7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengetahuan Pemahaman proses penciptaan pengetahuan di perusahaan memerlukan telaahan kepustakaan mengenai pengertian pengetahuan. Untuk kepentingan penelitian ini, konsep pengetahuan itu sendiri disusun dalam tiga bagian. Pertama, pemahaman pengetahuan secara epistemologi, yaitu penelusuran pemikiran yang dilakukan para filsuf untuk memahami makna mengetahui sesuatu (to know something). Melalui penelusuran pemikiran para filsuf tersebut diharapkan akan diperoleh pemahaman mengenai yang mengetahui (the one who knows) dan yang diketahui (the object known) serta hubungan keduanya. Kedua, diperlukan pemahaman tentang perbedaan mendasar antara data, informasi dan pengetahuan berdasarkan cara memperoleh, menyimpan, menyebarkan dan menciptakannya. Ketiga, diperlukan pemahaman mengenai jenis-jenis pengetahuan dan komponenkomponennya. Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995) hal penting yang juga relevan untuk memahami proses penciptaan pengetahuan pada epistemologi adalah pemahaman mengenai hubungan antara yang mengetahui (the one who knows) dan yang diketahui (the object known). Para filsuf Barat pada umumnya berpendapat bahwa pengetahuan adalah justified true belief, sebuah konsep yang pertama kali disampaikan oleh Plato. Hal ini memberikan pengertian bahwa pengetahuan adalah kebenaran sesuai dengan faktanya dan sesuai dengan alasannya. Definisi pengetahuan ini dianggap masih jauh dari sempurna sehingga mendorong para filsuf Barat untuk mencari metode yang bisa membantu mereka mendefinisikan pengetahuan tanpa ada keraguan. Penelusuran para filsuf kemudian beralih dan difokuskan pada sumber dan cara memperoleh pengetahuan itu sendiri. Hal ini menyebabkan para filsuf terbagi atas penganut aliran rasionalisme dan aliran empirisme (Nonaka & Takeuchi 1995). Dijelaskan lebih lanjut, para filsuf penganut rasionalisme percaya bahwa pengetahuan sejati (true knowledge) bukan merupakan hasil dari pengalaman indera manusia, tetapi merupakan proses mental yang ideal. Menurut aliran ini, terdapat pengetahuan a priori yaitu pengetahuan yang sudah ada sebelumnya yang tidak memerlukan pembenaran oleh pengalaman indera manusia. Pengetahuan 8 sejati diperoleh secara deduksi dari penalaran rasional. Matematika merupakan contoh klasik pendapat ini. Di sisi lain, para filsuf penganut empirisme percaya bahwa pengetahuan a priori tidak ada dan satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman indera manusia. Selanjutnya Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman yang hidup pada abad ke delapan belas, berusaha melakukan sintesis pendapat kedua aliran filsafat tersebut. Kant setuju bahwa dasar pengetahuan adalah pengalaman, tetapi tidak setuju dengan filsuf aliran empirisme yang mengatakan bahwa pengalaman merupakan satu-satunya sumber pengetahuan. Kant berpendapat bahwa pengetahuan dapat muncul hanya bila pemikiran logis para rasionalis dan pengalaman indera para empirisme bekerja bersama (Nonaka & Takeuchi 1995). Berdasarkan uraian di atas, Nonaka dan Takeuchi (1995) berpendapat bahwa seorang individu meyakini kebenaran mengenai apa yang dipercayainya berdasarkan observasinya mengenai dunia atau hal-hal yang berada di luar pemikiran individu tersebut. Observasi individu tersebut dipengaruhi oleh sudut pandang unik individu tersebut, kesanggupan untuk merasakan serta pengalamanpengalaman pribadi. Agar seorang individu dapat terus membangun pengetahuannya, maka ia tidak dapat hanya melakukan proses mental mengandalkan pengetahuan-pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan individu tersebut melakukan interaksi dengan dunia luar untuk memperoleh pengalaman-pengalaman indera. Pemahaman pengetahuan dari sudut pandang para filsuf di atas memerlukan suatu konsep yang lebih operasional bagi penelitian ini. Oleh karena itu, penting dikemukakan pandangan pengertian pengetahuan dibedakan dari informasi dan data. Menurut Davenport dan Prusak 1998, data bersifat diskrit, yaitu fakta-fakta objektif mengenai kejadian atau obyek-obyek tertentu. Data sendiri tidak memiliki relevansi dan maksud. Data merupakan bahan baku menjadi informasi. Tiwana (2000) menggambarkan bahwa informasi adalah data yang telah memiliki nilai (Value) karena mengalami kontekstualisasi (kategorisasi, kalkulasi, koreksi atau kondensasi). Informasi akan menjadi pengetahuan setelah melalu proses pengayaan (enrichment) dan transformasi dengan cara komparasi, konsekuensi, koneksi 9 ataupun perckapan (Davenpot & Prusak 1998). Dapat dikatakan bahwa pengetahuan diperoleh dari sekumpulan informasi yang saling terhubungkan (terstruktur secara sistematik sehingga memiliki makna. Pemahaman mengenai pengetahuan itu sendiri sangat diperlukan karena secara akademis terdapat berbagai pengertian pengetahuan dalam konteks sumber daya (resources), kompetensi dan kemampuan (capability), yaitu: 1. Pengertian pengetahuan dalam konteks teori aset tanwujud (intangible asset), dinyatakan bahwa sumber daya informasi adalah aset tanwujud yang sangat berharga bagi perusahaan (Itami & Roehl 1987). 2. Pengertian pengetahuan dalam konteks teori sumber daya sebagai basis keunggulan bersaing yang dikemukakan Wernerfelt (1984) dan Barney (1991) yang diacu Priem (2001). Wernerfelt yang diacu (Priem 2001) mengemukakan, bahwa keunggulan bersaing perusahaan berasal dari sumber daya yang dimilikinya, bukan dari produk-produknya. Lebih lanjut Barney yang diacu (Priem 2001) menjelaskan bahwa sumber daya yang paling strategik adalah sumber daya yang langka, berharga, sulit ditiru serta sulit digantikan. Salah satu teori dalam kelompok teori sumber daya sebagai basis keunggulan bersaing adalah teori kompetensi inti (core competence). Hamel dan Prahalad (1994) mendefinisikan kompetensi inti sebagai seperangkat keterampilan dan teknologi yang terintegrasi, yang merupakan akumulasi hasil pembelajaran individu-individu di organisasi. Kompetensi inti ini terdiri atas pengetahuan tacit dan eksplisit. 3. Pengertian pengetahuan dalam konteks teori dynamic capabilities adalah kemampuan perusahaan untuk membangun keunggulan bersaing baru melalui upaya terus-menerus memperbaharui keterampilan-keterampilan dan sumber daya perusahaan agar dapat terus beradaptasi dengan perubahan-perubahan (Teece et al. 1997). 4. Pengertian pengetahuan dalam konteks teori pengetahuan sebagai basis keunggulan bersaing didasari pemikiran bahwa pengetahuan merupakan sumber daya strategik yang dimiliki oleh perusahaan. Pengetahuan berbeda dengan sumber daya lain yang dimiliki oleh perusahaan, karena dengan pengetahuan perusahaan dapat memperoleh pengetahuan lain/baru dan 9 10 mengkombinasikan sumberdaya-sumberdaya lain untuk menghasilkan kemampuan baru (Kaplan et al. 2001). 2.2 Pengetahuan dan Kompetensi Di atas sudah dijelaskan makna hubungan antara informasi dengan pengetahuan, di mana informasi merupakan bahan baku untuk membangun pengetahuan. Selanjutnya akan dibahas makna pengetahuan ke arah penggunaannya, khusunya dalam dunia kerja, yaitu memahami hubungan antara pengetahuan dengan kompetensi kerja. Sveiby (1997) menyatakan bahwa memahami kompetensi kerja merupakan suatu cara untuk memahami pengetahuan dan hubungannya dengan dunia kerja. Kompetensi didefinisikan sebagai aspek penting dan menentukan kinerja karyawan. Sebagian besar karyawan akan menghasilkan kinerja efektif jika mereka memiliki pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang cukup baik dan dapat diaplikasikan secara bersamaan. Spencer dan Spencer (1993) mendefinisikan kompetensi sebagai karakter, sikap dan perilaku atau kemampuan individual yang relatif stabil ketika menghadapi suatu situasi di tempat kerja. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kompetensi seseorang terbentuk dari lima unsur, yaitu motif, karakter, konsep diri, pengetahuan dan keterampilan. Kompetensi itu sendiri dikelompokkan menjadi dua, yaitu kompetensi teknikal dan kompetensi perilaku. 2.3 Pengetahuan dan Keunggulan Bersaing Dua teori manajemen strategik yang memberikan sumbangan berarti pada pengembangan pemikiran pengetahuan sebagai sumber keunggulan bersaing, yaitu: (1) teori sumberdaya sebagai basis keunggulan bersaing dari Barney (1991) dan Wernerfelt (1984) yang diacu (Priem, 2001) serta (2) teori kompetensi inti sebagai basis keunggulan bersaing dari Hamel dan Prahalad (1994). Kedua teori tersebut secara bersama-sama telah berjasa mengkristalkan gagasan mengenai pengetahuan sebagai sumber keunggulan bersaing. . 11 Merujuk pada pandangan sumberdaya sebagai basis keunggulan bersaing, para penggagas pandangan pengetahuan sebagai basis keunggulan bersaing mengawali uraiannya atas dasar pemikiran bahwa pengetahuan merupakan sumberdaya yang paling strategik yang dimiliki oleh perusahaan (Kaplan et al., 2001). Dikemukakan pula bahwa pengetahuan tidak dapat diamati dan diukur secara langsung. Oleh sebab itu pengetahuan menjadi suatu konstruk yang keberadaannya dapat disimpulkan melalui kemampuan-kemampuan perusahaan di mana kemampuan ini dapat diamati. Dengan mendefinisikan pengetahuan sebagai kapasitas untuk bertindak, maka Kaplan et al. (2001) menyatakan bahwa: (1) pengetahuan bersama-sama dengan sumberdaya memberi perusahaan kemampuan; (2) adanya kemampuan merupakan prasyarat bagi tindakan potensial apapun; (3) pengamatan atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perusahaan menunjukkan adanya kemampuan dan (4) adanya kemampuan menunjukkan adanya pengetahuan (walaupun pengetahuan itu sendiri tidak dapat diamati secara langsung). Setelah memahami keunggulan bersaing berbasis pengetahuan, pada sub bab selanjutnya diuraikan perkembangan perspektif manajemen pengetahuan. Hal ini bertujuan memberikan latar belakang konsep dan teori yang mendukung pemahaman tentang manajemen pengetahuan. 2.4 Manajemen Pengetahuan Sampai beberapa waktu yang lalu, secara umum organisasi belum cukup memberi perhatian terhadap pengetahuan sebagai aset atau sumberdaya yang harus dikelola. Kajian Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management) telah mengubah kondisi tersebut dengan mendorong terciptanya seperangkat nilai baru dalam pengelolaan pengetahuan organisasi secara strategis. Manajemen Pengetahuan memberikan perspektif baru dari hanya mengendalikan sumber pengetahuan menjadi mengelola proses penciptaan pengetahuan melalui orang yang mengaplikasikan pengetahuannya dan menciptakan jaringan pengetahuan secara internal dan eksternal. Manajemen Pengetahuan mulai dikenal secara luas sekitar tahun 1990-an, namun konsep yang berkaitan dengan pengetahuan sebenarnya dapat ditelusuri sejak sekitar tahun 1960-an ketika mayoritas perusahaan telah memantapkan 11 12 keberadaan Divisi Riset dan Pengembangan untuk mengekplorasi dan investigasi ide-ide baru dan mengembangkan prototipe produk-produk baru (Paucar-Caceres & Pagano 2009). Perkembangan Manajemen Pengetahuan dapat dikelompokkan berdasarkan isu-isu penting yang disampaikan ilmuwan dalam rentang waktu tertentu (Tabel 1). Tabel 1 Perkembangan Manajemen Pengetahuan Rentang Tahun Sebelum 1986 Pendapat Penting Arti Penting Manajemen Pengetahuan 1. Pengetahuan berbeda dari informasi maupun data, hal ini sebagai dasar untuk mendukung keputusan manajemen. Adalah penting untuk memahami teknik untuk mengumpulkan informasi, namun yang lebih penting adalah mengetahui dengan pasti informasi yang dibutuhkan (Martin 1983). 2. Teknik Manajemen Pengetahuan, seperti Sistem Pakar dan Sistem berbasis Pengetahuan, perlu diintegrasikan dengan aplikasi lain dalam organisasi, seperti sistem pengambilan keputusan dan perencanaan (Donals 1985). 1986-1990 Manajemen Pengetahuan dalam Perspektif Teknologi 1. Perusahaan diklasifikasikan berdasarkan peran teknologi dalam pengambilan keputusan perusahaan. Perusahaan dikatakan grade tinggi jika memiliki teknologi pengetahuan dan mengakomodasi manajemen pengetahuan dalam strategi dan perencanaannya (Alain 1988). 2. Manajemen Pengetahuan diwujudkan dengan teknologi, antara lain basis data, katalog khusus dan e-mail (Cronin & Davenport 1990). 3. Teknologi Manajemen Pengetahuan mempengaruhi cara pengetahuan perusahaan digunakan, menghasilkan peningkatan kepuasan konsumen, penggunaan waktu yang lebih baik dan pengkayaan pekerjaan (Cronin & Davenport 1990). 4. Pada akhir tahuan 90-an, para ahli mulai mengemukakan kesulitan perusahaan untuk mengintegrasikan perangkat teknologi yang dimilikinya dengan aplikasi lain (Strapko 1990). 13 Lanjutan Tabel 1 Rentang Tahun 1991-1995 1996 – 1999 Pendapat Penting Integrasi Manajemen Pengetahuan, Teknologi dan Budaya 1. Dengan kemampuan organisasi memproduksi format data yang berbeda, seperti bitmap, ikon, teks, video untuk melengkapi alfanumerik, kebutuhan sistem manajemen pengetahuan makin meningkat untuk membedakan dengan format data dan informasi (Stonebraker & Kemnitz 1991). 2. Teknologi Manajemen Pengetahuan, sistem manajemen basis data dan teknologi komunikasi telah terintegrasi dengan berbagai model untuk tujuan yang berbeda (Ram et al. 1992). 3. Manajemen pengetahuan merupakan proses yang terusmenerus harus dilakukan oleh perusahaan, sehingga proses tersebut akan menjadi suatu budaya organisasi yang akan membentuk organisasi berbasis pengetahuan (Nonaka & Takeuchi 1995). Manajemen Pengetahuan dalam Perspektif Sosial Ekonomi 1. Aset intelektual diberi penghargaan yang makin luas dalam strategi Manajemen Pengetahuan, karena penghargaan yang luas terhadap aset intelektual merupakan kunci kesuksesan (Lioyd 1996; Mullin 1996). 2. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi membawa konsekuensi penting yang mendorong semakin dibutuhkannya Manajemen Pengetahuan bagi setiap organisasi bisnis untuk mempertahankan keunggulan bersaingnya. Perusahaan hendaknya mengelola informasi dalam tiga arena, yaitu sense making, knowledge creating dan decision making (Choo 1998). 3. Pada era ekonomi global, pengetahuan merupakan sumber keunggulan berkelanjutan. Kapital/aset intelektual berperan penting untuk mengkonversi pengetahuan menjadi profit (Davenport & Prusak 1998). 4. Pengetahuan sebagai sistem sosial dan merupakan intangible assets (Tuomi 1999). 13 14 Lanjutan Tabel 1 Rentang Tahun Pendapat Penting 2000 - 2008 Manajemen Pengetahuan dalam Konteks Strategi Organisasi 1. Manajamen Pengetahuan dapat dipandang sebagai proses penciptaan keunggulan bersaing berkelanjutan melalui inovasi (Meso & Smith 2000). 2. Keberhasilan implementasi Manajemen Pengetahuan sangat dipengaruhi proses organisasi dan faktor manusia yang mencapai 80 persen, sedangkan faktor teknologi hanya 20 persen (Probst et al. 2000). 3. Pengukuran kinerja manajemen pengetahuan dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu dengan kerangka kerja kinerja berbasis pendekatan balanced scorecard dan kerangka kerja perilaku yang mengidentifikasi level praktek individual (Gooijer 2000). 4. Ruang lingkup Manajemen Pengetahuan adalah proses mengumpulkan dan menyimpan pengetahuan individu menjadi pengetahuan organisasi dan memanfaatkannya untuk mencapai tujuan organisasi. (Weber & Kaplan 2003). 5. Strategi generik yang digunakan dalam strategi manajemen pengetahuan untuk meningkatkan kinerja organisasi, yaitu: strategi penciptaan pengetahuan (knowledge creation strategy) dan strategi kodifikasi (knowledge codification strategy). Strategi penciptaan pengetahuan fokus pada penyebaran pengetahuan tacit untuk menghasilkan inovasi, sedangkan strategi kodifikasi pengetahuan melibatkan pengetahuan yang dapat disimpan dalam basis data sehingga dapat diakses dan digunakan dengan mudah oleh siapa saja dalam organisasi. Penggunaan strategi ini menjadikan pengetahuan dapat disimpan dan digunakan kembali (AlHawari 2004). 6. Penciptaan pengetahuan adalah inti dari Manajemen Pengetahuan. Pengetahuan diciptakan melalui interaksi yang dinamis antara subyektifitas dan obyektivitas, serta merupakan sintesis pemikiran dan aksi individual yang saling berinteraksi dalam lingkup organisasi (Nonaka & Toyama 2005). 7. Terdapat hubungan yang signifikan antara tacit knowledge index suatu perusahaan dan kinerja inovasinya (Harlow 2008). 15 Arti penting Manajemen Pengetahuan ini semakin besar ketika lingkungan industri semakin dinamis, persaingan global semakin meningkat, perubahan teknologi dan teknologi informasi semakin cepat, serta tuntutan masyarakat yang semakin beragam dan cepat berubah. Secara garis besar dapat diungkapkan bahwa Manajemen menciptakan pengetahuan adalah pengetahuan usaha baru, mengumpulkan, menyebarkannya ke mengorganisasi, organisasi dan memanfaatkan pengetahuan tersebut dalam teknologi baru, produk baru dan manajemen baru. Hal ini akan mendukung pencapaian kinerja organisasi sehingga memiliki keunggulan bersaing. Choo (1998) mengungkapkan bahwa dalam kerangka Manajemen Pengetahuan, suatu organisasi bisnis hendaknya mengelola informasi dalam tiga arena, yaitu sense making, knowledge creating dan decision making. Sense making (pemaknaan) berkaitan dengan bagaimana organisasi menafsirkan informasi dalam rangka mengkonstruksi makna tentang apa yang terjadi dalam dan apa yang sedang dilakukan oleh organisasi. Knowledge creating (penciptaan pengetahuan) berkenaan dengan bagaimana organisasi mengembangkan pengetahuan, sedangkan decision making (pengambilan keputusan) merupakan aktivitas tentang bagaimana organisasi memproses dan menganalisis informasi guna memilih tindakan yang tepat. Dikemukakan lebih lanjut bahwa proses penciptaan pengetahuan merupakan inti Manajemen Pengetahuan yang mampu mendukung pencapaian kinerja organisasi sehingga memiliki keunggulan bersaing. Selanjutnya akan diuraikan mengenai konsep knowledge creation (penciptaan pengetahuan). 2.5 Konsep Penciptaan Pengetahuan Krogh et al. (2000) mengemukakan gagasan yang mendasari pengertian mengenai pengetahuan, yaitu: Pertama, pengetahuan merupakan kebenaran atas kepercayaan. Dalam definisi ini, pengetahuan merupakan konstruksi dari kenyataan, dibandingkan sesuatu yang benar secara abstrak. Penciptaan pengetahuan tidak hanya merupakan kompilasi dari fakta-fakta, namun suatu proses yang unik pada manusia yang sulit disederhanakan atau ditiru. Penciptaan pengetahuan melibatkan perasaan dan 15 16 sistem kepercayaan (belief systems) di mana perasaan atau sistem kepercayaan itu bisa tidak disadari. Kedua, pengetahuan merupakan sesuatu yang eksplisit sekaligus tacit. Beberapa pengetahuan dapat ditulis, dideskripsikan dalam bentuk kalimat-kalimat atau diekspresikan dalam bentuk gambar. Namun ada pula pengetahuan yang terkait erat dengan perasaan, ketrampilan dan bentuk bahasa tubuh, persepsi pribadi, pengalaman fisik, petunjuk-praktis (rule of thumb) dan intuisi. Pengetahuan tacit ini sulit sekali dijelaskan kepada orang lain. Walaupun gagasan mengenai pengetahuan tacit secara intuitif masuk akal bagi banyak orang, para manajer pendapat kesulitan dalam memahaminya di tingkat praktis. Mengenali nilai dari pengetahuan tacit dan memahami bagaimana menggunakannya merupakan tantangan utama perusahaan yang ingin terus menciptakan pengetahuan. Pengetahuan tacit nampak terlalu misterius untuk dapat digunakan dalam situasi bisnis, namun kualitas yang spesifik pada suatu konteks menjadikan pengetahuan tacit merupakan alat yang luar biasa untuk inovasi. Ketiga, penciptaan pengetahuan secara efektif bergantung pada konteks yang memungkinkan terjadinya penciptaan tersebut. Yang dimaksudkan dengan konteks yang memungkinkan terjadinya penciptaan pengetahuan adalah ruang bersama yang dapat memicu hubungan-hubungan yang muncul. Dalam konteks organisasional, dapat berupa fisik, maya, mental atau ketiganya. Definisi konteks ini berkaitan erat dengan dua hal yang telah disampaikan sebelumnya, yaitu pengetahuan bersifat dinamis, relasional dan berdasarkan tindakan manusia. Pengetahuan bergantung pada situasi dan keterlibatan orang, dibanding kebenaran absolut atau fakta belaka. 2.5.1 Konversi Pengetahuan Nonaka-Takeuchi: Model SECI Nonaka dan Takeuchi (1995) mendasarkan modelnya pada interaksi dinamis antara dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan eksplisit (explicit knowledge) dan pengetahuan tacit (tacit knowledge). Pengetahuan eksplisit dapat diekspresikan dalam kata-kata dan angka, oleh sebab itu dapat disebarkan dalam berbagai bentuk data, formula ilmiah, spesifikasi produk, manual dan sejenisnya. Pengetahuan jenis ini dapat segara ditularkan dari satu individu ke individu lain secara formal dan sistematis. Di sisi lain, pengetahuan tacit bersifat sangat pribadi 17 dan sulit diformalkan, sehingga sulit pula untuk dikomunikasikan dari satu pihak ke pihak lain. Pengetahuan tacit ini sulit diverbalkan karena berakar jauh di dalam tindakan dan pengalaman seseorang, seperti dalam idealisme, nilai-nilai dan emosi (Berman et al. 2002). Pengetahuan eksplisit dan pengetahuan tacit bersifat saling melengkapi atau komplementer, juga berperan sangat penting dalam proses penciptaan pengetahuan ( Krogh et al. 2000). Kedua jenis pengetahuan ini berinteraksi satu sama lain dan berubah dari satu jenis ke jenis lainnya secara dinamis (Boland et al. 2001). Interaksi dinamis antara satu bentuk pengetahuan ke bentuk lainnya disebut konversi pengetahuan. Nonaka dan Takeuchi (1995) mengemukakan bahwa konversi pengetahuan merupakan proses sosial antar individu dan tidak dibatasi dengan proses yang terjadi di dalam individu saja. Dengan memahami hubungan timbal balik antara pengetahuan eksplisit dan pengetahuan tacit, dapat dipahami proses penciptaan pengetahuan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa terdapat empat cara konversi pengetahuan, yaitu sosialisasi (socialization), eksternalisasi (externalization), kombinasi (combination) dan internalisasi (internalization). Keempat cara konversi pengetahuan ini sering disebut sebagai siklus SECI yang diuraikan sebagai berikut: 1. Sosialisasi merupakan istilah yang digunakan untuk menekankan pentingnya kegiatan bersama antara sumber pengetahuan dan penerima pengetahuan dalam proses konversi pengetahuan tacit. Karena pengetahuan tacit dipengaruhi oleh konteksnya dan sulit sekali diformalkan, maka untuk menyebarkan pengetahuan tacit dari satu individu ke individu lain dibutuhkan pengalaman yang terbentuk melalui kegiatan-kegiatan bersama, seperti berada bersama di satu tempat, menghabiskan waktu bersama atau hidup dalam lingkungan yang sama. 2. Eksternalisasi merujuk pada konversi pengetahuan tacit ke pengetahuan eksplisit. Melalui cara ini pengetahuan menjadi terkristalkan sehingga dapat didistribusikan ke pihak lain dan menjadi basis bagi pengetahuan baru. Dalam proses eksternalisasi, pengetahuan tacit diekspresikan dan diterjemahkan menjadi metafora, konsep, hipotesis, diagram, model atau prototipe sehingga 17 18 dapat dipahami oleh pihak lain. Walaupun demikian, seringkali ekspresi atau penerjemahan yang dilakukan kurang sesuai, tidak konsisten dan tidak lengkap. Perbedaan dan kesenjangan antara yang dibayangkan dengan yang diekspresikan tersebut justru akan dapat membantu merangsang individuindividu untuk saling berinteraksi dan merefleksikan antara pemahamannya dengan yang sebenarnya dimaksud pihak lain. 3. Kombinasi merujuk pada konversi pengetahuan eksplisit ke pengetahuan eksplisit. Dengan cara ini, pengetahuan dipertukarkan dan dikombinasikan melalui media seperti dokumen-dokumen, rapat-rapat, percakapan telepon dan komunikasi melalui jaringan komputer. Dalam prakteknya, kombinasi bergantung pada tiga proses, yaitu: (1) pengetahuan eksplisit dikumpulkan dari dalam dan dari luar perusahaan, kemudian dikombinasikan, (2) pengetahuan-pengetahuan eksplisit tersebut disebarkan keseluruh perusahaan melalui berbagai media, dan (3) pengetahuan eksplisit diproses atau diedit agar dapat lebih bermanfaat bagi perusahaan. 4. Internalisasi merujuk pada konversi pengetahuan eksplisit menjadi pengetahuan tacit. Cara ini mirip sekali dengan kegiatan yang disebut pembelajaran sambil melakukan atau learning by doing. Melalui internalisasi, pengetahuan yang sudah tercipta didistribusikan ke seluruh perusahaan. Internalisasi pengetahuan dimaksudkan untuk memperluas, memperdalam serta mengubah pengetahuan tacit yang dimiliki oleh setiap anggota perusahaan menjadi pengetahuan yang dimiliki perusahaan. Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995) pengetahuan eksplisit yang berhasil diinternalisasikan ke dalam pengetahuan tacit para individu dalam bentuk shared mental model maka pengetahuan ini akan menjadi aset yang sangat berharga bagi perusahaan. Di tingkat individu, pengetahuan tacit yang terakumulasi ini selanjutnya ditularkan ke individu lain melalui sosialisasi, sehingga spiral proses penciptaan pengetahuan pun terus berputar. Model SECI ini mendasarkan pada interaksi dinamis antara dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan eksplisit (explicit knowledge) dan pengetahuan tacit (tacit knowledge). Spiral proses penciptaan pengetahuan pun terus berputar diilustrasikan pada Gambar 1. 19 Tacit Tacit T a c i t Sosialisasi Eksternalisasi T a c i t Internalisasi Kombinasi Eksplisit E k s p l i s i t E k s p l i s i t Eksplisit Gambar 1 Konversi Pengetahuan Model SECI (Nonaka & Takeuchi 1995) 2.5.2 Model Penciptaan Pengetahuan dengan Pendekatan Input-ProsesOutput Model SECI yang dikemukakan Nonaka dan Takeuchi telah menjadikan proses penciptaan pengetahuan lebih mudah dipahami dan menjadi titik tolak bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang lebih mendetail. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam penelitian proses penciptaan pengetahuan di perusahaan adalah pendekatan input-proses-output yang dikembangkan Soo et al. (2002a). Pengembangan dan pengujian model penciptaan pengetahuan yang dikemukakan Soo et al. (2002a) meliputi tiga aspek, yaitu: 1. Sumber pengetahuan sebagai input, merupakan bagian proses penciptaan pengetahuan yang meliputi proses perolehan pengetahuan dari sumber lingkungan eksternal dan internal perusahaan 2. Penggunaan pengetahuan sebagai proses, merupakan bagian penciptaan pengetahuan yang menggambarkan kegiatan penggunaan pengetahuan untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan 3. Hasil sebagai output merupakan bagian dari proses penciptaan pengetahuan dalam bentuk inovasi-inovasi. 19 20 Penciptaan pengetahuan sangat ditentukan oleh akses pada informasi dan pengetahuan-pengetahuan bermanfaat yang berada di luar perusahaan. Hanya memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada kini di perusahaan (eksploitasi), seberapa pun baiknya pengetahuan-pengetahuan tersebut, tidak akan cukup untuk memberikan keunggulan bersaing (Nonaka & Takeuchi 1995). Perusahaan perlu memperluas batas-batas pengetahuannya dengan cara memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru yang berada di luar perusahaan (eksplorasi). Penelitian terdahulu yang dilakukan Boland et al. (2001) menunjukkan bahwa semakin besar jumlah informasi dan pengetahuan yang mengalir ke dalam perusahaan, semakin besar pula jumlah pengetahuan-pengetahuan baru yang diciptakan. Esensi dari penelitian tersebut adalah dibutuhkannya banyak kegiatan eksplorasi pengetahuan yang harus dilakukan perusahaan agar dapat meningkatkan jumlah pengetahuan-pengetahuan yang diciptakan. Lebih lanjut dikemukakan oleh Swan et al. (1999) bahwa pengetahuan tacit dan pengetahuan eksplisit dapat diserap oleh perusahaan melalui jejaring inovasi yang terdiri atas jejaring formal dan informal. Jejaring tersebut terbentuk sebagai tanggapan atas kebutuhan perusahaan akan pengetahuan. Jejaring yang dimaksudkan oleh Swan et al. (1999) adalah proses komunikasi sosial yang merangsang terjadinya pertukaran pengetahuan di antara komunitasnya. Jejaring formal dan informal dalam kajian Soo et al. (2002a) dijelaskan sebagai berikut: 1) Kolaborasi formal merupakan jejaring formal yang merujuk pada hubunganhubungan antara dua atau lebih perusahaan, di mana hubungan-hubungan tersebut diatur oleh suatu perjanjian formal. Kolaborasi formal, antara lain kerjasama untuk mengembangkan suatu produk baru, memasarkan suatu produk baru atau melakukan proyek-proyek pengembangan lainnya. Kolaborasi formal ini dapat berbentuk, antara lain aliansi strategik, joint ventures, lisensi dan lain sebagainya. 2) Interaksi-interaksi informal merupakan jejaring informal yang merujuk pada hubungan antar orang yang tidak diatur oleh suatu perjanjian formal. Jejaring informal ini meliputi pertemuan-pertemuan informal yang berhubungan atau bisa juga tidak berhubungan dengan kegiatan perusahaan. Interaksi-interaksi 21 yang sering disebut sebagai jejaring sosial ini dapat terjadi di acara pertemuan sosial, konferensi, seminar, rapat di tempat kerja atau melalui media komunikasi elektronik. 2.6 Aset Pengetahuan dan Proses Penciptaan Pengetahuan Menyadari bahwa model SECI yang dikemukakan tersebut meskipun cukup komprehensif namun dinilai terlalu umum untuk dapat dibuat desain implementasinya, maka Nonaka melengkapinya dengan konsep aset pengetahuan. Menurut Nonaka et al. (2000), aset pengetahuan adalah basis bagi proses penciptaan pengetahuan karena aset pengetahuan merupakan input dan output proses penciptaan pengetahuan. Seperti input dan output dalam ekonomi neoklasik, aset pengetahuan sering kali bersifat tanwujud, tacit dan dinamis. Aset pengetahuan didefinisikan sebagai sumber daya spesifik yang dimiliki perusahaan yang esensial untuk menciptakan keunggulan bersaing bagi perusahaan tersebut. Dengan demikian, aset pengetahuan merupakan elemen kunci yang memfasilitasi proses penciptaan pengetahuan. Untuk lebih memahami bagaimana aset pengetahuan diciptakan, diakuisisi dan dieksploitasi, Nonaka et al. (2000) mengelompokkan pengetahuan yang dimiliki perusahaan menjadi empat tipe, yaitu eksperiensial, konseptual, sistemik dan rutin dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Aset pengetahuan eksperiensial merupakan pengetahuan tacit yang dibangun melalui kebersamaan, pengalaman bersama dalam organisasi atau pengalaman bekerja sama di antara karyawan, pelanggan, pemasok atau organisasi afiliasi. Contohnya, keahlian dan keterampilan teknis yang diakuisisi dan diakumulasi individu anggota melalui pengalaman tertentu dalam konteks pekerjaan. Terdapat empat tipe aset pengetahuan eksperiensial, yaitu: (1) pengetahuan emosional (a.l. cinta, percaya dan peduli); (2) pengetahuan fisik (a.l. ekspresi wajah dan bahasa tubuh); (3) pengetahuan energetik (a.l. antusiasme, pemahaman tentang eksistensi dan ketegangan) dan (4) pengetahuan ritmik (a.l. improvisasi dan pengelanaan gagasan). 2. Aset pengetahuan konseptual adalah pengetahuan eksplisit yang diartikulasikan melalui pencitraan, simbol dan bahasa. Aset ini didasarkan pada persepsi pelanggan dan karyawan. Contohnya: ekuitas merek merupakan 21 22 representasi persepsi pelanggan, konsep atau desain yang sesuai dengan anggota organisasi. Aset konseptual biasanya mempunyai bentuk tanwujud dan lebih mudah diartikulasikan dibanding aset eksperiensial, tetapi masih sulit dipahami apa yang dirasakan olah pelanggan atau anggota organisasi. 3. Aset pengetahuan sistemik adalah pengetahuan eksplisit yang tersistemisasi dan terkemas, seperti teknologi yang dirumuskan eksplisit, spesifikasi produk, manual atau informasi terdokumentasi tentang pelanggan dan pemasok. Termasuk juga proteksi hak intelektual secara legal, seperti lisensi atau paten. 4. Aset pengetahuan rutin adalah pengetahuan tacit yang sudah rutin menyatu dan menjadi aturan dalam kegiatan atau praktek organisasi. Keterampilan, kegiatan rutin dan budaya organisasi yang dilakukan sehari-hari merupakan contohnya. Melalui praktek berkesinambungan, pola pikir atau tindakan tertentu dikuatkan dan dilakukan bersama oleh anggota organisasi. Nonaka et al. (2000) juga mengemukakan kerangka berpikir untuk mengidentifikasi hubungan antara aset pengetahuan dan penciptaan pengetahuan. Namun demikian, model tersebut hanya memberikan gambaran yang sangat umum dan tidak memberikan petunjuk yang konkrit untuk desain implementasi dalam organisasi. Dalam rangka membuat penciptaan pengetahuan lebih layak implementasi dan efektif, menjadi sangat penting untuk mengidentifikasi alat analisis yang memungkinkan, konteks atau proses yang mungkin mempengaruhi SECI. 2.7 Proses Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan Kaplan et al. (2001) mengemukakan bahwa pengetahuan tidak dapat diamati dan diukur secara langsung, oleh sebab itu cara yang logis untuk mengetahui adanya pengetahuan adalah mengamati atau mengukur tindakantindakan yang dilakukan oleh individu atau perusahaan secara keseluruhan. Merujuk pada pendapat tersebut, Soo et al. (2002a) menggunakan proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan sebagai suatu proses yang diamati untuk mengidentifikasi adanya penciptaan pengetahuan. Seperti dikemukakan Nonaka dan Takeuchi (1995) penciptaan pengetahuan dilakukan terutama ketika individu-individu berhadapan dengan situasi yang tidak sesuai dengan seharusnya atau situasi dimana harus dilakukan sesuatu yang tidak biasa 23 (rutin). Selanjutnya Krogh et al. (2000) menyampaikan bahwa penciptaan pengetahuan di perusahaan bergantung pada pengelolaan percakapan antara individu-individu dalam perusahaan yang bertujuan memecahkan suatu permasalahan. Bila percakapan atau interaksi antara individu hanya bertujuan untuk memastikan adanya pengetahuan maka yang terjadi adalah pengendalian terhadap kegiatan rutin. 2.8 Inovasi dan Proses Penciptaan Pengetahuan Proses penciptaan pengetahuan merupakan bagian yang penting dalam inovasi (Nonaka & Takeuchi 1995). Pembaharuan pengetahuan yang dimiliki perusahaan merupakan sumber inovasi. Swan et al. (1999) mengemukakan bahwa semakin tinggi aliran pengetahuan masuk ke dalam perusahaan, semakin besar pula output inovatif dari perusahaan tersebut. Oleh karena itu, Soo et al. (2000a) dalam modelnya menempatkan inovasi sebagai output dari proses penciptaan pengetahuan (Gambar 2). Pada model tersebut, pengujian hubungan antara output inovatif perusahaan dengan kinerja perusahaan merujuk pada penelitian Banbury dan Mitchel (1995) yang meyimpulkan bahwa inovasi produk secara inkremental mempengaruhi pangsa pasar perusahaan yang melakukannya. Di sisi lain, Chaney dan Devinney (1992) dan Geroski et al. (1993) menyatakan bahwa output inovatif mempengaruhi kinerja perusahaan dalam bentuk harga saham di pasar modal dan laba perusahaan. 23 24 Sumber pengetahuan organisasi Efek perusahaan Efek industri Kapabilitas Pemecahan masalah Akuisisi pengetahuan Pengetahuan baru Daya serap Gambar 2 Model Penciptaan Pengetahuan dalam Perusahaan (Soo et al. 2002a) Inovasi Kinerja Finansial 25 2.9 Daya Serap Perusahaan Cohen dan Levinthal (1990) yang diacu Soo et al. (2002a) mendefinisikan daya serap perusahaan sebagai kemampuan perusahaan untuk menghargai nilai kebaruan dari informasi eksternal dan mengasimilasikannya serta mengaplikasikan untuk tujuan-tujuan komersialnya. Dikemukakan pula bahwa perusahaan dengan investasi riset dan pengembangan yang besar mempunyai kemampuan untuk menyerap pengetahuan dan ketrampilan baru yang lebih tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan konsep daya serap perusahaan ini dengan peran akuisisi pengetahuan dan pembelajaran. Mowery et al. (1996) diacu Soo et al. (2002a) menghubungkan tingkat daya serap perusahaan dengan kemampuan mencari dan memanfaatkan pengetahuan baru. Penelitian lain yang dilakukan Pennings dan Harianto (1992) yang diacu Soo et al. (2002a), menghubungkan daya serap perusahaan dengan kemampuan perusahaan untuk belajar dan memanfaatkan pengetahuan baru. Dikemukakan bahwa perusahaan yang mengakumulasikan pengalaman sebelumnya pada bidang teknologi tertentu akan meningkatkan kemampuan untuk mengadopsi teknologi baru di bidang tersebut. Selengkapnya model penciptaan pengetahuan yang dikemukakan Soo et al. (2002a) disajikan pada Gambar 2. 2.10 Strategi dan Penciptaan Pengetahuan Meskipun telah menjadi aksioma dalam dunia bisnis bahwa pengetahuan merupakan sumber keunggulan kompetitif, tetapi tidak semua pengetahuan bernilai strategis. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi penentu kebijakan untuk menggunakan kerangka pikir yang realistis untuk menilai peran pengetahuan dalam kaitannya dengan strategi perusahaan (Krogh et al. 2000). Secara umum, tujuan akhir mengkaitkan pengetahuan dengan semua aktivitas perusahaan adalah untuk memastikan bahwa profitabilitas perusahaan di atas ratarata profitabilitas industri baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Namun demikian, manajemen puncak jarang fokus pada peran strategis pengetahuan. Untuk itu diperlukan kerangka pikir peran strategis pengetahuan dikaitkan dengan proses pengetahuan (Tabel 2). 25 26 Tabel 2 Kerangka Pikir Strategi Keunggulan Bersaing Berbasis Pengetahuan Strategi Keunggulan bersaing Sumber Keunggulan Bersaing Peran Pengetahuan Proses Pengetahuan Hasil Bertahan Profitabilitas saat ini Kompetitor tidak dapat mengimplementasikan Tidak bisa ditiru Skala ekonomi Lingkup ekonomi Diferensiasi produk/jasa Bernilai, sulit ditiru, sulit disubstitusi Kemampuan transfer lebih penting dari isi Transfer pengetahuan Perbaikan terusmenerus Profitabilitas lebih tinggi dari rataan industri Pengembangan Profitabilitas mendatang Kompetitor tidak dapat mengimplem entasikan Tidak bisa ditiru Potensi skala ekonomi Potensi lingkup ekonomi Potensi diferensiasi produk/jasa Pengetahuan baru untuk inovasi produk/ proses Pengetahuan baru yang dapat ditransferkan Penciptaa n pengetehuan Inovasi radikal Profitabilitas mendata ng lebih tinggi dari rataan industri Sumber: Krogh et al. (2000) Terdapat dua tipe strategi yang ditawarkan, yaitu strategi bertahan dan strategi ekspansi (Krogh et al. 2000). Strategi bertahan dimaksudkan untuk mengamankan profitabilitas perusahaan saat ini. Strategi tipe ini memanfaatkan kekuatan dan meminimalkan kelemahan dalam sumberdaya dan pengetahuan yang dimiliki perusahaan. Tujuannya adalah memperoleh keunggulan peluang bisnis yang ada dan menetralkan ancaman lingkungan. Apabila memilih strategi bertahan, pihak manajemen perlu memperhitungkan dengan cermat lingkungan bisnis yang dimaksud. Strategi bertahan juga membuat tidak menarik pendatang baru potensial untuk masuk melalui efek pengalaman dan lingkup ekonomi serta persiapan perusahaan akan kemungkinan adanya produk substitusi (Porter 1990). 2.11 Konsep Balanced Scorecard Konsep Balanced Scorecard (BSC) pertama kali dikenalkan oleh Kaplan dan Norton (1992) dalam sebuah artikel di majalah Harvard Business Review yang berjudul ”The Balanced scorecard-Measures That Drive Performance”. Konsep BSC ini telah berkembang pesat, sehingga Kaplan dan Norton pada tahun 1996 merevisi BSC yang telah mereka bangun dengan menerbitkan buku yang berjudul ”Balanced Scorecard; Translating strategy into Action”. Pada buku ini 27 penulis mulai menggunakan istilah Strategy Map (Peta Strategi). Peta Strategi ini kemudian dijelaskan secara lebih terperinci dalam buku ketiganya yang berjudul ” Strategy Map; Converting Intangible Assets into Tangible Outcomes” yang terbit pada Tahun 2004. Balanced Scorecard didefinisikan sebagai suatu alat manajemen kinerja yang dapat membantu organisasi untuk menerjemahkan visi dan strategi ke dalam aksi dengan memanfaatkan sekumpulan indikator finansial dan non-finansial yang kesemuanya terjalin dalam suatu hubungan sebab akibat (Kaplan & Norton 1996). Dari definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa BSC sangat berperan sebagai penerjemah atau pengubah visi dan strategi organisasi menjadi aksi. Karena itu, BSC tidak berhenti pada saat strategi selesai dibangun, tetapi terus memonitor proses eksekusinya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pengukuran kinerja organisasi yang hanya bertumpu pada aspek keuangan tidak akan cukup memberikan informasi yang mendalam bagi pengambil keputusan organisasi. Hal ini disebabkan kinerja keuangan cenderung mengukur tangible factors sehingga bersifat jangka pendek. Faktor berwujud ini pada dasarnya adalah atau lagging indicator (faktor akibat) dan bukan leading indicator (faktor penyebab). Padahal ukuran terhadap intangible factors, seperti pengetahuan organisasi, kepuasan karyawan, kepuasan pelanggan, brand name dan lain-lain justru yang menjadi faktor penyebab (leading indicator) kinerja organisasi pada jangka panjang. Keunggulan BSC dibanding konsep perencanaan strategi lainnya adalah, bahwa BSC dapat menjaga keseimbangan di antara indikator-indikator tersebut di atas. Lebih lanjut dikemukakan bahwa perspektif BSC berisi serangkaian tujuan dan ukuran yang saling berkaitan, konsisten dan saling mendukung yang diturunkan dari visi dan strategi- strategi yang relevan di tiap-tiap bagian dalam empat perspektif. Keempat perspektif tersebut adalah: Financial Perspective (Perspektif Keuangan), Customer Perspective (Perspektif Pelanggan), Internal Business Process Perspective (Perspektif Proses Bisnis Internal) dan Learning and Growth Perspective (Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan). 27 28 2.11.1 Perspektif dalam Balanced Scorecard 1) Perspektif Keuangan Secara tradisional, laporan keuangan merupakan indikator historis-agregatif yang merefleksikan akibat dari implementasi dan eksekusi strategi dalam satu periode. Pengukuran kinerja keuangan akan menunjukkan apakah perencanaan dan pelaksanaan strategi memberikan perbaikan yang mendasar bagi keuntungan perusahaan. Perbaikan-perbaikan ini tercermin dalam sasaran-sasaran yang secara khusus berhubungan dengan keuntungan yang terukur, pertumbuhan usaha, dan nilai pemegang saham. Pengukuran kinerja keuangan mempertimbangkan adanya tahapan dari siklus kehidupan bisnis, yaitu: growth, sustain, dan harvest (Kaplan & Norton 1996). Tiap tahapan memiliki sasaran yang berbeda, sehingga penekanan pengukurannyapun berbeda pula, yaitu: a) Growth adalah tahapan awal siklus kehidupan perusahaan di mana perusahaan memiliki produk atau jasa yang secara signifikan memiliki potensi pertumbuhan terbaik. Di sini, manajemen terikat dengan komitmen untuk mengembangkan suatu produk atau jasa baru, membangun dan mengambangkan suatu produk/jasa dan fasilitas produksi, menambah kemampuan operasi, mengembangkan sistem, infrastruktur, dan jaringan distribusi yang akan mendukung hubungan global, serta membina dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan. Dalam tahap pertumbuhan, perusahaan biasanya beroperasi dengan arus kas yang negatif dengan tingkat pengembalian modal yang rendah. Dengan demikian, tolok ukur kinerja yang cocok dalam tahap ini adalah, misalnya, tingkat pertumbuhan pendapatan atau penjualan dalam segmen pasar yang telah ditargetkan. b) Sustain adalah tahapan kedua saat perusahaan masih melakukan investasi dan reinvestasi dengan mengisyaratkan tingkat pengembalian terbaik. Pada tahap ini, perusahaan mencoba mempertahankan pangsa pasar yang ada, bahkan mengembangkannya, jika memungkinkan. Investasi yang dilakukan umumnya diarahkan untuk menghilangkan bottleneck, mengembangkan kapasitas, dan meningkatkan perbaikan operasional secara konsisten. Sasaran keuangan pada tahap ini diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian investasi yang dilakukan. Tolok ukur yang digunakan pada tahap ini, ROI, ROCE, dan EVA. 29 c) Harvest adalah tahapan ketiga di mana perusahaan benar-benar memanen/menuai hasil investasi di tahap-tahap sebelumnnya. Tidak ada lagi investasi besar, baik ekspansi maupun pembangunan kemampuan baru, kecuali pengeluaran untuk pemeliharaan dan perbaikan fasilitas. Sasaran keuangan utama dalam tahap ini, sehingga diambil sebagai tolok ukur, adalah memaksimumkan arus kas masuk dan pengurangan modal kerja. 2) Perspektif Pelanggan Filosofi manajemen terkini telah menunjukkan peningkatan pengakuan atas pentingnya customer focus dan customer satisfaction. Perspektif ini merupakan leading indicator. Jadi, jika pelanggan tidak puas mereka akan mencari produsen lain yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kinerja yang buruk dari perspektif akan menurunkan jumlah pelanggan di masa depan meskipun saat ini kinerja keuangan terlihat baik. Perspektif pelanggan memiliki dua kelompok pengukuran, yaitu: customer core measurement dan customer value propositions. a) Customer Core Measurement Customer core measurement memiliki beberapa komponen pengukuran, yaitu: market share, customer retention customer acquisition, customer satisfaction, dan customer profitability b) Customer value proposition Customer value proposition merupakan pemicu kinerja yang terdapat pada core value proposition yang didasarkan pada atribut sebagai berikut: product/service attributes, customer relationship, dan image and relationship. 3) Perspektif Proses Bisnis Internal Analisis proses bisnis internal perusahaan dilakukan dengan menggunakan analisis value-chain. Di sini, manajemen mengidentifikasi proses internal bisnis yang kritis yang harus diunggulkan perusahaan. Scorecard dalam perspektif ini memungkinkan manajer untuk mengetahui seberapa baik bisnis mereka berjalan dan apakah produk dan atau jasa mereka sesuai dengan spesifikasi pelanggan. Perspektif ini harus didesain dengan hati-hati oleh mereka yang paling mengetahui misi perusahaan yang mungkin tidak dapat dilakukan oleh konsultan luar. 29 30 Perbedaan perspektif bisnis internal antara pendekatan tradisional dan pendekatan BSC, adalah: 1) Pendekatan tradisional berusaha untuk mengawasi dan memperbaiki proses bisnis yang sudah ada sekarang. Sebaliknya, BSC melakukan pendekatan atau berusaha untuk mengenali semua proses yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan strategi perusahaan, meskipun proses-proses tersebut belum dilaksanakan. 2) Dalam pendekatan tradisional, sistem pengukuran kinerja hanya dipusatkan pada bagaimana cara menyampaikan barang atau jasa, sedangkan dalam pendekatan BSC, proses inovasi dimasukkan dalam perspektif proses bisnis internal. Aktivitas penciptaan nilai perusahaan, terangkai dalam suatu rantai nilai yang dimulai dari proses perolehan bahan baku sampai penyampaian produk jadi ke konsumen (Shank & Govindarajan 1995). Aktivitas penciptaan nilai di atas diistilahkan sebagai proses bisnis internal. Kaplan dan Norton (1996) membagi proses bisnis internal ke dalam: inovasi, operasi, dan layanan purna jual. Selanjutnya, pengukuran kinerja dalam perspektif ini berpedoman pada prosesproses di atas, yaitu: a) Proses Inovasi. Dalam proses ini, unit bisnis menggali pemahaman tentang kebutuhan laten dari pelanggan dan menciptakan produk dan jasa yang mereka butuhkan. Proses inovasi dalam perusahaan biasanya dilakukan oleh bagian R & D sehingga setiap keputusan pengeluaran suatu produk ke pasar telah memenuhi syarat-syarat pemasaran dan dapat dikomersialkan (didasarkan pada kebutuhan pasar). Aktivitas R & D ini merupakan aktivitas penting dalam menunjang kesuksesan perusahaan, terutama, untuk jangka panjang. b) Proses Operasi. Proses Operasi adalah proses untuk membuat dan menyampaikan produk/jasa. Aktivitas di dalam proses operasi terbagi ke dalam dua bagian: 1) proses pembuatan produk dan 2) proses penyampaian produk kepada pelanggan. Pengukuran kinerja yang terkait dalam proses operasi dikelompokkan pada: waktu, kualitas, dan biaya. 31 c) Proses Pelayanan Purna Jual. Proses ini merupakan jasa pelayanan pada pelanggan setelah penjualan produk/jasa tersebut dilakukan. Aktivitas yang terjadi dalam tahapan ini, misalnya, penanganan garansi dan perbaikan penanganan atas barang rusak dan yang dikembalikan serta pemrosesan pembayaran pelanggan. Perusahaan dapat mengukur apakah upayanya dalam pelayanan purna jual ini telah memenuhi harapan pelanggan, dengan menggunakan tolok ukur yang bersifat kualitas, biaya, dan waktu seperti yang dilakukan dalam proses operasi. 4) Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Proses pembelajaran dan pertumbuhan ini bersumber dari faktor sumber daya manusia, sistem, dan prosedur organisasi, termasuk dalam perspektif ini adalah pelatihan karyawan dan budaya perusahaan yang berhubungan dengan perbaikan individu dan organisasi. Dalam organisasi knowledge-worker, manusia adalah sumber daya utama. Dalam berbagai kasus, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan merupakan fondasi keberhasilan bagi knowledge-worker organization dengan tetap memperhatikan faktor sistem dan organisasi. Hasil dari pengukuran ketiga perspektif sebelumnya biasanya akan menunjukkan kesenjangan yang besar antara kemampuan orang, sistem, dan prosedur yang ada saat ini dengan yang dibutuhkan untuk mencapai kinerja yang diinginkan. Itulah mengapa, perusahaan harus melakukan investasi di ketiga faktor tersebut untuk mendorong perusahaan menjadi sebuah organisasi pembelajar (learning organization). Menurut Kaplan dan Norton (2004) “learning” lebih dari sekedar “training” karena pembelajaran meliputi pula proses “mentoring dan tutoring”, seperti kemudahan dalam komunikasi di segenap karyawan yang memungkinkan mereka untuk siap membantu jika dibutuhkan. Dalam perspektif ini, organisasi melihat tolok ukur yang dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 31 32 1) Employee capabilities. Tidak ada yang lebih baik bagi transformasi revolusioner dari pemikiran era industrial ke era informasi selain filosofi manajemen baru, yaitu bagaimana para karyawan menyumbangkan segenap kemampuannya untuk organisasi. Untuk itu, perencanaan dan upaya implementasi reskilling karyawan yang menjamin kecerdasan dan kreativitasnya dapat dimobilisasi untuk mencapai tujuan organisasi. 2) Information system capabilities. Bagaimanapun juga, meski motivasi dan keahlian karyawan telah mendukung pencapaian tujuan-tujuan perusahaan, masih diperlukan informasi-informasi yang terbaik. Dengan kemampuan sistem informasi yang memadai, kebutuhan seluruh tingkatan manajemen dan karyawan atas informasi yang akurat dan tepat waktu dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya. 3) Motivation, empowerment, and alignment. Paradigma manajemen terbaru menjelaskan bahwa proses pembelajaran sangat penting bagi karyawan untuk melakukan trial and error sehingga turbulensi lingkungan samasama dicoba-dikenali tidak saja oleh jenjang manajemen strategis tetapi juga oleh segenap karyawan di dalam organisasi sesuai kompetensinya. 2.9.2 Knowledge Management Balanced Scorecard Knowledge Management Balanced Scorecard merupakan konsep pengukuran kinerja organisasi berbasis pengetahuan dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard (Tiwana 2000), selanjutnya disebut Knowledge Management Scorecard (KM-Scorecard). Konsep KM-Scorecard ini dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak penerapan suatu sistem manajemen pengetahuan dengan empat kriteria proses yang komplementer, yaitu: 1) Terjemahkan visi manajemen pengetahuan. Pada tahap ini, manajer perlu mencari konsensus untuk menjawab pertanyaan mengapa pengetahuan perlu dikelola dan apa visi organisasi terkait investasi manajemen pengetahuan. Visi tersebut dibutuhkan untuk diterjemahkan ke dalam tujuan dan sasaran yang konkrit sebelum sejumlah aktivitas dapat diukur. 2) Komunikasikan dan kaitkan. Pada tahap ini dapat diukur seberapa baik karyawan telah dilatih untuk menggunakan sistem manajemen pengetahuan 33 sebagai bagian dari pekerjaan. Dapat pula diukur seberapa efektif sistem imbalan dikaitkan dengan pemanfaatan dan kontribusi pengetahuan. 3) Lakukan pengendalian. Tahap ini merupakan bagian dari strategi BSC untuk menentukan seberapa tepat ukuran-ukuran metrik yang dipilih, tujuan, target dan alokasi sumber daya dikaitkan dengan ide-ide awal yang dipertimbangkan untuk penerapan sistem manajemen pengetahuan. 4) Menggabungkan pembelajaran dan umpan balik. Pada tahap ini, dilakukan evaluasi tujuan, target dan ukuran metrik yang telah dipilih untuk sistem manajemen pengetahuan yang dirancang, kemudian dianalisa kemampuan kerjanya. Keempat proses dalam pendekatan KM-Scorecard tersebut yang diilustrasikan pada Gambar 3. Terjemahkan visi Manajemen Pengetahuan (MP) Mengapa organisasi mengelola pengetahuan? Apa visi organisasi terhadap KM? Dapatkan konsensus Pembelajaran dan Umpan balik Komunikasikan dan Kaitkan Sudahkah ide-ide tersampaikan? Didik karyawan Kaitkan imbalan dengan pemanfaatan & kontribusi pengetahuan KM-SC Apakah dapat dijalankan? Apakah terlihat hasilnya? Apa yang dapat dilakukan lebih baik? Tinjau ulang strategi MP Perencanaan Bisnis Tentukan tujuan Tentukan ukuran Tentukan imbalan Alokasikan waktu & uang Buat patokan Penghargaan terhadap kinerja dan kontribusi aset pengetahuan Gambar 3 The Knowledge Management Balanced Scorecard (Tiwana 2000) Keunggulan KM-Scorecard dibanding pendekatan lain adalah mampu menghasilkan rencana strategik penerapan manajemen pengetahuan yang memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) Mampu memberikan potret kesehatan intelektual organisasi setiap saat diperlukan dan pada setiap poin/kriteria. 33 34 2) Terpadunya relasi cause-effect sehingga dapat mengarahkan strategi manajemen pengetahuan dengan lebih tepat. 3) Memiliki kapabilitas untuk mengkaitkan tujuan-tujuan individual dengan keseluruhan strategi pengetahuan organisasi. 4) Mampu mengukur sasaran dari kontribusi pengetahuan sebagai sumber daya tanwujud (intangible sources) bagi keunggulan kompetitif, seperti kepuasan pelanggan, keterampilan dan kompetensi karyawan. Namun demikian, KM-Scorecard memiliki keterbatasan dalam penerapannya karena lebih sulit dalam merancangnya. Di samping itu, model KMScorecard suatu organisasi jarang sekali bisa langsung diadopsi oleh organisasi lain karena seringkali terdapat perbedaan-perbedaan yang tajam meskipun di antara organisasi sejenis. 2.12 Tinjauan Penelitian Terdahulu yang Relevan Tahun 1990-an merupakan kurun waktu penting dalam perkembangan Manajemen Pengetahuan. Pada kurun waktu tersebut banyak ilmuwan mengemukakan konsep-konsep baru yang penting bagi pengembangan Manajemen Pengetahuan sebagai ilmu. Kurun waktu berikutnya para ilmuwan berusaha menguji konsep-konsep tersebut dengan penelitian empiris di berbagai wilayah. Salah satu konsep yang lahir di era 1990-an yang banyak dijadikan landasan dalam kajian tentang penciptaan pengetahuan organisasi adalah konsep yang dikemukakan Nonaka dan Takeuchi (1995) melalui bukunya The Knowledge Creating Company: How Japanese Companies Create the Dynamic of Innovation. mengemukakan bahwa penciptaan pengetahuan organisasi membutuhkan interaksi yang dinamis dan intensif serta membutuhkan bnayak tenaga dari para anggota tim. Keahlian dalam penciptaan pengetahuan organisasi ini menurut Nonaka dan Takeuchi merupakan kunci dari keberhasilan perusahaan-perusahaan Jepang. Pada buku ini Nonaka dan Takeuchi menggunakan pengetahuan sebagai unit analisisnya dalam menjelaskan perilaku organisasi perusahaan. Kajian ini juga berangkat dari keyakinan bahwa organisasi bisnis tidak hanya memproses pengetahuan tetapi sekaligus juga menciptakannya. Menurut kedua ahli ini penciptaan pengetahuan terjadi dalam tiga tingkatan, yakni individu , kelompok 35 dan organisasi. Studi ini bertujuan merumuskan model generik dari penciptaan pengetahuan organisasi. Kajian ini ditulis setelah keduanya bertahun-tahun melakukan penyelidikan secara mendalam terhadap perusahaan-perusahaan Jepang. Pada kurun waktu berikutnya, Soo et al (2002b) melakukan studi empirik mengenai proses penciptaan pengetahuan di dalam organisasi. Kelompok peneliti ini menguji model melalui kajian yang bersifat komprehensif tentang penciptaan pengetahuan organisasi dan dampaknya terhadap inovasi dengan melakukan eksplorasi untuk menemukan variabel-variabel yang berperan penting dalam penciptaan pengetahuan. Studi ini dilakukan terhadap 317 perusahaan manufaktur dan empat sektor industri jasa, dimana satu perusahaan diwakili satu responden yakni para pemimpin perusahaan dan data dianalisis dengan Partial Least Square (PLS). Meskipun studinya dilakukan di industri berbeda secara bersamaan namun tidak dijelaskan disini apakah masing-masing industri tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Temuan penting dari studi tersebut adalah, adanya konsisten dengan proposisi Nonaka dan Takeuchi (1995) bahwa integrasi antara pengetahuan yang telah ada di dalam organisasi merupakan kunci penting bagi inovasi dan kinerja organisasi. Penelitian serupa dengan kajian Soo et al (2002b) dilakukan Susatyo-Munir (2004) terhadap perusahaan kosmetika modern di Indonesia (Full Manufacturing). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa variabel pengetahuan baru mempunyai pengaruh langsung dan positif pada keluaran inovasi perusahaan. Penelitian ini merupakan konfimasi model yang telah dikembangkan oleh Soo et al (2002b). Dan menghasilkan temuan, struktur model penciptaan pengetahuan perusahaanperusahaan kosmetik di Indonesia berbeda dengan struktur model yang dikembangkan Soo et al (2002b). Perbedaan tersebut dikarenakan jenis industri dan serta instrumen yang digunakan. Selanjutnya, penelusuran pustaka lebih lanjut untuk dapat mengetahui state-of-the art ilmu Manajemen Pengetahuan khususnya proses penciptaan pengetahuan dan inovasi disarikan pada Tabel 3. 35 36 Tabel 3 Penelitian Terdahulu yang Relevan Pengarang No Tahun 1 1999 Sukmawati A 2 2001 Canny A 3 2002 Traill WB & Meulenberg M 4 2002b Soo et al. 5 2004 Chou SW & He MY 6 2004 Al-Hawari M. 7 2005 Indarti N & van Geenhuizen M 8 2005 Irsan I Kesimpulan Industri pengolahan susu di Indonesia berada pada tahap factor driven yang merupakan tahap awal pembangunan suatu industri dengan determinan industri terkait dan industri pendukung berupa industri pemasok bahan baku utama merupakan titik kritis bagi keunggulan kompetitifnya. Prioritas strategi dan program pengembangan agroindustri susu berbasis usaha lepas panen susu adalah mengembangkan usaha industri pengolahan susu tingkat pedesaan dan merintis jaringan kemitraan usaha untuk diversifikasi produk susu. Inovasi yang dihasilkan perusahaanperusahaan industri pangan di Eropa berbeda tergantung kepada pemilihan orientasi dominan inovasinya, yaitu produk, proses atau pasar. Penciptaan pengetahuan baru lebih dipengaruhi oleh jejaring informal dan daya serap individual dengan skenario pemecahan masalah pada tingkat konsensus. Aset pengetahuan merupakan faktor kunci yang memfasilitasi proses penciptaan pengetahuan. Aset pengetahuan konseptual mempunyai pengaruh paling nyata terhadap proses penciptaan pengetahuan, sedangkan aset sistemik memberikan pengaruh paling kecil. Model K-space memberikan basis pengetahuan baru dalam konseptualisasi proses penciptaan pengetahuan dalam organisasi. Gaya manajemen pengetahuan berkontribusi positif terhadap kodifikasi dan ketersediaan pengetahuan. Sumber pengetahuan paling penting yang mendorong inovasi pada industri kecil mebel di Indonesia adalah learning-by-doing dan pembeli. Transfer pengetahuan masih dilakukan secara informal. Faktor mobilisasi penggerak pengetahuan, dalam hal ini dipegang direksi, merupakan faktor yang paling mendukung proses penciptaan pengetahuan. 37 Dari sisi objek penelitian, hasil penelitian terdahulu mengenai posisi Industri Pengolahan Susu (IPS) di Indonesia menyimpulkan bahwa IPS berada pada tahap sumber daya (factor driven) sebagai pendorong keunggulan yang merupakan tahap awal pembangunan suatu industri. Hal ini berarti bahwa keunggulan bersaingnya masih berbasis sumber daya dasar, antara lain ketersediaan sumber daya alam dan tenaga kerja. Industri pada tahap ini dicirikan dengan teknologi proses yang murah dan tersedia secara luas. Biasanya teknologi berasal dari negara lain dan transfer teknologi dilakukan melalui investasi langsung, imitasi atau akuisisi. Hal ini sejalan dengan kondisi faktual, selama ini IPS dikembangkan sebagai industri substitusi impor, bukan industri yang tumbuh dari keunggulan sumber daya lokal maupun keunggulan teknologi (Sukmawati 1999). Diperlukan penelitian selanjutnya untuk mengidentifikasi basis keunggulan bersaing lainnya yang harus dikembangkan oleh IPS agar mampu bergeser pada tahap keunggulan kompetitif berikutnya (Gambar 4). IPS Gambar 4 Investasi Inovasi Tahapan Pembangunan Keunggulan Kompetitif 1999) Kekayaan IPS (Sukmawati Identifikasi terhadap tingkat kepentingan determinan-determinan yang merupakan determinan penting dalam upaya meningkatkan keunggulan bersaing IPS menggunakan model berlian keunggulan bersaing (Porter’s Diamond Model) menunjukkan bahwa determinan sumber daya menempati urutan pertama. Determinan industri pendukung dan industri terkait mempunyai tingkat kepentingan kedua dengan keunggulan kompetitif industri pemasok bahan baku utama menjadi faktor terpenting dalam determinan ini. Urutan ketiga tingkat kepentingan untuk ditingkatkan adalah determinan strategi perusahaan, struktur dan persaingan dengan faktor terpenting dalam determinan ini adalah kemauan dan kemampuan perusahaan bersaing di pasar global. Selengkapnya hasil penelitian tersebut diilustrasikan pada Gambar 5. 37 38 KESEMPATAN (kurang penting) STRATEGI, STRUKTUR, DAN PERSAINGAN (penting) PERMINTAAN (kurang penting) SUMBERDAYA (sangat penting) INDUSTRI PENDUKUNG & TERKAIT (sangat penting) PEMERINTAH (kurang penting) Gambar 5 Model Berlian Keunggulan Bersaing IPS di Indonesia (Sukmawati 1999) Penelitian Canny (2001) menghasilkan identifikasi faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pengembangan agroindustri susu berbasis usaha lepas panen susu. Faktor-faktor internal yang berhasil diidentifkasi adalah: budaya usaha dan nilai-nilai kepercayaan peternak, pembinaan oleh usaha lepas panen susu kepada peternak, dukungan pemerintah, potensi integrasi vertikal dalam membangun aliansi strategis, potensi pengembangan menuju industri hilir, produktivitas dan kualitas susu segar dalam negeri (SSDN). Idenfitikasi faktor-faktor eksternal adalah potensi pasar, globalisasi perdagangan, persaingan dengan bahan baku susu impor (BBSI), kebijakan negara asal BBSI, resiko terhadap fluktuasi nilai tukar dan perubahan geopolitik dalam negeri. Identifikasi faktor penting yang mempengaruhi sistem pengembangan agroindustri susu, antara lain adalah potensi pengembangan industri hilir dan kemampuan manajemen serta sumberdaya manusia (Canny 2001). Salah satu temuannya mengenai solusi pengembangan agroindustri susu dalam negeri adalah peningkatan proporsi susu olahan dengan salah satu programnya adalah diversifikasi produk. Disarankan pula perlunya kajian lebih lanjut terhadap 39 variabel sosial sehingga dapat memberikan manfaat sosial yang seharusnya diterima peternak sapi perah mengingat 90 persen produsen SSDN adalah peternakan rakyat. Rekomendasi kedua penelitian tersebut yang menjadi pertimbangan pemilihan koperasi susu sebagai sebagai obyek penelitian untuk menghasilkan model penciptaan pengetahuan yang tepat dalam rangka mendorong inovasi. 2.13 Posisi Penelitian dalam Konteks Manajemen Pengetahuan Secara konseptual, terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan sebagai dasar pengelompokan dalam disiplin Manajemen Pengetahuan, yaitu intelijen orgaisasional, pengembangan organisasional dan pemrosesan informasi organisasional (Tuomi 1999). Masing-masing kelompok mempunyai arah dan tradisi penelitian yang berbeda. Intelijen organisasional merupakan kelompok penelitian yang fokus pada mekanisme pengembangan kognitif dan belajar. Dalam konteks teori organisasi dan praktek, inteligen merupakan upaya organisasi untuk memperkuat mekanisame pencarian dan pengkajian informasi untuk memberi makna terhadap permasalahan yang dihadapinya (Tuomi 1999). Perspektif ini banyak digunakan dalam pembahasan isu-isu intelijen bisnis, kognitif (pemberian makna), memori organisasi dan organisasi pembelajar. Terkait dengan topik penelitian organisasi pembelajar, Tuomi (1999) membagi lagi menjadi empat pendekatan utama yang masing-masing dimotori oleh: (1) Nonaka dan Takeuchi (1995) yang menekankan pentingnya pemahaman akan proses transformasi pengetahuan dari pengembangan ide-ide (pengetahuan tacit) menjadi rancangan kerja baru sebagai pengetahuan eksplisit; (2) Senge (1990) dan Espejo (1996) yang menekankan pentingnya manajemen proses belajar dan pendekatan/disiplin berpikir sistemik; (3) Argyris (1993), Schön (1983) dan Schein (1993) yang fokus pada identifikasi faktor-faktor kognisi dan perilaku yang dapat berperan sebagai penghalang proses belajar dan (4) Brown dan Duguid (1991) yang menekankan pentingnya pendekatan sosio-kultural. Pengembangan organisasional merupakan aliran Manajemen Pengetahuan yang lebih menekankan pada perspektif intervensionis dan analitikal. Termasuk 39 40 dalam perspektif ini adalah penelitian-penelitian dengan topik ekonomi pengetahuan dan cara mengukur nilai pengetahuan tersebut bagi organisasi. Fokus penelitian perspektif ini adalah pemahaman pengetahuan sebagai sumber daya. Pemrosesan informasi organisasional merupakan aliran Manajemen Pengetahuan yang menekankan pentingnya komunikasi dan proses berbagi informasi dalam organisasi. Tuomi (1999) mengelompokkan aliran ini menjadi tiga fokus area penelitian, yaitu: (1) komunikasi organisasional yang meliputi topik jaringan informasi informal dan perancangan infrastruktur sistem komunikasi dan aliran otomasi berbasis komputer; (2) berbagi informasi yang meliputi pengembangan alat atau fasilitas untuk mempermudah proses berbagi informasi baik di dalam organisasi atau antar organisasi dan (3) pemrosesan informasi untuk mendukung proses pengambilan keputusan. Representasi pengetahuan merupakan salah satu topik penelitian yang menekankan teknik merepresentasikan pengetahuan manusia ke dalam bentuk yang dapat diproses komputer, antara lain dengan sistem pakar (Boose 1986; Gaines 1994). Mengacu pada taksonomi penelitian di bidang Manajemen Pengetahuan yang dikemukakan oleh Tuomi (1999) tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini berada pada posisi ranah Manajemen Pengetahuan dengan penciptaan pengetahuan sebagai isu sentral dalam pembelajaran organisasi yang termasuk aliran intelijen organisasional. Dengan menggunakan model penciptaan pengetahuan yang dikemukakan Nonaka dan Takeuchi (1995) sebagai basis teori, penelitian ini, didukung teori dari aliran kompetisi berbasis pengetahuan dan diperkaya dengan aplikasi konsep representasi pengetahuan. Penelitian ini dimaksudkan melengkapi keterbatasan teori penciptaan pengetahuan Nonaka dan Takeuchi (1995) tersebut. Gambaran posisi penelitian dalam konteks manajemen pengetahuan ditampilkan pada Gambar 6. 41 Intelijen Bisnis Kognisi Organisasional Intelijen Organisasional Memori Organisasional Organisasi Pembelajar, Penciptaan Pengetahuan, Transfer Kepakaran dan Inovasi Manajemen Aset Pengetahuan MP Pengembangan Organisasional Penciptaan Pengetahuan, untuk Meningkatkan Keunggulan Bersaing SDM dan Pengembangan Kerja Kompetisi Berbasis Pengetahuan Pengembangan Proses bisnis Komunikasi Organisasional Pemrosesan Informasi Organisasional Representasi Pengetahuan Berbagi Informasi Representasi Data Sistem Kolaborasi Pemodelan Enterprise Pemrosesan Informasi Gambar 6 Posisi Penelitian dalam Konteks Manajemen Pengetahuan (MP) (Adaptasi dari Tuomi 1999) 41