya dilestarikan lewat tradisi lisan.Dengan cara inilah adat dipelihara.
Karenanya, dalam posisi yang demikian, adat merupakan sesuatu yang longgar,
artinya mengenai misalnya bagaimana kepemimpinan didefinisikan, dan
sebagainya bisa jadi berbeda satu sama yang lain dalam konteks waktu tertentu.
Karena nilai-nilai di luar adat, ketika ia bersinggungan dengan adat, akan
berpengaruh terhadap bagaimana adat kemudian mempersepsikan suatu hal. Dan
pun, ketika hukum adat telah didokumentasikan, penjabaran mengenainya
biasanya tidak seragam.
Dalam konteks politik masa kini, terutama jika dikaitkan dengan gerakan (politik)
masyarakat adat, adat didefiniskan sebagai usaha untuk merujuk praktik-praktik
dan kelembagaan adat istiadat yang dihormati karena tradisinya yang panjang,
yang diwarisi serta dipandang memiliki kesinambungan dengan persoalan politik
masa sekarang (Henley dan Davidson, 2010). Di sini yang penting bukanlah
kesahihan kerangka peraturan, praktik-praktik masa silam, atau wacana adat yang
koheren yang terutama berhubungan dengan sejarah, tanah, dan hukum.
Melainkan pengasosiasian kekinian dengan masa lampau. Pengasosian tersebut
digunakan untuk mengejar tujuan-tujuan yang merentang dari sekadar
kemunculan kembali adat sebagai entitas yang pernah eksis, hingga penegasan
mengenai siapa yang berwenang atas sumber daya lokal yang kesemuanya,
menurut Henley dan Davidson, atas nama adat.
Namun, jika diabstraksikan, adat dalam konteks politik Indonesia masa kini,
merujuk pada dua definisi utama. Pertama, adat sebagai tata rangkaian yang rumit
dan saling terkait antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang mengikat tiga
hal, yakni sejarah, tanah, dan hukum. Sementara, pada definisi kedua, adat
diartikan sebagai gagasan atau asumsi yang samar, namun penuh kekuatan
mengenai bagaimana seharusnya masyarakat yang ideal itu dijalankan. (Henley
dan Davidson: 2010) Gerakan-gerakan adat yang muncul paska runtuhnya
kekuasaan orde baru misalnya, lebih terkait dengan definisi abstrak yang pertama
mengenai adat.
13
Adat dalam konteks masa kini, paling tidak sebagai wacana, adalah sesuatu yang
betul-betul longgar, yang karenanya kehadiran (kembali) adat dan kesahihan
wacana mengenai adat adalah sesuatu yang bergantung sejauhmana pihak yang
ingin menghadirkan kembali adat, mendapatkan atau malahan menciptakan
legitimasi. Legitimasi adat ini, paska Soeharto jatuh, terutama dengan
disebarkannya kekuasaan yang semula terpusat, adat menjadi celah yang berusaha
untuk dimanfaatkan oleh elit-elit lokal.
Masalahnya, legitimasi adat mayoritas elit-elit lokal tersebut telah tergerus habis,
terutama pada masa orde baru. Basis-basis ekonomi terutama berupa kepemilikan
tanah, diambil alih oleh negara. Perangkat-perangkat pemerintahan tradisional
seperti desa-desa adat, digantikan dengan perangkat-perangkat baru.Sehingga
praktis legitimasi kekuasaan elit-elit tradisional tercabut hampir ke akarnya.
Terkecuali tentu saja, identitas keningratan sebagai pemimpin tradisional.
Schopflin (2001) mengatakan bahwa dalam sebuah formasi sosial, sekali identitas
telah berhasil dikonstruksi, maka kecenderungannya untuk hilang sangat kecil.
Terutama ketika konstruksi identitas tersebut “diamankan” lewat metaforametafora seperti “darah biru”, ikatan persaudaraan dan semacamnya yang
diwariskan dalam masyarakat tertentu yang spesifik secara turun temurun. Jadi,
meski identitas tersebut tergerus karena misalnya, kehadiran identitas yang lain.
Kehadiran (kembali) identitas yang telah terkonstruksi di tatanan sosial, tetap
dimungkinkan karena “kehadiran”nya lewat metafora-metafora yang terpelihara.
Identitas sebagai pemimpin yang sahih secara genealogis dalam sudut pandang
pemerintahan adat ini kemudian menjadi modal minimum yang digunakan untuk
kembali menancapkan kekuasaannya. Namun karena di masa-masa sebelumnya,
pengakuan atas keberadaan mereka oleh pemerintah hanya diakui, misalnya,
sebagai simbol-simbol budaya serta pariwisata, maka pengakuan masyarakat
mengenai legitimasi kekuasaan mereka sangat kecil. Karenanya kemudian, elitelit adat tradisional di daerah-daerah berusaha melunakkan definisi mengenai adat
(dan kepemimpinan adat) yang semula kaku.
Konsepsi mengenai kekuasaan tradisional yang bersifat genealogis misalnya,
diubah sedemikian rupa agar bisa dilekatkan kepada individu-individu yang tidak
14
berada di dalam lingkaran kekuasaan tradisional (Dwipayana, 2004). Strategi
pelekatan yang modern dan tradisional dilakukan oleh pemimpin tradisional untuk
meruntuhkan batas-batas yang modern dan tradisional. Ketika ukuran-ukuran,
kriteria-kriteria dan atribut tradisional sudah dilepaskan dan pemisah tegas antara
modern dan tradisional telah bias, maka yang terjadi adalah pertukaran atribut
antara keduanya. Bangsawan-bangsawan tradisional yang tidak lagi memiliki
legitimasi kekuasaan yang kuat dapat meminjam legitimasi kekuasaan modern
untuk mengesahkan kembali kehadirannya sembari menguatkan legitimasi
kekuasaan tradisionalnya. Tujuannya, yakni untuk menghilangkan batas antara
yang modern dan yang tradisional, sehingga memungkinkan elit-elit tradisional
untuk mencaplok elit-elit modern untuk kemudian diberi tanggungjawab yang
serupa dengan elit-elit sesungguhnya (genealogis) untuk memperjuangkan
pengakuan kembali masyarakat atas legitimasinya (Dwipayana, 2004).
Mekanisme pemberian gelar kebangsawanan yang terjadi di banyak keraton atau
kesultanan di beberapa daerah kepada pengusaha, politisi, intelektual, dan lainnya,
adalah contoh bagaimana yang tradisional dan modern dipertukarkan, bahkan
disatukan. Penelitian ini berusaha untuk melihat adat tidak hanya sebagai definisi
abstrak yang terutama berkaitan dengan sistem nilai, norma, dan lainnya. Namun
juga dari sisi-sisi yang disebutkan di atas, adat (dan juga kepemimpinan adat)
sebagai sesuatu yang longgar, yang karenanya mudah disisipi sesuatu (wacana)
lain guna memuluskan kehadirannya kembali.
Mendekati Kekuasaan
Kekuasaan, dalam perspektif politik secara umum dimaknai sebagai kapabilitas
seseorang untuk memengaruhi, serta mengontrol perilaku seorang yang lain
sehingga sesuai dengan apa yang diinginkan olehnya. Budiarjo (2008)
menjelaskan bahwa definisi kekuasaan sebagai kemampuan memengaruhi
perilaku tersebut bersumber dari perumusan yang diajukan oleh Weber (1922).
Menurut Weber, orang atau kelompok yang dikuasai akan melaksanakan
kehendak yang menguasainya meski pada mulanya mereka yang dikuasai
menolak atau malahan melakukan perlawanan. Pendekatan Weber mengenai
15
kekuasaan ini dalam perkembangannya kemudian memengaruhi banyak ilmuwan
politik dalam mendefinisikan kekuasaan. Misalnya saja Laswell dan Kaplan yang
melihat kekuasaan sebagai sebuah hubungan di mana seseorang atau kelompok
mampu menentukan tindakan orang atau kelompok lainnya yang diarahkan pada
pemenuhan kepentingan orang atau kelompok yang menguasai tersebut (Lasswell
dan Kaplan, 1950, dalam Budiardjo, 2008).
Karya yang mengupas mengenai kekuasaan dengan melandaskan diri pada
konsepsi Weber yang paling banyak mendapat rujukan adalah “The Concepts of
Power”, ditulis oleh Robert Dahl pada 1957. Dalam artikelnya tersebut, Dahl
menjabarkan kekuasaan sebagai “…kemampuan A atas B untuk membuat B
melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin ia lakukan…”(Dahl, 1957).
Kemampuan seseorang untuk membuat seorang yang lain melakukan sesuatu
sesuai dengan kehendaknya itu menurut Dahl terbagi ke dalam “potential and
actual power”. Maksud Dahl, seseorang mungkin memiliki potensi untuk
berkuasa, namun potensi tersebut belum tentu mewujud ke kekuasaan aktual
karena aktualisasi kekuasaan sangat bergantung pada kemampuan individu untuk
melancarkan usaha yang berhasil agar kemauannya dilaksanakan oleh pihak yang
ia ingin kuasai. Dalam perkembangannya, konsepsi kekuasaan a la Dahl ini
disebut dengan pendekatan pluralis atau “one dimensial power”, yang melihat
kekuasaan sebagai “observable behavior”, berlangsung satu arah (power a over
b), karenanya dapat diamati, dan dihitung.
Hal yang menjadi catatan dari konsepsi Weber, Dahl dan pengikutnya mengenai
kekuasaan tersebut adalah bahwa kekuasaan cenderung berlangsung satu arah.
Artinya, pihak yang telah dikuasai, dipandang sebagai pihak yang pasif, yang
hanya melaksanakan kehendak dari pihak yang telah menguasainya.Selain itu,
kekuasaan dipandang sebagai sesuatu yang terpusat dan terinstitusi pada lembagalembaga tertentu. Karenanya, kekuasaan kemudian melibatkan otoritas dan
legitimasi sebagai faktor yang menentukan siapa yang berhak membuat perintah
serta peraturan-peraturan yang diharapkan akan dipatuhi oleh pihak yang menjadi
objek perintah dan peraturan tersebut.
16
Otoritas kekuasaan, masih menurut Weber (1922), dalam Budiarjo (2008: 64)
kemudian terbagi dalam tiga macam, yakni tradisional, kharismatik, dan rasional
legal. Otoritas jenis pertama, didasarkan pada kepercayaan di dalam masyarakat
bahwa tradisi lama yang kemudian melandasi munculnya kekuasaan tradisional
yang bersifat turun temurun, adalah wajar dan patut dihormati. Jenis kedua, lebih
menitikberatkan pada kualitas kepemimpinan yang melekat pada person-person
tertentu yang membikin masyarakat tunduk padanya karena kepercayaan atas,
misalnya, kesaktian atau religiusitas seseorang. Sementara yang ketiga
mendasarkan wewenang pada tatanan hukum atau peraturan yang melandasi
kedudukan seorang pemimpin.Ketiga hal tersebutlah yang kemudian melegitimasi
otoritas kekuasaan yang melekat pada seseorang atau kelompok. Otoritas kuasa,
baik tradisional, kharisma, maupun legal rasional, tidak hadir begitu saja, namun
melibatkan sebuah proses untuk menghadirkan sekaligus melekatkan otoritas
kuasa tersebut. Orang atau kelompok dengan otoritas kuasa tradisional misalnya,
mendapatkan kuasa tersebut dengan cara penaklukan, sehingga wilayah sekaligus
orang-orang yang berada dalam lingkup wilayah tersebut “menghadiahkan”
legitimasi kepadanya sebagai orang yang berhak memimpin dan legitimasi
tersebut kemudian diturunkan secara genealogis.
Russel (1988), juga mengajukan definisi kekuasaan masih dalam kerangka pikir
Weberian. Kekuasaan, menurutnya adalah hasil pengaruh yang diinginkan. Dalam
pengertian ini, ia masih mempersepsikan kekuasaan sebagai keberhasilan satu
pihak mempengaruhi pihak lain. Namun, Russel mengajukan pembilahan antara
kekuasaan “eksplisit” dengan kekuasaan “implisit”. Kekuasaan eksplisit, berada
pada pemimpin. Sedang kekuasaan implisit, berada pada pihak yang bersedia
menjalankan apa yang dikehendaki oleh pemimpinnya (pengikut). Kelompok
kedua (pengikut) menurut Russel memiliki kuasa dengan mengikuti pemimpinnya
dan menganggap “kemenangan-kemenangan” yang dicapai pemimpin sebagai
kemenangan-kemenangan mereka juga. Sebelum membagi kekuasaan ke dalam
dua tipe di atas, Russel terlebih dahulu menjabarkan bahwa dalam diri manusia
ada “dorongan untuk berkuasa” yang karenanya manusia cenderung melakukan
apapun untuk mengejawantahkan dorongan tersebut, termasuk menjadi pengikut.
Dengan mengikuti, “menempel” ke pemimpin, manusia secara tidak langsung
17
telah, paling tidak merasa, mengejawantahkan dorongan untuk berkuasanya
karena ia berada di lingkungan orang-orang atau kelompok yang memiliki
kekuasaan.
Lebih lanjut, Russel membedakan kuasa ke dalam beberapa bentuk yakni
kekuasaan relijius, kekuasaan raja, kekuasaan tanpa persetujuan, kekuasaan
revolusioner, kekuasaan ekonomi, dan kekuasaan atas pendapat. Bentuk-bentuk
kekuasaan tersebut, bisa jadi hanya dimiliki secara terpisah oleh seseorang atau
kelompok. Namun, seorang penguasa mungkin saja memiliki dan mengakumulasi
kekuasaan-kekuasaan dengan bentuk yang beragam pada dirinya untuk
memperluas rentang kuasa dan legitimasi kuasa yang melekat kepadanya.
Lukes (1974) menawarkan pendekatan yang berbeda mengenai kekuasaan. Dalam
bukunya berjudul “Power: A Radical View,” Lukes terlebih dahulu menjabarkan
dua pendekatan mengenai kuasa. Pendekatan pertama yakni “one dimensional
power” yang diajukan oleh Dahl serta penerus-penerusnya, yang melihat
kekuasaan sebagai sesuatu yang dapat diobservasi serta berlangsung satu arah
seperti yang dijelaskan di atas. Pendekatan kedua, “two dimensional power,”
disampaikan oleh Peter Bachrach dan Morton Baratz. Keduanya mengkritik teori
kekuasaan dalam pendekatan pluralisme yang diajukan Dahl serta pengikutnya.
Bachrach dan Baratz, mengatakan bahwa kuasa memiliki dua sisi. Pertama, kuasa
dari definisi Dahl, yakni “A mengontrol B.” Kedua, yang justru lebih penting
adalah usaha orang atau kelompok yang telah memiliki kuasa untuk
mempertahankan “kerelaan” pihak yang dikuasainya untuk dengan pemberlakuan
sanksi. Sanksi ini, diberlakukan baik dengan koersi, pengaruh, otoritas (dan mesin
otoritas,) serta manipulasi (Lukes, 1974: 21). Bachrach dan Baratz menegaskan
bahwa pendekatan kekuasaan satu dimensi Dahl dan kawan-kawan hanya
menegaskan adanya penguasaan seseorang atau kelompok pada yang lain dengan
cenderung menegasikan usaha seseorang atau kelompok yang berkuasa tersebut
untuk tetap berkuasa. Padahal menurut mereka, justru hal inilah yang mestinya
mendapat penekanan.
Pendekatan Lukes mengenai kekuasaan adalah kritiknya terhadap dua pendekatan
sebelumnya mengenai kekuasaan. Teori “Two dimensional power,” menurutnya
18
tidak cukup memuaskan untuk
menjelaskan mengenai misalnya adanya
penolakan seseorang atau kelompok untuk dikuasai dengan tidak turut andil dalam
proses politik di mana penguasaan dilangsungkan. Dalam konteks demikian,
apakah
kekuasaan
masih
berlangsung?
Lukes
kemudian
menawarkan
pendekatannya mengenai kuasa yang ia sebut sebagai “three dimensions of
power.” Kekuasaan, ia definisikan sebagai “the power to avert the formation of
grievances by shaping perceptions, cognitions, and preferences in a way that the
acceptance of a certain role in the existing order is ensured” (Lukes, 1974).
Di sini, Lukes memahami kekuasaan dengan mengandaikan bahwa aktor yang
terlibat dalam proses kuasa-menguasai adalah jamak, dengan kepentingan yang
beragam, dan kadang saling menegasikan satu sama lain. Artinya, kekuasaan tidak
ia lihat sebagai sesuatu yang berlangsung satu arah. Penolakan seseorang atau
kelompok untuk dikuasai misalnya, juga ia definisikan sebagai bentuk kuasa,
yakni kuasa untuk menegasikan kekuasaan yang lain. Di sini, kemampuan
seseorang atau kelompok untuk tetap menguasai kelompok yang enggan dikuasai
kemudian dapat berlangsung dengan memunculkan sebuah bentuk “kesepakatan”
yang meski ditolak oleh sebagian orang atau kelompok, namun secara umum tetap
diakui sebagai aturan main.
Dalam studi ini, konsepsi kekuasaan yang akan digunakan adalah gabungan dari
pendekatan kekuasaan yang mendasarkan diri pada a) pengawasan atau kontrol,
dan b) elite. Konsep kekuasaan yang pertama, diajukan oleh Talcott Parsons,
Robert S. Lynd, dan Marion Levy, Jr. Menurut pendekatan ini, kekuasaan adalah
sesuatu yang pokok utamanya adalah permasalahan kontrol, yang sifat atau
fungsinya tidak selalu merupakan paksaan (Soemardi, 1960). Lynd misalnya,
mendefinisikan kekuasaan sebagai “…suatu sumber sosial yang utama untuk
mengadakan pengawasan (yang) dapat beralih wujud dari suatu paksaan sampai
dengan suatu kerjasama secara sukarela, tergantung daripada perumusan
ketertiban dan kekacauan sebagaimana ditentukan, diubah, dan dipelihara dalam
suatu masyarakat tertentu,” (Lynd, 1951; dalam Soemardi, 1960). Implikasinya,
dalam
pendekatan
ini
permasalahan
mendasar
dari
kekuasaan
adalah
permasalahan legitimasi, atau sesuatu yang membenarkan atau merasionalisasikan
hadirnya kekuasaan itu. Artinya, yang paling penting dimunculkan oleh orang
19
atau kelompok yang terlibat dalam usaha kuasa- menguasai adalah bagaimana
mereka membuat kekuasaan menjadi sesuatu yang melekat pada diri mereka, serta
tidak dipertanyakan lagi.
Selain itu, karena studi ini ingin mengkaji strategi yang dilakukan oleh para
pemimpin adat di Lampung, konsepsi kekuasaan dari perspektif elite yang
diajukan oleh C. Wright Mills juga dipinjam. Mills mendefinisikan elite sebagai
orang-orang yang menduduki posisi tertinggi pada puncak hierarki dalam
masyarakat. Kekuasaan mereka bersumber dari pranata-pranata sosial yang telah
disepakati secara luas oleh masyarakat, yang karenanya keputusan-keputusan
yang mereka ambil berpengaruh dalam masyarakat tempat pranata-pranata sosial
itu dilembagakan (Soemardi, 1960).
D. Metode dan Objek Penelitian
Studi ini akan lebih menitikberatkan perhatiannya untuk menjawab pertanyaan
mengenai bagaimana pemimpin adat di Lampung menancapkan kembali
pengaruhnya dalam pusaran politik lokal Lampung, serta bagaimana implikasinya
secara sosial dan politik. Karena pertanyaan dalam tesis ini difokuskan pada
pertanyaan “bagaimana”, serta pembahasan yang dibatasi pada aktor dan konteks
khusus, maka studi ini akan menggunakan studi kasus eksplanatoris yang
bersandarkan pada pendekatan kualitatif. Alasannya, studi kasus memang
dirancang untuk studi yang mencoba membahas fenomena kontemporer yang
spesifik, serta fokus pada pertanyaan mengapa dan bagaimana seperti pada tesis
ini. Sedangkan jenis studi kasus eksplanatoris dipilih karena studi ini lebih
menyandarkan diri pada penjelasan-penjelasan, penjabaran-penjabaran dalam
menjawab pertanyaan penelitian.
Objek penelitian dalam kajian ini adalah para penyimbang atau saibatin, yakni
entitas yang memiliki status tertinggi dalam struktur pemerintahan
adat di
Lampung yang diwariskan secara genealogis. Penyimbang dan saibatin, mewakili
entitas yang sama, namun penyebutan pertama lebih dikenal di masyarakat
Lampung bersub-etnis Pepadun, sedangkan penyebutan terakhir digunakan oleh
masyarakat Lampung bersub-etnis Pesisir. Untuk lebih memudahkan penyebutan,
20
selanjutnya dalam tulisan ini, istilah penyimbang akan digunakan untuk menyebut
para pemimpin adat
baik di
sub-etnis Pepadun atau Pesisir.
Untuk
menyederhanakan objek kajian, penulis akan menyandarkan perhatian terutama
pada para penyimbang-penyimbang marga yang termasuk ke dalam “Marga
Regering Voor de Lampungche Districten”, daftar 84 marga yang diakui
keberadaannya oleh Belanda, dikeluarkan pada 19283. Karena tak mungkin
menguraikan strategi dari seluruh 84 marga “bentukan” Belanda tersebut, maka
penulis memfilternya melalui pemberitaan di media massa baik cetak maupun
elektronik, serta literatur-literatur terdahulu untuk melihat penyimbangpenyimbang adat di marga mana saja yang paling getol melancarkan strategi
untuk kembali punya kuasa di aras lokal.
Penyimbang-penyimbang adat dari marga di luar daftar marga rilisan Belanda,
juga tetap mendapat pembahasan di dalam tesis. Pembahasan mengenainya
penting untuk menunjukkan argumen yang penulis bangun bahwa adat-serta
pemimpin adat-di daerah dalam konteks Lampung bukanlah merupakan entitas
yang tunggal seperti yang selama ini ditunjukkan oleh literatur-literatur
sebelumnya. Karenanya kemunculan kembali para penyimbang adat di luar marga
utama bentukan Belanda pada 1928, tentulah sangat dimungkinkan, terutama
ketika penyimbang-penyimbang marga di luar marga-marga utama tersebut bisa
menjaga legitimasi kekuasaan tradisionalnya sedemikian rupa, atau bisa
mempertahankan sumber daya ekonominya.
E. Bagaimana Data Dikumpulkan dan Dianalisa?
Data dalam studi ini dikumpulkan dengan mengombinasikan wawancara
mendalam serta telaah literatur. Kedua data tidak diperlakukan secara terpisah,
namun saling melengkapi satu sama lain. Telaah literatur berupa buku, artikel,
jurnal ilmiah, undang-undang, peraturan daerah, berita cetak dan elektronik, serta
sumber lain terkait kemunculan pemimpin tradisional secara umum atau
3
Penjelasan mengenai kepenyimbangan dan daftar marga-marga adat yang dikeluarkan oleh
Belanda pada 1928 akan dijabarkan pada bab selanjutnya.
21
kemunculan penyimbang adat Lampung secara khusus misalnya, telah penulis
lakukan sebelum mewawancarai narasumber-narasumber dalam tulisan ini.
Wawancara, penulis lakukan dengan cara mendalam dengan menyandarkan diri
pada daftar-daftar pertanyaan yang penulis buat sebagai panduan wawancara.
Namun dalam prosesnya, pertanyaan-pertanyaan di luar guideline tersebut juga
penulis sampaikan kepada narasumber. Artinya, daftar pertanyaan tersebut penulis
perlakukan sebagai sesuatu yang cair. Ketika ada hal-hal menarik yang memiliki
relevansi dengan kajian yang disampaikan oleh narasumber, penulis mengejar
pernyataan narasumber meskipun tak penulis masukkan dalam daftar pertanyaan.
Narasumber:
1. Azhar Marzuki Gelar Pangeran Tihang Marga (Saibatin Marga Legun,
Lampung Selatan)
2. Bahri Gelar Pangeran Cahaya Marga (Saibatin Marga Ratu, Lampung
Selatan)
3. Maulana Raja Niti (Ketua Dewan Perwakilan Penyimbang Adat Lampung,
Way Kanan)
4. Rizani Puspawijaya (Dewan Perwatin Majelis Penyimbang Adat
Lampung, penulis buku “Hukum Adat Dalam Tebaran Pemikiran”)
5. A. Fauzie Nurdin (Dosen IAIN Raden Intan Lampung, penulis buku
“Budaya Muakhi dan Pembangunan Daerah”
6. Barthoven Vivit Nurdin (Antropolog, penyusun “Etnografi Marga
Mesuji”)
7. Bintang Wirawan (Dosen Sosiologi Universitas Lampung)
8. Hasyimkan (Dosen pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Lampung, peneliti gamolan Lampung)
9. Zulkarnain Zubairi (Wartawan, Budayawan Lampung)
22
Data yang penulis dapat dari wawancara mendalam, kemudian diolah dengan
menggarisbawahi informasi-informasi yang behubungan dengan kata-kata kunci
penelitian. Jawaban-jawaban dari narasumber-narasumber yang memiliki tema
yang sama kemudian dikategorisasikan berdasarkan relevansinya dengan bab-bab
dalam tesis. Tema-tema terutama mengenai revitalisasi adat, relasi antar
pemimpin adat, relasi antara pemimpin adat dengan pemimpin formal,
implikasinya secara sosial politik dan hal-hal lain yang penulis anggap penting
untuk dimasukkan ke dalam kajian akan menjadi titik tekan.
Setelah itu prosesnya kemudian berulang. Data-data tersebut kemudian kembali
dibandingkan dengan literatur-literatur lain guna memperkaya hasil temuan yang
didapat dari wawancara atau kajian literatur yang penulis lakukan di awal
penulisan. Akan ada usaha untuk menyesuaikan atau bahkan mempertentangkan
data-data penelitian terutama terutama dengan literatur-literatur yang membahas
mengenai tema serupa. Dengan begitu, ada usaha pengayaan terhadap analisis
yang penulis lakukan.
F. Sistematika Penulisan
Bab 1
Berisikan pendahuluan, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teoretik,
metode penelitian, serta sistematika penulisan. Gambaran dasar mengenai kajian,
relevansi serta urgensi diadakannya kajian, serta bagaimana kajian dilakukan,
digambarkan dalam bab ini. Semacam pengantar bagi pembaca untuk memahami
bab-bab selanjutnya yang akan dibahas.
Bab 2
Bab ini berisi penjabaran konsep-konsep kunci terkait kekuasaan dan
kepenyimbangan (kepemimpinan adat). Selain itu, bab ini juga berisikan
penjelasan mengenai pergeseran kuasa penyimbang adat dari masa ke masa, mulai
dari masa kolonial hingga orde baru. Implikasi yang berbeda-beda yang tercipta
oleh konteks sosial dan politik yang berbeda di tiap-tiap jaman terhadap
23
kekuasaan penyimbang adat, dijelaskan pada bagian ini. Runtuhnya orde baru
serta pergeseran kekuasaan yang mengiringinya sebagai konteks yang melatari
kemunculan para penyimbang adat juga akan diterangkan.
Bab 3
Di bagian ini akan dipaparkan strategi kemunculan kembali para penyimbang adat
pasca orde baru. Penulis berhipotesa bahwa otonomi kekuasaan para penyimbang
yang
terbatas
hanya
pada
daerah
kekuasaannya,
perbedaan
“derajat”
kepemimpinan tradisional antar penyimbang, mekanisme yang memungkinkan
munculnya marga-marga baru, serta perbedaan kepemilikan sumber daya
ekonomi, membuat usaha kemunculan kembali para penyimbang adat di Lampung
pasca orde baru dilakukan dengan strategi yang berbeda-beda. Teori Accaioli
mengenai Officializing dan Opposing Strategy akan dieksplisitkan pada bagian
ini. Pengaruh secara sosial politik terkait kemunculan kembali para penyimbang
adat tersebut juga dibahas secara singkat dalam bab ini.
Bab 4
Kesimpulan
24
Download