krisis keuangan global_ps

advertisement
KRISIS KEUANGAN GLOBAL
MAM
MAMPUKAH KUKM BERTAHAN?
ASDEP URUSAN PENELITIAN KOPERASI
DEPUTI BIDANG PENGKAJIAN SUMBERDAYA UKMK
2008
KRISIS KEUANGAN GLOBAL,
MAMPUKAH KUKM BERTAHAN ?
Beberapa bulan terakhir istilah krisis menjadi kata yang paling banyak muncul di
media cetak dan menjadi sebutan yang paling sering diucapkan di media elektronik (TV,
Radio, dll). Sedemikian seringnya diperbincangkan menjadikan kata krisis untuk sebagian
orang seakan hantu yang segera muncul secara menakutkan dan boleh jadi akan
menguras semua enerji. Bagi sebagian orang lainnya, kata krisis tidak bermakna apapun
sebab dianggapnya setiap haripun mereka dalam keadaan tidak menentu bahkan tanpa
uluran tangan siapapun. Artinya, persepsi seseorang terhadap krisis sangat dipengaruhi
oleh variabel daya nalarnya, wawasan, pengetahuan, pengalaman masa lalu,
kompetensi, ekspektasi masing-masing, dll.
Manakala krisis dibicarakan oleh kalangan yang berminat untuk berpikir kritis,
tentunya kelompok ini akan mencari tahu akar persoalannya, pengaruh dan akibatnya,
serta bagaimana mengantisipasi jika kondisi itu benar-benar menjadi kenyataan
dihadapan mereka. Hasilnya pasti akan berbeda antar orang per orang sebab kedalaman
variabel-variabel pengaruh tersebut pastinya sangat beragam. Maka, tidak lagi relevan
untuk mencari pendapat siapa yang paling benar dalam mengurai persoalan krisis.
Fenomena seperti ini diuraikan oleh dua orang pakar ekonomi, Faisal Basri dan Tony
Prasentiantono dalam diskusi tentang Dampak Resesi Global terhadap Koperasi dan
UKM di Indonesia pada tanggal 10 Oktober 2008 di auditorium Kementerian Koperasi dan
UKM. Kedua pengamat dan pakar ekonomi ini seakan bersepakat bahwa ketika 10 orang
pakar ekonomi mengamati permasalahan krisis keuangan global, maka tidak tertutup
kemungkinan akan mencuat 12 hasil analisis yang berbeda. Pendapat para ekonom pasti
memiliki landasan fakta yang rasional dan data yang akurat tetapi tidak mudah menyusun
suatu konsensus penyebab krisis atau resesi dan dampaknya sebab cara pandang atau
titik tolak pengamatan yang berbeda. Sebagai contoh, ketika great depression melanda
dunia tahun 1929 para ekonom dunia belum berhasil merangkai suatu single concenssus
1
atau single version mengenai faktor penyebab krisis pada masa itu. Krisis dianggap
berakhir saat John Maynard Keynes (1936) menerbitkan bukunya yang terkenal dan
sampai sekarang menjadi rujukan teori-teori ekonomi yang diajarkan di fakultas ekonomi.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah dimana starting point yang diperlukan untuk
mengurai dan menyelesaikan masalah, bagaimana meminimalkan dampak buruk krisis
itu yang konon sudah masuk dalam kategori resesi global ? Nah, disini yang akan
menjadi menarik terutama bila dikaitkan dengan kondisi KUKM di Indonesia. Akankah
KUKM memiliki daya tahan yang sama seperti saat terjadinya krisis moneter dan ekonomi
pada tahun 1998? Pelajaran apa yang dapat dipetik dari hasil analisis kedua pakar
ekonomi ini?
Dalam diskusi Tony Prasentiantono memulai pemaparannya dengan menguraikan
asal muasal krisis yang terjadi di Amerika Serikat hingga berimbas keseluruh belahan
dunia. Negara adidaya ini ternyata tidak hanya mampu berperan sebagai polisi dunia
tetapi juga bisa menjadi sumber malapetaka dengan menyebarkan ‘virus ekonomi’. Hal ini
adalah konsekwensi logis dari era globalisasi, perdagangan bebas dan segala macam
interdependensi dalam politik, ekonomi, sosial-budaya, dari masyarakat dunia yang
cenderung berkembang sangat terbuka. Kondisi yang terbentuk, di satu sisi seakan
memperjelas kedigdayaan Amerika dalam menyebarkan kultur kapitalisme dan
liberalisme, meski belum tentu berjaya bagi dirinya sendiri. Di sisi lain, terpampang suatu
potret yang menggambarkan kerapuhan internal ekonomi Amerika ditengah suasana
glamor dan gegap gempita yang ternyata semu.
Perekonomian Amerika semakin liberal pada periode 1990-an ketika lembaga
investment bank mulai bermunculan (termasuk hedge funds) sebagai funds arranger dan
menampung dana berskala besar dari berbagai institusi atau pemilik modal gede. Dana
yang diterima ditanamkan pada perdagangan saham dan obligasi yang mampu
memberikan return lebih besar dari bunga deposito perbankan. Bahkan dana yang
ditampung dibiakkan dengan tingkat bunga yang semakin besar dan menggoda setiap
pemilik modal untuk men leverage kan dana yang dimilikinya. Pertumbuhan sektor
finansial seperti ini sangat cepat dan menggairahkan namun sifatnya artifisial karena
2
dukungan kondisi perekonomian makro yang relatif tidak sama di semua lini. Akibatnya
muncullah kesenjangan pertumbuhan antara sektor-sektor fundamental (riel) dengan
sektor keuangan. Gap yang terjadi tidak melulu diantara sektor-sektor perekonomian
tetapi juga dalam pendapatan diantara pelaku usaha. Penghasilan seorang fund manager
di Amerika bisa mencapai hingga 2 milliar US $ (ekuivalen sekitar Rp. 19 triliun). Suatu
angka yang fantastis, sebab dana sebesar itu dapat digunakan oleh Kementerian
Koperasi dan UKM selama 19 tahun (asumsi 1 triliun per tahun). Justifikasi yang
dinalarkan oleh pelaku hedge funds adalah bahwa besaran penghasilan itu based on
market mechanism, berarti sesuatu yang tidak terhindarkan dari sistem ekonomi pasar
liberal. Kondisi ini pada akhirnya menciptakan perekonomian gelembung sabun (bubble
economy) yang sarat dengan rekayasa di sektor keuangan melalui rumor dan penciptaan
berbagai bentuk sentimen pasar. Akibatnya, harga saham menjadi sangat berfluktuatif,
apalagi dalam bidang pasar modal telah beraneka ragam derivasinya yang kadangkadang membuat konsumen terkecoh. Disini muncul pertanyaan, kapan gelembung ini
akan meletus atau terkoreksi? Akankah koreksi itu terjadi secara lunak atau keras (crash
landing)? Para ekonom hanya mampu memprediksi saja dan ramalan inipun tidak
bermuara pada suatu konsensus juga.
Lebih jauh Tony Prasentiantono Kepala ekonom BNI ini beragumentasi bahwa
bubble economy akan terkoreksi melalui salah satu trigger (pemicu) dari dalam kondisi
perekonomian itu sendiri. Bahkan, sebenarnya bubble economy di Amerika sudah terjadi
sejak tahun 1998 di saat perusahaan Amerika yang beroperasi di Rusia Long Term
Capital Management (LTCM) default dan bangkrut sewaktu bermain di arena valas.
Ironisnya, pengelola (CEO) LTCM adalah dua orang pemenang hadiah nobel derivatif
tahun 1997. Kerapuhan ekonomi Amerika terus berlangsung dan ditandai oleh defisit
perdagangan dengan China dan Jepang, menurunnya nilai tukar dollar dibandingkan
dengan Yuan, Yen dan Euro. Namun, di saat yang sama praktek greedy investor
(kerakusan para investor) terus menggerus melalui lembaga bank investasi. Nah, ketika
terjadi default di sektor investasi perumahan maka perekonomian dunia yang banyak
berkiblat kepada Amerika terkena imbasnya.
3
Sebaliknya, Faisal Basri berpendapat greedy investor bukan penyebab pokok
sebab kemunculan sifat greedy pada pialang investasi adalah human nature yang akan
selalu muncul jika kesempatan tersedia dan terbuka untuk dimanfaatkan. Greedy investor
berusaha menggelembungkan nilai saham yang diperdagangkan setinggi mungkin
melalui berbagai cara termasuk dengan menyebarkan rumor. Manakala terjadi masalah di
sektor perumahan (tempat tujuan sebagian besar investasi) maka nilai saham meluncur
turun secara drastis, terpiculah krisis financial keseluruh dunia. Episentrum krisis berada
di sektor perbankan sehingga oleh banyak kalangan pengamat ekonomi dianjurkan tidak
berupaya mengatasi resesi melalui aktivitas bursa efek. Penguatan indikator makro
ekonomi di dalam negeri lebih diperlukan sebab fondasi perekonomian sekarang ini
cukup kuat.
Gejolak krisis keuangan yang ada sekarang bukan karena pasar tidak
berfungsi, tetapi karena ada pasar dengan mekanisme yang dinamis, maka timbul koreksi
yang dapat menuju equilbrium baru.
Pelambatan atau pelemahan ekonomi yang terjadi di dalam negeri harus
ditanggapi dengan cermat agar tidak terjadi bias antara proses kekuatan tarik menarik
dalam mekanisme pasar biasa dengan krisis di sektor keuangan. Memang belum dapat
ditarik kesimpulan yang pasti, tetapi untuk sementara dampak langsung terhadap viability
dan daya saing pengusaha UKM masih memerlukan waktu. Menurutnya, koperasi dan
UKM belum perlu mengkhawatirkan dampak resesi ini. Dampak langsung lebih banyak
kepada perusahaan dan atau pemilik modal besar yang beraksi di sektor perdagangan
saham dan berinvestasi melalui kredit perbankan. Di luar negeri dampak langsung
diperkirakan akan berimbas langsung kepada negara Mexico yang merupakan beranda
perekonomian Amerika. Di dalam negeri, kapasitas ekspor sebenarnya dapat ditingkatkan
dengan memanfaatkan peluang yang tidak dapat di leverage oleh Vietnam dan China,
disamping melakukan penetrasi pasar baru di negara-negara Eropa Barat-Timur, dan di
Timur Tengah.
Ditambahkan oleh Tony Prasentiantono bahwa negara China dan Jepang
merupakan negara yang selalu diuntungkan Amerika Serikat yang ditandai oleh neraca
perdagangannya selalu surplus, maka dengan adanya krisis keuangan di Amerika Serikat
4
akan dapat melemahkan perdagangan karena daya beli masyarakat Amerika Serikat
menurun yang pada gilirannya dapat merambah juga ke berbagai negara di berbagai
belahan bumi ini. Dengan rapuhnya pasar saham, maka dianjurkan untuk menggali lagi
cara-cara pemecahan masalah ekonomi dan keuangan melalui pendekatan hati nurani
dan kewajaran seperti yang pernah dianjurkan oleh (alm) Prof. Dr. Mubyarto dalam
konsep Ekonomi Pancasila.
(Pariaman Sinaga dan Burhanuddin Rajadin, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya
UKMK, Kementerian Negara Koperasi dan UKM)
5
Download