Bentuk Pertanggungjawaban atas Tumpahan Minyak dari Aktivitas

advertisement
Bentuk Pertanggungjawaban atas Tumpahan Minyak dari Aktivitas
Anjungan Minyak Lepas Pantai dalam Kasus Tumpahan Minyak Montara
Tahun 2009
Aldila Mesra1, Melda Kamil Ariadno2, Arie Afriansyah3
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Skripsi ini membahas mengenai pertanggungjawaban para pihak dalam kasus tumpahan minyak dari anjungan
minyak Montara pada tahun 2009. Sampai saat ini kasus ini masih dalam proses penyelesaian antara Indonesia
dan PTTEP. Namun karena tumpahan minyak melintas batas ke perairan Indonesia di Laut Timor, maka kerja
sama negara dinilai penting dalam mengupayakan pertanggungjawaban satu pihak di dalam yurisdiksinya
kepada pihak yang dirugikan. Pendekatan yang dilakukan melalui hukum internasional (prinsip-prinsip hukum
internasional, konvensi, dan perjanjian antarnegara) hukum nasional masing-masing negara, dan melalui
wawancara. Ketentuan yang sekarang ini hanya sebatas mengatur proses penanganan pencemaran, bukan
mengenai ganti rugi dan kompensasi.
Form of Liability on Oil Spill resulting from Offshore Oil Rig Activity in the Case of
Montara Oil Spill in 2009
Abstract
This thesis describes the parties’ liability on Montara oil spill case in 2009. So far, the case remains an ongoing
matter between Indonesia and PTTEP. However, having transboundary element that the spill incident transferred
to Indonesian water on Timor Sea, it is essential for the states to cooperate in order to seek liability of a party if
it is under their jurisdiction. The approach is through international law (principles, conventions, and states’
agreements), respective national laws, and interviews. Currently, the available regulations merely govern the
pollution handling, not regarding the liabilities and compensation.
Keywords: Montara, marine pollution, international environmental law, state liability
Pendahuluan
Mengingat jumlah ketersediaan kekayaan alam yang terbatas, serta-merta eksploitasi
kekayaan alam ini menjadi bagian yang penting dalam ekonomi dan dengan mudahnya
berkembang sebagai ladang bisnis oleh para pengusaha di seluruh dunia. Adalah hak setiap
1
Penulis adalah mahasisiwi Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Program Reguler, angkatan tahun
2
Pembimbing skripsi I.
3
Pembimbing skripsi II. 2009.
Bentuk pertanggungjawaban…, Aldila Mesra, FH UI, 2014
negara untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di wilayahnya sesuai dengan aturan
dan kebijakan yang berlaku namun juga berkewajiban untuk menjaga kelestarian alam yang
digunakannya dengan tidak melakukan kegiatan yang dapat merusak lingkungan, baik
lingkungan yang berada di bawah kedaulatannya dan lingkungan di bawah kedaulatan negara
lain.4
Seringkali eksploitasi yang dilakukan demi berjalannya usaha dan terpenuhinya
kebutuhan manusia itu dilakukan tanpa memerhatikan dampak terhadap lingkungan yang
terjadi. Esensi dari permasalahan lingkungan adalah ekonomi, perilaku produser, dan
keinginan konsumen. 5 Apabila manusia tidak waspada dalam menyeimbangkan batas
eksploitasi lingkungan dan ekonomi maka akan berdampak pada habisnya sumber daya alam
dan polusi lingkungan yang berkepanjangan.6
Pencemaran atau polusi lingkungan merupakan permasalahan yang seharusnya
menjadi perhatian dunia, tanpa pengecualian. Namun kebanyakan negara cenderung tidak
mengacuhkan permasalahan lingkungan. Salah satu media pencemaran yang menjadi sorotan
dunia sekarang ialah air laut. Misalnya dalam kegiatan pembuangan sampah zat radioaktif ke
laut yang menyebabkan adanya bahan-bahan kimia berbahaya yang berkontaminasi dengan
air laut.7 Contoh lainnya adalah meledaknya kapal tanker minyak yang mengakibatkan
genangan minyak di lautan sama seperti halnya insiden ledakan anjungan minyak. Selain itu
adalah kegiatan pengeboran lepas pantai dalam mendapatkan minyak mentah dimana
setidaknya sedikit dari endapan hasil pengeboran yang merupakan limbah kimia dapat
mencemari lingkungan bawah laut.
Pencemaran lingkungan laut berdasarkan Pasal 194 ayat (3) UNCLOS dapat dibagi
menjadi empat macam menurut sebabnya, yakni pencemaran yang berasal dari kapal,
pencemaran akibat dumping, pencemaran sebagai sebab kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
dasar laut, serta pencemaran yang bersumber dari darat dan udara.8 Dari kesemuanya itu, yang
4
Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment, in REPORT at 2, Principle
21: States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law,
the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the
responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the
environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction.
5
T.R. Jain, O.P. Khanna, dan Vir Sen, Development and Environmental Economics and International
Trade, (New Delhi: VK Publications, 2009), hlm. 83.
6
Ibid.
7
Waste Safety Section, International Atomic Energy Agency (IAEA), Inventory of Radioactive Waste
Disposals at Sea (Vienna: Agustus 1999), hlm. 5.
8
R.R. Churchill dan A.V. Lowe, The Law of The Sea, Third Edition (United Kingdom: Manchester
University Press, 1999), hlm. 329-330. Dikutip dari buku “source of marine pollution: shipping, dumping, sea-
Bentuk pertanggungjawaban…, Aldila Mesra, FH UI, 2014
sekarang mendapat banyak perhatian adalah polusi yang berasal dari instalasi kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi dasar laut dengan polutan minyak yang menggenang di lautan.
Insiden mengenai meledaknya anjungan minyak dari kegiatan eksploitasi laut yang
mempengaruhi ekosistem laut bukan merupakan hal baru. Meledaknya anjungan minyak
milik British Petroleum di Teluk Meksiko merebut perhatian internasional pada tahun 2010.
Komunitas internasional baru menyadari bahwa kurangnya rezim internasional mengenai
kebocoran anjungan minyak dapat berdampak pada keraguan pembebanan tanggung jawab.
Untungnya dalam insiden ini, pemerintah Amerika Serikat tanggap dalam menghadapi
insiden ini karena anjungan minyak ini beroperasi di wilayah ZEE Amerika Serikat.9
Lebih dekat dan menyangkut dengan Indonesia sendiri adalah insiden meledaknya
anjungan minyak Montara milik PTTEP Australasia milik Thailand pada tanggal 21 Agustus
2009. Ledakan telah mencemari perairan dan lingkungan di sekitarnya, serta mengancam
seluruh habitat yang berada di kawasan tersebut. Ledakan ini adalah tumpahan minyak
terbesar pertama yang pernah dialami Australia yang sumbernya berasal dari instalasi minyak,
bukan dari kapal tanker.10
Sehubungan dengan kasus tumpahan minyak di laut Montara, tanggung jawab jelas
terdapat pada PTTEP Australasia sebagai pihak yang telah lalai dalam melakukan kegiatan
eksploitasi laut. Namun dalam penyelesaian sengketa tanggung jawab tersebut, ganti rugi
yang merupakan hak Indonesia tidak semudah itu didapatkan.
Berdasarkan uraian di atas, adapun pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.
Bagaimana bentuk-bentuk pertanggungjawaban tumpahan minyak dari aktivitas
anjungan minyak lepas pantai dalam ketentuan hukum internasional dan nasional?
2.
Apakah upaya pertanggungjawaban yang dilakukan oleh pemerintah Australia dalam
kasus Tumpahan Minyak Montara telah dianggap cukup jika dilihat dari ketentuan
yang berlaku?
3.
Apakah upaya yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai pihak
yang telah dirugikan dalam kasus Tumpahan Minyak Montara Tahun 2009?
bed activities, land-based and atmospheric pollution.”
9
Deanna Fowler, “Offshore Oil: A Frontier for International Lawmaking,” 12 Chicago-Kent Journal of
International & Comparative Law, (2012), hlm. 188.
10
Fowler, Op.Cit., hlm. 185; lihat juga Tina Hunter, “The Montara Oil Spill and the National Marine
Oil Spill Contingency Plan: Disaster Response or Just a Disaster?” Australian & New Zealand Maritime Law
Journal Vol 24 No. 2 (2010), hlm. 46.
Bentuk pertanggungjawaban…, Aldila Mesra, FH UI, 2014
Maka tujuan umum dari penulisan ini ialah mengetahui dan menganalisa pengaturan
mengenai pencemaran laut dan implementasinya lewat kasus-kasus yang telah ada, sesuai
dengan yang terdapat dalam hukum internasional. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini
adalah untuk meninjau hal-hal apa saja yang sudah dilakukan serta apa saja yang seharusnya
dilakukan dalam kasus Tumpahan Minyak Montara oleh kedua negara yang terkait dalam
upaya pertanggungjawaban pada pihak yang dirugikan.
Tinjauan Teoritis
Dalam penulisan ini akan ada beberapa istilah yang sering digunakan. Untuk
mempermudah penulisan, maka akan dicantumkan istilah-istilah tersebut beserta dengan
definisinya, antara lain:
1. Oil atau minyak, dalam OPRC Convention OPRC Convention 1990 didefinisikan
sebagai “petroleum in any form including crude oil, fuel oil, sludge, oil refuse and
refined products” dan di dalam MARPOL 73/78 yang tergolong ke dalam kategori ini
ialah “crude oil, fuel oil, heavy diesel oil and lubricating oil.” Maka dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan minyak menurut OPRC Convention adalah
minyak mentah, minyak sebagai bahan bakar, limbah minyak, pelumas dan juga
produk olahan minyak lainnya.
2. Oil rig atau diartikan sebagai anjungan minyak dan gas (anjungan minyak)
didefinisikan dengan mengacu kepada definisi “offshore unit” dan “sea ports and oil
handling facilities” yang ada pada OPRC Convention 1990. Dalam konvensi tersebut,
yang dimaksud dengan offshore unit adalah segala bentuk instalasi atau bangunan baik
yang permanen maupun mengambang pada permukaan laut. Instalasi tersebut terkait
dengan kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan produksi minyak dan gas, atau memuat
atau membongkar minyak. Sedangkan sea-ports and handling facilities adalah segala
fasilitas instalasi yang dapat menimbulkan kemungkinan terjadinya insiden
pencemaran laut.11
3. Marine Pollution, dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai pencemaran laut. Definisi
pencemaran laut berdasarkan UNCLOS 1982 adalah the pelepasan zat atau bahanbahan, baik secara langsung maupun tidak langsung, pada lingkungan laut, termasuk
muaranya, yang berdampak atau cenderung memberikan efek merugikan yang
11
Article 2(4) “"Offshore unit" means any fixed or floating offshore installation or structure engaged in
gas or oil exploration, exploitation or production activities, or loading or unloading of oil.”
Bentuk pertanggungjawaban…, Aldila Mesra, FH UI, 2014
membahayakan sumber daya hayati dan kehidupan laut, berbahaya akan kesehatan
manusia, hambatan pada kegiatan laut, termasuk di dalamnya kegiatan memancing
dan penggunaan sah laut lainnya serta perusakan kualitas air dan fasilitas laut.12
4. Incident, atau insiden, di dalam OPRC Convention, insiden didefinisikan secara lebih
khusus sebagai "oil pollution incident" yang intinya diartikan sebagai sebuah
rangkaian kejadian dari suatu sumber yang sama, yang berakibat pada atau
menciptakan kemungkinan pencemaran laut.13
Metode Penelitian
Dalam penulisan artikel ini dipergunakan metode penelitian kepustakaan. Hal ini
disebabkan dalam melakukan penelitian bahan-bahan yang digunakan sebagian besar berasal
dari data-data sekunder, yaitu dari konvensi-konvensi internasional yang terkait, perundangundangan nasional yang terkait, buku, jurnal, artikel ilmiah, internet, serta data-data statistik
dari institusi-institusi terkait.
Pembahasan
Kilang minyak pada Ladang Montara meledak pada 21 Agustus 2009 pukul 04.00
waktu Australia Barat, atau sekitar pukul 05.30 waktu Indonesia Timur. Sekitar 400 barel atau
sekitar 64 ton minyak mintah ditumpahkan oleh ledakan ini setiap harinya. Berdasarkan
MODIS Images Observation pada tanggal 21 September 2009, terdapat jejak tumpahan
minyak sekitar 51 mil laut di tenggara Kepulauan Rote. Pada tanggal 3 November 2009, atau
105 hari setelah ledakan, semburan ini akhirnya dikendalikan oleh Australian Maritime Safety
Authority (AMSA) dan berhasil ditutup.
Pada 5 November 2009, Martin Ferguson, selaku Menteri Sumber Daya Energi
Australia, mengumumkan di media bahwa tumpahan sumur Montara telah dikendalikan.
Dikarenakan tumpahan ini mempengaruhi perairan Timor, Presiden Timor Leste, Ramos
Horta, menuntut pada PTTEP dan Pemerintah Australia untuk bertanggung jawab atas
12
Article 1 paragraph 1 (4) “’pollution of the marine environment’ means the introduction by man,
directly or indirectly, of substances or energy into the marine environment, including estuaries, which results or
is likely to result in such deleterious effects as harm to living resources and marine life, hazards to human
health, hindrance to marine activities, including fishing and other legitimate uses of the sea, impairment of
quality for use of sea water and reduction of amenities.”
13
Article 2 paragraph (2) “"Oil pollution incident" means an occurrence or series of occurrences
having the same origin, which results or may result in a discharge of oil and which poses or may pose a threat to
the marine environment, or to the coastline or related interests of one or more States, and which requires
emergency action or other immediate response.”
Bentuk pertanggungjawaban…, Aldila Mesra, FH UI, 2014
kerugian yang ditimbulkan karena tumpahan minyak tersebut. Pada saat itulah kementeriankementerian Republik Indonesia yang bersangkutan dengan kasus ini membentuk Tim
Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut. Tim yang diketuai
oleh Fredy Numberi ini berkoordinasi dengan kementerian-kementerian tersebut dalam
menangani isu tumpahan minyak Montara dengan bernegosiasi dengan pihak yang
bertanggung jawab untuk memberikan kompensasi.
Pada bulan Juli 2010 dibentuklah Tim Advokasi Pencemaran Laut Timor yang
diketuai oleh Masnerllyarti Hilman dari Kementerian Lingkungan Hidup. Pihak Pemerintah
Indonesia sendiri, diwakili oleh Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, meyakinkan bahwa
Pemerintah Indonesia akan melakukan investigasi dan mengajukan klaim kompensasi kepada
pihak yang bertanggung jawab. Hal ini diikuti oleh pernyataan Presiden Republik Indonesia,
Susilo Bambang Yudhoyono, bahwa Indonesia akan mengajukan klaim kompensasi kepada
PTTEP. Pada penghujung Juli 2010, Tim Nasional yang diketuai Fredy Numberi menaksir
kerugian Indonesia akibat pencemaran tersebut, mencapai Rp 500 miliar.14
Selain dampaknya terhadap lingkungan laut, tumpahan minyak dari kilang minyak
Montara juga menyebabkan kerugian ekonomi. Penelitian secara khusus dalam hal ini belum
dihitung secara jelas dan pasti oleh Pemerintah Indonesia.
Tabel 1. Total Tuntutan oleh Pemerintah Indonesia kepada PTTEP AA15
Tuntutan
Kerugian sosial ekonomi dan dampak
lingkungan
Total
Rp 17.142.821.635.345,00
USD 1,823,704,429
Biaya Pemulihan
Rp 4.502.354.000.000,00
USD 478,973,830
Program Pengawasan Lingkungan Jangka
Panjang
Rp 1.624.493.982.000,00
USD 172,818,509
Biaya Operasional dalam Menanggapi
Tumpahan Minyak
Rp 1.999.084.528,00
USD 212,669
Total
1 USD = Rp 9.400,00 (Nilai tukar USD untuk
Rp 23.271.668.701.873,00
USD 2,475,709,436
14
“Analisis
Montara
dan
Porong,”
Berita
Satu,
(26
Juli
http://www.beritasatu.com/ekonomi/10584-montara-dan-porong.html diunduh 20 November 2013.
15
2010)
Hasil presentasi Tim Advokasi Pencemaran Laut Timor, Kementerian Lingkungan Hidup, mengenai
Perkembangan Penyelesaian Kasus Tumpahan Minyak di Laut Timor, (Agustus 2012)
https://lapor.ukp.go.id/pengaduan/24500/topik-khusus/tindak-lanjut-kasus-%3Cemstyle=%22color:#000000;font-weight:bold%22%3Etumpahan%3C/em%3E-%3Cemstyle=%22color:%23000000;font-weight:bold%22%3Eminyak%3C/em%3E-di-montara-laut-timor.html
diunduh 15 Desember 2013.
Bentuk pertanggungjawaban…, Aldila Mesra, FH UI, 2014
tahun 2011)
Selain itu, menurut YPTB, tumpahan minyak Montara ini juga menyebabkan
penyakit. Namun dari pihak Kementerian Lingkungan Hidup, hal ini tidak ditemukan dari
riset lapangan.16 Jika dirincikan dari penyebab-penyebabnya, maka dampak dari tumpahan
minyak Montara tersebut kebanyakan karena tingkat PAH yang tinggi yang ditemukan di
Laut Timor. 17 Pada Oktober 2009, pihak PTTEP AA telah sepakat dengan Pemerintah
Australia untuk membuat suatu program pengawasan dalam mengatasi dampak jangka
panjang. Program ini secara bersamaan dijalankan oleh Department for Sustainability,
Environment, Water, Population and Communities (DSEWPaC) dari Pemerintah Australia
bersama dengan PTTEP AA.18
Berdasarkan hasil laporan Tim Advokasi Pencemaran Laut Timor, telah dilakukan
serangkaian pertemuan antara Pemerintah Indonesia dengan PTTEP AA. Pada 27 Juli 2010,
Tim Advokasi melakukan pertemuan dengan PTTEP AA di Perth, Australia. Dari hasil rapat
tersebut dimintakan perumusan klaim oleh Pemerintah Indonesia dalam jangka waktu 1
bulan. Pada 24 Agustus 2010, Tim Nasional melakukan pertemuan dengan Top Level
Management PTTEP yang bertempat di Singapura. Setelah pertemuan-pertemuan yang
diadakan semenjak Juli 2010, pada 17-18 Desember 2010, akhirnya PTTEP AA mengakui
adanya minyak yang masuk ke perairan Indonesia dan telah mencemari laut lepas. Biarpun
begitu, PTTEP AA tetap menyangkal adanya minyak yang masuk ke garis pantai Indonesia.
Pada 7 Februari 2011, melalui suratnya, PTTEP mengajukan penunjukan panel of
expert atau neutral committee untuk memilih panel of expert. Maka pada tanggal 17 Februari
2011, diputuskanlah mantan Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda dan mantan Menteri
Luar Negeri Thailand untuk menjadi perwakilan. Hasil rapat Tim Advokasi pada saat itu juga
memutuskan untuk menunda CSR yang ditawarkan oleh PTTEP sebelumnya, karena dinilai
PTTEP sebaiknya membayar kerugian ekonomi yang dialami oleh masyarakat.
PTTEP AA, di pertemuan tanggal 4 Maret 2011, memberikan proposal terobosan
untuk penyelesaian sengketa. Yakni dengan mengimplementasikan dual track dalam
16
Hasil wawancara dengan Ibu Karina Kusumawardani dari Asisten Kepala UKP-PPP, Tim REDD+.
Wawancara dilakukan pada tanggal 23 Desember 2013.
17
Indonesia Resources Studies (IRESS), “Menggugat Status Ganti Rugi Pencemaran Minyak Blok
Montara,” Satu Negeri (Februari 2012), http://satunegeri.com/menggugat-status-ganti-rugi-pencemaran-minyakblok--montara.html diunduh 19 Desember 2013.
18
Dikutip dari pernyataan Dra. Masnellyarti Hilman, MSc. Op.Cit.
Bentuk pertanggungjawaban…, Aldila Mesra, FH UI, 2014
Memorandum of Understanding (MoU) yang kemudian disepakati pada 28 Juni 2011. Dengan
alasan pergantian kabinet, Pemerintah Australia menunda penandatanganan MoU tersebut
ditunda karena pergantian kabinet tersebut berimplikasi pada pergantian CEO PTTEP. Setelah
penundaan tersebut, PTTEP kembali memberikan alasan bahwa Bangkok dilanda banjir besar
yang turut membanjiri kantor PTTEP di Thailand. Tidak lama setelahnya, terjadi pergantian
menteri energi Thailand dan pergantian CEO PTTEP. Hal ini menyebabkan terjadinya
perubahan kebijakan atas dokumen tuntutan Pemerintah Indonesia. Dengan berlarutnya perundingan MOU tentang mekanisme ganti rugi pencemaran
Laut Timor akibat pencemaran minyak dari anjungan minyak lepas pantai Montara,
Pemerintah Indonesia saat ini akan mempersiapkan untuk mengajukan tuntutan ganti rugi atas
dampak pencemaran minyak di kawasan Laut Timor melalui mekanisme hukum melalui
Pengadilan di Indonesia. Berdasarkan hasil perkembangan terakhir, dibawah koordinasi
Kementerian Lingkungan Hidup, sedang disiapkan gugatan perdata terhadap Petroleum
Exploration and Production Australasia Ashomore Cartier (PTTEP AA) dan Petroleum
Authority Thailand Exploration and Production (PTTEP Thailand). Gugatan akan diajukan di
PN Jakarta Pusat dengan menggunakan hukum Indonesia dan bukan di pengadilan Australia.
Ada juga pemikiran untuk melakukan tuntutan pidana, namun yang utama tetap gugatan
perdata19.
Berdasarkan hukum internasional, pertanggungjawaban para pihak dapat ditinjau dari
prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional serta konvensi dan perjanjian antarnegara.
Prinsip-prinsip yang harus diingat dalam melakukan kegiatan eksploitasi lingkungan di
antaranya adalah sustainable development, prinsip kehati-hatian dan pencegahan, prinsip sic
utere tuo ut alienum non laedas, dan prinsip pencemar membayar. Prinsip-prinsip ini pun
diterapkan dalam ketentuan yang terdapat dalam konvensi internasional yang berlaku bagi
kedua negara, yakni UNCLOS 1982 khususnya di dalam BAB XII berjudul Protection and
Preservation of The Marine Environment.
Kewajiban tindakan pencegahan dicantumkan jelas dalam UNCLOS. 20 Karena
sifatnya yang berhubungan dengan prinsip kehati-hatian, hal ini menguatkan dasar hukum
adanya prinsip kehati-hatian di dalam UNCLOS. Dalam Pasal 192 UNCLOS, dinyatakan
adanya kewajiban yang umum dan menyeluruh bagi negara-negara untuk menjaga dan
19
Hasil wawancara dengan Bapak Krishna Adi Poetranto, Direktur Hukum Direktorat Jenderal Hukum
dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri pada 5 Mei 2014.
20
UNCLOS, Article 194.
Bentuk pertanggungjawaban…, Aldila Mesra, FH UI, 2014
merawat lingkungan lautnya.21 Dalam kaitannya dengan pengeboran minyak lepas pantai,
pasal ini mengharuskan negara peserta untuk menjaga dan melestarikan lingkungan laut
terlepas dari fakta apakah tumpahan minyak jatuh ke pesisir negara lain.22 Apabila terjadi
pencemaran karena kegiatan yang ada di dalam wilayahnya, negara harus memastikan bahwa
pencemaran yang ditimbulkan tidak menyebar melebihi wilayah dimana negara tersebut
memiliki sovereign rights.23 Ketentuan di dalam pasal ini mencerminkan prinsip sic utere tuo
et alienum non laedas untuk tidak merugikan negara lain dalam kegiatan suatu negara.
UNCLOS mengatur mengenai kerjasama internasional yang termasuk di dalamnya kerjasama
global dan regional. Provisi ini sejalan dengan prinsip co-operation dalam salah satu prinsip
hukum lingkungan internasional. Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 197 yang
menetapkan bahwa :
“States shall cooperate on a global basis and, as appropriate, on a regional basis,
directly or through competent international organizations, in formulating and
elaborating international rules, standards and recommended practices and
procedures consistent with this Convention, for the protection and preservation of the
marine environment, taking into account characteristic regional features.”
Dalam hal terjadinya kerusakan lingkungan, Pasal 198 mengatur kewajiban negara-negara
untuk melaporkan pada negara lain apabila terdapat adanya suatu bahaya yang mengancam
lingkungan laut.24
Peraturan mengenai state liability lebih banyak dijumpai pada konvensi yang bersifat
teknis atau perjanjian antarnegara, contohnya MARPOL 73/78 beserta Protokolnya yang
mengatur mengenai tumpahan minyak dari kapal. Di dalam UNCLOS 1982, state liability
atau pertanggungjawaban negara muncul dalam penerapan tanggung jawab internasionalnya.
Seperti yang dikatakan pada bagian sebelumnya, negara diwajibkan untuk membuat dan
memberlakukan seperangkat ketentuan dalam rangka pencegahan dan penanggulangan
pencemaran laut. Ketentuan lainnya mengenai pertanggunjawaban negara diatur dalam Pasal
21
UNCLOS 1982 Article 192: “States have the obligation to protect and preserve the marine
environment.”
22
James Harrison, “The Gulf of Mexico Oil Spill and International Law,” International Law Observer
(31 Mei 2010), http://internationallawobserver.eu/2010/05/31/the-gulf-of-mexico-oil-spill-and-international-law/
diunduh 25 Maret 2014.
23
UNCLOS 1982, Article 194 (2): “States shall take all measures necessary to ensure that activities
under their jurisdiction or control are so conducted as not to cause damage by pollution to other States and their
environment, and that pollution arising from incidents or activities under their jurisdiction or control does not
spread beyond the areas where they exercise sovereign rights in accordance with this Convention.”
24
UNCLOS 1982, Article 198: “When a State becomes aware of cases in which the marine
environment is in imminent danger of being damaged or has been damaged by pollution, it shall immediately
notify other States it deems likely to be affected by such damage, as well as the competent international
organizations.”
Bentuk pertanggungjawaban…, Aldila Mesra, FH UI, 2014
235 UNLCOS 1982 yang mengandung baik tanggung jawab (state responsibility) maupun
tanggung jawab yang disertai ganti rugi (state liability) oleh negara. Kebanyakan kasus dalam
pertanggungjawabannya menggunakan prinsip strict liability atau tanggung jawab mutlak
yang telah dianut beberapa konvensi internasional 25 . Namun pada UNCLOS ditemukan
pengecualian adanya tanggung jawab mutlak, yakni pada Pasal 235 paragraf (1), yang
berbunyi:
“States are responsible for the fulfilment of their international obligations concerning
the protection and preservation of the marine environment. They shall be liable in
accordance with international law.”
Dalam hal terjadinya pencemaran lingkungan, setiap negara pada dasarnya bertanggung
jawab apabila sebab dari pencemaran terjadi dari kegiatan di atas wilayah yurisdiksinya. Hal
ini terdapat dalam Pasal 253 paragraf (2) yang mengatakan bahwa:
“States shall ensure that recourse is available in accordance with their legal systems
for prompt and adequate compensation or other relief in respect of damage caused by
pollution of the marine environment by natural or juridical persons under their
jurisdiction.”
Dengan adanya ketentuan ini dapat dikatakan bahwa negara berkewajiban untuk memastikan
segera dibayarkannya kompensasi yang layak atas kerugian yang disebabkan oleh kegiatan di
atas wilayah yurisdiksinya. Salah satu yang dapat dilakukan negara adalah dengan membuka
jalan untuk adanya tuntutan Hal ini berarti negara, melalui sistem hukumnya, memiliki
kekuatan untuk mendorong pihak pencemar yang ada di dalam wilayah yurisdiksinya untuk
memenuhi tanggung jawab ganti ruginya.
Hal yang dapat dipastikan oleh negara dalam tanggung jawab internasional ialah
dengan membentuk suatu aturan nasional. Maka dalam hal terjadinya pencemaran lingkungan
laut, pertanggungjawaban negara terdapat dalam Pasal 235 paragraf (3):
“With the objective of assuring prompt and adequate compensation in respect of all
damage caused by pollution of the marine environment, States shall cooperate in the
implementation of existing international law and the further development of
international law relating to responsibility and liability for the assessment of and
compensation for damage and the settlement of related disputes, as well as, where
appropriate, development of criteria and procedures for payment of adequate
compensation, such as compulsory insurance or compensation funds.”
Maka negara dalam kapasitasnya harus memastikan bahwa para pihak yang telah melakukan
25
Contohnya adalah konvensi yang berhubungan dengan pencemaran laut oleh kapal, yakni 1969
Brussels Civil Liability dan 1972 FUND Convention; atau 1977 Civil Liability Convention yang berhubungan
dengan aktivitas laut.
Bentuk pertanggungjawaban…, Aldila Mesra, FH UI, 2014
pencemaran lingkungan laut, yang ada di dalam wilayah yurisdiksinya, telah melakukan
tanggung jawabnya sebagai pencemar. Maka di samping menciptakan sistem untuk
mengawasi pencemaran yang belum atau telah terjadi di dalam wilayahnya, negara harus
memastikan pihak pencemar dijatuhkan aturan nasional yang telah dibuatnya. Namun status
dari state liability masih diperdebatkan karena sangat dipengaruhi oleh status negara sebagai
negara berdaulat.
Selanjutnya adalah OPRC Convention dimana Australia adalah negara peserta. OPRC
Convention adalah bentuk perjanjian internasional yang paling penting sehubungan dengan
masalah tanggapan tepat dari pencemaran yang disebabkan oleh instalasi minyak.26 Di dalam
konvensi ini, offshore unit adalah salah satu obyek yang diatur dalam. Namun tidak ada aspek
tanggungjawab ganti rugi dan kompensasi (dalam bentuk uang) yang diatur diatur. Konvensi
OPRC mengatur mengenai kerjasama kesiapan, respon dan kerjasama di dalam menghadapi
polusi, sesuai judulnya International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response
and Co-operation. Menurut Pasal 2 paragraf (4) konvensi ini, yang dimaksud dengan unit
lepas pantai adalah sebagai berikut:
“"Offshore unit" means any fixed or floating offshore installation or structure engaged
in gas or oil exploration, exploitation or production activities, or loading or unloading
of oil.”
Untuk negara peserta dari OPRC Convention, dijatuhkan kewajiban-kewajiban yang
berkaitan dengan kegiatan anjungan minyak lepas pantai. Kewajiban ini dinilai lebih teknis
dibandingkan dengan ketentuan yang ada di dalam UNCLOS 1982. Kewajiban-kewajiban
tersebut antara lain menciptakan sistem oil pollution emergency plan atau rencana darurat
dalam menanggulangi pencemaran minyak dan bagi penanggung jawab usaha, diharuskan
melaporkan kejadian apapun sehubungan kebocoran minyak, dan menciptakan suatu sistem
nasional untuk menanggapi kebocoran tersebut27, dalam Pasal 4 konvensi ini28 disebutkan
bahwa setiap pelaku usaha kegiatan lepas pantai harus melaporkan segala kejadian yang
mengindikasikan adanya tumpahan minyak ke laut, baik yang berasal dari unitnya sendiri
ataupun yang terlihat olehnya, setiap negara juga berkewajiban untuk memiliki sistem
26
Patricia Park, International Law for Energy and the Environment, Second Edition, (Boca Raton: CRC
Press, 2013), hlm. 95.
27
Patricia Park, Op.Cit.
28
OPRC Convention, Article 4.
Bentuk pertanggungjawaban…, Aldila Mesra, FH UI, 2014
nasional yang diciptakannya sendiri29, serta menjalin kerjasama internasional dalam rangka
penanganan pencemaran minyak30.
Konvensi OPRC merupakan suatu konvensi yang bertujuan agar negara-negara dapat
bekerjasama dalam menanggulangi polusi yang timbul atau kemungkinan timbulnya polusi.
Namun konvensi ini tidak dapat menjawab kebutuhan Indonesia, yaitu meminta
tanggungjawab dan ganti rugi (berupa uang) atas kerugian yang timbul (misalnya mata
pencaharian penduduk yang hilang, rusaknya terubuk karang, rusaknya pantai, kerugian dari
pariwisata dll), kewajiban untuk pembersihan polusi dan pemulihan lingkungan hidup.
OPRC Convention ini merupakan dasar adanya Memorandum of Understanding
between the Governments of Australia and Indonesia on Oil Pollution Preparedness and
Response pada tahun 1996 sebagai kerjasama berkelanjuntan dalam rangka mencegah dan
menanggulangi pencemaran laut yang terjadi di wilayah kedua negara. Adanya Nota
Kesepahaman ini adalah sebagai bentuk kepedulian kedua negara dalam menanggulangi
pencemaran laut.31 Di samping itu juga menguatkan kerjasama yang bersifat teknis di antara
kedua negara. 32 Pada Nota kesepahaman ini Action Plan dilampirkan sebagai landasan
kerjasama para pihak. Tujuannya adalah untuk menyediakan rencana kerjasama sebagai
bentuk gotong-royong kedua negara dalam adanya insiden tumpahan minyak yang melebihi
kemampuan masing-masing negara untuk merespon secara independen.
Sama halnya dengan Nota Kesepahaman, baik hukum Australia dan Indonesia
menganut ketentuan-ketentuan dalam OPRC (walaupun Indonesia bukan negara peserta) dan
juga prinsip pencemar membayar. Indonesia memiliki ketentuan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, dan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan
Darurat Tumpahan Minyak di Laut. Prinsip pencemar membayar contohnya terdapat dalam
Pasal 2 Perpres No. 109/2006 yang mewajibkan para pelaku kegiatan yang mengakibatkan
tumpahan minyak untuk bertanggung jawab atas tumpahan minyak yang diakibatkannya
tersebut. Perpres ini juga merupakan dasar dibentuknya tim nasional PKDTML yang
29
30
OPRC Convention, Article 6 par. (1).
OPRC Convention, Article 7 par (1). 31
Ibid., Preamble: “Recognizing the serious threat posed to the marine and coastal environments of
both Parties. …”
32
Ibid., Preamble: “Recognizing further the desirability of strengthening mutual co-operation at the
operational level.”
Bentuk pertanggungjawaban…, Aldila Mesra, FH UI, 2014
berbentuk Tim Advokasi Pencemaran Laut Timor dimana Kementerian Perhubungan dan
Kementerian Lingkungan Hidup merupakan focal point. Selain itu, pada Pasal 87 UU No.
32/2009 disebutkan bahwa setiap pelaku usaha yang menyebabkan kerugian lingkungan dan
kerugian pada masyarakat wajib membayar kompensasi dan/atau mengambil tindakan atas
kerugian tersebut. Dalam penerapannya, apabila tidak memberikan kompensasi maka
dikenakan denda pelanggaran.
Dalam hukum nasional Australia, terdapat Offshore Petroleum and Greenhouse Gas
Act 2006 (OPGGSA 2006), Offshore Petroleum Regulations 2009 (OPR 2009), dan National
Plan. Pada dasarnya mengenai anjungan minyak lepas pantai diatur dalam OPGGSA 2006
secara umum. Di dalam OPGGSA 2006 ini juga terdapat pengaturan mengenai pembentukan
Commissioner yang bertugas untuk menanggapi laporan-laporan yang masuk mengenai
insiden atau kecelakaan yang terjadi pada aktivitas eksplorasi minyak lepas pantai.
Amandemen terbaru atas OPGGSA mengatur persyaratan untuk memperbaiki keselamatan
dari aktivitas usaha minyak dan gas lepas pantai dengan menjadikan operator anjungan
minyak bertanggung jawab atas tiga jenis biaya-biaya penanggulangan.33 OPR 2009 mengatur
mengenai ketentuan-ketentuan pembangunan fasilitas lepas pantai untuk memastikan
keselamatan awak.
National Plan adalah sebuah kerangka kerja terpadu pemerintah dan industri
perminyakan untuk menciptakan adanya respon efektif atas tumpahan minyak.34 National
Plan diatur dan dibentuk oleh Australian Maritime Safety Authority (AMSA) bersama dengan
negara-negara terkait dan departemen negara bagian utara Australia, bantuan-bantuan darurat,
dan perwakilan dari perkapalan, minyak, serta industri eksplorasi dan bahan kimia untuk
membuat suatu penanganan darurat dan memaksimalkan kemampuan Australia untuk
menanggapi insiden pencemaran laut.35 Maka dapat dikatakan bahwa National Plan adalah
suatu kompilasi kerangka kerja antara pemerintah dengan organisasi industri yang mengatur
mengenai penanganan yang efektif terhadap insiden pencemaran laut. Mengenai pendanaan,
pada dasarnya terdapat tiga prinsip di dalam National Plan, yakni:36
33
Jenny Thornton, Nigel Chapman, dan Suzannah Moss-Wright, “Polluters Pay in Australia through
Compulsory
Financial
Assurance
for
Petroleum
Title
Holder,”
http://www.clydeco.com/insight/updates/polluter-pays-in-australia-through-compulsory-financial-assurance-forpetro diunduh 17 Juni 2014.
34
The Law Library of Congress, Loc.Cit.
35
Ibid.
36
Australian Maritime Safety Authority, National Plan: Australia’s National Plan to Combat Pollution
of the Sea by Oil and Other Noxious and Hazardous Substances (Australian Government: Australian Maritime
Safety Authority, 2007), hlm.8.
Bentuk pertanggungjawaban…, Aldila Mesra, FH UI, 2014
•
Prinsip pencemar potensial membayar, diterapkan dalam upaya persiapan;
•
Prinsip pencemar membayar, diterapkan dalam penanggulangan pencemaran; dan
•
Prinsip pencemar potensial membayar diterpakan dalam penanggulangan pencemaran
dimana pencemar tidak diketahui atau apabila biaya tidak dapat dipenuhi.
Pada IMO Legal Committee ke-9737, Indonesia menyampaikan perlu adanya suatu
rezim yang mengatur mengenai pertanggungjawaban dang anti rugi mengenai kerusakan
lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran dari tumpahan minyak anjungan minyak lepas
pantai. Usulan ini muncul disebabkan adanya kejadian tumpahan minyak Montara. Indonesia
mengacu pada adanya CLC 1992 dan Fund Convention 1992 yang keduanya menyediakan
pertanggungjawaban internasional dalam hal tumpahan minyak dari kapal tanker minyak.
Seperti dalam CLC 1992 dijelaskan bahwa pemilik tanker bertanggung jawab untuk
membayar ganti rugi sampai jumlah tertentu yang ditentukan atas kerusakan lingkungan
dikarenakan tumpahan minyak dari kapalnya. Apabila jumlah tersebut tidak terpenuhi, korban
dapat menuntut lebih lanjut ganti rugi berdasarkan Fund Convention 1992.
Adanya ketidakjelasan definisi ini menyebabkan kebingungan pada posisi kilang
minyak tersebut dalam hukum. Hal ini disampaikan dalam sidang IMO ke 97 oleh Sekretaris
Jenderal IMO tanggal 15 - 19 November 201038:
“...I began my address by referring to the Deepwater Horizon and Montara incidents,
suggesting that it would be prudent to see them both as wake-up calls to strengthen
our regulatory regime to be able to respond adequately to any similar events in the
future. In this context, you are invited to consider a proposal by the Government of
Indonesia, prompted by the Montara incident, to add a new item to the Committee’s
work programme to develop appropriate legislation to address civil liability and
compensation issues in case of transboundary oil pollution damage caused by offshore
exploration and exploitation activities. In view, also, of the much publicized
Deepwater Horizon incident and taking into account that new and emerging
technologies are capable of enabling offshore drilling activities to be undertaken in
ever deeper waters and more challenging marine environments under adverse weather
conditions, it would certainly be timely for the Committee to consider how best to
address the issues raised in the Indonesian submission ... you will draw the conclusion
that the matter is IMO’s to deal with and we should, therefore, consider it as the
Committee sees fit.”
Dari pernyataan Sekjen IMO ini dapat dikatakan bahwa memang belum ada konvensi
37
Nikita Scicluna, “A Legal Discussion on the Civil Liability for Oil Pollution Damage resulting from
Offshore Oil Rigs in the light of the recent Deepwater Horizon incident” (Tesis Master of Laws International
Maritime Organization, 2010/2011), hlm. 32.
38
International Maritime Organization, “Legal Committee, 97th Session: 15-19 November 2010,
Opening
Speech,”
http://www.imo.org/MediaCentre/SecretaryGeneral/SecretaryGeneralsSpeechesToMeetings/Pages/Legal-Committee-97th-session.aspx diunduh 7 Mei 2014.
Bentuk pertanggungjawaban…, Aldila Mesra, FH UI, 2014
internasional yang secara khusus mengatur mengenai instalasi lepas pantai, khususnya dalam
kasus-kasus yang bersifat lintas batas. Kekosongan hukum ini bahkan dirasa penting bagi
Sekjen IMO untuk ditangani mengingat meningkatnya jumlah kasus-kasus tumpahan minyak
dari kegiatan anjungan minyak lepas pantai. Pada kasus Montara tidak ada ketentuan hukum
internasional yang mengatur pertanggungjawaban pencemar kegiatan anjungan minyak lepas
pantai seperti ketentuan hukum yang terdapat dalam CLC 1992 dan Fund Convention 1992.
Pada kasus Montara, pihak Indonesia telah menjalani proses negosiasi dengan pihak
PTTEP tapi persetujuan negosiasi selalu diulur. Oleh karenanya pihak Indonesia berniat
mengajukan tuntutan melalui Pengadilan Negeri langsung kepada PTTEP. Ditinjau dari
hukum internasional, tindakan pemerintah Indonesia ini menerapkan prinsip pencemar
membayar, namun tidak berdasarkan konvensi manapun yang mengatur mengenai
pertanggungjawaban PTTEP sebagai pelaku usaha. Namun prinsip hukum internasional saja
tidak cukup kuat dalam mengikat PTTEP untuk kemudian bertanggung jawab untuk
memberikan kompensasi. Oleh karenanya, Indonesia bisa bernaung di bawah UNCLOS 1982
dalam meminta pertanggungjawaban Australia sebagai negara yang bertanggungjawab atas
pencemaran yang terjadi di wilayahnya. Selain itu, pun Indonesia hendak melakukan tuntutan,
berdasarkan UU No. 32/2009, tuntutan seharusnya dilakukan di Pengadilan Negeri Kupang,
bukan seperti yang hendak dilakukan pemerintah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Baik prinsip hukum internasional maupun konvensi hukum internasional yang
mengikat Indonesia dan Australia mengharuskan Australia untuk bertanggung jawab. Oleh
karena Indonesia bukan merupakan negara peserta OPRC Convention, maka peraturan yang
bisa diterapkan Indonesia adalah UNCLOS 1982 dan Nota Kesepahaman antara kedua negara
dalam penanggulangan pencemaran minyak 1996.
Dalam UNCLOS 1982, Australia memiliki tanggung jawab untuk membentuk
peraturan nasional untuk mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran laut serta
untuk melakukan pelaporan apabila terjadi insiden tumpahan minyak. Dalam kasus Montara,
hal tersebut memang telah dilakukan oleh Australia. Perlu diingat bahwa dalam masa
pengawasan Australia lah anjungan minyak Montara meledak dan tumpahan mengalir ke laut
Indonesia. Aturan di dalam Nota Kesepahaman pun sebatas kerjasama dalam penanggulangan
tumpahan minyak. Tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban yang disertai
ganti rugi oleh salah satu pihak apabila salah satu pihak telah lalai dalam memenuhi tanggung
jawabnya menurut UNCLOS 1982. Memang ketentuan UNCLOS 1982 hanya memuat prinsip
pokok mengenai tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi tetapi tidak diatur di dalamnya
Bentuk pertanggungjawaban…, Aldila Mesra, FH UI, 2014
mengenai bagaimana hal itu dilakukan. OPRC Convention sendiri pun tidak mengatur dan
memberi pedoman mengenai proses pelaksanaan kewajiban untuk ganti rugi.
Ketentuan hukum Australia sendiri menerapkan prinsip pencemar membayar. Hal ini
berarti pemerintah Australia dapat meminta pertanggungjawaban kepada pelaku usaha, yang
mencakup pula biaya pemulihan. Dengan adanya ketentuan ini, Australia memiliki wewenang
untuk meminta ganti rugi kepada PTTEP atas tumpahan minyak yang disebabkan oleh
kegiatan anjungan minyak Montara. Seperti dalam kasus Montara, pemerintah melalui AMSA
meminta dan mendapatkan konfirmasi tertulis dari PTTEP bahwa PTTEP akan bertanggung
jawab atas segala biaya penanggulangan, termasuk menyediakan biaya untuk mendanai
operasi penanggulangan yang sedang berlangsung. Apabila PTTEP gagal untuk menyediakan
pendanaan tersebut, ancamannya adalah perizinan di masa yang akan datang untuk melakukan
aktivitas yang berhubungan dengan migas.39
Dengan adanya hukum yang dimana pemerintah dapat memaksa pencemar untuk
menutup biaya ganti rugi, maka seharusnya pemerintah Australia dapat mendorong PTTEP
membayar ganti rugi kepada Indonesia. Mengingat tanggung jawab negara di dalam
UNCLOS 1982 untuk bekerjasama melakukan penanggulangan pencemaran lingkungan laut,
Australia semestinya dapat membantu Indonesia dalam hal upaya ganti rugi. Pemerintah
Indonesia seharusnya dapat bekerjasama dengan pemerintah Australia yang memiliki
kewenangan dalam hukumnya untuk mendorong pihak PTTEP, sebagai pencemar, dari
dalam. Dalam menggunakan ketentuan dalam UNCLOS 1982 tersebut, Indonesia harus
membuktikan bahwa Australia bertanggungjawab sebagai negara, khususnya dalam kasus
Montara.
Dalam hal pemerintah Indonesia hendak mengupayakan ganti rugi, upaya tersebut
dapat disampaikan langsung kepada pemerintah Australia dalam bentuk government-togovernment. Apa yang telah dilakukan dilakukan Indonesia selama ini adalah upaya
permintaan ganti rugi kepada PTTEP, yakni bentuk hubungan government-to-private.
Pencemar dalam kasus Montara adalah pihak asing yang tidak terikat dengan hukum nasional
Indonesia, sehingga terdapat kekosongan hukum dalam mengatur hubungan antara
government-to-private di antara Indonesia dengan PTTEP. Kekosongan hukum ini dapat
dirasakan dalam proses penandatanganan persetujuan dimana pihak PTTEP terus menunda
perjanjian dengan pihak pemerintah Indonesia. Oleh karenanya, yang dapat dilakukan
39
“Oil Spill Liability and Regulatory Regime: Australia,” http://www.loc.gov/law/help/oil-spillliability/australia.php#_ftn16 diunduh 1 Juni 2014.
Bentuk pertanggungjawaban…, Aldila Mesra, FH UI, 2014
Indonesia adalah mengupayakan pertanggungjawaban ganti rugi PTTEP melalui tekanan dari
pemerintah Australia.
Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan oleh Penulis, terdapat beberapa hal yang dapat
disimpulkan:
1.
Pengeboran minyak lepas pantai memperlihatkan adanya kekosongan hukum yang
perlu diisi dalam perkembangan hukum internasional. Konvensi- konvensi dalam
hukum internasional yang sudah ada, seperti UNCLOS 1982 dan OPRC Convention,
memang memberikan tanggung jawab terhadap seluruh negara pesertanya sebagian
besar dalam hal pencegahan, tindakan penanganan serta kerjasama antarnegara.
Namun konvensi-konvensi tersebut tidak menangani masalah pertanggungjawaban
yang disertai ganti rugi dalam kegiatan anjungan minyak lepas pantai dengan
komprehensif. Dalam kasus Montara, masalah kompensasi dan penanggulangan
tumpahan minyak diatur secara umum oleh hukum nasional masing-masing negara
dimana tumpahan terjadi dan dimana pelaku usaha terdaftar. Sebagai contoh adalah
negara Australia yang sistem hukumnya cenderung sudah berkembang dalam
mengatur pengeboran minyak dan menentukan pertanggungjawaban ganti rugi. Lain
halnya apabila tumpahan terjadi di wilayah yang sistem hukumnya kurang
berkembang, akibat-akibat yang terjadi dapat lebih besar lagi. Hukum internasional
yang ada tidak memadai dalam mengatur ketidakjelasan kewenangan yurisdiksi untuk
anjungan minyak yang terdaftar di negara selain daerah ZEE di tempat dilakukannya
pengeboran. Penulis menilai masyarakat internasional menunda terlalu lama sampai
telah terjadi serangkaian insiden tumpahan minyak untuk kemudian menganggap
perlunya ketentuan hukum internasional. Dapat dikatakan, apabila ada rezim hukum
internasional mengenai pertanggungjawaban dan kompensasi anjungan minyak, posisi
pemerintah Australia dalam kasus Montara akan lebih jelas apabila pemerintah
Indonesia hendak menuntut kerugian atas tumpahan minyak ini.
2.
Kasus tumpahan Montara adalah peringatan bagi negara seperti Australia dan negara
lain yang memiliki otoritas atas anjungan minyak bahwa tidak cukup untuk
bergantung pelaku usaha untuk mematuhi peraturan yang ada dalam hukum nasional
Australia dalam hal ganti rugi dan kompensasi. Apabila dibandingkan dengan kasus
Bentuk pertanggungjawaban…, Aldila Mesra, FH UI, 2014
Deepwater Horizon, dengan sumber daya PTTEP AA yang jauh lebih kecil daripada
British Petroleum dan menyadari kurang sigapnya respon pemerintah Australia
dibandingkan dengan pemerintah Amerika dalam penanganan kedua kasus, Montara
dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar pada perairan dan juga dalam proses
peradilan dalam hal ganti rugi.
3. Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menanggapi kasus Montara sejauh
ini sudah melalui berbagai proses yang panjang. Akan tetapi, upaya tersebut tidak
cukup melibatkan pemerintah Australia untuk bertanggung jawab dan menjadi pihak
yang memastikan dilakukannya kewajiban ganti rugi. Sayangnya tidak ada respon
yang positif dari pihak PTTEP untuk menyelesaikan kasus ini. Hukum yang mengikat
kedua belah pihak untuk menyelesaikan masalah ganti rugi juga dinilai tidak ada. Hal
ini mengakibatkan berlarut-larutnya penyelesaian kasus ini. Oleh karena sikap PTTEP
tersebut kemudian pemerintah Indonesia hendak melakukan gugatan perdata. Selain
itu dalam lingkup internasional Indonesia telah mengajukan pada IMO pentingnya
adanya konvensi yang mengikat para pihak pelaku usaha anjungan minyak lepas
pantai mengenai pertanggunjawaban yang disertai ganti rugi.
Saran
Pada tingkat multilateral, penting untuk menggunakan forum IMO untuk membuat
suatu international legally binding convention yang mengatur mengenai pencemaran yang
ditimbulkan dari oil rig yang berada di ZEE negara lain. Seperti pernyataan Sekjen IMO yang
dikutip pada BAB sebelumnya, sudah saatnya bagi pemerintah negara-negara dan industri
minyak untuk bekerjasama untuk memastikan dikembangkannya konvensi internasional yang
mengatur
mengenai
anjungan
minyak.
Konvensi
ini
harus
mengatur
masalah
pertanggungjawaban dan skema kompensasi bagi para pihak yang dirugikan oleh adanya
tumpahan minyak.
Dengan diselesaikannya masalah penting dalam memastikan adanya keadilan dalam
kejadian tumpahan minyak di masa yang akan datang. Sekarang ini memang terdapat
beberapa rezim dan perjanjian regional yang mengatur mengenai usaha minyak. Untuk jangka
pendek, negara-negara seperti Australia dan Indonesia dapat memperbaiki rezimnya masingmasing dalam melindungi perbatasan wilayahnya. Namun untuk jangka panjang, industri
perminyakan adalah sebuah lingkup global dan pesertanya pun dapat diuntungkan apabila ada
kejelasan hukum yang harmonis dalam mengatur masalah pertanggungjawaban dan
Bentuk pertanggungjawaban…, Aldila Mesra, FH UI, 2014
pembatasan kompensasi. Oleh karena konvensi internasional butuh waktu untuk berkembang
dan diterapkan, komunitas internasional di bawah IMO harus segera bertindak dalam
mengembangkan hal ini.
Daftar Referensi
Buku
Churchill, R.R. dan A.V. Lowe. (1999) The Law of The Sea, Third Edition. United Kingdom:
Manchester University Press.
Jain, T.R., O.P. Khanna, dan Vir Sen. (2009). Development and Environmental Economics
and International Trade. New Delhi: VK Publications.
Park, Patricia. (2013) International Law for Energy and the Environment, 2nd Edition. Boca
Raton: CRC Press.
Jurnal
Fowler,Deanna. (2012). “Offshore Oil: A Frontier for International Lawmaking.” 12
Chicago-Kent Journal of International & Comparative Law, 179-192.
Harrison, James. (31 Mei 2010). “The Gulf of Mexico Oil Spill and International Law.”
International
Law
Observer.
Diunduh
25
Maret
2014
dari
http://internationallawobserver.eu/2010/05/31/the-gulf-of-mexico-oil-spill-and-internationallaw/.
Hunter, Tina. (2010). “The Montara Oil Spill and the National Marine Oil Spill Contingency
Plan: Disaster Response or Just a Disaster?” Australian & New Zealand Maritime Law
Journal Vol 24 No. 2, 46-58.
Skripsi/Disertasi
Scicluna, Nikita. (2011). “A Legal Discussion on the Civil Liability for Oil Pollution Damage
resulting from Offshore Oil Rigs in the light of the recent Deepwater Horizon Incident.” Tesis
Master of Laws International Maritime Organization.
Artikel
__________.“Analisis Montara dan Porong,” Berita Satu, (26 Juli 2010). Diambil 20
November 2013 dari http://www.beritasatu.com/ekonomi/10584-montara-dan-porong.html.
Indonesia Resources Studies (IRESS). “Menggugat Status Ganti Rugi Pencemaran Minyak
Blok Montara.” Satu Negeri (Februari 2012). Diambil 19 Desember 2013 dari
http://satunegeri.com/menggugat-status-ganti-rugi-pencemaran-minyak-blok--montara.html.
Internet
International Maritime Organization. “Legal Committee, 97th Session: 15-19 November
2010,
Opening
Speech.”
Diunduh
7
Mei
2014
dari
http://www.imo.org/MediaCentre/SecretaryGeneral/Secretary-
Bentuk pertanggungjawaban…, Aldila Mesra, FH UI, 2014
GeneralsSpeechesToMeetings/Pages/Legal-Committee-97th-session.aspx.
The Law Library of Congress. “Oil Spill Liability and Regulatory Regime: Australia.”
Diunduh 4 Juni 2014 dari http://www.loc.gov/law/help/oil-spill-liability/australia.php#_ftn16.
Thornton, Jenny Nigel Chapman, dan Suzannah Moss-Wright. “Polluters Pay in Australia
through Compulsory Financial Assurance for Petroleum Title Holder.” Diunduh 17 Juni 2014
dari http://www.clydeco.com/insight/updates/polluter-pays-in-australia-through-compulsoryfinancial-assurance-for-petro.
Tim Advokasi Pencemaran Laut Timor, Kementerian Lingkungan Hidup. (Agustus 2012).
Presentasi mengenai Perkembangan Penyelesaian Kasus Tumpahan Minyak di Laut Timor.
Diunduh 15 Desember 2013 dari https://lapor.ukp.go.id/pengaduan/24500/topikkhusus/tindak-lanjut-kasus-%3Cem-style=%22color:#000000;fontweight:bold%22%3Etumpahan%3C/em%3E-%3Cem-style=%22color:%23000000;fontweight:bold%22%3Eminyak%3C/em%3E-di-montara-laut-timor.html.
Lain-lain
Waste Safety Section, International Atomic Energy Agency (IAEA). Inventory of Radioactive
Waste Disposals at Sea. Vienna: Agustus 1999.
Bentuk pertanggungjawaban…, Aldila Mesra, FH UI, 2014
Download