JURNAL OPINIO JURIS Vol. 18 Mei – September 2015 PENGALAMAN DIPLOMASI INDONESIA DALAM SENGKETA TUMPAHAN MINYAK MONTARA DAN KEBUTUHAN INSTRUMEN HUKUM REGIONAL ASEAN M. Ajisatria Suleiman Abstract In August 2009, massive spills of light crude oil and hydrocarbon gas occurred as a result of blowouts of Montara Well Head Platform in West Atlas Block, in the area of Timor Sea. The offshore platform was operated by PTTEP Australia, a subsidiary of a state owned enterprise in Thailand. As a response to this incident, the Government of Indonesia has been commencing various legal and diplomatic actions. The diplomatic discussion in the IMO concluded with a recommendation to develop either a bilateral or regional legal instrument, to further facilitate negotiation among parties. On the other hand, the diplomatic negotiation between Indonesia and Thailand has not yet to reach a positive outcome. It is concluded that there is an urgency to develop a bilateral or regional legal instrument, within the ASEAN region. However, one must distinguish a convention that facilitates civil liability and private insurance scheme (such as the CLC or Fund Convention) and a convention that facilitates state-to-state bilateral/regional cooperation. Failure to distinguish the 44 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 18 Mei – September 2015 types of international agreement will result in unclear diplomatic position and focus. Keywords: Montara spillover; ASEAN legal instrument; civil liability A. Latar Belakang Pada tanggal 21 Agustus 2009, berdasarkan laporan Australian Maritime Safety Authority (AMSA), terjadi kebocoran minyak (light crude oil) dan gas hydrokarbon akibat ledakan di Montara Well Head Platform di Blok West Atlas-Laut Timor Perairan Australia yakni pada posisi 120 41’ LS 1240 32’BT dengan estimasi tumpahan 400 barel/hari (64 ton/hari).60 Per 30 Agustus 2009, jejak tumpahan minyak mentah (weathered light crude oil) telah memasuki sebagian kecil ZEE Indonesia yang berbatasan dengan ZEE Australia, sebagaimana tercatat oleh Balai Riset Kelautan dan Perikanan/BRKP Kementerian Kelautan dan Perikanan).61 Laporan AMSA juga menyebutkan bahwa per 21 September 2009 jejak tumpahan minyak mencapai 51 NM (nautical miles) dari Pulau Rote. Ledakan terjadi atas rig pengeboran dan platform dimiliki dan dioperasikan oleh PTTEP Australasia, anak perusahaan dari PTTEP di 60 Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, Proses Tuntutan Ganti Rugi di Laut Timor, Agustus 2014. 61 Montara Commission of Inquiry of the Australian Government, Report of the Montara Commission Inquiry, Juni 2010. 45 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 18 Mei – September 2015 Thailand.62 Menurut Pemerintah Indonesia, tumpahan minyak merusak ekosistem laut di Laut Timor dan merugikan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Meskipun perusahaan yang bersangkutan memiliki asuransi, belum ada pembayaran yang diberikan karena, antara lain, terdapat perselisihan mengenai cakupan kerugian.63 Sebagai respons atas insiden ini, Pemerintah Indonesia telah menempuh berbagai tindakan dan advokasi. Segera setelah insiden terdeteksi, maka tim yang terdiri dari Kementerian Perhubungan, TNI Angkatan Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Lingkungan Hidup melakukan berbagai pemantauan, pengambilan sampel, serta kajian dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup di wilayah laut Republik Indonesia.64 Perundingan diplomatik dilakukan antara Pemerintah Indonesia dengan Thailand sebagai negara dimana penanggung jawab tumpahan berasal, mengingat operator pengeboran merupakan anak perusahaan dari BUMN Thailand. Selain itu, upaya diplomasi juga dilakukan di tingkat International Maritime Organization (IMO) untuk mengajukan usulan pembuatan instrumen hukum internasional. Selain itu, terdapat upaya 62 Government of Indonesia, Claims for Pollution Compensation in Timor Sea, 2010. 63 Tim Advokasi Tuntutan Ganti Rugi di Laut Timor, Laporan Perkembangan Tuntutan Ganti Rugi Akibat Pencemaran di Laut Timor Akibat Tumpahan Minyak, Januari 2012. 64 Lihat Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, op. cit. 46 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 18 Mei – September 2015 untuk mengajukan gugatan ganti rugi perdata. Namun, hingga saat ini, belum terdapat kejelasan mengenai arah penyelesaian ganti rugi akibat tumpahan yang minyak yang timbul. Dalam hal ini, terdapat beberapa pihak yang terlibat dalam kasus Montara, dan hal ini mempengaruhi bagaimana pertanggungjawaban dari masing-masing pihak bersangkutan. Misalnya dalam kasus Montara terdapat pihak-pihak yang berpotensi bertanggung jawab atas terjadinya blowout, antara lain: 1. Operator pengeboran, yaitu PTTEP Australasia (Ashmore Cartier) Pty Ltd (PTTEPAA), yang merupakan anak perusahaan dari perusahaan Pemerintah Thailand (BUMN atau National Oil Companies, PTTEP) 2. Regulator, yaitu, Northern Territory Department of the Environment yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah Federal Australia untuk mengatur dan mengawasi kegiatan pengeboran; 3. Pemerintah (Federal) Australia, yakni sebagai: (a) regulator utama kegiatan migas berdasarkan Offshore Petroleum Act dan/atau (b) pihak yang bertanggung jawab atas penggunaan dispersan (di laut bebas) yang menurut beberapa kalangan dianggap justru memperparah pencemaran lingkungan laut, dan (c) turut serta bertanggung jawab bersama-sama dengan Northern Territory Department of the Environment; 47 JURNAL OPINIO JURIS 4. Vol. 18 Mei – September 2015 Halliburton, perusahaan Amerika Serikat yang dapat dianggap bertanggung jawab sebagai pihak yang melakukan pengeboran (kontraktor pengeboran) pada saat blowout dan/atau dianggap ikut bertanggung jawab memperparah pencemaran dengan melakukan tindakan yang penanganan yang tidak tepat sebelum blowout sehingga semakin memperparah blowout; 5. Atlas Drilling, sebagai pemilik rig pengeboran, merupakan perusahaan di Singapura dan afiliasi dari Sea Drift Management, suatu perusahaan berbasis di Norwegia. PTTEPAA menggunakan jasa Atlas untuk berbagai kegiatan pengeboran. B. Analisis Diplomasi di IMO dan Urgensi Instrumen Hukum Regional Permasalahan pertanggungjawaban dan ganti kerugian pencemaran laut lintas batas akibat kegiatan minyak bumi lepas pantai disampaikan oleh Indonesia kepada IMO pertama kali pada bulan Maret 2010, pada saat 60th session of the Marine Environment Protection Committee (MEPC).65 Kemudian Delegasi Indonesia menyampaikan proposalnya kepada IMO Legal Committee pada 97th session of the Legal Committee pada bulan 65 International Maritime Organization (IMO), Ongoing Discussion at IMO on Matters Concerning Liability and Compensation for Oil Pollution Damage Resulting from Offshore Exploration and Exploitation Activities, Medexpol 2013 Workshop on the Regional Response Capacity and Coordination to Major Oil Spill in the Mediterranean Sea, 5 December 2013. 48 JURNAL OPINIO JURIS September 2010. Vol. 18 Mei – September 2015 Menurut Delegasi Indonesia pula, meskipun sudah terdapat asuransi, namun kewenangan regulasi atas asuransi tidak diatur oleh negara asal pencemaran (mengingat anjungan minyak berada di negara tersebut). Meskipun dimungkinkan adanya perjanjian regional atau bilateral. Namun demikian, batas cakupan asuransi akan bergantung dari hukum negaranya masing-masing. Oleh karena itu, dibutuhkan standar internasional yang dapat diberlakukan di semua negara dan semua insiden.66 Delegasi Indonesia meminta agar Legal Committee mencantumkan permasalahan ini dalam agenda sehingga mendorong instrumen hukum di bidang pertanggungjawaban dan kompensasi dari pencemaran laut yang berasal dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas. Per Desember 2013, proposal Delegasi Indonesia sudah dibahas di 4 sesi formal Legal Committee, maupun di sesi informal (informal intersession consultative group).67 Dari pembahasan di sesi-sesi tersebut, terlihat ada perdebatan di tingkat prosedural dan tingkat substansial. Secara procedural, berdasarkan IMO Council pembahasan materi agenda Sesi harus sesuai dengan Strategic Plan, dimana proposal Indonesia tidak sesuai dengan Strategic 66 Nikita Scicluna, A Legal Discussion on the Civil Liability for Oil Pollution Damage resulting from Offshore Oil Rigs in the light of the recent Deepwater Horizon incident, disampaikan dalam 1st Offshore Protocol Working Group Meeting Valletta, Malta, 13-14 Juni 2013. 67 Ibid. 49 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 18 Mei – September 2015 Plan. Oleh karenanya, dibutuhkan persetujuan dari IMO Council. Sementara secara substansi, perdebatan dari para negara peserta terpolarisasi dan tidak dapat mencapai titik temu.68 Atas bantuan Sekretariat dari Legal Committee, disampaikan berbagai instrumen hukum internasional dan regional yang sudah ada yang memadai untuk mengatasi permasalahan ini. Disimpulkan “bahwa tidak ada instrumen hukum internasional yang khusus mengatur mengenai pencemaran laut akibat kegiatan di anjungan minyak lepas pantai.”69 Namun terdapat beberapa instrumen internasional yang menyinggung dan cukup relevan untuk dibahas. a. UNCLOS memberikan kewajiban bagi negara untuk mengendalikan polusi yang mencemarkan lingkungan laut dan membebankan kewajiban untuk memberikan kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan. Namun, UNCLOS tidak mengatur mengenai rezim pertanggungjawaban dan kompensasi secara detail. b. Terdapat juga 1977 Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage from Offshore Activities (CLEE), namun hingga kini belum berlaku (entry into force). c. 1974 Regional Convention between Denmark, Finlandia, Norwegia, and Swedia memberikan kewajiban kompensasi atas 68 69 50 IMO, op. cit. IMO, op. cit. JURNAL OPINIO JURIS Vol. 18 Mei – September 2015 pencemaran laut dari anjungan lepas pantai, namun keberlakuannya hanya untuk empat negara tersebut (meskipun mekanisme yang ada dapat dijadikan rujukan). d. Terdapat 1974 Offshore Pollution Liability Agreement (OPOL) yang mewajibkan perusahaan minyak yang beroperasi di North Sea untuk bertanggungjawab dalam mengganti kerugian akibat tumpahan minyak di anjungan lepas pantai. e. Sekretariat dari Legal Committee juga mencatat beberapa konvensi regional lain dan beberapa dokumen IMO yang mengatur mengenai polusi akibat kegiatan lepas pantai, namun tidak memberikan panduan terkait mekanisme pertanggungjawaban dan penggantirugian. f. 2010 UNEP Guidelines memberikan panduan mengenai mekanisme pertanggungjawaban dan penggantirugian atas kegiatan yang berbahaya bagi lingkungan hidup, namun tidak mengatur mengenai kegiatan lepas pantai. g. 2004 EU Environmental Liability Directive membebankan kewajiban bagi operator yang melakukan kegiatan berbahaya untuk bertanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability), namun hanya untuk beberapa tipe kecelakaan dari anjungan minyak. Namun, pasca insiden Deepwater Horizon, Directive ini direvisi dengan EU Directive 2013/30/EU tanggal 12 Juni 2013, dimana negara anggota EU diminta untuk memastikan bahwa pemegang izin dapat bertanggung jawab secara finansial untuk mencegah dan 51 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 18 Mei – September 2015 memulihkan kerusakan lingkungan sebagaimana didefinisikan dalam Directive ini, yang diakibatkan oleh kegiatan minyak bumi dan gas lepas pantai, yang dilakukan oleh, atau untuk kepentingan, pemegang izin atau operator (“ensure that the licensee is financially liable for the prevention and remediation of environmental damage as defined in that Directive, caused by offshore oil and gas operations carried out by, or on behalf of, the licensee or the operator”). h. Legal Committee menyebutkan bahwa selama 30 tahun terakhir, terdapat Comite Maritime International (CMI) yang mengembangkan Rancangan Konvensi tentang Offshore Mobile Craft. Pada tahun 1998, CMI menyampaikan laporan kepada IMO bahwa definisi “Mobile Craft” tidak dapat disamakan dengan kapal (ship), sehingga konvensi IMO mengenai kapal tidak dapat diterapkan kepada Mobile Craft (yang mana mencakup anjungan lepas pantai). Atas dasar ini, dibutuhkan konvensi baru yang mengatur mengenai mobile craft, atau mengubah konvensi yang sudah ada sehingga dapat juga mencakup unit-unit lepas pantai yang dapat bergerak (mobile) dan juga anjungan yang tidak bergerak (fixed structure). 52 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 18 Mei – September 2015 Dari 60 anggota yang menghadiri IMO Legal Committee, terdapat berbagai pendapat yang mendukung ataupun menolak usul Indonesia. Argumentasi yang mendukung antara lain:70 a. Momen yang penting untuk pembahasan karena adanya insiden Montara dan Deepwater Horizon; b. IMO tidak perlu menunggu sampai ada kejadian lagi; c. IMO merupakan lembaga yang kompeten untuk membahas isu ini; d. Insiden pencemaran lintas batas membutuhkan kerjasama dan pengaturan di tingkat internasional; e. Diperlukan mekanisme kompensasi bagi korban. Sementara itu, argumentasi yang menolak:71 a. Sebaiknya menggunakan instrumen hukum nasional ataupun regional/bilateral, tidak perlu instrumen hukum internasional; b. IMO tidak ada mandat untuk membahas permasalahan ini, karena IMO fokus kepada permasalahan pelayaran (shipping), sementara anjungan lepas pantai bukan bagian dari kegiatan pelayaran; c. Menurut UNCLOS, negara yang berwenang untuk menyusun sistem pertanggungjawaban dan kompensasinya, tidak memerlukan keterlibatan IMO; 70 71 IMO, op. cit. IMO, op. cit. 53 JURNAL OPINIO JURIS d. Vol. 18 Mei – September 2015 Sebaiknya dilakukan studi untuk menilai apakah instrumen regional/bilateral yang ada saat ini sudah efektif. Pada bulan April 2012, Brazil menolak usul Indonesia karena beberapa alasan. Secara substansial, Brazil menolak usul Indonesia untuk mereplikasi pengaturan pencemaran laut dari kegiatan kapal (sebagaimana diatur dalam 1992 Civil Liability Convention dan Fund Convention) untuk diterapkan pada anjungan lepas pantai. Alasannya, ada perbedaan fundamental antara kegiatan kapal/pelayaran dengan kegiatan anjungan minyak lepas pantai, yang melekat pada kegiatan di landas kontinen. Anjungan lepas pantai umumnya dilakukan di wilayah landas kontinen/Zona Ekonomi Eksklusif, sehingga dampak pencemarannya terbatas. Hal ini berbeda dengan kapal tanker minyak yang bergerak hingga masuk ke kawasan laut territorial. Selain itu, kapal tanker juga berjalan melintasi berbagai yurisdiksi laut territorial berbagai macam negara, mulai dari negara asal hingga negara tujuan, dan termasuk juga negara tempat kapal tersebut lewat atau singgah/transit. Atas dasar kepentingan internasional ini dibutuhkan pengaturan hukum internasional. Dari hasil diskusi yang berkembang, disimpulkan bahwa IMO Legal Committee tidak melihat adanya urgensi untuk membentuk konvensi internasional untuk permasalahan ini. IMO Legal Committee juga sepakat bahwa cara terbaik untuk mengatasi permasalahan pencemaran lintas batas dari kegiatan anjungan minyak lepas pantai adalah melalui mekanisme bilateral dan regional. Mengingat IMO memiliki keahlian di bidang 54 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 18 Mei – September 2015 pertanggungjawaban dan ganti rugi pencemaran laut, maka IMO Legal Committee, maka IMO akan menganalisis lebih jauh permasalahan ini dan membantu penyusunan model perjanjian bilateral atau regional yang mengatasi permasalahan ini. Pada Bulan April 2014, pada 101st Session of IMO Legal Committee, Delegasi Indonesia secara khusus menyatakan kekecewaannya atas kesimpulan tersebut di atas, namun akan tetap mendukung secara aktif dan berkomitmen untuk mengembangkan model perjanjian bilateral/regional mengenai pencemaran laut lintas batas akibat kegiatan minyak bumi dan gas. C. Analisis Diplomasi Bilateral Indonesia-Thailand Pada 15 Juli 2010, Pemerintah Indonesia mengawali langkah advokasi dan negosiasi tuntutan ganti rugi dengan penerbitan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor. KP 326 Tahun 2010 Tanggal 15 Juli 2010 tentang Pembentukan Tim Advokasi Tuntutan Ganti Rugi Pencemaran Laut Timor. Pertemuan pertama kali dilakukan dengan PTTEP AP di Perth, 27 Juli 2010. Sejak saat itu hingga tahun 2013, rangkaian proses negosiasi dan advokasi tuntutan dilakukan yang berujung pada kegagalan Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan tuntutan haknya dari PTTEP. Secara umum berikut adalah proses negosiasi yang dapat dikategorisasi menjadi 3 (tiga) tahap: 55 JURNAL OPINIO JURIS 1. Vol. 18 Mei – September 2015 Negosiasi B2G antara Tim Advokasi Pemerintah Indonesia dengan PTTEP (Juli 2010-Juli 2011)72 Dalam tahap ini, negosiasi dilakukan antara Tim Pemerintah Indonesia dengan PTTEP secara business to government (B2G). Agar tercapai kesepakatan mengenai proses dan jumlah ganti rugi, PTTEP menghendaki adanya kesamaan data ilmiah yang digunakan, sehingga mengusulkan adanya pengkajian bersama. Usul ini ditolak oleh Pemerintah Indonesia karena menganggap sudah tidak cukup waktu. Hingga keseluruhan proses negosiasi berakhir, tidak tercapai kesepakatan mengenai data ilmiah yang digunakan. Permasalahan lain yang disampaikan oleh PTTEP adalah kewenangan Pemerintah Indonesia untuk mengajukan gugatan atas nama penggugat (khususnya masyarakat yang terkena dampak pencemaran). PTTEP hendak memastikan bahwa seandainya pun tercapai kesepakatan dengan Pemerintah Indonesia, di kemudian hari tidak ada gugatan yang diajukan kepada PTTEP atas nama pihak lain, misalnya masyarakat lokal, atau Pemerintah Daerah. Pemerintah Indonesia mengusulkan adanya langkah sementara (interim measure) sambil menunggu hasil proses negosiasi. PTTEP 72 Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, Proses Tuntutan Ganti Rugi di Laut Timor, Agustus 2014. 56 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 18 Mei – September 2015 menyambut langkah ini dengan mengusulkan adanya pembayaran dengan skema Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai bentuk itikad baik (goodwill), sehingga pembayaran tersebut tidak dapat diartikan sebagai pengakuan atas kesalahan (admission of liability). Selain itu, juga dibahas mengenai adanya jaminan kecukupan dana berupa bank garansi untuk memastikan kemampuan PTTEP memenuhi klaim yang disepakati. Keseluruhan mekanisme ganti rugi menggunakan pola dual track, sebagaimana dijelaskan di atas (CSR plus penghitungan ganti rugi dengan skema bank garansi), akan tercantum dalam suatu nota kesepahaman (Memorandum of Understanding). Namun demikian, penandatanganan MoU selalu tertunda karena berbagai alasan, termasuk negosiasi ulang atas poin-poin yang disepakati. Kegagalan penandatanganan MoU membuat proses negosiasi meluas menjadi G2G, dengan Pemerintah Indonesia menyurati Pemerintah Thailand sebagai otoritas yang berwenang atas perusahaan induk PTTEP. Dalam berbagai alasan yang dikemukakan oleh PTTEP, terdapat klaim bahwa penandatanganan MoU membutuhkan persetujuan dari Menteri Energi Thailand. MoU gagal ditandatangani sehingga disepakati bahwa proses negosiasi akan difasilitasi oleh kehadiran Neutral Committee. 57 JURNAL OPINIO JURIS 2. Vol. 18 Mei – September 2015 Negosiasi dengan mediasi Neutral Committee dan dimulainya keterlibatan negosiasi G2G (Agustus 2011-November 2012)73 Pada bulan Juni 2011, disepakati pembentukan Neutral Committee dengan anggota terdiri atas Mr. Juha Christensen, H.E. Dr. Surakiart Sathirathai dan H.E. Dr. Hasan Wirajuda. Pertemuan pertama Neutral Committee dimulai pada bulan Agustus 2011. Juha Christensen adalah aktivis non-pemerintah yang banyak terlibat dalam proses perdamaian di Aceh, dan menjadi penasehat Pemerintah Finlandia dalam melakukan mediasi proses perundingan antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Indonesia. Surakiart Sathirathai adalah pakar hukum internasional dari Thailand dan mantan Wakil Perdana Menteri Thailand bidang hubungan luar negeri. Hassan Wirajuda adalah mantan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia. Pembahasan dalam Neutral Committee masih merujuk pada poinpoin yang sudah dibahas sebelumnya antara Pemerintah Indonesia dan PTTEP. Secara umum, kerangka penyelesaian ganti rugi melalui skema “dual track” (CSR dan kesepakatan ganti rugi yang dijamin oleh bank garansi). Skema dual track ini seyogyanya akan termaktub ke dalam MoU yang akan ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan PTTEP. Namun demikian, detail teknis mengenai materi MoU tidak kunjung disepakati. 73 58 Ibid. JURNAL OPINIO JURIS Vol. 18 Mei – September 2015 Misalnya, mengenai jumlah CSR yang hendak dibayarkan sebagai goodwill, serta kerangka dasar penyelesaian dan penghitungan ganti rugi. Dalam perkembangannya, anggota dari Neutral Commitee berubah. Dari Thailand diganti menjadi Vasin Teeravechyan, diplomat yang juga menangani sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja. Sementara itu, untuk pihak ketiga yang netral diusulkan Michael Vatiokiotis, mantan jurnalis dan aktivis perdamaian yang berpengalaman mengelola organisasi non-pemerintah mediator konflik Thailand. Selain masalah substansi MoU, Neutral Commitee membahas mengenai teknikalitas hukum, seperti hukum yang berlaku (governing law). Baik substansi materi maupun teknikalitas hukum tidak kunjung disepakati oleh para pihak. Selain itu, terdapat berbagai alasan yang menghambat penandatangan MoU. Misalnya, adanya renegosiasi atas klausul-klausul yang sebenarnya sudah disepakati dalam pertemuan-pertemuan terdahulu. Pada bulan November 2012, Hassan Wirajuda resmi mengundurkan diri dan menyatakan bahwa skema dual track akan ditiadakan. 3. Diplomasi Neutral Committee dan dimulainya rencana pengajuan tuntutan/gugatan hukum74 Hingga Desember 2012, Pemerintah Indonesia memberikan ultimatum untuk segera menyelesaikan proses perundingan dengan tenggat 74 Ibid. 59 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 18 Mei – September 2015 waktu Desember 2012. Namun, hal ini tidak ditanggapi oleh Thailand, dan justru mengusulkan perubahan anggota Neutral Commitee menjadi Bhokin Bhalakula. Dengan gagalnya fasilitasi dari Neutral Commitee, maka proses negosiasi antara Pemerintah Indonesia dan PTTEP berada dalam kondisi status quo. Pemerintah Indonesia sudah mulai menyikapi secara tegas perkembangan ini, dan mempersiapkan diri untuk mengajukan gugatan hukum, sebagaimana dibahas dalam rapat koordinasi Eselon 1 pada bulan April 2013. Beberapa opsi yang dipertimbangkan adalah sebagai berikut: 1) Rencana pengajuan gugatan perdata ganti kerugian di pengadilan domestik Indonesia, sebagaimana dipersiapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. 2) Rencana penuntutan tindak pidana pencemaran, yang akan dikoordinasikan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia. Hingga akhir 2014, belum ada langkah nyata dari Pemerintah Indonesia untuk menjalankan tuntutan atau gugatannya. Begitupula tidak ada kelanjutan proses negosiasi antara Tim Advokasi dengan PTTEP. Pada bulan Juni 2014, Menteri Perhubungan mengirimkan surat kepada Ketua Yayasan Peduli Timor Barat agar melakukan proses advokasi di skala lokal/regional. Hal ini menunjukan adanya perluasan jalur advokasi ke tingkat lokal. 60 JURNAL OPINIO JURIS D. Vol. 18 Mei – September 2015 Permasalahan Hukum dalam Proses Diplomasi IndonesiaThailand Proses negosiasi yang berlarut-larut antara Tim Advokasi dengan PTTEP, bahkan sudah difasilitasi oleh Neutral Committee yang beranggotakan tokoh kompeten kedua negara dan tokoh netral, menunjukkan adanya kelemahan dalam hukum pertanggungjawaban pencemaran lingkungan yang sifatnya lintas batas. Hal ini pula yang mendorong Pemerintah Indonesia untuk aktif dalam melakukan advokasi di tingkat organisasi internasional melalui IMO. Beberapa kendala dan keterbatasan hukum yang dapat diamati melalui proses negosiasi adalah: 1. Sifat hubungan negosiasi Hubungan para pihak dalam perundingan dalam prinispnya adalah bersifat B2G (business to government) yaitu antara Pemerintah Indonesia dengan PTTEP sebagai badan hukum privat. Perundingan ini pun adalah bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan (out of court settlement dengan pola negosiasi/mediasi), yang sebenarnya bukan merupakan perundingan diplomatik. Dalam perkembangannya, perundingan mengarah ke pola “semi diplomasi” dengan pembentukan neutral committee yang merupakan mantan diplomat atau negosiator konflik internasional. Begitupula dalam perkembangannya beberapa kali PTTEP menyampaikan bahwa penandatanganan MoU membutuhkan persetujuan Pemerintah Thailand. Hal ini menyiratkan pola negosiasi berupa komunikasi diplomatik antara 61 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 18 Mei – September 2015 negara (Government to Government, atau G2G). Namun demikian, apabila perundingan berstatus G2G antar pemerintah, disayangkan tidak ada keterlibatan Pemerintah Australia sebagai negara asal pencemaran. Dengan demikian, tidak ada kejelasan kerangka dasar perundingan, termasuk aktor negara dan non-negara yang terlibat, sehingga memperlambat proses perundingan. 2. Kedudukan hukum Pemerintah Indonesia untuk mewakili korban Dalam suatu perundingan diplomasi, negara dapat memperjuangkan kepentingan warga atau wilayahnya berdasarkan prinsip perlindungan diplomatik (diplomatic protection). Namun, mengingat perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan PTTEP bukanlah perundingan diplomatik, maka status Pemerintah Indonesia dipertanyakan. PTTEP mempertanyakan mengenai kedudukan Pemerintah Indonesia apakah mewakili seluruh penggugat potensial (representing all potential claimants). Hal ini menjadi penting karena di satu sisi, PTTEP membutuhkan jaminan bahwa kompensasi yang dikeluarkan memang diperuntukan kepada korban dan masyarakat yang terdampak. Di sisi lain, dalam konteks gugatan perdata, Pemerintah Indonesia tidak dapat menjamin bahwa aktor lain, misalnya perwakilan LSM lokal, masyarakat adat, atau Pemerintah Daerah tidak melakukan gugatan kepada PTTEP. Pun dalam konteks gugatan perdata, gugatan perwakilan yang dilakukan Pemerintah tidak serta merta menyebabkan gugurnya hak pihak lain untuk mengajukan gugatan (nebis in idem). Masalah kedudukan hukum ini pula 62 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 18 Mei – September 2015 yang menyebabkan perundingan antara Pemerintah Indonesia dan PTTEP tidak dapat menemukan penyelesaian. 3. Referensi merumuskan skema pertanggungjawaban dan pemberian kompensasi Dalam setiap perundingan penyelesaian sengketa di luar pengadilan (termasuk mediasi yang bersifat lintas batas), maka sewajarnya ada referensi mengenai hukum, peraturan, atau prinsip yang digunakan. Hal ini memudahkan para pihak untuk menemukan kesepahaman, maupun mengkonfirmasi ketidaksepahaman. Meskipun sifat negosiasi adalah kesepakatan para pihak, namun perundingan selalu dilakukan dengan merujuk peraturan yang ada. Tidak adanya mekanisme peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan dalam negosiasi antara Pemerintah Indonesia dan PTTEP menjadikan perundingan sulit menemukan titik temu. Hal ini akan berbeda, seandainya terdapat ketentuan bahwa hukum yang berlaku (governing law) adalah hukum dimana kerugian terjadi, maka terdapat potensi pembahasan mengenai kompensasi dalam anti rugi dalam hukum Indonesia. 4. Referensi dalam melakukan investigasi bersama/joint inquiry termasuk yang sifatnya teknis di bidang kemaritiman/ekologi Faktor penting yang menyebabkan perundingan tidak dapat merumuskan titik temu adalah tidak adanya kesepahaman mengenai data 63 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 18 Mei – September 2015 ilmiah yang dijadikan landasan untuk merumuskan ganti kerugian. Pemerintah Indonesia, Pemerintah Australia, maupun PTTEP secara mandiri melakukan kajian ilmiah teknis di bidang kemaritiman/ekologi untuk menilai dampak pencemaran terhadap lingkungan laut serta kehidupan sosial dan ekonomi. Namun demikian, tidak ada kewajiban dari masing-masing pihak untuk menerima hasil ataupun metodologi dari masing-masing kajian yang dihasilkan. Atas dasar ini, besarnya jumlah ganti kerugian tidak dapat ditetapkan dan disepakati. Dalam konteks gugatan perdata, memang lumrah terjadi adanya dua kajian ilmiah yang masing-masing dilakukan oleh penggugat dan tergugat untuk membuktikan adanya kerugian yang timbul, serta besarnya ganti rugi yang diperlukan. Para pihak pun dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan dimungkinkan untuk sepakat menunjuk pihak independen dalam melakukan kajian ilmiah yang hasilnya disepakati secara bersama, atau hasilnya digunakan oleh pihak ketiga dalam mengambil keputusan (arbiter/mediator). Sementara dalam konteks hukum internasional, terdapat prinsip dasar “duty to cooperate” yang mewajibkan adanya itikad baik dari negara dalam menyelesaikan hubungan internasional, khususnya secara regional ataupun internasional. Dapat termasuk dalam duty to cooperate ini adanya kesepakatan untuk melakukan kajian bersama, yang 64 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 18 Mei – September 2015 mengacu pada suatu perjanjian bilateral/regional/internasional yang menjadi acuan.75 5. Mekanisme penyelesaian sengketa melalui pengadilan dan urgensi penyelesaian perundingan Penyelesaian sengketa di luar sidang pengadilan hanya dapat berjalan efektif jika ada insentif dari para pihak untuk menyelesaikannya segera. Insentif itu berupa adanya kalkulasi rasional bahwa penyelesaian sengketa di luar sidang akan lebih hemat biaya, cepat, dan efisien ketimbang penyelesaian sengketa di pengadilan. Oleh karena itu, perundingan/mediasi hanya dapat berjalan efektif jika ada pengadilan. Tanpa adanya kerangka yang mengatur gugatan lintas batas baik yang bersifat perdata maupun publik, tidak ada insentif dari PTTEP untuk menyelesaikan perundingan dengan itikad baik. Berdasarkan poin-poin di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat urgensi untuk membentuk instrumen hukum lintas negara (apakah itu bilateral, regional, ataupun internasional), yang khusus mengatur mengenai 75 Misalnya dalam Pasal 197 UN Convention on the Law of the Sea, dinyatakan “States shall cooperate on a global basis and, as appropriate, on a regional basis, directly or through competent international organizations, in formulating and elaborating international rules, standards and recommended practices and procedures consistent with this Convention, for the protection and preservation of the marine environment, taking into account characteristic regional features.” Lihat juga Gard AS, MARPOL Annex I, Regulations for the Prevention of Pollution by Oil, (April 2010). 65 JURNAL OPINIO JURIS pertanggungjawaban dan Vol. 18 Mei – September 2015 pemberian kompensasi korban akibat pencemaran lintas batas yang disebabkan dari anjungan minyak lepas pantai. Namun di sisi lain, secara pragmatis dengan mempertimbangkan waktu dan sumber daya, serta kerugian yang dialami oleh korban, maka Pemerintah Indonesia juga sewajarnya mulai mengembangkan metodologi yang tepat dan disepakati oleh PTTEP dalam kasus Montara. Kemampuan Indonesia, seandainya berhasil, justru dapat dijadikan contoh untuk mendukung adanya instrumen hukum di tingkat internasional. E. Pembahasan Perjanjian Internasional yang Sudah Ada Sebagai Referensi Ada berbagai pendekatan dalam merumuskan instrumen hukum yang dapat mendorong kerjasama dalam hal terjadi tumpahan minyak lintas negara. Mekanisme pertama, pendekatan hukum perdata internasional, sebagaimana dapat dilihat dalam Convention on Civil Liability (CLC) dan Fund Convention. Dalam skema seperti ini, maka disusun suatu mekanisme pertanggungjawaban, pola kompensasi, maupun batas-batas pertanggungjawaban. Mekanisme kedua terkait dengan kerjasama antara negara (G2G) yang biasanya berlaku untuk tingkat bilateral atau regional. Yang ditekankan adalah aspek koordinasi antar negara, misalnya diatur mengenai bantuan operasional, kewajiban pertukaran informasi, dan penyelidikan bersama (secara ilmiah) untuk mendapatkan kesepahaman mengenai penyebab pencemaran. Ketiga, 66 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 18 Mei – September 2015 pengaturan di tingkat hukum nasional, sebagaimana digunakan contoh Australia yang mengharuskan adanya asuransi, rencana nasional dan daerah, serta otoritas yang berwenang. 1. Konvensi Pertanggungjawaban Perdata dan Konvensi Pendanaan76 International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage pertama kali diadopsi tahun 1969 dan berlaku tahun 1975. Konvensi ini kemudian diamandemen tahun 1992 dan berlaku tahun 1996. Per April 2014, 97% dari negara di dunia sudah meratifikasi Konvensi ini. Dalam diplomasi IMO, Indonesia secara khusus ingin menyusun konvensi dengan mereplikasi prinsip-prinsip CLC. Namun, usul ini ditolak oleh IMO karena dianggap sifat “internasional” dari tumpahan minyak tidak ada, berbeda dengan kapal. Rezim pertanggungjawaban lebih baik diatur secara regional atau bilateral. CLC pada prinsipnya berlaku terhadap kapal. Atas alasan ini, CLC tidak dapat berlaku terhadap anjungan minyak lepas pantai karena tidak dianggap sebagai kapal. CLC memberikan kewajiban kepada pemilik kapal yang mencemarkan laut karena tumpahan minyak. Skema pertanggungjawabannya adalah strict liability, sehingga kesalahan dari pemilik kapal tidak perlu dibuktikan. Pengecualian atas strict liability Rosalie Balkin, “Is there a place for the regulation of offshore oil platforms within international maritime law? If not, then where?, Comitè Maritime International Dublin Symposium, 2013 76 67 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 18 Mei – September 2015 adalah dalam hal-hal yang tertentu saja, misalnya adanya bencana alam. Namun demikian, untuk memberikan keseimbangan dan prediktabilitas, terdapat pembatasan jumlah pertanggungjawaban, sesuai dengan ukuran dan berat kapal. Adapun batas kompensasi adalah sebagai berikut: Kapal sampai dengan 5000 GT 3 Juta Special Drawing Rights (SDR) Per Amandemen 2000 diganti menjadi 4.51 SDR (atau sekitar USD 5.78 juta) Kapal 5000-140,000 GT 3 Juta Special Drawing Rights plus 420 SDR per ton Per Amandemen 2000 diganti menjadi 4.51 SDR (atau sekitar USD 5.78 juta) plus 420 per ton Kapal di atas 140,000 GT 89.77 Special Drawing Right Namun demikian, berdasarkan Amandemen di tahun 1992, pemilik kapal tidak dapat menikmati pembatasan di atas apabila tumpahan minyak terjadi karena kelalaian, kesengajaan, atau tindakan yang ceroboh (negligence). Pemilik kapal juga wajib mengasuransikan kapalnya bagi kapal yang membawa kargo di atas 2,000 ton minyak. 68 JURNAL OPINIO JURIS Sementara Konvensi Vol. 18 Mei – September 2015 Pendanaan (Fund Convention) pada prinsipnya disusun untuk memberikan kompensasi bagi korban yang tidak tertanggung dalam CLC. Hal ini terjadi karena antara lain: 1. Jumlah biaya melebih batas pertanggungjawaban; 2. Pemilik kapal dikecualikan dari strict liability, sehingga tidak ada yang bertanggung jawab atas tumpahan minyak; 3. Pemilik kapal maupun asuransi tidak memiliki dana untuk membayar kewajibannya. Berdasarkan Konvensi Pendanaan, maka setiap pihak yang berada di negara peserta Konvensi dan menerima lebih dari 150,000 ton minyak mentah dan/atau minyak olahan, diwajibkan untuk memberikan iuran kontribusi. Namun demikian, kompensasi yang diberikan oleh Fund Convention pun juga terbatas. Yakni, 203 juta SDR bagi kejadian pra 2003, dan 135 juta SDR bagi kejadian pasca 2003. 2. Konvensi dalam Pengelolaan Wilayah Artik77 CLC dan Fund Convention pada prinsipnya adalah pemberlakuan rezim hukum perdata internasional bagi tumpahan minyak. Sementara, dapat pula dimungkinkan perjanjian yang sifatnya publik (G2G) sebagai kerjasama bilateral/regional. Sebagai contoh adalah Agreement on Cooperation on Marine Oil Pollution Preparedness and Response in the 77 Lihat Agreement on Cooperation on Marine Oil Pollution Preparedness and Response in the Arctic, ditandatangani pada tahun 2013. 69 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 18 Mei – September 2015 Arctic. Perjanjian ini merupakan kerjasama regional di antara Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia, Rusia, Swedia, dan Amerika Serikat. Karena sifatnya yang kerjasama antara negara, maka fokus perjanjian ini adalah kerjasama, koordinasi, dan bantuan timbal balik (mutual assistance). Berbagai poin penting yang dapat diambil dari perjanjian ini adalah: 1. Adanya kewajiban untuk membentuk sistem nasional yang mengendalikan kegiatan migas di wilayahnya masing-masing; 2. Adanya focal point dari masing-masing negara untuk memudahkan kerjasama; 3. Kewajiban notifikasi; 4. Permintaan bantuan dan koordinasi dalam hal adanya operasi penanggulangan; 5. Kebebasan pergerakan sumber daya antar negara dalam hal terjadi operasi penanggulangan; 6. Reimbursement (penggantian biaya) apabila ada permintaan untuk memberikan bantuan dari negara lain; 7. Kajian bersama (joint review) atas tindakan/operasi penanggulangan, termasuk dalam penentuan penyebab dan dokumen teknis lainnya; 70 8. Kerjasama dan kewajiban dalam pertukaran informasi; 9. Pelatihan bersama. JURNAL OPINIO JURIS F. Vol. 18 Mei – September 2015 Kesimpulan Berdasarkan pengalaman Pemerintah Indonesia menangani kasus tumpahan minyak Montara, banyak pelajaran yang dapat diambil, khususnya keputusan Pemerintah Indonesia untuk menempuh upaya diplomatik. Perundingan Indonesia-Thailand tidak dapat menemukan penyelesaian karena sifat negosiasinya yang tidak jelas, apakah B2G (dengan PTTEP sebagai korporasi) atau G2G (dengan Pemerintah Thailand). Apabila sifatnya adalah G2G, maka dapat dipertanyakan kewenangan Pemerintah Indonesia mewakili korban, dan jaminan bahwa korban tidak akan melakukan gugatan perdata secara terpisah dari hasil diplomasi G2G. Adanya percampuran konsep diplomasi ini terjadi karena belum ada kesamaan pandangan antara rumusan instrumen hukum yang ada, apakah yang sifatnya memfasilitasi gugatan perdata (seperti Konvensi Pertanggungjawaban Perdata/Konvensi Pendanaan) atau untuk memfasilitasi kerjasama antara negara (seperti kerjasama regional negaranegara Arctic). Dengan pencampuradukan kedua model perjanjian internasional ini, maka tuntutan serta posisi negosiasi dalam diplomasi menjadi rancu. Atas dasar ini, sebagai rekomendasi tulisan ini, dan tindak lanjut dari pembahasan di IMO Legal Committee, memang dibutuhkan instrumen hukum yang sifatnya lebih tepat berupa bilateral atau regional. Dalam hal ini, untuk wilayah ASEAN dapat mengacu pada konvensi Wilayah Artik sebagai referensi. Konvensi tersebut fokus pada kerjasama antar negara, misalnya terkait joint inquiry, joint investigation, focal point sebagai 71 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 18 Mei – September 2015 sarana pertukaran informasi, serta koordinasi dalam pelaksanaan tindakan darurat bersama. Konvensi tersebut tidak membahas mengenai elemen pertanggung jawaban perdata, yang merupakan materi muatan yang berbeda. Referensi Agreement on Cooperation on Marine Oil Pollution Preparedness and Response in the Arctic, (2013) Balkin, Rosalie. “Is there a place for the regulation of offshore oil platforms within international maritime law? If not, then where?, Comitè Maritime International Dublin Symposium, 2013 Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, Proses Tuntutan Ganti Rugi di Laut Timor. Agustus 2014 Government of Indonesia. Claims for Pollution Compensation in Timor Sea. 2010 International Maritime Organization (IMO), Ongoing Discussion at IMO on Matters Concerning Liability and Compensation for Oil Pollution Damage Resulting from Offshore Exploration and Exploitation Activities, Medexpol 2013 Workshop on the Regional Response Capacity and Coordination to Major Oil Spill in the Mediterranean Sea, 5 December 2013. Montara Commission of Inquiry of the Australian Government. Report of the Montara Commission Inquiry,.Juni 2010. Tim Advokasi Tuntutan Ganti Rugi di Laut Timor. Laporan Perkembangan Tuntutan Ganti Rugi Akibat Pencemaran di Laut Timor Akibat Tumpahan Minyak. Januari 2012 72