BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Minyak ikan merupakan lemak ikan yang berwarna kuning muda sampai kuning emas dan berbentuk cair. Minyak ikan dapat dihasilkan dari perebusan ikan atau sisa pembuatan tepung. Minyak ikan kaya akan PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) atau asam lemak tak jenuh khususnya omega-3 yaitu EPA (Eicosapentaenoic Acid) dan DHA (Docosahexaenoic Acid). PUFA sangat baik bagi kesehatan manusia karena memiliki peranan penting. Studi epidomiologi menunjukkan omega-3 yaitu EPA baik untuk perkembangan bayi, kanker, jantung, dan dementia sedangkan DHA baik untuk membantu proses tumbuh-kembang otak (kecerdasan) dan perkembangan indera penglihatan (Sahena 2010). Minyak ikan memiliki banyak manfaat dan dapat diaplikasikan dalam industri makanan, farmasi, kosmetik, dan produk cat. Pemanfaatan minyak ikan di dalam industri pangan bertujuan untuk pengganti fungsi minyak nabati, lemak hewani dan memperkaya nilai gizi makanan untuk mendapatkan makanan sehat. Minyak ikan juga mengandung vitamin A dan D (dua jenis vitamin yang larut dalam lemak) dalam jumlah tinggi. Manfaat vitamin A membantu proses perkembangan mata, sementara vitamin D untuk proses pertumbuhan dan pembentukan tulang yang kuat (Sahena, 2010). Kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi pada minyak ikan termasuk EPA dan DHA, menyebabkan minyak sangat rentan terhadap kerusakan oksidatif (Stansby, 1967). Minyak ikan sangat mudah teroksidasi terutama akibat sensitiser (riboflavin), cahaya, suhu, dan terpapar oksigen. Kerusakan minyak ikan yang disebabkan terjadinya oksidasi, dipercepat oleh adanya cahaya, oksigen, dan prooksidan yang pada suhu tinggi membentuk komponen volatil yang menyebabkan bau tengik, asam lemak bebas, aldehid dan keton sebagai produk akhir, serta penurunan ketidakjenuhan minyak (Boran et al., 2006). Kerusakan sangat dipengaruhi oleh waktu, dan suhu penyimpanan. Suhu beku (-18 - -20oC) dapat mempertahankan kualitas minyak ikan dari kerusakan. Tingkat oksidasi minyak ikan secara signifikan berbeda dengan jenis minyak lain. Hal ini menunjukkan bahwa harus diberikan perhatian yang lebih terutama terhadap paparan cahaya dan oksigen serta suhu yang tinggi apabila minyak ikan ditambahkan pada produk makanan, jika tidak akan menyebabkan timbulnya bau atau rasa yang tidak enak dan senyawa-senyawa hasil oksidasi yang berpengaruh buruk bagi kesehatan. Cara menghindari kerusakan minyak ikan adalah dengan beberapa cara antara lain penyimpanan di ruang gelap dan suhu beku, menghindari kontak langsung dengan cahaya dan udara, serta dengan penambahan antioksidan. Penambahan antioksidan dalam minyak dapat mencegah oksidasi selama proses dan penyimpanan (Rukmini, 2011). Antioksidan yang banyak ditambahkan di dalam minyak adalah antioksidan lipofil seperti BHA (Butylated Hydroxyanisole), TBHQ (Tert-Butyl Hydroquinone), dan BHT (Butylated Hydroxytoluene). Penggunaan antioksidan lipofil dikarenakan sifatnya yang larut minyak sehingga penggunaannya menjadi praktis. Antioksidan lipofil memiliki mekanisme yang cenderung terbatas, yaitu sebagai antioksidan primer, artinya berperan sebagai pendonor hidrogen pada saat terjadinya reaksi radikal (Santoso, 2006). Salah satu antioksidan yang juga banyak digunakan adalah vitamin C (asam askorbat). Asam askorbat adalah vitamin yang larut di dalam air (hidrofil) dan sangat banyak dijumpai pada buah-buahan dan sayur-sayuran sebagai L-asam askorbat. Vitamin ini sangat labil terhadap suhu dan oksigen. Asam askorbat mampu menghambat oksidasi minyak dikarenakan sifatnya yang reaktif menangkap radikal sehingga mampu menghambat kerusakan pada minyak (Rukmini, 2011). Selain itu, asam askorbat memiliki kemampuan sebagai pengkelat ion logam yang mampu mengkatalis reaksi oksidasi lemak sehingga dapat ditambahkan dalam bahan pangan untuk meredam terjadinya reaksi radikal yang dikatalisasi ion logam (Rukmini, 2011). Permasalahan yang muncul adalah adanya perbedaan kelarutan antara antioksidan yang bersifat hidrofil dan minyak ikan yang bersifat hidrofob. Hal ini menyebabkan antioksidan dan minyak ikan tidak dapat menyatu dikarenakan adanya perbedaan kelarutan. Perbedaan tersebut dapat diatasi dengan menggunakan sistem mikroemulsi sebagai pembawa antioksidan yang bersifat hidrofil. Mikroemulsi adalah suatu sistem dispersi yang terdiri dari fase minyak dan fase air yang distabilkan oleh molekul surfaktan pada lapisan antarmuka, dengan ukuran droplet fase terdispersi kurang dari 1μm (5-100 nm) (Cho et al., 2008). Mikroemulsi adalah suatu sistem yang secara termodinamik stabil. Dengan menggunakan mikroemulsi, antioksidan dan minyak ikan dapat larut secara sempurna dan lebih mudah memberikan efek untuk mencegah kerusakan pada minyak ikan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lestari (2014), menunjukkan bahwa mikroemulsi asam askorbat mampu menghambat kerusakan minyak ikan yang diakibatkan oleh fotooksidasi namun selama ini penyimpanan minyak ikan cenderung pada suhu kamar tanpa ada perlakuan khusus untuk meminimalisir kerusakan. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian untk mengetahui efektivitas mikroemulsi asam askorbat dalam menghambat kerusakan minyak ikan selama penyimpanan suhu kamar. Efektivitas mikroemulsi asam askorbat dibandingkan dengan antioksidan yang biasa digunakan dalam pangan yaitu BHA dan TBHQ. B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas antioksidan asam askorbat dalam sistem mikroemulsi dalam menghambat kerusakan minyak ikan selama proses penyimpanan suhu kamar. C. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu menambah pengetahuan terkait mekanisme mikroemulsi sebagai agen pembawa zat antioksidan asam askorbat yang memiliki manfaat tetapi sifat kelarutannya di dalam air berbeda.