Desain Media Komunikasi untuk Pendidikan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Komunikasi (Communication)
2.1.1 Definisi dan Tujuan Komunikasi
Komunikasi
mengandung
makna
bersama-sama
(common). Istilah
komunikasi atau communication berasal dari bahasa Latin, yaitu communicatio
yang berarti pemberitahuan atau pertukaran. Kata sifatnya communis yang berarti
umum atau bersama-sama (Wiryanto, 2004 dan Safanayong, 2006).
Komunikasi menurut Harold Laswell sebagaimana yang dikutip oleh
Ruben (1992) dapat dijelaskan secara sederhana dalam suatu pernyataan “who say
what to whom in what channel with what effect”(siapa mengatakan apa dengan
saluran apa kepada siapa dengan akibat apa). Komunikasi menurut Safanayong
(2006) adalah esensi dan dasar dari hal-hal persuasi (seni untuk mempengaruhi),
perubahan sikap dan tingkah laku serta sosialisasi melalui transmisi informasi.
Komunikasi
menurut
LoCicero
(2007)
adalah
melewatkan
atau
menyampaikan informasi melalui kata-kata, gestur, atau pesan, pembicaraan dan
tulisan; dan dalam hal ini terjadi pertukaran terus-menerus mengenai fakta dan
opini. Adapun tujuan utama dari komunikasi tersebut untuk:
a. Menginformasikan (to inform): yaitu menyediakan informasi, memberikan
arahan dan untuk mengedukasi.
b. Memeriksa/menyelidiki (inquire): yaitu dengan meminta dan mengumpulkan
informasi.
c. Meminta (request): yaitu menanyakan untuk memastikan tindakan yang akan
diambil.
d. Membujuk (persuade): yaitu mendorong untuk segera mengambil tindakan.
e. Membangun hubungan (build relationships) baik terhadap klien, pelanggan,
pekerja atau vendor yang sudah ada maupun yang prospek.
Fungsi dasar komunikasi menurut Ruben (1992) di dalam kehidupan atau
aktivitas sehari-hari yaitu: membujuk/mengambil hati dan untuk pergaulan,
menjaga hubungan antara orangtua dan anak dan untuk bersosialisasi, sebagai
penunjuk arah (navigation), untuk mempertahankan diri dan daerah teritori. Lima
7
model komunikasi yang digunakan oleh binatang dan manusia yaitu: penglihatan
(visual), peraba/sentuhan (tactile), penciuman (olfactory), perasa (gustatory), dan
pendengaran (auditory).
Tujuan komunikasi menurut Safanayong (2006) dapat dibedakan menurut
maksud dan caranya menjadi identifikasi, informasi, promosi (provokasi, persuasi,
propoganda dan sebagainya), dan ambience (penggarapan lingkungan). Dalam
semua usaha komunikasi pemasaran, tujuan diarahkan pada pekerjaan satu atau
lebih untuk membangun keinginan, menciptakan kesadaran, meningkatkan sikap
dan mempengaruhi niat, serta mempermudah pemakaian atau pembelian.
2.1.2 Komunikasi yang Efektif
Tubbs dan Moss (2000) dalam Kriyantono (2008) memberikan kriteria
komunikasi yang efektif yaitu jika terjadi pengertian, menimbulkan kesenangan,
pengaruh pada sikap, hubungan yang semakin baik, dan perubahan perilaku. Bila
dalam proses komunikasi terjadi khalayak merasa tidak mengerti akan apa yang
dimaksud komunikator, maka telah terjadi kegagalan proses komunikasi primer.
Bila setelah proses komunikasi terjadi hubungan semakin renggang, maka terjadi
kegagalan sekunder dalam proses komunikasi. Komunikasi efektif bisa diartikan
terjadi bila ada kesamaan antara kerangka berpikir (frame reference) dan bidang
pengalaman (field of experience) antara komunikator dengan komunikan.
Menurut Kotler dan Roberto (1989), elemen-elemen yang mempengaruhi
efektifitas komunikasi yaitu:
a. Ekspresi Vocal (Vocal Expression). Audiens media massa akan sangat
dipengaruhi oleh karakter vokal dengan artikulasi pesan yang konsisten dan
memiliki kekuatan volume. Karakter vokal menjadi hal yang kritis dalam
penyampaian pesan melalui radio, sehingga dalam pemilihan pembicara
melalui radio harus berhati-hati memilih bahasa dan karakter vokal yang
diperlukan.
b. Ekspresi
Wajah
(Facial
Expression).
Berbagai
peneliti
memberikan
kesimpulan bahwa ekspresi wajah dari komunikator (pembawa pesan) menjadi
hal yang sangat penting dimana hal ini dapat memperlihatkan informasi dan
emosi. Beberapa emosi primer yang dapat diekspresikan melalui wajah
8
diantaranya
yaitu
kebahagiaan,
keterkejutan,
ketakutan,
kesedihan,
kemarahan, perenungan, dan ketertarikan.
c. Pergerakan Tubuh (Body Movement). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengamat media akan memberikan perhatian pada gerakan tubuh dan gestur.
Media dengan memperlihatkan gestur dan aktivitas wajah yang disajikan
dalam posisi terbuka akan memberikan efek yang kuat dan bersifat persuasif.
d. Kontak Mata (Eye Contact). Dengan menjaga kontak mata dengan audiens
akan memberikan efek yang persuasif. Hanya saja di sisi lain, pesan yang
memperlihatkan kontak mata yang sifat pesannya persuasif yang negatif juga
akan menghasilkan efek yang negatif.
e. Jarak Ruang (Spatial Distance). Pesan yang disampaikan akan efektif jika
jarak ruang antara pengirim pesan dan penerima sesuai dengan situasi. Jarak
ruang antara pengirim pesan dan penerima sangat bervariasi untuk kondisi
sosial yang berbeda. Jarak ruang yang dekat bisa jadi sesuai di suatu tempat
tetapi tidak sesuai dengan situasi di tempat lain. Jika terjadi pelanggaran
norma individu maka pesan yang disampaikan menjadi tidak efektif.
f. Ketertarikan Fisik (Physical Apperance). Media yang diperlihatkan secara
atraktif akan lebih persuasif dibanding dengan yang tidak atraktif. Dalam
beberapa keadaan ketertarikan fisik dari pesan yang ditampilkan agar mudah
diingat kembali oleh audiens daripada pesan yang ditampilkan seadanya.
Komunikasi yang efektif sangat ditentukan oleh unsur-unsur atau
komponen komunikasi dan variabel yang mempengaruhi dalam prosesnya.
Menurut Safanayong (2006), unsur-unsur komunikasi yaitu sumber informasi
(sender/source), pembuatan kode/penyandian (encoding), pesan (message),
saluran/medium
(channel),
penguraian
kode/sandi
(decoding),
(receiver), rintangan/distorsi (noise), umpan balik (feedback).
penerima
Variabel yang
mempengaruhi proses komunikasi diantaranya: persepsi, motivasi, learning,
memori, sikap, kepercayaan, kepribadian, pengaruh kelompok, gaya hidup dan
nilai-nilai.
9
2.1.3 Tingkatan Komunikasi
Tingkatan komunikasi
dalam
konteks
sosial
yang
luas
menurut
Safanayong (2006) dapat dibagi dari tingkatan komunikasi intrapersonal
(komunikasi dengan satu orang/dengan diri sendiri pada saat berpikir),
komunikasi interpersonal (komunikasi antara dua orang), komunikasi kelompok
kecil (komunikasi antara dua orang atau lebih, tetapi tidak lebih dari duapuluh
lima orang), komunikasi kelompok besar (komunikasi dari satu atau beberapa
orang kepada khalayak, kira-kira lebih dari dua puluh lima orang), komunikasi
organisasional (komunikasi antara suatu kelompok orang-orang terkait dalam
suatu administrasi atau bisnis tertentu).
Adapan karakteristik level atau tingkatan komunikasi menurut Rogers
dalam Wiryanto (2004) yang berdasar pada faktor-faktor arus informasi,
segmentasi khalayak, derajat interaktif, dan kontrol terhadap arus informasi
sebagaimana pada Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik level komunikasi
Sifat Saluran
Informasi
Arus Informasi
Sumber Khalayak
Komunikasi antar
pribadi
One to few
Individu
Segmentasi Khalayak
Tinggi
(demassifikasi/bersifat
pribadi)
Tinggi
Cepat
Rendah
Tingkat Interaktif
Arus Balik
Asynchronicity (terus
berlangsung)
Emosi Sosial vs Task
– Related Content
Non – Verbal
Tinggi (emosional –
sosial)
Sulit
Komunikasi
interaktif (dua arah)
Many to many
Peserta komunikasi
interaktif
Tinggi
(demassifikasi/bersifat
pribadi)
Tinggi
Bisa cepat, bisa tunda
Tinggi untuk media
baru
Rendah
Komunikasi media
massa
One to many
Organisasi media
Rendah (massifikasi/
bersifat universal/
umum)
Rendah
Cepat/tunda
Rendah/tinggi
Rendah
Media visual bisa.
M edia audio tidak
Kontrol Arus
Oleh peserta
Peserta komunikasi
Kontrol khalayak
Informasi
komunikasi
kecil
Kebebasan Pribadi
Rendah
Biasanya rendah
Tinggi
Sumber: Roger (1986) Communication Technology, The New Media in Society, The Free Press,
New York dalam Wiryanto (2004)
Menurut
Wiryanto
(2004)
Bisa untuk media baru
level
komunikasi
selain
komunikasi
intrapersonal, interpersonal, komunikasi kelompok dan organisasi yaitu yang
dikenal dengan istilah komunikasi massa (komunikasi yang menggunakan media
massa sebagai saluran penyampai pesannya). Komunikasi massa yang lahir
10
seiring dengan penggunaan alat-alat mekanik yang mampu melipatgandakan
pesan-pesan komunikasi. Komunikasi massa merupakan suatu tipe komunikasi
manusia (human communication).
Soemanagara (2008) mengatakan bahwa komunikasi antarpersonal
memiliki tingkat interaktif yang tinggi, dapat dilakukan dengan tatap muka
sehingga respon dan feedback
akan mudah terlihat, jika ada pesan yang
dipersepsikan berbeda oleh penerima pesan bisa langsung diklarifikasi atau
diperbaiki. Demikian halnya komunikasi kelompok (tergantung pada jumlah,
usia, dan batasan geografis) respon dapat langsung dapat diperoleh walaupun akan
beragam
sesuai
dengan
perbedaan
cara
individu
menangkap
atau
mengintepretasikan pesan yang diterima. Sedangkan komunikasi massa karena
memiliki jangkauan komunikasi yang lebih luas, maka respon dari komunikan
sulit diukur secara langsung, walaupun kemungkinan ada respon jumlahnya sulit
diprediksikan.
Wright dalam Wiranto (2004) memberikan karakteristik pesan-pesan
komunikasi massa yaitu publicly (pesan tidak ditujukan kepada orang per orang
secara eksklusif melainkan bersifat terbuka untuk umum atau publik), rapid
(pesan dirancang untuk mencapai audience yang luas dalam waktu yang singkat
serta simultan), transient (pesan dibuat untuk memenuhi kebutuhan segera,
dikonsumsi “sekali pakai” dan bukan untuk tujuan yang bersifat permanen).
2.2
Pesan (Message)
2.2.1 Definisi dan Komponen Pesan
Pesan (Message) menurut Winarso (2005) adalah pikiran atau perasaan
yang ingin disampaikan kepada orang lain. Orang yang menyampaikan pesan
disebut komunikator, sedang yang menerima pesan disebut komunikan atau
komunikate (communicate). Definisi yang serupa dikemukan oleh Wiryanto
(2004), pesan adalah informasi yang dikomunikasikan kepada individu atau
khalayak, sedang informasi sendiri diartikan sebagai hasil dari proses intelektual
atau berpikir seseorang.
Kirana (2001) mengemukakan kriteria isi pesan yaitu sederhana,
didasarkan pada fakta yang bisa dipertanggungjawabkan, memiliki logika yang
11
runtut, singkat dan padat informasi. Elemen pesan yang penting yaitu: isi atau
gagasan – merujuk pada ide sentral suatu pesan; bahasa – terdiri dari kata-kata
untuk mengkomunikasikan pesan; pembawa pesan – merujuk pada orang/pihak
yang menyampaikan pesan; waktu – kapan suatu pesan disampaikan; dan tempat
– pilihan tempat dimana pesan akan disampaikan. Selanjutnya menurut Moffitt
(1999) dalam suatu pesan sangat terkait erat dengan faktor visualisasi dari sesuatu
yang ingin disampaikan, penggunaan kata-kata, ukuran atau panjang dari suatu
pesan, warna yang digunakan, ukuran huruf, penggunaan kertas, efek bunyi dan
latar belakang musik dan sebagainya.
Elemen pesan menurut Kriyantono (2008) terdiri dari:
1. Struktur Pesan (Pengorganisasian elemen-elemen pokok):
a. Message Sidedness
* One – Sided:
-
Penekanan pesan hanya pada kepentingan pihak pengirim pesan.
-
Yang ditonjolkan kelebihan/kekuatan/aspek positif saja dari pesan
-
Biasa digunakan untuk iklan atau upaya promosi penjualan lainnya.
-
Pesan seperti ini cocok pada khalayak yang tingkat pendidikan rendah,
tidak mempunyai pandangan atau penilaian yang bertentangan atau
negatif atas idea atau produk yang dikomunikasikan.
-
Tidak terkena “Counterraarguments” (argument yang menentang).
* Two – Sided:
-
Penekanan pesan pada kepentingan kedua pihak yang berkomunikasi.
-
Yang
ditonjolkan
kelebihan/kekuatan/aspek
positif
maupun
kekurangan/negatif.
-
Pesan seperti ini cocok pada khalayak dengan tingkat pendidikan
tinggi, dan telah mempunyai pengetahuan dan pengalaman atas ide,
hal-hal, atau produk yang dikomunikasikan.
-
Terdapat pro dan kontra tentang hal yang dikomunikasikan.
b. Order of Presentation (Urutan Penyajian)
-
Climax vs Anticlimax
Biasanya untuk pesan yang satu sisi (one-sided). Klimaks yaitu cara
penyajian pesan di mana argumentasi terpenting atau terkuat berada di
12
bagian akhir pesan. Lebih tepat untuk khalayak yang tingkat perhatian
dan
kepentingan
yang
tinggi
terhadap
idea atau
hal
yang
dikomunikasikan. Khalayak yang dituju sudah tahu apa yang akan
disampaikan. Sedangkan Antiklimaks mengandung beberapa hal yang
merupakan kebalikan dari teknik klimaks di atas.
-
Recency vs Primacy
Biasanya untuk pesan yang dua sisi (two-sided). Recency adalah teknik
menyusun pesan, di mana aspek-aspek positifnya diletakkan di bagian
akhir. Sedangkan Primacy meletakkan aspek positif di bagian awal.
-
Drawing a Conclusion (Penarikan Kesimpulan)
Eksplisit, secara langsung dan jelas. Implisit, tidak langsung dan
diserahkan kepada khalayak untuk memberikan kesimpulan sendiri.
Biasanya ditujukan pada khalayak yang tingkat pendidikannya lebih
tinggi.
2. Dayak Tarik Pesan (Message Appeals)
a. Fear/Threat Appeals (Ancaman), menyajikan unsur-unsur ancaman,
ketakutan, kekuatiran dalam pesan.
b. Emotional Appeals, daya tarik emosional.
c. Rational Appeals, mengutamakan hal-hal yang logis-rasional faktual.
d. Humor, mengandung sesuatu yang lucu.
Daya tarik emosional (emotional appeal) meliputi daya tarik positif dan
negatif. Kotler dan Roberto (1989) menyebutkan bahwa pesan negatif sesuai
untuk produk sosial yang menawarkan solusi nyata suatu masalah. Sedangkan
pesan positif sesuai untuk produk sosial yang menawarkan sarana untuk
memuaskan tujuan individu.
2.2.2 Pesan yang Efektif
Pesan dikatakan efektif jika informasi tersebut berhasil diterima dan
dipahami oleh penerima/khalayak. Ruben (1992) mengemukakan faktor-faktor
yang mempengaruhi mudah tidaknya pesan diterima yaitu tergantung pada faktor
penerima pesan (The Receiver), Pesan (The Message), Sumber (The Source) dan
13
Media serta Lingkungan (The Media and The Environment). Adapun setiap faktor
digambarkan sebagai berikut:
1. Penerima pesan (the receiver): kebutuhan (needs), sikap, kepercayaan dan
nilai-nilai (attitudes, beliefs, values), sasaran (goals), pemanfaatan (uses),
gaya
komunikasi
(communication
style),
kemampuan/kapabilitas
(capabilities), pengalaman dan kebiasaan (experience and habit).
2. Pesan (the message): asli/ original, sesuai dengan keadaan yang sebenarnya
(origin), pengulangan pesan (mode), karakter fisik (physical character),
seperti ukuran, warna, huruf, ketajaman dan lain-lain dan bukan suatu novel
(novelty).
3. Sumber (the source): kedekatan (proximity), attraktif (attractiveness),
kesamaan
(similarity),
authoritativeness),
kredib ilitas
memotivasi
dan
dan
berwenang
intensif
(credibility
(motivation
and
and intent),
pendistribusian (delivery) dan status, kekuatan dan kewenangan (status,
power, and authority).
4. Media serta lingkungan (the media and the environment): konteks dan
pengaturan (context and setting), pengulangan (repetition), konsistensi
(consistency), bersaing (competition).
Safanayong (2006) mengemukan 3 tahapan dalam merumuskan pesan
yang efektif yaitu:
1. Melahirkan pesan, dapat dilakukan dengan pendekatan berkomunikasi dengan
sasaran untuk mendapatkan masukan apa yang menjadi keinginan dan
kebutuhan mereka; sumbang saran dari tim kerja; serta menggunakan
kerangka kerja deduktif formal yang berdasarkan strategi komunikasi yaitu
rasional (pilihan yang bervariasi, ekonomis dalam penggunaan, tahan lama
dan lain sebagainya), emosional (selera, hiburan, keindahan, kesederhanaan,
kebanggan atas apa yang dimiliki dan sebagainya), dan moral (etika - baik
buruk/benar salah manusia sebagai manusia, aklak, sikap, ajaran, kumpulan
peraturan, susila, mental/cara berpikir).
2. Memilih dan mengevaluasi pesan, terdapat 3 tingkatan yaitu dapat
menimbulkan keinginan, mempunyai sifat ekslusif dan mempunyai sifat dapat
dipercaya.
14
3. Menyampaikan pesan, tergantung pada apa yang ingin disampaikan dan
bagaimana menyampaikannya. Hal ini berkaitan dengan gaya dan pendekatan
visualisasi pesan yaitu tujuan yang fokus (memprediksi dan memaksimal
keinginan atau harapan sasaran), fokus pada penetapan sasaran untuk
memudahkan komunikasi dan persuasi, dan pesan tunggal (pesan harus cepat
dapat dimengerti).
2.3
Media Komunikasi
2.3.1 Definisi dan Jenis-jenis Media Komunikasi
Media komunikasi (medium) juga umum disebut saluran atau medium
komunikasi (channel). Saluran komunikasi menurut Winarso (2005) adalah
medium yang dilalui oleh pesan yang menjembatani antara sumber dan penerima.
Dalam melakukan komunikasi, jarang menggunakan hanya satu saluran
komunikasi saja. Contohnya dalam interaksi tatap muka, kita berbicara dan
mendengar (saluran suara dan pendengaran), juga gerak isyarat dan melihat tandatanda yang dapat bisa dilihat (saluran gerakan-penglihatan), dan memancarkan
bau dan mencium bau (saluran penciuman-kimiawi). Seringkali kita saling
menyentuh agar lebih komunikatif (saluran perasaan-saraf).
Media komunikasi menurut Safanayong (2006) meliputi: iklan TV, iklan
surat kabar, iklan majalah, iklan bioskop, iklan radio, poster, brosur, katalog,
kendaraan (bus, taxi), direct mail, company profile, sales kit (sales kit), annual
report, news letter, menu, signage, press kit, stationery and business forms,
kalender, shopping bag, booklet, poscard, magazine insert, book cover/book
jacket, CD cover dan booklet, book magazine, invitation, interactive commercial
media
(CD-Rom,
internet),
telemedia,
stamps,
phonecard;
P-O-P,
packaging/labeling, sticker. Saluran dalam berkomunikasi menurut Winarso
(2005) yaitu: telepon, surat dan surat elektonik/email (media komunikasi
interpersonal), bioskop, televisi, radio, film, buku, koran, majalah (media
komunikasi massa), tanda asap, teleks, telegram dan lain-lain.
15
2.3.2 Karakteristik Media Komunikasi
Setiap media atau saluran komunikasi memiliki karakteristik sendiri yang
berbeda satu sama lainnya. Setiap media juga secara khusus memiliki kelebihan
dan kekurangannya. Oleh karenanya, penentuan saluran komunikasi yang
digunakan perlu disesuaikan dengan tujuan dan kemampuan dari masing-masing
pengguna. Beberapa karakteristik media menurut Riswandi (2009) sangat terkait
dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Karakter media berdasarkan kebutuhan luasnya jangkauan dan kecepatan
penetrasi, kebutuhan pemeliharaan memori, kebutuhan jangkauan khalayak
yang selektif, kebutuhan jangkauan khalayak lokal, kebutuhan frekuensi
tinggi;
2. Karakter kreatif yang berkaitan dengan isi, bentuk, dan teknis penyajian
beberapa hal yang perlu dipertimbangkan diantaranya kebutuhan gerak,
kebutuhan warna, kebutuhan suasana, kebutuhan demonstrasi, kebutuhan
deskripsi;
3. Karakter khalayak atau audiens dimana khalayak dipandang sebagai
penggar ap informasi, sebagai problem solver, sebagai mediator atau yang
mencari pembela, sebagai anggota kelompok dan sebagai kelompok.
Ruben (1992) berpendapat media dapat meringankan komunikasi manusia
dengan cara penambahan produksi (termasuk pembuatan pesan oleh media) dan
distribusi pesan; penerimaan, penyimpanan dan mudah didapatkannya kembali
jika informasi yang terdapat di dalam media diperlukan (misalnya rekaman film
dan lain-lain). Dalam pendistribusian media memiliki 3 komponen yaitu transmisi
pesan; penggandaan dan perluasan pesan; serta tampilan pesan dalam bentuk fisik
pada media. Media dalam konteks ini diharapkan membantu agar pesan mudah
diakses oleh pengguna pesan.
Sebagaimana yang dikemukakan Weinreich (1999) bahwa penggunaan
media komunikasi memiliki kekuatan dan kelebihannya masing-masing. Radio
dan poster baik digunakan untuk menggugah kesadaran target mengenai suatu
permasalahan/isu, brosur akan menyediakan informasi mendalam mengenai
permasalahan/isu dan lain-lain. Media komunikasi antara satu dengan yang lain
akan saling melengkapi dan dapat digunakan bersamaan agar pesan yang
16
disampaikan kepada target audiens akan melekat (stick). Kekuatan dan kelemahan
beberapa media sebagaimana diuraikan pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2 Kekuatan dan kelemahan media komunikasi
Saluran Komunikasi
Kekuatan
Kelemahan
Televisi
• Dapat menjangkau banyak
orang dalam waktu yang sama
• Dapat sekaligus menjadi iklan
gratis
• Terdapat pengulangan pesan
• Dapat ditindak lanjuti dengan
mengontak nomor bebas bayar
• Media visual akan memberikan
dampak dan mampu
mendemonstrasikan perilaku
yang ditawarkan
• Dapat menjangkau audiens
yang spesifik melalui stasiun
kabel/program
Radio
• Dapat menjangkau target
audiens yang spesifik
• Dapat didengarkan sembari
melaksanakan aktivitas
• Biaya produksi tidak mahal
dan tidak memerlukan waktu
lama seperti televisi
• Bagus untuk menjangkau
audiens yang terpelajar
• Audiens dapat membuat
kliping, membaca kembali
serta memikirkan tentang
materi
• Media yang dapat
dipertanggungjawabkan
• Dapat memuat informasi yang
mendalam, khususnya untuk
isu yang kompleks
• Seringkali biayanya murah
(satuan biaya akan meningkat
sejalan dengan kuantitas yang
bertambah)
• Baik digunakan untuk tindak
lanjut dengan menyediakan
informasi lebih lanjut
(dihasilkan dari promosi
lainnya)
• Tidak bersaing dengan iklan
untuk menarik perhatian
audiens
• Baik untuk menginformasikan
dan menjawab secara rutin
pertanyaan yang ditanyakan
• Biaya produksi mahal dan
memerlukan waktu
• Jika dalam format iklan,
akan sulit dikontrol ketika
sudah berjalan
• Format singkat tidak
mengizinkan untuk lebih
dari penyadaran
• Pesan dapat tersembunyi
oleh pesan komersil yang
ditayangkan
• Target audiens mungkin
tidak akan menonton ketika
tayangan komersil
mengudara
• Menjangkau audiens yang
jauh lebih terbatas (berbeda
dengan televisi)
• Tidak dapat
mendemonstrasikan suatu
aktivitas (sebagaimana pada
televisi yang bisa dilihat)
Material Cetak (seperti
brosur, lembaran fakta,
newsletters)
• Audiens harus memiliki
ketertarikan dan keinginan
untuk mengambil dan
membacanya
• Tidak bagus untuk audiens
yang memiliki keterbatasan
literatur/ wawasan
17
Tabel 2 Kekuatan dan kelemahan jenis -jenis media komunikasi (lanjutan)
Saluran Komunikasi
Kekuatan
Kelemahan
Poster dan flyers
• Baik untuk media penyadaran
yang bersifat umum
• Dapat ditempatkan di tempat
yang mudah dilihat/ tempat yang
penuh kesibukan (hight traffic)
• Dapat ditempatkan dimana
audiens memutuskan untuk
mengubah (perilaku positif) atau
mengabaikan perilaku (negatif)
• Jika terlihat menarik dan enak
dipandang, maka orang-orang
akan menaruhnya di rumah atau
kantornya
• Sangat baik untuk penjangkauan
masyarakat umum (commuters)
• Tidak bersaing dengan iklan
lainnya
• Terdapat pengulangan pesan dan
dapat menjangkau banyak orang
• Komunikasi orang per orang
sangat efektif, apalagi jika yang
menyampaikan dapat
dipercaya/kredibel
• Setiap pertanyaan dapat dijawab
segera
• Sifat pesan sangat
personal/pribadi sehingga dapat
memberikan manfaat atau
mengurangi hambatan setiap
orang yang disasar
• Memerlukan biaya produksi
yang mahal (relatif untuk
media cetak)
• Tidak dapat menyediakan
informasi yang detail atau
terperinci
• Dapat dikirimkan seringsering
Media diluar ruangan
(outdoor media) (seperti
billboards, transit ads)
Komunikasi
Interpersonal/ jaringan
informal
Komunikasi
Interpersonal/ jaringan
informal
2.4
• Memerlukan biaya yang
yang relatif mahal
• Tidak efisien untuk massa
yang luas
• Kemungkinan orang akan
tidak percaya & merasa
heran.
• Orang akan berpikir
penyampai berita akan
mendapatkan keuntungan
dari komunikasi tersebut
• Tidak akan cukup waktu
untuk mempengaruhi
audiens yang potensial atau
yang tertarik untuk terlibat
Pemasaran Sosial (Social Marketing)
2.4.1 Definisi dan Bauran Pemasaran Sosial
Pemasaran Sosial (Social Marketing) menurut Kotler dan Roberto (1989)
adalah suatu strategi untuk perubahan perilaku yang merupakan kombinasi
elemen terbaik dari pendekatan tradisional untuk perubahan sosial dengan
mengintegrasikan perencanaan dan kerangka kerja aksi dan menggunakan
kemajuan teknologi di bidang komunikasi serta keahlian pemasaran (“the strategy
for changing behavior, combines the best elements of the traditional approaches
to social change in an integrated planning and action framework and utilizes
advances in communication technology and marketing skills”).
18
Weinreich (1999) mengemukan pemasaran sosial (social marketing)
bukan sesuatu yang baru, menurutnya sosial marketing adalah pemanfaatan teknik
pemasaran komersil untuk mempromosikan adopsi perilaku yang akan
meningkatkan kesehatan atau semua hal baik yang diinginkan dilakukan target
audiens atau kelompok sosial secara keseluruhan (“the use of commercial market
techniques to promoto the adoption of a behavior that will improve the health or
well being of target audience or of society as whole”).
Untuk mengembangkan strategi yang konprehensif, pemasaran sosial
dengan meminjam ide dari pemasaran tradisional yang dikenal dengan sebutan
bauran pemasaran sosial (social marketing mix) dikenal 4 P’s dari marketing
(product, price, place, promotion). Menurut Kotler dan Roberto (1989) “4 Ps” ini
bertujuan untuk untuk mempromosikan ide, perilaku dan obyek fisik (tangible
object). Adapun 4 P’s ini yaitu:
a.
Product berupa ide, perilaku dan obyek fisik, yang ditawarkan oleh agen
perubahan kepada kelompok sasaran;
b.
Price ialah pengorbanan (uang, waktu, tenaga, upaya, tuntutan psikologis)
yang harus dikeluarkan oleh kelompok sasaran untuk mengadopsi produk;
c.
Place yaitu sarana untuk menyampaikan produk kepada kelompok sasaran,
misalnya outlet distribusi untuk produk fisik, media untuk ide dan perilaku;
d.
Promotion merupakan sarana untuk mempromosikan produk kepada
kelompok sasaran melalui kontak interpersonal, penjualan langsung, iklan,
public relations, dan lain-lain.
Dalam sosial marketing, juga ditambahkan beberapa Ps, yaitu menurut
Weinreich (1999) yaitu public, partnership, policy dan pursestrings.
a. Public, adalah target audiens yang disasar untuk perubahan sikap dan
perilakunya. Traget audiens yang ingin disasar ini bisa internal organisasi
maupun eksternal;
b. Partnership atau kemitraan adalah organisasi lain yang diidentifikasi potensial
menjadi tim yang bisa diajak bekerjasama untuk menangani isu (kesehatan
atau sosial) yang kompleks dimana disadari tidak akan mampu dilakukan
sendiri oleh organisasi sendiri;
19
c. Policy, adalah kebijakan atau regulasi hukum yang diharapkan dapat
dihasilkan dari pengambil kebijakan untuk mendukung keberlanjutan dari
hasil perubahan sosial yang telah terjadi.
d. Pursestrings, merupakan suatu upaya mencari donator atau funding untuk
membiayai rencana tindak lanjut dari program sosial marketing yang ingin
dilakukan untuk memastikan keberlanjutan perubahan yang telah dilakukan.
2.4.2 Teori Perubahan Perilaku
Weinreich (1999) menjelaskan teknik pemasaran sosial dapat digunakan
untuk berbagai tujuan yang berbeda yaitu untuk mendorong kesadaran publik atau
kampanye edukasi; untuk membuat promosi atau materi edukasi; untuk
mendorong tersedianya layanan organisasi; dan untuk menyusun program yang
baru. Dengan kata lain, sosial marketing bertujuan agar target audiens mengubah
sikap dan perilaku atau menerima produk sosial yang ditawarkan.
Produk sosial (social product) menurut Kotler dan Roberto (1989) ada 3
yaitu 1) ide (kepercayaan:persepsi terhadap kenyataan; sikap: evaluasi positif
ataupun negatif terhadap orang, obyek, ide, event dan nilai: pemahaman tentang
apa yang dirasa benar ataupun salah); 2) praktek (practice) terdiri dari
tindakan/aksi dan perilaku; serta 3) objek fisik (tangible object) yang menyertai
ide atau praktek sosial yang dipasarkan.
Perilaku adalah suatu tindakan yang langsung terlihat atau dapat diamati
(Simamora, 2004). Beberapa teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan
perubahan perilaku menurut Weinreich (1999) dan Kushardanto (2007), yaitu:
1. Teori perilaku yang direncanakan (theory of planned behavior), teori yang
mengeksplorasi keterkaitan antara perilaku dan keyakinan (beliefs), sikap
(attitudes), dan kehendak (intentions). Teori ini berasumsi bahwa kehendak
berperilaku (behavioral intention) adalah determinant (faktor penentu) yang
paling penting. Kehendak berperilaku dipengaruhi oleh sikap seseorang
terhadap suatu tindakan, dan keyakinan atas pendapat orang lain (tokoh yang
dianggap penting) terhadap suatu perilaku (subjective norm).
2. Teori pembelajaran sosial (social cognitive learning theory). Perubahan
perilaku tidak hanya ditentukan oleh faktor intrinsik atau adanya lingkungan
20
yang mendukung dan individu memiliki pengaruh terhadap apa yang
dilakukan, bagaimana respon individu terhadap lingkungan. Teori ini melihat
lingkungan bukan hanya sebagai sistem yang mendorong atau mencegah suatu
perubahan perilaku, akan tetapi lingkungan juga menyediakan tempat bagi
sesorang untuk belajar tindakan orang lain dan konsekuensi dari tindakan
tersebut. Tiga faktor utamanya yaitu kekuatan sendiri (self-efficacy), sasaran
(goals), dan harapan yang muncul.
3. Teori tahapan dari perubahan (transtheoretical model/stages of change teory),
terdiri dari lima tahapan, yaitu:
a. Pre-contemplation (pra-perenungan): individu pada tahap ini tidak
menyadari suatu masalah atau suatu resiko terhadap sesuatu sehingga
belum berpikir untuk mengambil tindakan.
b. Contemplation (perenungan): individu pada tahap ini sudah berpikir untuk
bertindak dan menunjukkan indikasi sedang merencanakan tindakan.
c. Preparation (persiapan): orang akan mengambil tindakan dalam waktu
yang tidak lama lagi dan merencanakan untuk melakukan rencana tersebut
segera mungkin.
d. Action (tindakan): pada tahap ini, orang sudah mengambil tindakan untuk
menangani suatu permasalahan tertentu.
e. Maintenance (menjaga): orang berusaha untuk mempertahankan tindakan
yang diambilnya dalam suatu periode waktunya lama.
4. Difusi suatu inovasi (diffusion of innovations). Terhadap suatu perilaku baru
atau tindakan, beberapa orang akan mengadopsi dan yang lainnya melihat
sampai orang lain dalam kelompoknya mengadopsinya dan kelompok yang
lainnya sama sekali sama sekali tidak menerima inovasi tersebut.
Inovasi adalah gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh
seseorang. Inovasi akan sangat mudah diterima jika amat cocok dengan budaya
yang berlaku pada suatu masyarakat yang akan mengadopsinya (Ranjabar, 2008).
Simmons (1990) menjelaskan beberapa tipe pengadopsi (adopters) terhadap suatu
inovasi yaitu:
1. Innovator (2,5%): membutuhkan ‘hal baru’ dan ‘berbeda’.
21
2. Early Adopter (13,5%): menyadari keuntungan untuk mengadopsi dari
informasi/kontak dengan innovators.
3. Early Majority Adopter (34%): meniru orang lain atau mencoba mengadopsi
inovasi dengan suatu tingkat ketidakpercayaan.
4. Late
Majority
Adopter
(34%):
bergabung
untuk
mencoba
setelah
“mendapatkan legitimasi” dari early majority
5. Laggard (16%): sangat skeptis, memegang teguh tradisi.
2.4.3 Tahapan dan Keterbatasan Pemasaran Sosial
Tahapan pemasaran sosial menurut Weinreich (1999) ada 5 yaitu
perencanaan (planning), pengembangan pesan dan material/media (message and
materials development), ujicoba (pretesting), implementasi (implementation);
evaluasi dan umpan balik (evaluation and feedback).
1. Perencanaan (planning), merupakan hal paling mendasar yang penting untuk
mendisain perubahan sosial yang ingin disasar. Tahapan perencanaan
merupakan tahapan dimana kita memahami masalah yang dihadapi, target
audiens yang ingin disasar, dan program apa yang akan dilakukan.
2. Pengembangan
pesan
dan
material/media
(message
and
materials
development),dirancang berdasarkan informasi yang telah diperoleh dalam
tahapan perencanaan untuk menjangkau target audiens sasaran.
3. Ujicoba (pretesting) dilakukan terhadap pesan dan media yang telah dirancang
dengan menggunakan berbagai metode. Dengan adanya uji coba media maka
akan diketahui pesan dan media yang telah dirancang efektif untuk
menjangkau audiens kita. Dengan adanya uji coba maka strategi keseluruhan
dan pendekatan program akan bisa dilanjutkan.
4. Implementasi (implementation), adalah memperkenalkan program kepada
target
audiens
dimana
persiapan
adalah
kunci
utama
kesuksesan.
Implementasi program harus dimonitoring untuk memastikan setiap elemen
proses sesuai dengan per encanaan.
5. Evaluasi dan umpan balik (evaluation and feedback), tidak saja dilakukan
untuk melihat efek dari keberhasilan program, tetapi juga dilakukan untuk
22
mendapatkan umpan balik dari target audiens. Umpan balik merupakan
langkah awal untuk mendorong program selanjutnya.
Sebagai suatu pendekatan, sosial marketing memiliki kekuatan dan
keterbatasan. Weinreich (1999) mengemukakan kekuatan dari sosial marketing
yaitu sangat baik digunakan untuk mempengaruhi atau tetap mempertahankan
perilaku sehat atau manfaat sosial dari perubahan perilaku, meningkatkan
pemanfaatan program atau membangun kepuasan pelanggan atas layanan yang
sedang dijalankan. Akan tetapi sosial marketing sebagai suatu pendekatan
memiliki keterbatasan tidak dapat diharapkan untuk menyelesaikan semua
masalah kesehatan dan masalah sosial. Sosial marketing tidak efektif digunakan
untuk menyelesaikan masalah yang kompleks dimana faktor penyebabnya
dikontribusikan oleh banyak faktor dan masalah tidak di bawah kontrol individu
(organisasi). Ketika organisasi ingin menggunakan teknik sosial marketing ini
untuk mencapai tujuannya, maka diharapkan ada komitmen kuat dari organisasi
dan didukung sumberdaya (staff dan dana) yang memadai.
2.5
Kampanye Bangga RARE (RARE Pride Campaign)
2.5.1 Sejarah dan Perkembangan
Kirana (2001) mengemukakan kampanye adalah program komunikasi
yang terencana untuk mencapai tujuan spesifik. Perubahan perilaku adalah tujuan
yang ingin dicapai melalui kampanye, dengan perencanaan yang teliti, melibatkan
penggunaan berbagai media dan berbagai cara penyampaian pesan. Kampanye
merupakan adaptasi langsung dari kata ‘campaign’ berarti ‘the art of war’ atau
seni perang, di dalamnya tercakup taktik dan strategi, walaupun demikian istilah
ini bukan monopoli kalangan militer saja. Industriwan, politisi, dan aktifis – jenisjenis manusia dengan sangat sedikit perbedaan, semuanya menggunakan istilah ini
dengan pemaknaan yang relatif sama.
Terdapat 3 jenis utama dari kampanye yaitu kampanye komersil, politik
dan isu sosial (Moffitt, 1999). Salah satu kampanye di bidang sosial dan
lingkungan yaitu kampanye yang dikembangkan oleh RARE, dikenal dengan
istilah kampanye bangga. Program Kampanye Bangga RARE adalah suatu
perkawinan antara pendidikan konservasi secara tradisional dan teknik social
23
marketing yang bertumpu kepada perubahan perilaku. Kampanye bangga
membangkitkan perluasan advokasi publik dan tekanan dari orang-orang yang
dikenal (peer pressure) untuk mendorong perubahan pengetahuan, sikap dan
perilaku. Kunci kesuksesan itu adalah kampanye bangga melibatkan dan
membangun komitmen setiap lapisan masyarakat: guru, pelaku bisnis, anggota
legislatif, dan masyarakat awam (RARE, 2007b).
Di Pulau Saint Lucia, di Karibia Timur, RARE merancang dan memulai
kampanye “Rasa Bangga”-nya yang pertama, bekerja-sama dengan Departemen
Kehutanan pulau itu. Kampanye itu memfokuskan perhatian pada burung nuri
Saint Lucia yang endemik dan terancam.
Kampanye menggunakan spesies
sebagai maskot ini memicu rasa bangga yang mengakibatkan dukungan publik
bagi perlindungan hutan hujan dan satwa liar. Soemanagara (2008) mengatakan
bahwa
maskot
merupakan
simbolisasi
terhadap
sesuatu
yang
mampu
merepresentatifkan suatu keinginan, hasrat, atau kebutuhan, dapat dengan mudah
mengaktifkan ransangan kepada audience agar dapat menyimpulkan arti dari
simbolisasi secara sederhana atau umum. Dengan demikian sebuah maskot
diharapkan mampu menjangkau tujuan komunikasi yaitu terjadinya perubahan
pada pengetahuan, sikap dan perilaku. Pertimbangan dalam penerapan maskot
sebagaimana pada Tabel 3.
Tabel 3 Pertimbangan dalam penerapan maskot
Pengetahuan
Sikap
Perilaku
• Dapat dengan mudah
disimpulkan
• Memiliki dimensi citra dari
produk dan servis
• Dapat dipersepsikan sama
pada umumnya
• Kedekatan (visual/ sering
dilihat)
• Memiliki kerangka emosional
• Kualitas simbol (garis, warna, dan
bentuk)
• Memenuhi harapan dan kebutuhan
• Memiliki nilai kepercayaan
• Menunjukkan equitas sebuah
produk
• Memiliki rasa aman
• Mampu
meransang orang
untuk melakukan
tindakan
• Mudah dilakukan
atau dijangkau
Menggunakan metodologi sukses yang dirancang bersama dengan
Departemen
Kehutanan
Saint
Lucia,
RARE
akhirnya
memperhalus
pendekatannya menjadi “metodologi buku masak” untuk menciptakan kesadaran
lingkungan. Wujudnya adalah kampanye penjangkauan yang dikemudikan dan
diawaki secara lokal yang menggunakan teknik-teknik pemasaran, spesies
24
flagship, dan rasa bangga nasional untuk membangkitkan dukungan akar rumput
bagi konservasi. Beberapa contoh keberhasilan kampanye bangga RARE di
Indonesia yaitu (RARE, 2007b):
1. Kampanye bangga di Kepulauan Togean (2001-2002). Sejalan dengan
meningkatnya pengetahuan mengenai perlindungan ekosistem terumbu karang
masyarakat telah membuat peraturan kampung untuk melindungi terumbu
karang dan sumberdaya penting kelautan lainnya.
2. Kampanye bangga di Siberut (2004-2005) dengan membawa pesan-pesan
konservasi kepada kelompok masyarakat yang rendah angka melek hurufnya
mela lui radio komunitas telah berhasil mengangkat pengetahuan mengenai
nilai pentingnya hutan.
3. Kampanye bangga di Phakpak Bharat (2004-2005) membangun dukungan
masyarakat lokal untuk mengelola lahan yang tidak terpakai di sekitar
kawasan lindung sebagai bagian program penghijauan.
4. Kampanye
bangga
di
Derawan
(2006-2007)
membangun
dukungan
masyarakat lokal untuk pengelolaan sumberdaya laut yang berkelanjutan dan
memperkuat dukungan penciptaan Kawasan Konservasi Laut (KKL) Berau.
5. Kampanye bangga di Lhoknga dan Leupung Kabupaten Aceh Besar Naggroe
Aceh Darussalam (2007-2008) telah berhasil menguatkan lembaga adat
pawang uteun untuk pengelolaan hutan berkelanjutan di Aceh Besar.
6. Kampanye bangga di Kawasan Hutan Produksi Potorono dan Hutan Lindung
Gunung Sumbing Magelang (2007-2008) telah berhasil mengubah perilaku
pada gerakan sosial konservasi sumberdaya hutan jawa.
2.5.2 Tahapan dan Partisipasi Masyarakat
Metode kampanye bangga melestarikan ini terdiri dari 11 tahapan yang
merupakan uraian dari tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (RARE,
2007b) yaitu:
1. Kajian literatur dilakukan untuk memahami dengan lebih baik kawasan dan
berbagai hal yang berlangsung di kawasan target kampanye. Penekanan
khusus dibuat dengan pemahaman kepada siapa yang menjadi pemain utama
dan kegiatan apa yang dilakukan. Satu dari sekian banyak produk dari proses
25
ini
adalah
suatu
matriks
stakeholder
(stakeholder
matrix)
yang
mengidentifikasi pemain utama dan kepentingannya terhadap kawasan target.
2. Matriks stakeholder ini kemudian dipakai untuk menentukan dan
mengundang kelompok atau individu ke dalam suatu pertemuan stakeholder
dimana dalam pertemuan ini mereka bekerja bersama untuk mengembangkan
Model Pemikiran (Concept Model) dari ancaman kunci yang ada.
3. Model Pemikiran (Concept Model) mengidentifikasikan faktor kunci
langsung, tidak langsung, serta faktor kontribusi (akar permasalahan) dari
ancaman terhadap konservasi yang ada di kawasan.
4. Pelaksanaan diskusi kelompok terfokus (focus
group
discussion)
dilaksanakan untuk menggali lebih dalam faktor kunci langsung yang
berhubungan dengan kawasan. Frekuensi FGD sesuai dengan kebutuhan isu
yang akan digali dan dipertajam.
5. Pelaksanaan pra survei dengan mensurvei 1-3% populasi yang ada di
kawasan sasaran untuk
mengumpulkan informasi mengenai pengetahuan,
sikap, dan perilaku masyarakat. Pertanyaan survei mengkonfirmasi ancaman
yang telah diidentifikasikan oleh stakeholder dalam model pemikiran, dan
membantu untuk membuat ranking dari ancaman ini melalui suatu sampel
acak terhadap masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan
sasaran. Data dari kelompok kontrol (control group) juga diambil sebagai
pembanding sasaran kampanye.
6. Setelah data survei dianalisa, model pemikiran kemudian direvisi dalam
pertemuan stakeholder yang lain. Stakeholder membantu mengidentifikasi
sasaran kampanye yang fokusnya kepada perubahan pengetahuan dan
kesadaran yang dapat mempengaruhi ancaman kuncinya.
7. Suatu sasaran yang baik adalah yang memenuhi kaidah SMART (Specific,
Measurable (dapat diukur), Action-oriented (berorientasi kepada tindakan),
Realistic (realistik), dan Time-bound (terikat waktu). Sasaran-sasaran
SMART ini kemudian dikaitkan dengan rencana pemantauan dengan suatu
indikator yang jelas. Aktifitas dari setiap sasaran dirancang untuk mencapai
sasaran-sasaran tersebut.
8. Sasaran-sasaran ini kemudian dimasukkan ke dalam suatu Rencana Proyek
26
(project plan) yang menjadi suatu dasar arahan kampanyenya.
9. Rencana Proyek ini dikaji dan selanjutnya menjadi acuan pelaksanaan
kampanye Bangga selama periode 1 tahun kemudian. Ada pun Rencana
Proyek berisi suatu susunan aktivitas pelaksanaan kampanye seperti
kunjungan sekolah, kostum maskot, panggung boneka, papan iklan, lembar
dakwah, lagu populer dan video musik dan sebagainya.
10. Survei pasca kampanye dilakukan di akhir kampanye dan hasilnya dipakai
untuk menilai perbedaan pengetahuan, sikap dan perilaku sebelum dan
sesudah kampanye.
11. Pada akhir kampanye, diadakan evaluasi dan pelaporan sebagai bagian dari
pengalaman berharga (lesson learned) dan juga merancang suatu rencana
tindak lanjut.
Keterlibatan
masyarakat
atau
sasaran
kampanye
dalam
proses
perencanaan, implementasi dan evaluasi Kampanye Bangga merupakan kunci
sukses sukses . Beberapa metode partisipasi masyarakat yang digunakan dalam
kampanye bangga diantaranya metode lokakarya, Focus Group Discussion (FGD)
dan survei. Partisipasi merupakan merupakan faktor kunci dimana masyarakat
bersama mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah, pengambilan keputusan
kolektif, penyusunan rencana bersama dan melaksanakannya dengan sepenuh hati,
menghadapi setiap permasalahan dan mengelola apa yang mereka telah disepakati
bersama-sama (Braakman dan Edwards, 2002).
Metode lokakarya yang digunakan dalam Kampanye Bangga diadaptasi
dari metode yang dikembangkan oleh Spencer (1989) dalam Winning Through
Participation, terdiri dari beberapa langkah kegiatan yaitu:
1. Menentukan konteks (set the context), yaitu menetapkan dan mendefinisikan
konteks atau parameter dari lokakarya multi pihak.
2. Curah pendapat (brainstorm), yaitu dimana peserta mengeluarkan atau
mencurahkan semua pendapat, data dan ide-ide mengenai isu konservasi pada
suatu kawasan yang ingin disasar melalui kampanye.
3. Pengelompokan (order), yaitu mengelompokkan atau mengklasifikasikan data
atau ide-ide berdasarkan kategori atau konteks yang sama.
27
4. Penamaan (name), yaitu memberikan judul baru data atau ide-ide yang telah
dikelompokkan atau dikategorisasikan oleh peserta.
5. Pemantauan (evaluate), yaitu mengevaluasi tahapan yang telah dilakukan dari
tahap sebelumnya untuk memastikan sesuai dengan pendapat yang disepakati.
Sebagaimana halnya lokakarya, teknik yang digunakan dalam pelaksanaan
FGD juga diadaptasi dari teknik yang disebut ORID (Objective, Reflection,
Interpretive and Deciosional) yang diperkenalkan oleh Spencer (1989). Tahapan
dari ORID ini yaitu:
1. Objective (objektif) yaitu tahap dimana peserta diskusi mengeluarkan faktafakta mengenai pengalaman atau kejadian apa saja yang berhubungan dengan
kehidupan mereka dengan kawasan yang ingin disasar melalui kampanye.
2. Reflection (refleksi), yaitu tahapan dimana anggota diskusi kelompok
merasakan (memberikan tanggapan emosi) atas pengalaman atau kejadian
yang telah diterima dan mengasosiasikannya dengan pengalaman lain yang
pernah dialami.
3. Interpretive (interpretasi), yaitu tahapan dimana partisipan atau peserta diskusi
mempertimbangkan atau menginterpretasikan arti, nilai dan tujuan dari
kejadian.
4. Deciosional (pengambilan keputusan), yaitu tahapan dimana peserta diskusi
kelompok telah memutuskan untuk memberikan respon dengan mengambil
keputusan tindakan apa yang akan dilakukan yang dianggap penting untuk
masa mendatang.
Pengembangan kegiatan atau media dalam kampanye bangga digali
melalui lokakarya, FGD dan survei dengan melibatkan masyarakat target.
Pertimbangan pemilihan kegiatan dalam Kampanye Bangga dilakukan dengan
menjawab pertanyaan 5W1H yang diadaptasi dari teknik yang diterapkan
Margoluis dan Salafsky (1998) Ukuran Keberhasilan, yaitu:
1. What: apa media atau saluran komunikasin yang akan digunakan?
2. Why: alasan mengapa memilih media tersebut, apa asumsi dasar atau prasyarat
jika memiliki media tersebut?
3. Where: dimana media akan digunakan atau dimana kegiatan akan
dilaksanakan?
28
4. When: kapan media akan disebarkan atau kapan kegiatan yang akan dilakukan
dan apa prasyarat yang diperlukan sehingga kegiatan tersebut dapat
terlaksana?
5. How:
Bagaimana
strategi
mendesain
media,
taktik
komunikasi,
pendistribusian dan penjangkauannya melalui kegiatan dan lain sebagainya?
2.6
Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)
2.6.1 Definisi, Tujuan dan Ruang Lingkup
Pendidikan lingkungan hidup adalah upaya mengubah perilaku dan sikap
yang dilakukan oleh berbagai pihak atau elemen masyarakat yang bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat tentang nilainilai lingkungan dan isu permasalahan lingkungan yang pada akhirnya dapat
menggerakkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pelestarian dan
keselamatan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan
datang (PIL, 2009). Sudjoko et al. (2008) mengemukakan Pendididikan
Lingkungan Hidup (PLH) adalah mengubah pandangan dan perilaku seseorang
terhadap lingkungan.
Sasaran PLH sebagaimana dinyatakan dalam resolusi dari Belgrade
International Conference on Environmental Education (1975) dalam Muntasib et
al. (2004) adalah membantu individu atau kelompok sosial agar memiliki
kesadaran (awareness), pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), keterampilan
(skill), kemampuan mengevaluasi (evaluation ability), dan berperanserta
(participation) dalam upaya-upaya perlindungan dan pengembangan lingkungan.
Pendidikan
lingkungan
hidup
atau
pendidikan
konservasi
sangat
diperlukan untuk menanamkan pengetahuan dan kesadaran, pengetahuan,
keterampilan dan menumbuhkan kepedulian dan sikap hidup ramah lingkungan
kepada seluruh lapisan masyarakat. Dengan adanya penekanan yang lebih besar
terhadap kawasan konservasi sebagai bagian dari lingkungan hidup, maka
pendidikan konservasi dapat dipandang dalam 3 komponen utama (Muntasib et
al., 2004), yaitu:
a. Pendidikan tentang
konservasi
(education
about
the
conservation):
memberikan pemahaman bagaimana sistem-sistem alami pada kawasan
29
konservasi, dan pemahaman dampak kegiatan manusia terhadap sistem alami
tersebut, serta mengembangkan keterampilan mengkaji kawasan konservasi
dan keterampilan untuk menelaah hasil kajian.
b. Pendidikan di dalam atau melalui konservasi (education in or through the
conservation): kawasan konservasi dianggap sebagai sumber belajar untuk
mengembangkan keterampilan, mengumpulkan data penelitian lapangan,
menumbuhkan apresiasi terhadap keindahan alam/estetika, dan menanamkan
kesadaran dan kepedulian terhadap kawasan konservasi.
c. Pendidikan demi kawasan konservasi (education for the conservation area):
berdasarkan pendidikan tentang dan dalam kawasan konservasi untuk
menumbuhkan dan menanamkan rasa tanggung jawab dan kepedulian secara
benar, meningkatkan keinginan dan kemampuan menganut gaya hidup yang
sesuai dengan konsep pemanfaatan sumberdaya alam yang rasional dan benar,
serta mengembangkan motivasi dan keterampilan berperan serta dalam
pengembangan kawasan konservasi.
Ruang lingkup kebijakan Pendidikan Lingkungan Hidup meliputi hal-hal
sebagai berikut (PIL, 2009):
1. Pendidikan lingkungan hidup yang melalui aj lur formal, nonformal dan jalur
informal dilaksanakan oleh seluruh stakeholder. Pendidikan lingkungan hidup
formal diselenggarakan melalui sekolah, terdiri atas pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi dan dilakukan secara terstruktur
dan berjenjang dengan metode pendekatan kurikulum yang terintegrasi
maupun kurikulum yang monolitik (tersendiri). Pendidikan lingkungan hidup
nonformal dilakukan di luar sekolah yang dapat dilaksanakan secara
terstruktur dan berjenjang (misalnya pelatihan AMDAL, ISO 14000, PPNS).
Pendidikan lingkungan hidup informal dilakukan di luar sekolah dan
dilaksanakan tidak terstruktur maupun tidak berjenjang.
2. Diarahkan kepada beberapa hal yang meliputi aspek: a) kelembagaan, b) SDM
yang terkait dalam pelaku/pelaksana maupun objek pendidikan lingkungan
hidup, c) sarana dan prasarana, d) pendanaan, e) materi, f) komunikasi dan
informasi, g) peran serta masyarakat, dan h) metode pelaksanaan.
30
2.6.2 Dasar Kebijakan dan Perkembangan
Urgensi Pendididikan Lingkungan Hidup menjadi hal yang tidak dapat
ditawar lagi. Krisis lingkungan akibat pemanfaatan sumberdaya alam dan
lingkungan yang tidak memperhatikan daya dukung dan keseimbangan alam telah
terjadi di ‘planet’ bumi kita ini. Limbah dan kerusakan yang dihasilkan telah
menjadi lingkaran atau siklus rumit yang tidak mudah untuk ‘diputuskan’ mata
rantainya. Kirana (2001) mengemukkan proses eksploitasi sumberdaya alam akan
menghasilkan bahan baku bagi industri manufaktur, limbah dan kerusakan alam.
Industri manufaktur akan menghasilkan produk yang siap dikonsumsi dan juga
limbah. Produk yang dikonsumsi oleh masyarakat luas (manusia) pun menyisakan
limbah. Sudjoko et al. (2008) menegaskan wacana ekstrim bahwa manusia
sebagai pihak tertuduh dalam hal semakin terpuruknya kualitas bumi. Manusia
dinilai terlampau asyik dalam ‘memuaskan syahwatnya’ tanpa memperdulikan
lagi akibat atau dampak yang menerpa bumi kita.
Pendidikan
memberikan
lingkungan
kesempatan
hidup
kepada
bertujuan
masyarakat
untuk
mendorong
memperoleh
dan
pengetahuan,
keterampilan dan sikap yang pada akhirnya dapat menumbuhkan kepedulian,
komitmen untuk melindungi, memperbaiki serta memanfaatkan lingkungan hidup
secara bijaksana, turut menciptakan pola perilaku baru yang bersahabat dengan
lingkungan hidup, mengembangkan etika lingkungan hidup dan memperbaiki
kualitas hidup. Sesuai dengan tujuan pendidikan lingkungan hidup, maka
disusunlah kebijakan pendidikan lingkungan hidup di Indonesia yang bertujuan
untuk menciptakan iklim yang mendorong semua pihak berperan dalam
pengembangan pendidikan lingkungan hidup untuk pelestarian lingkungan hidup.
Kebijakan pendidikan lingkungan hidup ini disusun berdasarkan (PIL, 2009):
1. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
2. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
3. UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah;
4. UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional;
5. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
31
6. Keputusan Bersama Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1991 dan Nomor 38
Tahun 1991; tentang Peningkatan Pemasyarakatan Kependudukan dan
Lingkungan Hidup Melalui Jalur Agama.
7. Piagam Kerja Sama Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan dengan Menteri Dalam Negeri Nomor
05/MENLH/8/1998 dan Nomor 119/1922/SJ tentang Kegiatan Akademik dan
Non Akademik di Bidang Lingkungan Hidup;
8. Memorandum Bersama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 0142/U/1996 dan
Nomor KEP:89/MENLH/5/1996 tentang Pembinaan dan Pengembangan
Pendidikan Lingkungan Hidup;
9. Naskah Kerja Sama antara Pusat Pengembangan Penataran Guru Teknologi
Malang sebagai Pusat Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup Nasional
untuk
Sekolah
Menengah
Kejuruan
dan
Direktorat
Pengembangan
Kelembagaan/Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan Nomor 218/C19/TT/1996 dan Nomor B-1648/I/06/96
tentang Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup pada Sekolah
Menengah Kejuruan.
10. Komitmen-komitmen
Internasional
yang
berkaitan
dengan
pendidikan
lingkungan hidup.
Sasaran kebijakan pendidikan lingkungan hidup adalah: 1) terlaksananya
pendidikan lingkungan hidup di lapangan sehingga dapat tercipta kepedulian dan
komitmen masyarakat dalam turut melindungi, melestarikan dan meningkatkan
kualitas lingkungan lingkungan hidup; 2) diarahkan untuk seluruh kelompok
masyarakat, baik di perdesaan dan perkotaan, tua dan muda, laki- laki dan
perempuan di seluruh wilayah Indonesia sehingga tujuan pendidikan lingkungan
hidup bagi seluruh rakyat Indonesia dapat terwujud dengan baik (PIL, 2009).
Sebagaimana yang dikemukakan Sudjoko et al. (2008), perkembangan
konsep PLH di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan PLH di tingkat Asia
dan Internasional. Perkembangan PLH di tingkat internasional, Asia (khususnya
ASEAN) dan di Indonesia sebagaimana uraian berikut:
32
1. Perkembangan Pendididikan Lingkungan Hidup di Tingkat International
Konferensi internasional pertama tentang Pendididikan Lingkungan Hidup di
Jugoslavia tahun 1975 menghasilkan “The Belgrade Charter – a Global
Framework for Environmental Education”. Tujuan PLH yang dirumuskan
dalam pernyataan antar bangga ini yaitu:
a. Meningkatkan kesadaran dan perhatian terhadap keterkaitan bidang
ekonomi, sosial, politik serta ekologi, baik di daerah perkotaan maupun
pedesaan.
b. Memberi kesempatan bagi setiap orang untuk mendapatkan pengetahuan,
keterampilan, sikap/perilaku, motivasi dan komitmen, yang diperlukan
untuk bekerja secara individu dan kolektif untuk menyelesaikan masalah
lingkungan saat ini dan mencegah munculnya masalah baru.
c. Menciptakan satu kesatuan pola tingkah laku baru bagi individu,
kelompok-kelompok dan masyarakat terhadap lingkungan hidup.
2. Perkembangan Pendididikan Lingkungan Hidup di Tingkat ASEAN
Negara-negara ASEAN telah mengembangkan program dan kegiatan PLH
setelah
konferensi
internasional
di
Jugoslavia
tahun
1975.
Sejak
dikeluarkannya Environmental Education Action Plan 2000-2005, maka
Negara-negara ASEAN telah menjadikannya sebagai kerangka kerja untuk
pengembangan dan pelaksanaan PLH di negara anggota ASEAN. Action plan
ini juga memperkuat kerjasama dalam rangka meningkatkan pelaksanaan
program PLH di negara anggota ASEAN.
3. Perkembangan Pendididikan Lingkungan Hidup di Indonesia
Perkembangan kegiatan PLH di Indonesia secara garis besar dibagi dalam 3
periode yaitu: periode 1969-1983 (persiapan dan peletakkan dasar), periode
1983-1993 (sosia lisasi), dan periode 1993-sekarang (pemantapan dan
pengembangan). Setiap periode ditandai dengan beberapa capaian program
dan kegiatan yaitu:
a. Perkembangan awal PLH di Indonesia tidak terlepas dari hasil konferensi
Stockholm tahun 1972 yang menghasilkan deklarasi dan rekomendasi
pentingnya PLH untuk menciptakan kesadaran masyarakat dalam
melestarikan lingkungan hidup.
33
b. IKIP Jakarta mempelopori penyusunan Garis-garis Besar Pendidikan dan
Pengajaran (GBPP) bidang lingkungan hidup, dan diuji cobakan tahun
1997/1978 di 15 SD di Jakarta.
c. Tahun 1979 dibentuk Pusat Studi Lingkungan (PSL) di beberapa
perguruan
tinggi
negeri
dan
swasta,
dimana
aktivitas
utamanya
menyelenggarakan kursus mengenai Analisis Dampak Lingkungan
(AMDAL). Beberapa perguruan tinggi yang memelopori seperti IPB
Bogor dan UI Jakarta mulai menyelenggarakan program studi lingkungan
hidup dan konservasi sumberdaya alam.
d. Tahun 1984 materi pendidikan mengenai lingkungan hidup diintegrasikan
dalam kurikulum 1984 tingkat pendidikan dasar dan menengah. Kegiatan
PLH jalur informal juga telah berkembang.
e. Sejak
tahun
1989/1990
Departemen
Pendidikan
Nasional
telah
melaksanakan berbagai pelatihan dan pengenalan lingkungan hidup
terhadap guru SD, SMP, SMA dan sekolah kejuruan sederajad. Sosialisasi
lingkungan hidup juga dilakukan terhadap Administrator Negara yang
menjadi materi kurikulum penjenjangan tingkat Sepada, Sepadya, dan
Sespa pada Diklat Lembaga Administrasi Negara (LAN).
f. Dipelopori LSM dan lembaga nirlaba lainnya yang menaruh minat dan
kepedulian terhadap lingkungan hidup, tahun 1996/1997 terbentuk
Jaringan Pendidikan Lingkungan Hidup.
g. Pada tanggal 21 Mei 1996, ditetapkannya Memorandum Bersama antara
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup No.0142/U/1996 dan No. Kep: 89/MENLH/5/1996
tentang Pembinaan dan Pengembangan PLH. Dirjen Pendidikan Dasar dan
Menengah (Dikdasmen) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan terus
mendorong pengembangan dan pemantapan PLH di sekolah-sekolah
melalui penataran guru, penggalangan bulan bakti lingkungan hidup,
pengembangan buku pembelajaran, program sekolah asri, dan lain-lain.
Sejalan dengan itu inisiatif pengembangan PLH juga digelar oleh
pemerintah, perguruan tinggi, LSM dan lain-lain (misalnya melalui
seminar, lokakarya, penyusunan modul dan buku bacaan, dan lain-lain).
34
Sejalan dengan perkembangan pendidikan di tingkat dunia dan nas ional
bahkan daerah maka metode pembelajaran PLH juga semakin berkembang.
Menurut Masy’ud (2001) beberapa metode yang dapat dilakukan dalam
pembelajaran PLH diantaranya:
a. Metode demonstrasi adalah suatu teknik yang menunjukkan bagaimana
sesuatu
pekerjaan
atau
temuan
dilakukan,
yang
bertujuan
untuk
menggambarkan atau menjelaskan suatu ide, proses atau hubungan
diantaranya.
b. Metode percobaan (eksperimen) adalah suatu teknik untuk membuktikan atau
mengetahui suatu teori, konsep atau gagasan.
c. Metode penyelidikan (inquiry) suatu teknik untuk mengadakan penyelidikan
dengan menggunakan keterampilan ilmiah, dengan mengembangkan fakta dan
konsep kemudian menarik kesimpulan umum.
d. Metode karyawisata/widyawisata (field trip) adalah suatu teknik mempelajari
sesuatu dengan memanfaatkan lingkungan nyata dalam proses pembelajaran.
e. Metode pengajaran proyek adalah suatu teknik mempelajari sesuatu dengan
berorientasi pada integrasi semua ilmu dan kehidupan nyata, belajar dengan
bertindak atau melakukan sesuatu dan berorientasi pada proses dan produk
atau hasil.
f. Metode PLH lainnya yaitu metode diskusi, studi kasus, bermain peran,
simulasi, cuci otak (brainstorming) (atau “curah pendapat”), dan metode
kontrak belajar (metode dipilih berdasarkan kebutuhan dan waktu).
2.6.3 Perubahan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Pendidikan lingkungan yang dilakukan dari sumber (edukator) kepada
penerima pesan atau seseorang yang menjadi sasaran pendidikan adalah suatu
proses pencapaian tujuan komunikasi. Tujuan komunikasi yaitu terjadinya
perubahan pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan perilaku (konatif). Yang
dimaksud dengan pengetahuan adalah pengertian dan peningkatan keterampilan
yang diperoleh melalui pendidikan atau pengalaman dan sikap adalah cara untuk
berpikir atau berperilaku (Oxford, 2000). Sedangkan yang dimaksud dengan
35
perilaku adalah suatu tindakan yang langsung terlihat atau dapat diamati terhadap
seseorang atau kelompok (Simamora, 2004).
Soemanagara (2008) mengatakan ada 3 tahapan dalam pencapaian tujuan
komunikasi yaitu awareness stage (perubahan pengetahuan), interest stage
(perubahan sikap), dan loyalty stage (perubahan perilaku). Tahapan pencapaian
dari tujuan komunikasi pada 3 tahap ini dapat dilihat dari umpan balik yang
diberikan oleh sasaran/penerima pesan. Menurut Kussusanti (2009), pada tahap
perubahan pengetahuan umpan balik yang diberikan berupa respon dari seseorang
yang tidak tahu menjadi tahu (efek kognitif), pada tahap perubahan sikap umpan
balik yang diberikan berupa umpan balik setuju atau tidak setuju atas pendapat
atau ide yang disampaikan (efek afektif); dan pada tahap perubahan perilaku
umpan balik yang diberikan yaitu dengan bertingkah laku sebagaimana yang di
inginkan atau bahkan menolak untuk melakukan apa pun (efek konatif/behavior).
Hal senada disampaikan Riswandi (2009) bahwa dampak kognitif terjadi bila ada
perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, atau dipersepsikan oleh khalayak;
dampak afektif ter jadi jika pesan yang disampaikan mengubah apa yang
dirasakan, disenangi atau dibenci oleh khalayak; dan dampak konatif/behavioral
jika pesan yang disebarkan mendorong khalayak (target audiens) untuk
melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Dampak perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku dalam konteks
pendidikan lingkungan: orang yang tadinya masa bodoh dengan lingkungan
diharapkan akan menjadi peduli dengan lingkungannya; orang yang tadinya
menjadi pemerhati pasif berubah menjadi pelaku aktif upaya-upaya pelestarian
lingkungan hidup; bahkan orang yang berperan dalam perusakan lingkungan
hidup berubah menjadi pelaku aktif pelestarian lingkungan (Sudjoko et al.,2008).
Download