OPINIO JURIS

advertisement
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18  Mei – September 2015
PENGALAMAN DIPLOMASI INDONESIA DALAM SENGKETA
TUMPAHAN MINYAK MONTARA DAN KEBUTUHAN
INSTRUMEN HUKUM REGIONAL ASEAN
M. Ajisatria Suleiman
Abstract
In August 2009, massive spills of light crude oil and hydrocarbon
gas occurred as a result of blowouts of Montara Well Head Platform in
West Atlas Block, in the area of Timor Sea. The offshore platform was
operated by PTTEP Australia, a subsidiary of a state owned enterprise in
Thailand. As a response to this incident, the Government of Indonesia has
been commencing various legal and diplomatic actions. The diplomatic
discussion in the IMO concluded with a recommendation to develop either
a bilateral or regional legal instrument, to further facilitate negotiation
among parties. On the other hand, the diplomatic negotiation between
Indonesia and Thailand has not yet to reach a positive outcome. It is
concluded that there is an urgency to develop a bilateral or regional legal
instrument, within the ASEAN region. However, one must distinguish a
convention that facilitates civil liability and private insurance scheme
(such as the CLC or Fund Convention) and a convention that facilitates
state-to-state bilateral/regional cooperation. Failure to distinguish the
44
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18  Mei – September 2015
types of international agreement will result in unclear diplomatic position
and focus.
Keywords: Montara spillover; ASEAN legal instrument; civil liability
A.
Latar Belakang
Pada tanggal 21 Agustus 2009, berdasarkan laporan Australian
Maritime Safety Authority (AMSA), terjadi kebocoran minyak (light
crude oil) dan gas hydrokarbon akibat ledakan di Montara Well Head
Platform di Blok West Atlas-Laut Timor Perairan Australia yakni pada
posisi 120 41’ LS 1240 32’BT dengan estimasi tumpahan 400 barel/hari (64
ton/hari).60 Per 30 Agustus 2009, jejak tumpahan minyak mentah
(weathered light crude oil) telah memasuki sebagian kecil ZEE Indonesia
yang berbatasan dengan ZEE Australia, sebagaimana tercatat oleh Balai
Riset Kelautan dan Perikanan/BRKP Kementerian Kelautan dan
Perikanan).61 Laporan AMSA juga menyebutkan bahwa per 21 September
2009 jejak tumpahan minyak mencapai 51 NM (nautical miles) dari Pulau
Rote. Ledakan terjadi atas rig pengeboran dan platform dimiliki dan
dioperasikan oleh PTTEP Australasia, anak perusahaan dari PTTEP di
60
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Republik
Indonesia, Proses Tuntutan Ganti Rugi di Laut Timor, Agustus 2014.
61
Montara Commission of Inquiry of the Australian Government, Report of the
Montara Commission Inquiry, Juni 2010.
45
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18  Mei – September 2015
Thailand.62 Menurut Pemerintah Indonesia, tumpahan minyak merusak
ekosistem laut di Laut Timor dan merugikan kegiatan sosial dan ekonomi
masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Meskipun perusahaan yang
bersangkutan memiliki asuransi, belum ada pembayaran yang diberikan
karena, antara lain, terdapat perselisihan mengenai cakupan kerugian.63
Sebagai respons atas insiden ini, Pemerintah Indonesia telah
menempuh berbagai tindakan dan advokasi. Segera setelah insiden
terdeteksi, maka tim yang terdiri dari Kementerian Perhubungan, TNI
Angkatan Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian
Lingkungan Hidup melakukan berbagai pemantauan, pengambilan sampel,
serta kajian dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup di wilayah laut
Republik Indonesia.64
Perundingan diplomatik dilakukan antara Pemerintah Indonesia
dengan Thailand sebagai negara dimana penanggung jawab tumpahan
berasal, mengingat operator pengeboran merupakan anak perusahaan dari
BUMN Thailand. Selain itu, upaya diplomasi juga dilakukan di tingkat
International Maritime Organization (IMO) untuk mengajukan usulan
pembuatan instrumen hukum internasional. Selain itu, terdapat upaya
62
Government of Indonesia, Claims for Pollution Compensation in Timor Sea,
2010.
63
Tim Advokasi Tuntutan Ganti Rugi di Laut Timor, Laporan Perkembangan
Tuntutan Ganti Rugi Akibat Pencemaran di Laut Timor Akibat Tumpahan Minyak,
Januari 2012.
64
Lihat Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan
Republik Indonesia, op. cit.
46
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18  Mei – September 2015
untuk mengajukan gugatan ganti rugi perdata. Namun, hingga saat ini,
belum terdapat kejelasan mengenai arah penyelesaian ganti rugi akibat
tumpahan yang minyak yang timbul.
Dalam hal ini, terdapat beberapa pihak yang terlibat dalam kasus
Montara, dan hal ini mempengaruhi bagaimana pertanggungjawaban dari
masing-masing pihak bersangkutan. Misalnya dalam kasus Montara
terdapat pihak-pihak yang berpotensi bertanggung jawab atas terjadinya
blowout, antara lain:
1.
Operator pengeboran, yaitu PTTEP Australasia (Ashmore
Cartier) Pty Ltd (PTTEPAA), yang merupakan anak perusahaan
dari perusahaan Pemerintah Thailand (BUMN atau National Oil
Companies, PTTEP)
2.
Regulator, yaitu, Northern Territory Department of the
Environment yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah
Federal Australia untuk mengatur dan mengawasi kegiatan
pengeboran;
3.
Pemerintah (Federal) Australia, yakni sebagai: (a) regulator
utama kegiatan migas berdasarkan Offshore Petroleum Act
dan/atau (b) pihak yang bertanggung jawab atas penggunaan
dispersan (di laut bebas) yang menurut beberapa kalangan
dianggap justru memperparah pencemaran lingkungan laut, dan (c)
turut serta bertanggung jawab bersama-sama dengan Northern
Territory Department of the Environment;
47
JURNAL OPINIO JURIS
4.
Vol. 18  Mei – September 2015
Halliburton, perusahaan Amerika Serikat yang dapat dianggap
bertanggung jawab sebagai pihak yang melakukan pengeboran
(kontraktor pengeboran) pada saat blowout dan/atau dianggap ikut
bertanggung jawab memperparah pencemaran dengan melakukan
tindakan yang penanganan yang tidak tepat sebelum blowout
sehingga semakin memperparah blowout;
5.
Atlas Drilling, sebagai pemilik rig pengeboran, merupakan
perusahaan di Singapura dan afiliasi dari Sea Drift Management,
suatu perusahaan berbasis di Norwegia. PTTEPAA menggunakan
jasa Atlas untuk berbagai kegiatan pengeboran.
B.
Analisis Diplomasi di IMO dan Urgensi Instrumen Hukum
Regional
Permasalahan pertanggungjawaban dan ganti kerugian pencemaran
laut lintas batas akibat kegiatan minyak bumi lepas pantai disampaikan
oleh Indonesia kepada IMO pertama kali pada bulan Maret 2010, pada saat
60th session of the Marine Environment Protection Committee (MEPC).65
Kemudian Delegasi Indonesia menyampaikan proposalnya kepada IMO
Legal Committee pada 97th session of the Legal Committee pada bulan
65
International Maritime Organization (IMO), Ongoing Discussion at IMO on
Matters Concerning Liability and Compensation for Oil Pollution Damage Resulting
from Offshore Exploration and Exploitation Activities, Medexpol 2013 Workshop on the
Regional Response Capacity and Coordination to Major Oil Spill in the Mediterranean
Sea, 5 December 2013.
48
JURNAL OPINIO JURIS
September 2010.
Vol. 18  Mei – September 2015
Menurut Delegasi Indonesia pula, meskipun sudah
terdapat asuransi, namun kewenangan regulasi atas asuransi tidak diatur
oleh negara asal pencemaran (mengingat anjungan minyak berada di
negara tersebut). Meskipun dimungkinkan adanya perjanjian regional atau
bilateral. Namun demikian, batas cakupan asuransi akan bergantung dari
hukum negaranya masing-masing. Oleh karena itu, dibutuhkan standar
internasional yang dapat diberlakukan di semua negara dan semua
insiden.66
Delegasi Indonesia meminta agar Legal Committee mencantumkan
permasalahan ini dalam agenda sehingga mendorong instrumen hukum di
bidang pertanggungjawaban dan kompensasi dari pencemaran laut yang
berasal dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas.
Per
Desember 2013, proposal Delegasi Indonesia sudah dibahas di 4 sesi
formal Legal Committee, maupun di sesi informal (informal intersession
consultative group).67
Dari pembahasan di sesi-sesi tersebut, terlihat ada perdebatan di
tingkat prosedural dan tingkat substansial. Secara procedural, berdasarkan
IMO Council pembahasan materi agenda Sesi harus sesuai dengan
Strategic Plan, dimana proposal Indonesia tidak sesuai dengan Strategic
66
Nikita Scicluna, A Legal Discussion on the Civil Liability for Oil Pollution
Damage resulting from Offshore Oil Rigs in the light of the recent Deepwater Horizon
incident, disampaikan dalam 1st Offshore Protocol Working Group Meeting Valletta,
Malta, 13-14 Juni 2013.
67
Ibid.
49
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18  Mei – September 2015
Plan. Oleh karenanya, dibutuhkan persetujuan dari IMO Council.
Sementara secara substansi, perdebatan dari para negara peserta
terpolarisasi dan tidak dapat mencapai titik temu.68
Atas bantuan Sekretariat dari Legal Committee, disampaikan
berbagai instrumen hukum internasional dan regional yang sudah ada yang
memadai untuk mengatasi permasalahan ini. Disimpulkan “bahwa tidak
ada instrumen hukum internasional yang khusus mengatur mengenai
pencemaran laut akibat kegiatan di anjungan minyak lepas pantai.”69
Namun terdapat beberapa instrumen internasional yang menyinggung dan
cukup relevan untuk dibahas.
a.
UNCLOS
memberikan
kewajiban
bagi
negara
untuk
mengendalikan polusi yang mencemarkan lingkungan laut dan
membebankan kewajiban untuk memberikan kompensasi atas
kerugian yang ditimbulkan. Namun, UNCLOS tidak mengatur
mengenai rezim pertanggungjawaban dan kompensasi secara detail.
b.
Terdapat juga 1977 Convention on Civil Liability for Oil Pollution
Damage from Offshore Activities (CLEE), namun hingga kini
belum berlaku (entry into force).
c.
1974
Regional
Convention
between
Denmark,
Finlandia,
Norwegia, and Swedia memberikan kewajiban kompensasi atas
68
69
50
IMO, op. cit.
IMO, op. cit.
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18  Mei – September 2015
pencemaran laut dari anjungan lepas pantai, namun keberlakuannya
hanya untuk empat negara tersebut (meskipun mekanisme yang ada
dapat dijadikan rujukan).
d.
Terdapat 1974 Offshore Pollution Liability Agreement (OPOL)
yang mewajibkan perusahaan minyak yang beroperasi di North Sea
untuk bertanggungjawab dalam mengganti kerugian akibat
tumpahan minyak di anjungan lepas pantai.
e.
Sekretariat dari Legal Committee juga mencatat beberapa konvensi
regional lain dan beberapa dokumen IMO yang mengatur mengenai
polusi akibat kegiatan lepas pantai, namun tidak memberikan
panduan
terkait
mekanisme
pertanggungjawaban
dan
penggantirugian.
f.
2010
UNEP
Guidelines
memberikan
panduan
mengenai
mekanisme pertanggungjawaban dan penggantirugian atas kegiatan
yang berbahaya bagi lingkungan hidup, namun tidak mengatur
mengenai kegiatan lepas pantai.
g.
2004 EU Environmental Liability Directive membebankan
kewajiban bagi operator yang melakukan kegiatan berbahaya untuk
bertanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability), namun hanya
untuk beberapa tipe kecelakaan dari anjungan minyak. Namun,
pasca insiden Deepwater Horizon, Directive ini direvisi dengan EU
Directive 2013/30/EU tanggal 12 Juni 2013, dimana negara
anggota EU diminta untuk memastikan bahwa pemegang izin dapat
bertanggung
jawab
secara
finansial
untuk
mencegah
dan
51
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18  Mei – September 2015
memulihkan kerusakan lingkungan sebagaimana didefinisikan
dalam Directive ini, yang diakibatkan oleh kegiatan minyak bumi
dan gas lepas pantai, yang dilakukan oleh, atau untuk kepentingan,
pemegang izin atau operator (“ensure that the licensee is
financially liable for the prevention and remediation of
environmental damage as defined in that Directive, caused by
offshore oil and gas operations carried out by, or on behalf of, the
licensee or the operator”).
h.
Legal Committee menyebutkan bahwa selama 30 tahun terakhir,
terdapat
Comite
Maritime
International
(CMI)
yang
mengembangkan Rancangan Konvensi tentang Offshore Mobile
Craft. Pada tahun 1998, CMI menyampaikan laporan kepada IMO
bahwa definisi “Mobile Craft” tidak dapat disamakan dengan kapal
(ship), sehingga konvensi IMO mengenai kapal tidak dapat
diterapkan kepada Mobile Craft (yang mana mencakup anjungan
lepas pantai). Atas dasar ini, dibutuhkan konvensi baru yang
mengatur mengenai mobile craft, atau mengubah konvensi yang
sudah ada sehingga dapat juga mencakup unit-unit lepas pantai
yang dapat bergerak (mobile) dan juga anjungan yang tidak
bergerak (fixed structure).
52
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18  Mei – September 2015
Dari 60 anggota yang menghadiri IMO Legal Committee, terdapat
berbagai pendapat yang mendukung ataupun menolak usul Indonesia.
Argumentasi yang mendukung antara lain:70
a.
Momen yang penting untuk pembahasan karena adanya
insiden Montara dan Deepwater Horizon;
b.
IMO tidak perlu menunggu sampai ada kejadian lagi;
c.
IMO merupakan lembaga yang kompeten untuk membahas isu
ini;
d.
Insiden pencemaran lintas batas membutuhkan kerjasama dan
pengaturan di tingkat internasional;
e.
Diperlukan mekanisme kompensasi bagi korban.
Sementara itu, argumentasi yang menolak:71
a.
Sebaiknya menggunakan instrumen hukum nasional ataupun
regional/bilateral, tidak perlu instrumen hukum internasional;
b.
IMO tidak ada mandat untuk membahas permasalahan ini,
karena IMO fokus kepada permasalahan pelayaran (shipping),
sementara anjungan lepas pantai bukan bagian dari kegiatan
pelayaran;
c.
Menurut UNCLOS, negara yang berwenang untuk menyusun
sistem
pertanggungjawaban
dan
kompensasinya,
tidak
memerlukan keterlibatan IMO;
70
71
IMO, op. cit.
IMO, op. cit.
53
JURNAL OPINIO JURIS
d.
Vol. 18  Mei – September 2015
Sebaiknya dilakukan studi untuk menilai apakah instrumen
regional/bilateral yang ada saat ini sudah efektif.
Pada bulan April 2012, Brazil menolak usul Indonesia karena
beberapa alasan. Secara substansial, Brazil menolak usul Indonesia untuk
mereplikasi pengaturan pencemaran laut dari kegiatan kapal (sebagaimana
diatur dalam 1992 Civil Liability Convention dan Fund Convention) untuk
diterapkan pada anjungan lepas pantai. Alasannya, ada perbedaan
fundamental antara kegiatan kapal/pelayaran dengan kegiatan anjungan
minyak lepas pantai, yang melekat pada kegiatan di landas kontinen.
Anjungan
lepas
pantai
umumnya
dilakukan
di
wilayah
landas
kontinen/Zona Ekonomi Eksklusif, sehingga dampak pencemarannya
terbatas. Hal ini berbeda dengan kapal tanker minyak yang bergerak
hingga masuk ke kawasan laut territorial. Selain itu, kapal tanker juga
berjalan melintasi berbagai yurisdiksi laut territorial berbagai macam
negara, mulai dari negara asal hingga negara tujuan, dan termasuk juga
negara tempat kapal tersebut lewat atau singgah/transit. Atas dasar
kepentingan internasional ini dibutuhkan pengaturan hukum internasional.
Dari hasil diskusi yang berkembang, disimpulkan bahwa IMO
Legal Committee tidak melihat adanya urgensi untuk membentuk konvensi
internasional untuk permasalahan ini. IMO Legal Committee juga sepakat
bahwa cara terbaik untuk mengatasi permasalahan pencemaran lintas batas
dari kegiatan anjungan minyak lepas pantai adalah melalui mekanisme
bilateral dan regional. Mengingat IMO memiliki keahlian di bidang
54
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18  Mei – September 2015
pertanggungjawaban dan ganti rugi pencemaran laut, maka IMO Legal
Committee, maka IMO akan menganalisis lebih jauh permasalahan ini dan
membantu penyusunan model perjanjian bilateral atau regional yang
mengatasi permasalahan ini.
Pada Bulan April 2014, pada 101st Session of IMO Legal
Committee, Delegasi Indonesia secara khusus menyatakan kekecewaannya
atas kesimpulan tersebut di atas, namun akan tetap mendukung secara aktif
dan
berkomitmen
untuk
mengembangkan
model
perjanjian
bilateral/regional mengenai pencemaran laut lintas batas akibat kegiatan
minyak bumi dan gas.
C.
Analisis Diplomasi Bilateral Indonesia-Thailand
Pada 15 Juli 2010, Pemerintah Indonesia mengawali langkah
advokasi dan negosiasi tuntutan ganti rugi dengan penerbitan Keputusan
Menteri Perhubungan Nomor. KP 326 Tahun 2010 Tanggal 15 Juli 2010
tentang Pembentukan Tim Advokasi Tuntutan Ganti Rugi Pencemaran
Laut Timor. Pertemuan pertama kali dilakukan dengan PTTEP AP di
Perth, 27 Juli 2010. Sejak saat itu hingga tahun 2013, rangkaian proses
negosiasi dan advokasi tuntutan dilakukan yang berujung pada kegagalan
Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan tuntutan haknya dari PTTEP.
Secara umum berikut adalah proses negosiasi yang dapat dikategorisasi
menjadi 3 (tiga) tahap:
55
JURNAL OPINIO JURIS
1.
Vol. 18  Mei – September 2015
Negosiasi B2G antara Tim Advokasi Pemerintah Indonesia dengan
PTTEP (Juli 2010-Juli 2011)72
Dalam tahap ini, negosiasi dilakukan antara Tim Pemerintah
Indonesia dengan PTTEP secara business to government (B2G). Agar
tercapai kesepakatan mengenai proses dan jumlah ganti rugi, PTTEP
menghendaki adanya kesamaan data ilmiah yang digunakan, sehingga
mengusulkan adanya pengkajian bersama. Usul ini ditolak oleh
Pemerintah Indonesia karena menganggap sudah tidak cukup waktu.
Hingga keseluruhan proses negosiasi berakhir, tidak tercapai kesepakatan
mengenai data ilmiah yang digunakan.
Permasalahan lain yang disampaikan oleh PTTEP adalah
kewenangan Pemerintah Indonesia untuk mengajukan gugatan atas nama
penggugat (khususnya masyarakat yang terkena dampak pencemaran).
PTTEP hendak memastikan bahwa seandainya pun tercapai kesepakatan
dengan Pemerintah Indonesia, di kemudian hari tidak ada gugatan yang
diajukan kepada PTTEP atas nama pihak lain, misalnya masyarakat lokal,
atau Pemerintah Daerah.
Pemerintah Indonesia mengusulkan adanya langkah sementara
(interim measure) sambil menunggu hasil proses negosiasi. PTTEP
72
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Republik
Indonesia, Proses Tuntutan Ganti Rugi di Laut Timor, Agustus 2014.
56
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18  Mei – September 2015
menyambut langkah ini dengan mengusulkan adanya pembayaran dengan
skema Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai bentuk itikad baik
(goodwill), sehingga pembayaran tersebut tidak dapat diartikan sebagai
pengakuan atas kesalahan (admission of liability). Selain itu, juga dibahas
mengenai adanya jaminan kecukupan dana berupa bank garansi untuk
memastikan kemampuan PTTEP memenuhi klaim yang disepakati.
Keseluruhan mekanisme ganti rugi menggunakan pola dual track,
sebagaimana dijelaskan di atas (CSR plus penghitungan ganti rugi dengan
skema bank garansi), akan tercantum dalam suatu nota kesepahaman
(Memorandum of Understanding). Namun demikian, penandatanganan
MoU selalu tertunda karena berbagai alasan, termasuk negosiasi ulang atas
poin-poin yang disepakati.
Kegagalan penandatanganan MoU membuat proses negosiasi
meluas menjadi G2G, dengan Pemerintah Indonesia menyurati Pemerintah
Thailand sebagai otoritas yang berwenang atas perusahaan induk PTTEP.
Dalam berbagai alasan yang dikemukakan oleh PTTEP, terdapat klaim
bahwa penandatanganan MoU membutuhkan persetujuan dari Menteri
Energi Thailand. MoU gagal ditandatangani sehingga disepakati bahwa
proses negosiasi akan difasilitasi oleh kehadiran Neutral Committee.
57
JURNAL OPINIO JURIS
2.
Vol. 18  Mei – September 2015
Negosiasi dengan mediasi Neutral Committee dan dimulainya
keterlibatan negosiasi G2G (Agustus 2011-November 2012)73
Pada bulan Juni 2011, disepakati pembentukan Neutral Committee
dengan anggota terdiri atas Mr. Juha Christensen, H.E. Dr. Surakiart
Sathirathai dan H.E. Dr. Hasan Wirajuda. Pertemuan pertama Neutral
Committee dimulai pada bulan Agustus 2011. Juha Christensen adalah
aktivis non-pemerintah yang banyak terlibat dalam proses perdamaian di
Aceh, dan menjadi penasehat Pemerintah Finlandia dalam melakukan
mediasi proses perundingan antara Gerakan Aceh Merdeka dengan
Pemerintah Indonesia. Surakiart Sathirathai adalah pakar hukum
internasional dari Thailand dan mantan Wakil Perdana Menteri Thailand
bidang hubungan luar negeri. Hassan Wirajuda adalah mantan Menteri
Luar Negeri Republik Indonesia.
Pembahasan dalam Neutral Committee masih merujuk pada poinpoin yang sudah dibahas sebelumnya antara Pemerintah Indonesia dan
PTTEP. Secara umum, kerangka penyelesaian ganti rugi melalui skema
“dual track” (CSR dan kesepakatan ganti rugi yang dijamin oleh bank
garansi). Skema dual track ini seyogyanya akan termaktub ke dalam MoU
yang akan ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan PTTEP. Namun
demikian, detail teknis mengenai materi MoU tidak kunjung disepakati.
73
58
Ibid.
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18  Mei – September 2015
Misalnya, mengenai jumlah CSR yang hendak dibayarkan sebagai
goodwill, serta kerangka dasar penyelesaian dan penghitungan ganti rugi.
Dalam perkembangannya, anggota dari Neutral Commitee berubah.
Dari Thailand diganti menjadi Vasin Teeravechyan, diplomat yang juga
menangani sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja. Sementara
itu, untuk pihak ketiga yang netral diusulkan Michael Vatiokiotis, mantan
jurnalis dan aktivis perdamaian yang berpengalaman mengelola organisasi
non-pemerintah mediator konflik Thailand. Selain masalah substansi
MoU, Neutral Commitee membahas mengenai teknikalitas hukum, seperti
hukum yang berlaku (governing law). Baik substansi materi maupun
teknikalitas hukum tidak kunjung disepakati oleh para pihak. Selain itu,
terdapat berbagai alasan yang menghambat penandatangan MoU.
Misalnya, adanya renegosiasi atas klausul-klausul yang sebenarnya sudah
disepakati dalam pertemuan-pertemuan terdahulu. Pada bulan November
2012, Hassan Wirajuda resmi mengundurkan diri dan menyatakan bahwa
skema dual track akan ditiadakan.
3.
Diplomasi Neutral Committee dan dimulainya rencana pengajuan
tuntutan/gugatan hukum74
Hingga Desember 2012, Pemerintah Indonesia memberikan
ultimatum untuk segera menyelesaikan proses perundingan dengan tenggat
74
Ibid.
59
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18  Mei – September 2015
waktu Desember 2012. Namun, hal ini tidak ditanggapi oleh Thailand, dan
justru mengusulkan perubahan anggota Neutral Commitee menjadi Bhokin
Bhalakula. Dengan gagalnya fasilitasi dari Neutral Commitee, maka proses
negosiasi antara Pemerintah Indonesia dan PTTEP berada dalam kondisi
status quo. Pemerintah Indonesia sudah mulai menyikapi secara tegas
perkembangan ini, dan mempersiapkan diri untuk mengajukan gugatan
hukum, sebagaimana dibahas dalam rapat koordinasi Eselon 1 pada bulan
April 2013.
Beberapa opsi yang dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
1)
Rencana pengajuan gugatan perdata ganti kerugian di pengadilan
domestik Indonesia, sebagaimana dipersiapkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup.
2)
Rencana penuntutan tindak pidana pencemaran, yang akan
dikoordinasikan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan
Kepolisian Republik Indonesia.
Hingga akhir 2014, belum ada langkah nyata dari Pemerintah
Indonesia untuk menjalankan tuntutan atau gugatannya. Begitupula tidak
ada kelanjutan proses negosiasi antara Tim Advokasi dengan PTTEP. Pada
bulan Juni 2014, Menteri Perhubungan mengirimkan surat kepada Ketua
Yayasan Peduli Timor Barat agar melakukan proses advokasi di skala
lokal/regional. Hal ini menunjukan adanya perluasan jalur advokasi ke
tingkat lokal.
60
JURNAL OPINIO JURIS
D.
Vol. 18  Mei – September 2015
Permasalahan Hukum dalam Proses Diplomasi IndonesiaThailand
Proses negosiasi yang berlarut-larut antara Tim Advokasi dengan
PTTEP, bahkan sudah difasilitasi oleh Neutral Committee yang
beranggotakan tokoh kompeten kedua negara dan tokoh netral,
menunjukkan adanya kelemahan dalam hukum pertanggungjawaban
pencemaran lingkungan yang sifatnya lintas batas. Hal ini pula yang
mendorong Pemerintah Indonesia untuk aktif dalam melakukan advokasi
di tingkat organisasi internasional melalui IMO. Beberapa kendala dan
keterbatasan hukum yang dapat diamati melalui proses negosiasi adalah:
1.
Sifat hubungan negosiasi
Hubungan para pihak dalam perundingan dalam prinispnya adalah
bersifat B2G (business to government) yaitu antara Pemerintah Indonesia
dengan PTTEP sebagai badan hukum privat. Perundingan ini pun adalah
bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan (out of court settlement
dengan pola negosiasi/mediasi), yang sebenarnya bukan merupakan
perundingan diplomatik.
Dalam perkembangannya, perundingan mengarah ke pola “semi
diplomasi” dengan pembentukan neutral committee yang merupakan
mantan diplomat atau negosiator konflik internasional. Begitupula dalam
perkembangannya
beberapa
kali
PTTEP
menyampaikan
bahwa
penandatanganan MoU membutuhkan persetujuan Pemerintah Thailand.
Hal ini menyiratkan pola negosiasi berupa komunikasi diplomatik antara
61
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18  Mei – September 2015
negara (Government to Government, atau G2G). Namun demikian, apabila
perundingan berstatus G2G antar pemerintah, disayangkan tidak ada
keterlibatan Pemerintah Australia sebagai negara asal pencemaran. Dengan
demikian, tidak ada kejelasan kerangka dasar perundingan, termasuk aktor
negara dan non-negara yang terlibat, sehingga memperlambat proses
perundingan.
2.
Kedudukan hukum Pemerintah Indonesia untuk mewakili korban
Dalam
suatu
perundingan
diplomasi,
negara
dapat
memperjuangkan kepentingan warga atau wilayahnya berdasarkan prinsip
perlindungan diplomatik (diplomatic protection). Namun, mengingat
perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan PTTEP bukanlah
perundingan diplomatik, maka status Pemerintah Indonesia dipertanyakan.
PTTEP
mempertanyakan
mengenai
kedudukan
Pemerintah
Indonesia apakah mewakili seluruh penggugat potensial (representing all
potential claimants). Hal ini menjadi penting karena di satu sisi, PTTEP
membutuhkan jaminan bahwa kompensasi yang dikeluarkan memang
diperuntukan kepada korban dan masyarakat yang terdampak. Di sisi lain,
dalam konteks gugatan perdata, Pemerintah Indonesia tidak dapat
menjamin bahwa aktor lain, misalnya perwakilan LSM lokal, masyarakat
adat, atau Pemerintah Daerah tidak melakukan gugatan kepada PTTEP.
Pun dalam konteks gugatan perdata, gugatan perwakilan yang dilakukan
Pemerintah tidak serta merta menyebabkan gugurnya hak pihak lain untuk
mengajukan gugatan (nebis in idem). Masalah kedudukan hukum ini pula
62
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18  Mei – September 2015
yang menyebabkan perundingan antara Pemerintah Indonesia dan PTTEP
tidak dapat menemukan penyelesaian.
3.
Referensi merumuskan skema pertanggungjawaban dan
pemberian kompensasi
Dalam setiap perundingan penyelesaian sengketa di luar pengadilan
(termasuk mediasi yang bersifat lintas batas), maka sewajarnya ada
referensi mengenai hukum, peraturan, atau prinsip yang digunakan. Hal ini
memudahkan para pihak untuk menemukan kesepahaman, maupun
mengkonfirmasi ketidaksepahaman.
Meskipun sifat negosiasi adalah kesepakatan para pihak, namun
perundingan selalu dilakukan dengan merujuk peraturan yang ada. Tidak
adanya mekanisme peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan
dalam negosiasi antara Pemerintah Indonesia dan PTTEP menjadikan
perundingan sulit menemukan titik temu. Hal ini akan berbeda, seandainya
terdapat ketentuan bahwa hukum yang berlaku (governing law) adalah
hukum dimana kerugian terjadi, maka terdapat potensi pembahasan
mengenai kompensasi dalam anti rugi dalam hukum Indonesia.
4.
Referensi dalam melakukan investigasi bersama/joint inquiry
termasuk yang sifatnya teknis di bidang kemaritiman/ekologi
Faktor penting yang menyebabkan perundingan tidak dapat
merumuskan titik temu adalah tidak adanya kesepahaman mengenai data
63
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18  Mei – September 2015
ilmiah yang dijadikan landasan untuk merumuskan ganti kerugian.
Pemerintah Indonesia, Pemerintah Australia, maupun PTTEP secara
mandiri melakukan kajian ilmiah teknis di bidang kemaritiman/ekologi
untuk menilai dampak pencemaran terhadap lingkungan laut serta
kehidupan sosial dan ekonomi. Namun demikian, tidak ada kewajiban dari
masing-masing pihak untuk menerima hasil ataupun metodologi dari
masing-masing kajian yang dihasilkan. Atas dasar ini, besarnya jumlah
ganti kerugian tidak dapat ditetapkan dan disepakati.
Dalam konteks gugatan perdata, memang lumrah terjadi adanya
dua kajian ilmiah yang masing-masing dilakukan oleh penggugat dan
tergugat untuk membuktikan adanya kerugian yang timbul, serta besarnya
ganti rugi yang diperlukan. Para pihak pun dalam penyelesaian sengketa di
luar pengadilan dimungkinkan untuk sepakat menunjuk pihak independen
dalam melakukan kajian ilmiah yang hasilnya disepakati secara bersama,
atau hasilnya digunakan oleh pihak ketiga dalam mengambil keputusan
(arbiter/mediator).
Sementara dalam konteks hukum internasional,
terdapat prinsip dasar “duty to cooperate” yang mewajibkan adanya itikad
baik dari negara dalam menyelesaikan hubungan internasional, khususnya
secara regional ataupun internasional. Dapat termasuk dalam duty to
cooperate ini adanya kesepakatan untuk melakukan kajian bersama, yang
64
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18  Mei – September 2015
mengacu pada suatu perjanjian bilateral/regional/internasional yang
menjadi acuan.75
5.
Mekanisme penyelesaian sengketa melalui pengadilan dan
urgensi penyelesaian perundingan
Penyelesaian sengketa di luar sidang pengadilan hanya dapat
berjalan efektif jika ada insentif dari para pihak untuk menyelesaikannya
segera. Insentif itu berupa adanya kalkulasi rasional bahwa penyelesaian
sengketa di luar sidang akan lebih hemat biaya, cepat, dan efisien
ketimbang penyelesaian sengketa di pengadilan. Oleh karena itu,
perundingan/mediasi hanya dapat berjalan efektif jika ada pengadilan.
Tanpa adanya kerangka yang mengatur gugatan lintas batas baik yang
bersifat perdata maupun publik, tidak ada insentif dari PTTEP untuk
menyelesaikan perundingan dengan itikad baik.
Berdasarkan poin-poin di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
urgensi untuk membentuk instrumen hukum lintas negara (apakah itu
bilateral, regional, ataupun internasional), yang khusus mengatur mengenai
75
Misalnya dalam Pasal 197 UN Convention on the Law of the Sea, dinyatakan
“States shall cooperate on a global basis and, as appropriate, on a regional basis,
directly or through competent international organizations, in formulating and elaborating
international rules, standards and recommended practices and procedures consistent
with this Convention, for the protection and preservation of the marine environment,
taking into account characteristic regional features.”
Lihat juga Gard AS, MARPOL Annex I, Regulations for the Prevention of
Pollution by Oil, (April 2010).
65
JURNAL OPINIO JURIS
pertanggungjawaban
dan
Vol. 18  Mei – September 2015
pemberian
kompensasi
korban
akibat
pencemaran lintas batas yang disebabkan dari anjungan minyak lepas
pantai. Namun di sisi lain, secara pragmatis dengan mempertimbangkan
waktu dan sumber daya, serta kerugian yang dialami oleh korban, maka
Pemerintah Indonesia juga sewajarnya mulai mengembangkan metodologi
yang tepat dan disepakati oleh PTTEP dalam kasus Montara. Kemampuan
Indonesia, seandainya berhasil, justru dapat dijadikan contoh untuk
mendukung adanya instrumen hukum di tingkat internasional.
E.
Pembahasan Perjanjian Internasional yang Sudah Ada
Sebagai Referensi
Ada berbagai pendekatan dalam merumuskan instrumen hukum
yang dapat mendorong kerjasama dalam hal terjadi tumpahan minyak
lintas
negara.
Mekanisme
pertama,
pendekatan
hukum
perdata
internasional, sebagaimana dapat dilihat dalam Convention on Civil
Liability (CLC) dan Fund Convention. Dalam skema seperti ini, maka
disusun suatu mekanisme pertanggungjawaban, pola kompensasi, maupun
batas-batas pertanggungjawaban. Mekanisme kedua terkait dengan
kerjasama antara negara (G2G) yang biasanya berlaku untuk tingkat
bilateral atau regional. Yang ditekankan adalah aspek koordinasi antar
negara, misalnya diatur mengenai bantuan operasional, kewajiban
pertukaran informasi, dan penyelidikan bersama (secara ilmiah) untuk
mendapatkan kesepahaman mengenai penyebab pencemaran. Ketiga,
66
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18  Mei – September 2015
pengaturan di tingkat hukum nasional, sebagaimana digunakan contoh
Australia yang mengharuskan adanya asuransi, rencana nasional dan
daerah, serta otoritas yang berwenang.
1.
Konvensi Pertanggungjawaban Perdata dan Konvensi Pendanaan76
International Convention on Civil Liability for Oil Pollution
Damage pertama kali diadopsi tahun 1969 dan berlaku tahun 1975.
Konvensi ini kemudian diamandemen tahun 1992 dan berlaku tahun 1996.
Per April 2014, 97% dari negara di dunia sudah meratifikasi Konvensi ini.
Dalam diplomasi IMO, Indonesia secara khusus ingin menyusun konvensi
dengan mereplikasi prinsip-prinsip CLC. Namun, usul ini ditolak oleh
IMO karena dianggap sifat “internasional” dari tumpahan minyak tidak
ada, berbeda dengan kapal. Rezim pertanggungjawaban lebih baik diatur
secara regional atau bilateral.
CLC pada prinsipnya berlaku terhadap kapal. Atas alasan ini, CLC
tidak dapat berlaku terhadap anjungan minyak lepas pantai karena tidak
dianggap sebagai kapal. CLC memberikan kewajiban kepada pemilik
kapal yang mencemarkan laut karena tumpahan minyak. Skema
pertanggungjawabannya adalah strict liability, sehingga kesalahan dari
pemilik kapal tidak perlu dibuktikan. Pengecualian atas strict liability
Rosalie Balkin, “Is there a place for the regulation of offshore oil platforms
within international maritime law? If not, then where?, Comitè Maritime International
Dublin Symposium, 2013
76
67
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18  Mei – September 2015
adalah dalam hal-hal yang tertentu saja, misalnya adanya bencana alam.
Namun demikian, untuk memberikan keseimbangan dan prediktabilitas,
terdapat pembatasan jumlah pertanggungjawaban, sesuai dengan ukuran
dan berat kapal. Adapun batas kompensasi adalah sebagai berikut:
Kapal sampai dengan 5000 GT
3 Juta Special Drawing Rights
(SDR) Per Amandemen 2000
diganti menjadi 4.51 SDR (atau
sekitar USD 5.78 juta)
Kapal 5000-140,000 GT
3 Juta Special Drawing Rights
plus 420 SDR per ton
Per Amandemen 2000 diganti
menjadi 4.51 SDR (atau sekitar
USD 5.78 juta) plus 420 per ton
Kapal di atas 140,000 GT
89.77 Special Drawing Right
Namun demikian, berdasarkan Amandemen di tahun 1992, pemilik
kapal tidak dapat menikmati pembatasan di atas apabila tumpahan minyak
terjadi karena kelalaian, kesengajaan, atau tindakan yang ceroboh
(negligence). Pemilik kapal juga wajib mengasuransikan kapalnya bagi
kapal yang membawa kargo di atas 2,000 ton minyak.
68
JURNAL OPINIO JURIS
Sementara
Konvensi
Vol. 18  Mei – September 2015
Pendanaan
(Fund
Convention)
pada
prinsipnya disusun untuk memberikan kompensasi bagi korban yang tidak
tertanggung dalam CLC. Hal ini terjadi karena antara lain:
1.
Jumlah biaya melebih batas pertanggungjawaban;
2.
Pemilik kapal dikecualikan dari strict liability, sehingga tidak
ada yang bertanggung jawab atas tumpahan minyak;
3.
Pemilik kapal maupun asuransi tidak memiliki dana untuk
membayar kewajibannya.
Berdasarkan Konvensi Pendanaan, maka setiap pihak yang berada
di negara peserta Konvensi dan menerima lebih dari 150,000 ton minyak
mentah dan/atau minyak olahan, diwajibkan untuk memberikan iuran
kontribusi. Namun demikian, kompensasi yang diberikan oleh Fund
Convention pun juga terbatas. Yakni, 203 juta SDR bagi kejadian pra
2003, dan 135 juta SDR bagi kejadian pasca 2003.
2.
Konvensi dalam Pengelolaan Wilayah Artik77
CLC dan Fund Convention pada prinsipnya adalah pemberlakuan
rezim hukum perdata internasional bagi tumpahan minyak. Sementara,
dapat pula dimungkinkan perjanjian yang sifatnya publik (G2G) sebagai
kerjasama bilateral/regional. Sebagai contoh adalah Agreement on
Cooperation on Marine Oil Pollution Preparedness and Response in the
77
Lihat Agreement on Cooperation on Marine Oil Pollution Preparedness and
Response in the Arctic, ditandatangani pada tahun 2013.
69
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18  Mei – September 2015
Arctic. Perjanjian ini merupakan kerjasama regional di antara Denmark,
Finlandia, Islandia, Norwegia, Rusia, Swedia, dan Amerika Serikat.
Karena sifatnya yang kerjasama antara negara, maka fokus
perjanjian ini adalah kerjasama, koordinasi, dan bantuan timbal balik
(mutual assistance). Berbagai poin penting yang dapat diambil dari
perjanjian ini adalah:
1.
Adanya kewajiban untuk membentuk sistem nasional yang
mengendalikan kegiatan migas di wilayahnya masing-masing;
2.
Adanya focal point dari masing-masing negara untuk
memudahkan kerjasama;
3.
Kewajiban notifikasi;
4.
Permintaan bantuan dan koordinasi dalam hal adanya operasi
penanggulangan;
5.
Kebebasan pergerakan sumber daya antar negara dalam hal
terjadi operasi penanggulangan;
6.
Reimbursement (penggantian biaya) apabila ada permintaan
untuk memberikan bantuan dari negara lain;
7.
Kajian
bersama
(joint
review)
atas
tindakan/operasi
penanggulangan, termasuk dalam penentuan penyebab dan
dokumen teknis lainnya;
70
8.
Kerjasama dan kewajiban dalam pertukaran informasi;
9.
Pelatihan bersama.
JURNAL OPINIO JURIS
F.
Vol. 18  Mei – September 2015
Kesimpulan
Berdasarkan pengalaman Pemerintah Indonesia menangani kasus
tumpahan minyak Montara, banyak pelajaran yang dapat diambil,
khususnya keputusan Pemerintah Indonesia untuk menempuh upaya
diplomatik. Perundingan Indonesia-Thailand tidak dapat menemukan
penyelesaian karena sifat negosiasinya yang tidak jelas, apakah B2G
(dengan PTTEP sebagai korporasi) atau G2G (dengan Pemerintah
Thailand). Apabila sifatnya adalah G2G, maka dapat dipertanyakan
kewenangan Pemerintah Indonesia mewakili korban, dan jaminan bahwa
korban tidak akan melakukan gugatan perdata secara terpisah dari hasil
diplomasi G2G. Adanya percampuran konsep diplomasi ini terjadi karena
belum ada kesamaan pandangan antara rumusan instrumen hukum yang
ada, apakah yang sifatnya memfasilitasi gugatan perdata (seperti Konvensi
Pertanggungjawaban
Perdata/Konvensi
Pendanaan)
atau
untuk
memfasilitasi kerjasama antara negara (seperti kerjasama regional negaranegara Arctic). Dengan pencampuradukan kedua model perjanjian
internasional ini, maka tuntutan serta posisi negosiasi dalam diplomasi
menjadi rancu.
Atas dasar ini, sebagai rekomendasi tulisan ini, dan tindak lanjut
dari pembahasan di IMO Legal Committee, memang dibutuhkan instrumen
hukum yang sifatnya lebih tepat berupa bilateral atau regional. Dalam hal
ini, untuk wilayah ASEAN dapat mengacu pada konvensi Wilayah Artik
sebagai referensi. Konvensi tersebut fokus pada kerjasama antar negara,
misalnya terkait joint inquiry, joint investigation, focal point sebagai
71
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 18  Mei – September 2015
sarana pertukaran informasi, serta koordinasi dalam pelaksanaan tindakan
darurat bersama. Konvensi tersebut tidak membahas mengenai elemen
pertanggung jawaban perdata, yang merupakan materi muatan yang
berbeda.
Referensi
Agreement on Cooperation on Marine Oil Pollution Preparedness and
Response in the Arctic, (2013)
Balkin, Rosalie. “Is there a place for the regulation of offshore oil
platforms within international maritime law? If not, then where?,
Comitè Maritime International Dublin Symposium, 2013
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan
Republik Indonesia, Proses Tuntutan Ganti Rugi di Laut Timor.
Agustus 2014
Government of Indonesia. Claims for Pollution Compensation in Timor
Sea. 2010
International Maritime Organization (IMO), Ongoing Discussion at IMO
on Matters Concerning Liability and Compensation for Oil Pollution
Damage Resulting from Offshore Exploration and Exploitation
Activities, Medexpol 2013 Workshop on the Regional Response
Capacity and Coordination to Major Oil Spill in the Mediterranean
Sea, 5 December 2013.
Montara Commission of Inquiry of the Australian Government. Report of
the Montara Commission Inquiry,.Juni 2010.
Tim Advokasi Tuntutan Ganti Rugi di Laut Timor. Laporan
Perkembangan Tuntutan Ganti Rugi Akibat Pencemaran di Laut
Timor Akibat Tumpahan Minyak. Januari 2012
72
Download