BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengakuan dunia internasional kepada Indonesia sebagai negara kepulauan yang telah diperjuangkan sejak 1959 melalui Deklarasi Djuanda telah meletakkan dasar bagi Bangsa Indonesia sebagai kesatuan kewilayahan yang berbentuk kepulauan dan merupakan satu kesatuan dari seluruh wilayah darat, laut, termasuk dasar laut dan tanah dibawahnya, serta udara diatasnya. Deklarasi tersebut telah diperkuat secara internasional dengan berlakunya Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Convention on the Law of the Sea) UNCLOS tahun 1982, sehingga luas wilayah laut Indonesia menjadi 5,8 juta kilometer persegi, dengan panjang garis pantai lebih dari 81.000 km dan jumlah pulau 17.504 pulau. 1 Terbagi atas sekitar 0.8 juta km2 perairan territorial; 2.3 juta km2 perairan nusantara dan seluas 2.7 juta km2 mendapatkan kewenangan memanfaatkan zona ekonomi eksklusif (ZEE) dalam hal eksplorasi, eksploitasi, dan pengelolaan sumber daya hayati dan nonhayati. 2 Suatu kenyataan, bahwa setiap bagian lingkungan hidup sekalipun menjadi bagian wilayah suatu negara atau berada dibawah hidup sebagai suatu keseluruhan. Setiap bagian lingkungan merupakan bagian dari suatu kesatuan (a wholeness) yang 1 Didik Mohamad Sodik, 2011, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h.49. 2 Andi Iqbal Burhanuddin, 2011, The Sleeping Giant, Potensi dan Permasalahan Kelautan, Brilian Internasional, Surabaya, h. vii. 1 tidak dapat dipisah-pisahkan dan satu sama lain, membentuk satu kesatuan tempat hidup yang disebut lingkungan hidup. 3 Salah satu aspek lingkungan yang akan dibahas adalah lingkungan laut. Yang mana laut merupakan wilayah territorial yang memiliki peran besar dalam penyediaan sumber daya alam yang tidak terbatas bagi manusia, laut adalah bagian dari lingkungan hidup yang kaya akan keanekaragaman hayati, Pengelolaan sumber daya di laut memberikan manfaat yang besar bagi manusia. 4 Namun dalam pengelolaan lingkungan laut tersebut, tentunya memiliki dampak terhadap lingkungan laut itu sendiri. Laut sangat riskan dari aktifitas manusia, yang seringkali dieksplorasi oleh tangan-tangan tidak bertanggung jawab. Hal ini dikarenakan wilayahnya yang luas dan lemahnya pengawasan. Dalam Pasal 193 UNCLOS 1982 memuat prinsip penting dalam pemanfaatan sumber daya di lingkungan laut, yang berbunyi : “Bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya sesuai dengan kebijakan lingkungan mereka dan sesuai dengan kewajibannya untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut.” Serta Pasal 192 menegaskan “Bahwa setiap negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut.” Pada tanggal 21 Agustus 2009, terjadi kebocoran akibat meledaknya kilang minyak dan gas lepas pantai Perusahaan PTT Exploration and Production (PTTEP) Australasia 3 Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional, Perspektif Bisnis Internasional, Refika Aditama, 2003, (selanjutnya disingkat Ida Bagus Wyasa Putra I), h.2. 4 Ririn Ambarwati, 2014, Membangun Kelautan untuk Mengembalikan Kejayaan sebagai Negara Maritim, http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/ver2/news/read/115/membangun-kelautan-untuk-mengembalikan-kejayaansebagai-negara-maritim.html diakses pada 7 Desember 2014. 2 selaku operator dan pemilik ladang minyak dan gas Montara Sea Drill Norway Pty Ltd di Blok Atlas Barat Laut Timor. Diperkirakan, sebanyak 500 ribu liter minyak bocor setiap harinya selama 74 hari. 5 Tumpahan minyak Montara telah mencemari sedikitnya 90.000 km2 wilayah perairan Laut Timor. Selain tumpahan minyak, disertai pula dengan zat timah hitam bercampur bubuk kimia dispersant jenis Corexit 9500 dan 9572 yang beracun untuk menenggelamkan tumpahan minyak ke dasar Laut Timor. Kasus di kilang Montara ini, juga dikenal dengan sebutan "Montara Timor Sea Oil Spill Disaster”6 Kita dapat bercermin dari kasus Exxon Valdez Oil Spill 1989 di Laut Alaska, Amerika Serikat, keadaan lingkungan perairan di sana belum mampu untuk dipulihkan. Demikian halnya dengan kasus tumpahan minyak mentah di Teluk Mexico 2010 akibat dari meledaknya sumur minyak Deep Horizon. Dalam Pasal 235 UNCLOS 1982 diatur mengenai tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi kaitannya dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Bahwa setiap negara bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban internasional mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, sehingga semua negara harus memikul kewajiban ganti rugi sesuai dengan hukum internasional. Setiap negara harus mempunyai peraturan perundang-undangan tentang kompensasi yang segera dan memadai atas kerugian (damage) yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan laut 5 Muhaimin, 2014, Protes Tumpahan Minyak, RI minta Australia Bekerjasama, http://international.sindonews.com/read/906514/40/protes-tumpahan-minyak-ri-minta-australia-bekerjasama1412050603, diakses pada tanggal 15 Mei 2015. 6 Marine Pollution Montara Oil Spill, http://www.environment.gov.au/marine/marine-pollution/montara-oilspill, diakses pada tanggal 5 Oktober 2014. 3 yang dilakukan orang (natural person) atau badan hukum (juridical person) yang berada dalam jurisdiksinya. Karenanya, setiap negara harus bekerja sama untuk mengimplementasikan hukum internasional yang mengatur tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi untuk kompensasi akibat pencemaran lingkungan laut, serta prosedur pembayarannya. Saat ini ratusan ribu masyarakat NTT berdomisili di sepanjang garis pantai selatan dan utara Pulau Timor, Rote Ndao, Sabu Raijua, Alor, Sumba dan Flores serta Lembata, tak lagi bisa membudidayakan rumput laut yang dilukiskan sebagai "emas hijau" karena wilayah perairan budidaya mereka sudah terkontaminasi dengan minyak mentah, zat timah hitam dan bubuk kimia, serta rusaknya terumbu karang sampai seluas sekitar 65.000 hektare, yang menyebabkan petaka kemanusiaan, lingkungan global dan perubahan iklim. Masyarakat Timor bekerjasama dengan Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), terus berupaya mendapatkan hak mereka, agar Pemerintah Australia dan Indonesia segera mengambil langkah-langkah pertanggung jawaban. YPTB adalah yayasan yang telah memiliki legitimasi hukum dari Australia serta mendapat kepercayaan dari masyarakat serta pemerintah di berbagai daerah di NTT.7 Berangkat dari pemaparan fakta-fakta di atas, penulis rasa perlu untuk melakukan sebuah penelitian tentang bagaimana pertanggungjawaban secara hukum atas peristiwa ini menurut perspektif hukum internasional. Penelitian ini akan ditulis 7 Kasus Pencemaran Laut Timor, Agenda APEC 2013, http://news.liputan6.com/read/670636 /kasuspencemaran-laut-timor-agenda-apec-2013, diakses pada tanggal 1 Oktober 2014. 4 secara sistematis dalam suatu rangkaian tugas akhir/skripsi yang berjudul: “TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PENCEMARAN MINYAK MENTAH LINTAS BATAS NEGARA DI LAUT TIMOR” dengan harapan, para pihak dapat berbuat sesuai kapasitasnya menurut ketentuan hukum serta di kemudian hari tidak ada lagi peristiwa serupa yang terjadi. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis mengangkat dua permasalahan yang penting untuk dibahas secara lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana Pertanggungjawaban Pihak Pemerintah Australia dan Perusahaan PTT Exploration and Production Australasia Kepada Pemerintah Indonesia atas Pencemaran Minyak Mentah di Laut Timor ? 2. Bagaimana Metode Penyelesaian Sengketa Antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia Akibat Meledaknya Kilang Minyak Montara ? 1.3. Ruang Lingkup Masalah Penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah perlu ditegaskan mengenai materi yang diatur di dalamnya. Hal ini sangat diperlukan untuk menghindari agar isi atau materi yang terkandung di dalamnya tidak menyimpang dari pokok permasalahan yang telah dirumuskan sehingga dengan demikian dapat diuraikan secara sistematis. Untuk menghindari pembahasan menyimpang dari pokok permasalahan, diberikan 5 batasan-batasan mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : Akan diuraikan mengenai bagaimana bentuk pertanggung jawaban pemerintah Australia dan Perusahaan PTT Exploration and Production Australasia kepada Pemerintah Indonesia, karena akibat meledaknya kilang minyak, yang tumpahan minyaknya telah mencemari Laut Timor. Serta, bagaimana penyelesaian sengketa pencemaran minyak mentah di Laut Timor antara Pemerintah Indonesia, perusahaan PTT Exploration and Production Australasia dan Pemerintah Australia. Pada Bab kedua dibahas mengenai tinjauan umum tentang pencemaran lintas batas negara, pertanggungjawaban serta penyelesaian sengketa. Pada Bab ketiga membahas mengenai pertanggungjawaban dari pihak perusahaan yang telah melakukan pencemaran serta pertanggungjawaban pihak Pemerintah Australia selaku regulator. Dan pada Bab keempat membahas mengenai metode penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh berdasarkan ketentuan United Nation Convention on the Law of the Sea tahun 1982. 1.4. Orisinalitas Penelitian Tulisan ini merupakan benar dari pemikiran sendiri. Sebagai referensi sekaligus menghindari plagiasi pada tulisan ini, maka penulis menggunakan skripsi lain dengan kasus sejenis, yang mana akan membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. Sebagai acuan kerangka berfikir maka penulis menggunakan 3 buah skripsi/karya 6 ilmiah melalui penelusuran di ruang koleksi skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana. Adapun skripsi yang penulis maksud adalah sebagai berikut : No Judul Penulis 1 “Pengaturan Mengenai Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Lintas Batas Maritim yang Berasal dari Tambang Minyak Lepas Pantai” Dita Andika Bhaskara Putra, 2012 2 “Pelaksanaan The ASEAN Agreement on Transboundary Haze Polution dalam kasus polusi asap lintas batas Negara-negara ASEAN” Diah Ratna Sari, 2014 3 “Konektivitas Maritim Renfred Valdemar, 2014 ASEAN (ASEAN Maritime Connectivity) Ditinjau dari Aspek Penegakan Hukum Laut” 7 Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaturan pencemaran lingkungan laut akibat tumpahan minyak lintas batas dilingkungan maritim Indonesia? 2. Bagaimanakah peranan kerjasama antar Negara dalam menanggulangi pemcemaran lingkungan lintas batas maritime akibat kebocoran tambang minyak lepas pantai? 1. Apakah AATHP telah mengatur karakteristik polusi sebagaimana yang terdapat di dalam kasus polusi asap Indonesia – ASEAN ? 2. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban Indonesia terhadap akibat polusi asap lintas batas negara dalam kasus kebakaran hutan dan lahan Riau berdasarkan AATHP ? 1. Apa Relevansi Konektivitas Maritim ASEAN bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia? 2. Bagaimana Konsekuensi Hukum dari Pelaksanaan ASEAN Maritime Connectivity Apabila Ditinjau dari Aspek Penegakan Hukum Laut Internasional? 1.5. Tujuan Penelitian Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini antara lain: a. Tujuan Umum Mengenai tujuan umum yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah untuk mengkaji dan menganalisa pengaturan mengenai pencemaran lingkungan khususnya laut dan lintas batas serta untuk mengetahui dan memahami posisi subjek hukum internasional baik individu organisasi maupun negara dalam pertanggungjawabannya. b. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus yang diharapkan dapat tercapai dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui secara yuridis normatif, pertanggung jawaban pihak Pemerintah Australia kepada Pemerintah Indonesia akibat kasus meledaknya Kilang Minyak Montara 2. Untuk menganalisis metode penyelesaian sengketa pencemaran minyak mentah di Laut Timor antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia 1.6. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai pengaturan pencemaran lingkungan khususnya laut dalam UNCLOS 1982, 8 memberikan pengetahuan tentang latar belakang dirancangnya UNCLOS 1982, dan pertanggungjawaban Australia terhadap Negara, terkait tumpahan minyak mentah akibat meledaknya kilang minyak yang menyebabkan pencemaran lintas batas Negara. Selain itu diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan untuk pengembangan Ilmu Hukum secara umum, khususnya di bidang hukum internasional mengenai penerapan UNCLOS 1982. b. Manfaat Praktis Dari segi praktis, berguna sebagai upaya yang dapat diperoleh langsung manfaatnya, seperti peningkatan keahlian meneliti dan keterampilan menulis, sumbangan pemikiran dalam pemecahan suatu masalah hukum, acuan pengambilan keputusan yuridis, dan bacaan baru bagi penelitian ilmu hukum. 8 Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat internasional sebagai sarana pengembangan pemikiran serta meningkatkan daya nalar terhadap masalah-masalah hukum lingkungan internasional khususnya dibidang pencemaran laut lintas negara, sehingga diharapkan lebih aktif dan kritis dalam menjaga dan melindungi lingkungan khusunya laut luasnya dua kali lipat dari luas daratan Indonesia. 8 Abdul Kadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 66. 9 1.7. Landasan Teoritis a. Teori Kerjasama Internasional Kerjasama internasional muncul karena keadaan, kebutuhan, kemampuan serta potensi dari suatu negara yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan suatu negara bekerjasama dengan negara lainnya agar dapat memenuhi kepentingan nasionalnya di luar negeri. 9 Kerjasama internasional dapat dilakukan jika suatu negara sekurang-kurangnya memiliki dua syarat utama, yaitu adanya keharusan menghargai kepentingan masing-masing negara yang terlibat bekerjasama serta adanya keputusan bersama negaranegara yang melakukan kerjasama dalam mengatasi setiap persoalan yang timbul dalam perjanjian tersebut.10 Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengaitkan teori ini dengan kerjasama yang dilakukan antara Negara Indonesia dan Negara Australia, dalam menangani pencemaran laut lintas batas negara. b. Teori Tanggung Jawab Negara Timbulnya tanggung jawab negara atas lingkungan didasarkan pada adanya tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan yang berada 9 Sjamsumar Dam dan Riswandi, 1995, Kerjasama ASEAN, Latar Belakang, Perkembangan, dan Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 15. 10. Ibid. h. 16. 10 di wilayah suatu negara atau di bawah pengawasan negara tersebut yang membawa akibat yang merugikan terhadap lingkungan tanpa mengenal batas negara. Hukum lingkungan internasional mengatur bahwa setiap orang berhak atas standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya. 11 Teori tanggung jawab negara menyatakan bahwa suatu negara bertanggung jawab kepada negara lain bilamana tindakan yang terjadi di negaranya menyebabkan kerugian bagi negara lain tersebut.12 Dapat pula diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan pemulihan terhadap setiap kerugian yang timbul dari akibat setiap kegiatan, baik yang timbul dari kegiatan yang dilarang maupun yang tidak dilarang oleh hukum internasional, termasuk kewajiban untuk mencegah timbulnya kerugian dalam hal dimana kerugian tersebut tidak dapat diselesaikan melalui pembayaran ganti rugi. 13 Tanggung jawab negara terhadap akibat-akibat dari tindakannya terhadap negara lain dan hak-hak negara terhadap lingkungan ditegaskan pula dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm tahun 1972.14 11. The Universal Declaration of Human Rights: A guide for Journalist. 2000, terjemahan Hendriati Trianita, Deklarasi Universal Hak Asasi, cet. 2, Jakarta, h. 36. 12. Sendi Nugraha, 2013, State Responsibility, http//sendinugraha/2013/04/state-respon sibility.html/m=1. diakses pada tanggal 2 Oktober 2014. 13. Ida Bagus Wyasa Putra, 2001, Tanggung jawab Negara terhadap Dampak Komersialisasi Ruang Angkasa, Refika Aditama, Bandung, h. 61. (selanjutnya disebut Ida Bagus Wyasa Putra II) 14. Ida Bagus Wyasa Putra I, Op Cit, h. 7. 11 c. Teori Tanggung Jawab Mutlak Tanggungjawab mutlak atau strict liability diartikan sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya kerusakan. Salah satu ciri utamanya tidak adanya persyaratan perlu adanya kesalahan. Hal yang senada dikemukakan pula oleh James E. Krier dalam tulisannya 'Environment Litigation and the Burden of Proff", bahwa strict liability dapat merupakan bantuan yang sangat besar dalam peradilan mengenai kasus-kasus lingkungan, karena banyak kegiatan-kegiatan yang menurut pengalaman menimbulkan kerugian terhadap lingkungan merupakan tindakan-tindakan yang berbahaya, untuk mana dapat diberlakukan ketentuan tanggung jawab tanpa kesalahan. 15 Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengaitkan teori ini dengan bentuk tanggung jawab Perusahaan PTTEP Australasia dan Pemerintah Australia kepada Indonesia atas meledaknya kilang minyak Montara dimana Pemerintah Australia merupakan regulator dan Perusahaan PTTEP Australasia sebagai operator dalam pengeboran minyak mentah di Anjungan Montara, yang mana tumpahan minyaknya hingga ke perairan Indonesia serta berdampak buruk dan dapat merusak ekosistem dan keanekaragaman hayati bawah laut di Laut Timor. d. Teori Penyelesaian Sengketa Internasional 15 Hendrik Salmon, 2014, Eksistensi dan Fungsi Prinsip Strict Liability Dalam Penegakan Hukum Lingkungan, http://fhukum.unpatti.ac.id/artikel/hukum-tata-negara/292-eksistensi-dan-fungsi-prinsip-strictliability-dalam-penegakan-hukum-lingkungan, diakses pada tanggal 12 Maret 2015 12 Dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatur 2 bentuk penyelesaian sengketa internasional, yaitu penyelesaian sengketa secara damai dan penggunaan kekerasan. Dalam pasal 33 Piagam PBB menyebutkan Perundingan (Negotiation), Penyelidikan (Enquiry), Mediasi (Mediation), Konsiliasi (Conciliation) dan Arbitrase (Arbitration) sebagai cara-cara damai dalam menyelesaikan sengketa internasional. Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengaitkan teori ini dengan mekanisme penyelesaian sengketa damai yang di terapkan dalam penyelesaian sengketa antara Australia dan Indonesia. 1.8. Metode Penelitian Skripsi sebagai salah satu bentuk dari penulisan karya tulis, tentunya harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Untuk itu mutlak diperlukan suatu penelitian dan dalam mencari kebenaran ilmu hukum, diperlukan suatu metodologi yang tentunya bertujuan untuk mengadakan pendekatan atau penyelidikan ilmiah yang bersahaja. Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : a. Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini termasuk ke dalam penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif berarti penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem 13 norma. Peter Mahmud Marzuki menyatakan pendapatnya mengenai penelitian hukum normatif, adalah: “… suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsipprinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. … Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi….” 16 Soerjono Soekanto juga menyatakan, bahwa penelitian hukum normatif terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum. 17 Maka dari itu, penulis menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu, dari sejumlah pendekatan yang dikenal dalam penelitian hukum normatif. b. Jenis Pendekatan Sebuah karya tulis ilmiah agar dapat mengungkapkan kebenaran jawaban atas permasalahan secara sistematis, metodologis, dan konsisten serta dipertanggungjawabkan keilmiahannya, hendaknya disusun dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang tepat. Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, antara lain pendekatan peraturan perundangundangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan 16 Peter Mahmud Marzuki dalam Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normative & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 34. 17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 14. 14 historis, pendekatan komparatif, dan pendekatan konseptual. 18 Dalam buku pedoman fakultas hukum universitas udayana, penelitian normatif umumnya megenal 7 jenis pendekatan yaitu: 1. Pendekatan Peraturan (the statute Approach) 2. Pendekatan Fakta (the fact Approach) 3. Pendekatan Kasus (the case Approach) 4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (analytical and conceptual approach) 5. Pendekatan Frasa (word and phrase approach) 6. Pendekatan Sejarah (historical approach) 7. Pendekatan Perbandingan (comparative approach)19 Adapun pendekatan yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan fakta (fact approach), dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) adalah metode penelitian dengan menelaah semua undang-undang, memahami hirarki dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan. Dikatakan bahwa pendekatan perundang-undangan berupa legislasi dan regulasi yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara 18 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki I), h. 93. 19 Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Denpasar, h.75 15 umum. 20 Namun demikian, dalam penulisan penelitian ini, penulis menganalisis instrumen-instrumen hukum internasional dan Melalui pendekatan peraturan ini akan dilihat fakta-fakta yang terjadi dilapangan selanjutnya dikaitkan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pendekatan Fakta (fact approach) adalah pengkajian yang dilakukan oleh penulis terkait suatu peristiwa hukum yang berkaitan dengan kasus yang diangkat. Pendekatan Kasus (the case approach) Penulis menelaah kasuskasus khususnya yang berkaitan dengan kasus pencemaran laut lintas batas untuk mendapatkan informasi tambahan mengenai skripsi. c. Sumber Bahan Hukum Di dalam penelitian ini, jenis data dibedakan antara : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang digunakan sifatnya mengikat terutama berpusat pada peraturan perundangundangan. Bahan hukum primer ini bersifat otoritatif, artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. 21 Bahan hukum primer yang digunakan, yaitu: 20 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki II), h.97. 21. Peter Mahmud Marzuki I, op.cip, h.144. 16 1. Undang-undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, 2. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup, 3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, 4. United Nation Charter tahun 1945. 5. United Nations Conference on The Human Environment or Stockholm Declaration (Deklarasi Stockholm) tahun 1972. 6. United Nations Conference on Environment and Development (Deklarasi Rio) tahun 1992. 7. United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982. 8. International Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969. 9. Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter 1972 (London Dumping Convention). 10. The International Covention on Oil Pollution Preparedness Response And Cooperation (OPRC) tahun 1990. 17 11. Draft Articles on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, ILC, 2001. 12. Memorandum of Understanding between the Government of Australian and Indonesia on Oil Pollution Preparedness and Response tahun 1996 b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. 22 Bahan hukum sekunder yang digunakan berasal dari buku literatur, majalah, makalah dan internet yang ada hubungannya dengan hukum lingkungan internasional khususnya mengenai laut dalam kasus pencemaran laut lintas batas Negara. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan non hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.23 Bahan hukum tersier yang digunakan seperti kamus hukum yang dapat menjelaskan mengenai defisini suatu kata yang berhubungan dengan hukum lingkungan khususnya mengenai laut dalam kasus pencemaran laut lintas batas Negara. 22. Ibid. 23. Johnny Ibrahim, 2005, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang. h. 318. 18 c. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum yang dipergunakan adalah teknik studi dokumen, yaitu dalam pengumpulan bahan hukum terhadap sumber kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dengan cara membaca dan mencatat kembali bahan hukum tersebut yang kemudian dikelompokkan secara sistematis yang berhubungan dengan masalah dalam penulisan skripsi ini. Untuk menunjang penulisan skripsi ini pengumpulan bahan-bahan hukum diperoleh melalui : 1. Pengumpulan bahan hukum primer dengan cara mengumpulan instrument nasional maupun internasional yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. 2. Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk mendapatkan bahan hukum yang bersumber dari buku-buku, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa maupun berita di internet yang terkait dengan permasalahan yang hendak dibahas dalam skripsi ini. 3. Pengumpulan bahan hukum menggunakan kamus hukum. 19 tersier dilakukan dengan d. Teknik Analisa Bahan Hukum Adapun teknik pengolahan bahan hukum yaitu setelah bahan hukum terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik deskripsi yaitu dengan memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.24 Bahan hukum primer dan sekunder yang terkumpul selanjutnya diberikan penilaian (evaluasi), kemudian dilakukan interpretasi dan selanjutnya diajukan argumentasi. Argumentasi disini dilakukan oleh peneliti untuk memberikan preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah atau apa yang seyogyanya menurut hukum terhadap peristiwa yang terjadi. Dari hal tersebut nantinya akan ditarik kesimpulan secara sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain. Teknik lainnya yang penulis gunakan adalah teknik Analisis, yaitu pemaparan secara mendetail dari keterangan-keterangan yang didapat pada tahap sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis. 24 Ronny Hanitijo, 1991, Metode Penelitian Hukum, Cet. ke II Ghalia Indo, Jakarta, h. 93. 20 21