Masalah dan Tantangan Tim Ekonomi Oleh Dr Sri Adiningsih, Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Media Indonesia - Berita Utama (30/07/2001 09:56 WIB) BANGSA Indonesia mengalami euforia lagi dengan lahirnya pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, yang memberikan harapan besar. Setelah empat tahun kita didera krisis ekonomi yang belum jelas selesainya, pergantian pemerintah menjadi tumpuan harapan bahwa krisis dapat segera berlalu. Terutama, krisis ekonomi yang telah merusak kehidupan masyarakat. Seperti biasanya, pemerintah baru dengan legitimasi dan dukungan besar memberikan harapan positif kepada pelaku pasar yang dapat dilihat dari menguatnya rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG) saat pemerintah baru dilantik. Meskipun demikian, pelaku pasar dan masyarakat belum sepenuhnya yakin bahwa pemerintah baru akan segera membawa kita keluar dari krisis serta mengatasi tantangan ekonomi yang dihadapi bangsa. Pertanyaan yang menarik diajukan adalah mengapa muncul keraguan akan kemampuan pemerintah untuk mengatasi masalah dan tantangan ekonomi pada saat ini? Ingat bahwa pada saat pemerintahan mantan Presiden Abdurrahman Wahid baru terbentuk, legitimasi dan dukungan masyarakat serta pelaku pasar baik domestik maupun internasional mampu menciptakan momentum pemulihan ekonomi. Itu antara lain dapat dilihat dari berbagai data ekonomi sejak akhir 1999 sampai pertengahan 2000, yang masih cantik. Stabilitas ekonomi terjaga dan pertumbuhan ekonomi setiap kuartalnya mencapai 5%. Nilai rupiah mencapai kisaran 7.000 per dolar AS. Demikian pula, IHSG mencapai sekitar 700. Namun, ketidakmampuan otoritas ekonomi mengambil kebijakan terbaik telah membuat ekonomi yang dibangun amatlah rapuh, sehingga mudah bergejolak seiring gejolak sosial, politik, dan keamanan. Semua itu pada akhirnya membuat perekonomian memasuki masa sulit lagi. Belajar dari pengalaman itu, kita menyadari bahwa legitimasi dan dukungan masyarakat saja tidaklah cukup untuk menjadi dasar dalam mengatasi masalah dan tantangan ekonomi. Legitimasi dan dukungan masyarakat, tentu saja, diperlukan karena dapat mengurangi ketidakpastian baik di bidang sosial, politik, maupun keamanan. Hal itu tentu juga diperlukan dalam membangun ekonomi. Tapi, tanpa dukungan kebijakan yang baik dan tepat, masalah serta tantangan yang kita hadapi tidak akan dapat diatasi. Masyarakat dan pelaku pasar sudah belajar baik dari pengalaman tersebut. Selain itu, beratnya masalah dan tantangan ekonomi yang kini dihadapi, baik domestik maupun internasional membuat pemerintah baru tidak memiliki cukup amunisi untuk menciptakan momentum baru yang kuat dalam perekonomian seperti pada masa pemerintahan lalu. Pergantian pemerintahan tidak berarti masalah ekonomi yang ada akan menguap. Masalah ekonomi masih tetap tidak berubah dengan adanya pemerintah baru. Ketidakstabilan makroekonomi seperti tingginya inflasi (lebih dari 10% untuk satu tahunnya), kurs yang fluktuatif (sekitar Rp 10.000), dan suku bunga tinggi (sekitar 17%) masih menjadi masalah yang harus segera dikendalikan. Demikian juga, letter of intent (LoI) dengan Dana Moneter Internasional (IMF) yang belum ditandatangani perlu cepat dituntaskan. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang belum jelas--apakah dapat ditutup dengan semua sumber penerimaan yang ada-juga menjadi tantangan tersendiri karena privatisasi badan usaha milik negara (BUMN) dengan target setoran ke APBN mencapai Rp 6,5 triliun juga belum ada realisasinya. BELUM lagi lambannya restrukturisasi perbankan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sehingga membuat dunia usaha terpaksa berhenti karena tidak mungkin mendapatkan external financing. Semuanya tentu saja membuat tim ekonomi baru tidak akan memiliki masa honeymoon dalam mengemban tugasnya. Mereka harus siap tempur begitu ditempatkan untuk mengatasi masalah ekonomi jangka pendek. Selain berbagai masalah yang perlu cepat ditangani, Indonesia juga menyimpan banyak tantangan besar. Liberalisasi pasar yang telah banyak membantu Indonesia membangun ekonominya, selama ini, ternyata menyimpan potensi kerawanan terhadap gejolak ekonomi dari luar. Contagion effect adalah sebuah realitas yang bisa datang kapan saja, melalui jalur apa saja. Jika pada 1997 virus ekonomi menyebar dari satu negara ke negara lain melalui pasar valas, sehingga banyak yang mengambinghitamkan pedagang valas. Kini transmisi resesi ekonomi dari satu negara ke negara lain datang melalui perdagangan internasional. Resesi di AS dan Jepang telah masuk ke Asia. Bahkan negara seperti Singapura yang pada 1997 tegar, kini nyaris menggelepar menghadapi resesi ekonomi (laju pertumbuhan ekonomi dua kuartal terakhir negatif). Tentu saja dampak resesi di tiga negara tujuan utama ekspor Indonesia itu banyak mempengaruhi perekonomian nasional. Ingat bahwa motor penggerak ekonomi kita pada 2000 adalah ekspor (tumbuh 17%) dan investasi yang tumbuh 12%. Ini berarti kondisi ekonomi global dan kawasan yang sedang boom pada saat Wahid menjabat tidak akan ada lagi. Kini yang harus dihadapi tim ekonomi adalah ancaman resesi global dan kawasan, di mana tentu saja akan membuat proses pemulihan ekonomi menghadapi tantangan semakin berat karena terancamnya motor penggerak ekonomi. Perkembangan lainnya yang juga perlu diperhatikan dalam perekonomian adalah otonomi daerah dan liberalisasi pasar ataupun perkembangan new economy yang akan mengubah konstelasi ekonomi, sehingga mempengaruhi manajemen ekonomi. AFTA harus dihadapi Indonesia enam bulan lagi untuk 15 kelompok produk yang masuk dalam CEPT dengan ketentuan tarif maksimum adalah 5%, di enam negara ASEAN utama termasuk Indonesia. Padahal, kita tahu bahwa Depperindag belum memiliki konsep jelas untuk menghadapi AFTA. Apakah kita akan konsisten membuka pasar meski banyak produk yang belum siap. Atau kita akan melakukan negosiasi ulang untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional. Demikian juga otoda yang diharapkan dapat membangun ekonomi daerah, UKM, dan sektor pertanian lebih baik sampai kini masih belum berjalan seperti diharapkan. Perkembangan ekonomi yang ada telah membuat Indonesia, lima tahun terakhir ini, mengalami perubahan pesat, sehingga membuat instrumen kebijakan ekonomi banyak yang tidak efektif untuk mempengaruhi ekonomi kita. Adalah tidak mudah untuk mengelola perekonomian pada saat ini (kini AS juga mulai menyadari bahwa instrumen moneternya ternyata tidak lagi sekuat dulu dalam mempengaruhi perekonomian). Oleh karena itu, otoritas ekonomi semakin tidak mudah untuk mengelola ekonomi baik dari aspek moneter ataupun fiskal dan kebijakan ekonomi lainnya baik makro ataupun mikro. Kompleksitas masalah dan tantangan ekonomi yang dihadapi akan semakin berat dengan kian dekatnya jatuh tempo utang kita ke IMF. Demikian juga utang domestik yang harus cepat dibayar. Apalagi pengangguran dan kemiskinan masih cukup menyebar di seluruh Indonesia, sehingga kualitas hidup masyarakat belum juga kembali ke masa sebelum krisis. Oleh karena itu, segera membawa Indonesia keluar dari krisis adalah hal yang mendesak. Masyarakat sudah capek dengan krisis ekonomi dan kemiskinan. Demikian juga tidak enak sebagai bangsa berdaulat disupervisi dari luar bertahun-tahun. Dengan demikian, pemerintahan baru memiliki kewajiban yang amat berat sekali. Mereka diharapkan dapat segera mengatasi masalah dan tantangan ekonomi yang ada dan segera membawa Indonesia keluar dari krisis kemudian masuk ke pasar AFTA dengan selamat. Program otoda pun dapat dilaksanakan dengan aman. Semua ini bukan pekerjaan mudah dan dapat dilakukan amatiran.