BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi (Communication) 2.1.1 Definisi dan Tujuan Komunikasi Komunikasi mengandung makna bersama-sama (common). Istilah komunikasi atau communication berasal dari bahasa Latin, yaitu communicatio yang berarti pemberitahuan atau pertukaran. Kata sifatnya communis yang berarti umum atau bersama-sama (Wiryanto, 2004 dan Safanayong, 2006). Komunikasi menurut Harold Laswell sebagaimana yang dikutip oleh Ruben (1992) dapat dijelaskan secara sederhana dalam suatu pernyataan “who say what to whom in what channel with what effect”(siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan akibat apa). Komunikasi menurut Safanayong (2006) adalah esensi dan dasar dari hal-hal persuasi (seni untuk mempengaruhi), perubahan sikap dan tingkah laku serta sosialisasi melalui transmisi informasi. Komunikasi menurut LoCicero (2007) adalah melewatkan atau menyampaikan informasi melalui kata-kata, gestur, atau pesan, pembicaraan dan tulisan; dan dalam hal ini terjadi pertukaran terus-menerus mengenai fakta dan opini. Adapun tujuan utama dari komunikasi tersebut untuk: a. Menginformasikan (to inform): yaitu menyediakan informasi, memberikan arahan dan untuk mengedukasi. b. Memeriksa/menyelidiki (inquire): yaitu dengan meminta dan mengumpulkan informasi. c. Meminta (request): yaitu menanyakan untuk memastikan tindakan yang akan diambil. d. Membujuk (persuade): yaitu mendorong untuk segera mengambil tindakan. e. Membangun hubungan (build relationships) baik terhadap klien, pelanggan, pekerja atau vendor yang sudah ada maupun yang prospek. Fungsi dasar komunikasi menurut Ruben (1992) di dalam kehidupan atau aktivitas sehari-hari yaitu: membujuk/mengambil hati dan untuk pergaulan, menjaga hubungan antara orangtua dan anak dan untuk bersosialisasi, sebagai penunjuk arah (navigation), untuk mempertahankan diri dan daerah teritori. Lima 7 model komunikasi yang digunakan oleh binatang dan manusia yaitu: penglihatan (visual), peraba/sentuhan (tactile), penciuman (olfactory), perasa (gustatory), dan pendengaran (auditory). Tujuan komunikasi menurut Safanayong (2006) dapat dibedakan menurut maksud dan caranya menjadi identifikasi, informasi, promosi (provokasi, persuasi, propoganda dan sebagainya), dan ambience (penggarapan lingkungan). Dalam semua usaha komunikasi pemasaran, tujuan diarahkan pada pekerjaan satu atau lebih untuk membangun keinginan, menciptakan kesadaran, meningkatkan sikap dan mempengaruhi niat, serta mempermudah pemakaian atau pembelian. 2.1.2 Komunikasi yang Efektif Tubbs dan Moss (2000) dalam Kriyantono (2008) memberikan kriteria komunikasi yang efektif yaitu jika terjadi pengertian, menimbulkan kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang semakin baik, dan perubahan perilaku. Bila dalam proses komunikasi terjadi khalayak merasa tidak mengerti akan apa yang dimaksud komunikator, maka telah terjadi kegagalan proses komunikasi primer. Bila setelah proses komunikasi terjadi hubungan semakin renggang, maka terjadi kegagalan sekunder dalam proses komunikasi. Komunikasi efektif bisa diartikan terjadi bila ada kesamaan antara kerangka berpikir (frame reference) dan bidang pengalaman (field of experience) antara komunikator dengan komunikan. Menurut Kotler dan Roberto (1989), elemen-elemen yang mempengaruhi efektifitas komunikasi yaitu: a. Ekspresi Vocal (Vocal Expression). Audiens media massa akan sangat dipengaruhi oleh karakter vokal dengan artikulasi pesan yang konsisten dan memiliki kekuatan volume. Karakter vokal menjadi hal yang kritis dalam penyampaian pesan melalui radio, sehingga dalam pemilihan pembicara melalui radio harus berhati-hati memilih bahasa dan karakter vokal yang diperlukan. b. Ekspresi Wajah (Facial Expression). Berbagai peneliti memberikan kesimpulan bahwa ekspresi wajah dari komunikator (pembawa pesan) menjadi hal yang sangat penting dimana hal ini dapat memperlihatkan informasi dan emosi. Beberapa emosi primer yang dapat diekspresikan melalui wajah 8 diantaranya yaitu kebahagiaan, keterkejutan, ketakutan, kesedihan, kemarahan, perenungan, dan ketertarikan. c. Pergerakan Tubuh (Body Movement). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengamat media akan memberikan perhatian pada gerakan tubuh dan gestur. Media dengan memperlihatkan gestur dan aktivitas wajah yang disajikan dalam posisi terbuka akan memberikan efek yang kuat dan bersifat persuasif. d. Kontak Mata (Eye Contact). Dengan menjaga kontak mata dengan audiens akan memberikan efek yang persuasif. Hanya saja di sisi lain, pesan yang memperlihatkan kontak mata yang sifat pesannya persuasif yang negatif juga akan menghasilkan efek yang negatif. e. Jarak Ruang (Spatial Distance). Pesan yang disampaikan akan efektif jika jarak ruang antara pengirim pesan dan penerima sesuai dengan situasi. Jarak ruang antara pengirim pesan dan penerima sangat bervariasi untuk kondisi sosial yang berbeda. Jarak ruang yang dekat bisa jadi sesuai di suatu tempat tetapi tidak sesuai dengan situasi di tempat lain. Jika terjadi pelanggaran norma individu maka pesan yang disampaikan menjadi tidak efektif. f. Ketertarikan Fisik (Physical Apperance). Media yang diperlihatkan secara atraktif akan lebih persuasif dibanding dengan yang tidak atraktif. Dalam beberapa keadaan ketertarikan fisik dari pesan yang ditampilkan agar mudah diingat kembali oleh audiens daripada pesan yang ditampilkan seadanya. Komunikasi yang efektif sangat ditentukan oleh unsur-unsur atau komponen komunikasi dan variabel yang mempengaruhi dalam prosesnya. Menurut Safanayong (2006), unsur-unsur komunikasi yaitu sumber informasi (sender/source), pembuatan kode/penyandian (encoding), pesan (message), saluran/medium (channel), penguraian kode/sandi (decoding), (receiver), rintangan/distorsi (noise), umpan balik (feedback). penerima Variabel yang mempengaruhi proses komunikasi diantaranya: persepsi, motivasi, learning, memori, sikap, kepercayaan, kepribadian, pengaruh kelompok, gaya hidup dan nilai-nilai. 9 2.1.3 Tingkatan Komunikasi Tingkatan komunikasi dalam konteks sosial yang luas menurut Safanayong (2006) dapat dibagi dari tingkatan komunikasi intrapersonal (komunikasi dengan satu orang/dengan diri sendiri pada saat berpikir), komunikasi interpersonal (komunikasi antara dua orang), komunikasi kelompok kecil (komunikasi antara dua orang atau lebih, tetapi tidak lebih dari duapuluh lima orang), komunikasi kelompok besar (komunikasi dari satu atau beberapa orang kepada khalayak, kira-kira lebih dari dua puluh lima orang), komunikasi organisasional (komunikasi antara suatu kelompok orang-orang terkait dalam suatu administrasi atau bisnis tertentu). Adapan karakteristik level atau tingkatan komunikasi menurut Rogers dalam Wiryanto (2004) yang berdasar pada faktor-faktor arus informasi, segmentasi khalayak, derajat interaktif, dan kontrol terhadap arus informasi sebagaimana pada Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik level komunikasi Sifat Saluran Informasi Arus Informasi Sumber Khalayak Komunikasi antar pribadi One to few Individu Segmentasi Khalayak Tinggi (demassifikasi/bersifat pribadi) Tinggi Cepat Rendah Tingkat Interaktif Arus Balik Asynchronicity (terus berlangsung) Emosi Sosial vs Task – Related Content Non – Verbal Tinggi (emosional – sosial) Sulit Komunikasi interaktif (dua arah) Many to many Peserta komunikasi interaktif Tinggi (demassifikasi/bersifat pribadi) Tinggi Bisa cepat, bisa tunda Tinggi untuk media baru Rendah Komunikasi media massa One to many Organisasi media Rendah (massifikasi/ bersifat universal/ umum) Rendah Cepat/tunda Rendah/tinggi Rendah Media visual bisa. M edia audio tidak Kontrol Arus Oleh peserta Peserta komunikasi Kontrol khalayak Informasi komunikasi kecil Kebebasan Pribadi Rendah Biasanya rendah Tinggi Sumber: Roger (1986) Communication Technology, The New Media in Society, The Free Press, New York dalam Wiryanto (2004) Menurut Wiryanto (2004) Bisa untuk media baru level komunikasi selain komunikasi intrapersonal, interpersonal, komunikasi kelompok dan organisasi yaitu yang dikenal dengan istilah komunikasi massa (komunikasi yang menggunakan media massa sebagai saluran penyampai pesannya). Komunikasi massa yang lahir 10 seiring dengan penggunaan alat-alat mekanik yang mampu melipatgandakan pesan-pesan komunikasi. Komunikasi massa merupakan suatu tipe komunikasi manusia (human communication). Soemanagara (2008) mengatakan bahwa komunikasi antarpersonal memiliki tingkat interaktif yang tinggi, dapat dilakukan dengan tatap muka sehingga respon dan feedback akan mudah terlihat, jika ada pesan yang dipersepsikan berbeda oleh penerima pesan bisa langsung diklarifikasi atau diperbaiki. Demikian halnya komunikasi kelompok (tergantung pada jumlah, usia, dan batasan geografis) respon dapat langsung dapat diperoleh walaupun akan beragam sesuai dengan perbedaan cara individu menangkap atau mengintepretasikan pesan yang diterima. Sedangkan komunikasi massa karena memiliki jangkauan komunikasi yang lebih luas, maka respon dari komunikan sulit diukur secara langsung, walaupun kemungkinan ada respon jumlahnya sulit diprediksikan. Wright dalam Wiranto (2004) memberikan karakteristik pesan-pesan komunikasi massa yaitu publicly (pesan tidak ditujukan kepada orang per orang secara eksklusif melainkan bersifat terbuka untuk umum atau publik), rapid (pesan dirancang untuk mencapai audience yang luas dalam waktu yang singkat serta simultan), transient (pesan dibuat untuk memenuhi kebutuhan segera, dikonsumsi “sekali pakai” dan bukan untuk tujuan yang bersifat permanen). 2.2 Pesan (Message) 2.2.1 Definisi dan Komponen Pesan Pesan (Message) menurut Winarso (2005) adalah pikiran atau perasaan yang ingin disampaikan kepada orang lain. Orang yang menyampaikan pesan disebut komunikator, sedang yang menerima pesan disebut komunikan atau komunikate (communicate). Definisi yang serupa dikemukan oleh Wiryanto (2004), pesan adalah informasi yang dikomunikasikan kepada individu atau khalayak, sedang informasi sendiri diartikan sebagai hasil dari proses intelektual atau berpikir seseorang. Kirana (2001) mengemukakan kriteria isi pesan yaitu sederhana, didasarkan pada fakta yang bisa dipertanggungjawabkan, memiliki logika yang 11 runtut, singkat dan padat informasi. Elemen pesan yang penting yaitu: isi atau gagasan – merujuk pada ide sentral suatu pesan; bahasa – terdiri dari kata-kata untuk mengkomunikasikan pesan; pembawa pesan – merujuk pada orang/pihak yang menyampaikan pesan; waktu – kapan suatu pesan disampaikan; dan tempat – pilihan tempat dimana pesan akan disampaikan. Selanjutnya menurut Moffitt (1999) dalam suatu pesan sangat terkait erat dengan faktor visualisasi dari sesuatu yang ingin disampaikan, penggunaan kata-kata, ukuran atau panjang dari suatu pesan, warna yang digunakan, ukuran huruf, penggunaan kertas, efek bunyi dan latar belakang musik dan sebagainya. Elemen pesan menurut Kriyantono (2008) terdiri dari: 1. Struktur Pesan (Pengorganisasian elemen-elemen pokok): a. Message Sidedness * One – Sided: - Penekanan pesan hanya pada kepentingan pihak pengirim pesan. - Yang ditonjolkan kelebihan/kekuatan/aspek positif saja dari pesan - Biasa digunakan untuk iklan atau upaya promosi penjualan lainnya. - Pesan seperti ini cocok pada khalayak yang tingkat pendidikan rendah, tidak mempunyai pandangan atau penilaian yang bertentangan atau negatif atas idea atau produk yang dikomunikasikan. - Tidak terkena “Counterraarguments” (argument yang menentang). * Two – Sided: - Penekanan pesan pada kepentingan kedua pihak yang berkomunikasi. - Yang ditonjolkan kelebihan/kekuatan/aspek positif maupun kekurangan/negatif. - Pesan seperti ini cocok pada khalayak dengan tingkat pendidikan tinggi, dan telah mempunyai pengetahuan dan pengalaman atas ide, hal-hal, atau produk yang dikomunikasikan. - Terdapat pro dan kontra tentang hal yang dikomunikasikan. b. Order of Presentation (Urutan Penyajian) - Climax vs Anticlimax Biasanya untuk pesan yang satu sisi (one-sided). Klimaks yaitu cara penyajian pesan di mana argumentasi terpenting atau terkuat berada di 12 bagian akhir pesan. Lebih tepat untuk khalayak yang tingkat perhatian dan kepentingan yang tinggi terhadap idea atau hal yang dikomunikasikan. Khalayak yang dituju sudah tahu apa yang akan disampaikan. Sedangkan Antiklimaks mengandung beberapa hal yang merupakan kebalikan dari teknik klimaks di atas. - Recency vs Primacy Biasanya untuk pesan yang dua sisi (two-sided). Recency adalah teknik menyusun pesan, di mana aspek-aspek positifnya diletakkan di bagian akhir. Sedangkan Primacy meletakkan aspek positif di bagian awal. - Drawing a Conclusion (Penarikan Kesimpulan) Eksplisit, secara langsung dan jelas. Implisit, tidak langsung dan diserahkan kepada khalayak untuk memberikan kesimpulan sendiri. Biasanya ditujukan pada khalayak yang tingkat pendidikannya lebih tinggi. 2. Dayak Tarik Pesan (Message Appeals) a. Fear/Threat Appeals (Ancaman), menyajikan unsur-unsur ancaman, ketakutan, kekuatiran dalam pesan. b. Emotional Appeals, daya tarik emosional. c. Rational Appeals, mengutamakan hal-hal yang logis-rasional faktual. d. Humor, mengandung sesuatu yang lucu. Daya tarik emosional (emotional appeal) meliputi daya tarik positif dan negatif. Kotler dan Roberto (1989) menyebutkan bahwa pesan negatif sesuai untuk produk sosial yang menawarkan solusi nyata suatu masalah. Sedangkan pesan positif sesuai untuk produk sosial yang menawarkan sarana untuk memuaskan tujuan individu. 2.2.2 Pesan yang Efektif Pesan dikatakan efektif jika informasi tersebut berhasil diterima dan dipahami oleh penerima/khalayak. Ruben (1992) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi mudah tidaknya pesan diterima yaitu tergantung pada faktor penerima pesan (The Receiver), Pesan (The Message), Sumber (The Source) dan 13 Media serta Lingkungan (The Media and The Environment). Adapun setiap faktor digambarkan sebagai berikut: 1. Penerima pesan (the receiver): kebutuhan (needs), sikap, kepercayaan dan nilai-nilai (attitudes, beliefs, values), sasaran (goals), pemanfaatan (uses), gaya komunikasi (communication style), kemampuan/kapabilitas (capabilities), pengalaman dan kebiasaan (experience and habit). 2. Pesan (the message): asli/ original, sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (origin), pengulangan pesan (mode), karakter fisik (physical character), seperti ukuran, warna, huruf, ketajaman dan lain-lain dan bukan suatu novel (novelty). 3. Sumber (the source): kedekatan (proximity), attraktif (attractiveness), kesamaan (similarity), authoritativeness), kredib ilitas memotivasi dan dan berwenang intensif (credibility (motivation and and intent), pendistribusian (delivery) dan status, kekuatan dan kewenangan (status, power, and authority). 4. Media serta lingkungan (the media and the environment): konteks dan pengaturan (context and setting), pengulangan (repetition), konsistensi (consistency), bersaing (competition). Safanayong (2006) mengemukan 3 tahapan dalam merumuskan pesan yang efektif yaitu: 1. Melahirkan pesan, dapat dilakukan dengan pendekatan berkomunikasi dengan sasaran untuk mendapatkan masukan apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan mereka; sumbang saran dari tim kerja; serta menggunakan kerangka kerja deduktif formal yang berdasarkan strategi komunikasi yaitu rasional (pilihan yang bervariasi, ekonomis dalam penggunaan, tahan lama dan lain sebagainya), emosional (selera, hiburan, keindahan, kesederhanaan, kebanggan atas apa yang dimiliki dan sebagainya), dan moral (etika - baik buruk/benar salah manusia sebagai manusia, aklak, sikap, ajaran, kumpulan peraturan, susila, mental/cara berpikir). 2. Memilih dan mengevaluasi pesan, terdapat 3 tingkatan yaitu dapat menimbulkan keinginan, mempunyai sifat ekslusif dan mempunyai sifat dapat dipercaya. 14 3. Menyampaikan pesan, tergantung pada apa yang ingin disampaikan dan bagaimana menyampaikannya. Hal ini berkaitan dengan gaya dan pendekatan visualisasi pesan yaitu tujuan yang fokus (memprediksi dan memaksimal keinginan atau harapan sasaran), fokus pada penetapan sasaran untuk memudahkan komunikasi dan persuasi, dan pesan tunggal (pesan harus cepat dapat dimengerti). 2.3 Media Komunikasi 2.3.1 Definisi dan Jenis-jenis Media Komunikasi Media komunikasi (medium) juga umum disebut saluran atau medium komunikasi (channel). Saluran komunikasi menurut Winarso (2005) adalah medium yang dilalui oleh pesan yang menjembatani antara sumber dan penerima. Dalam melakukan komunikasi, jarang menggunakan hanya satu saluran komunikasi saja. Contohnya dalam interaksi tatap muka, kita berbicara dan mendengar (saluran suara dan pendengaran), juga gerak isyarat dan melihat tandatanda yang dapat bisa dilihat (saluran gerakan-penglihatan), dan memancarkan bau dan mencium bau (saluran penciuman-kimiawi). Seringkali kita saling menyentuh agar lebih komunikatif (saluran perasaan-saraf). Media komunikasi menurut Safanayong (2006) meliputi: iklan TV, iklan surat kabar, iklan majalah, iklan bioskop, iklan radio, poster, brosur, katalog, kendaraan (bus, taxi), direct mail, company profile, sales kit (sales kit), annual report, news letter, menu, signage, press kit, stationery and business forms, kalender, shopping bag, booklet, poscard, magazine insert, book cover/book jacket, CD cover dan booklet, book magazine, invitation, interactive commercial media (CD-Rom, internet), telemedia, stamps, phonecard; P-O-P, packaging/labeling, sticker. Saluran dalam berkomunikasi menurut Winarso (2005) yaitu: telepon, surat dan surat elektonik/email (media komunikasi interpersonal), bioskop, televisi, radio, film, buku, koran, majalah (media komunikasi massa), tanda asap, teleks, telegram dan lain-lain. 15 2.3.2 Karakteristik Media Komunikasi Setiap media atau saluran komunikasi memiliki karakteristik sendiri yang berbeda satu sama lainnya. Setiap media juga secara khusus memiliki kelebihan dan kekurangannya. Oleh karenanya, penentuan saluran komunikasi yang digunakan perlu disesuaikan dengan tujuan dan kemampuan dari masing-masing pengguna. Beberapa karakteristik media menurut Riswandi (2009) sangat terkait dengan hal-hal sebagai berikut: 1. Karakter media berdasarkan kebutuhan luasnya jangkauan dan kecepatan penetrasi, kebutuhan pemeliharaan memori, kebutuhan jangkauan khalayak yang selektif, kebutuhan jangkauan khalayak lokal, kebutuhan frekuensi tinggi; 2. Karakter kreatif yang berkaitan dengan isi, bentuk, dan teknis penyajian beberapa hal yang perlu dipertimbangkan diantaranya kebutuhan gerak, kebutuhan warna, kebutuhan suasana, kebutuhan demonstrasi, kebutuhan deskripsi; 3. Karakter khalayak atau audiens dimana khalayak dipandang sebagai penggar ap informasi, sebagai problem solver, sebagai mediator atau yang mencari pembela, sebagai anggota kelompok dan sebagai kelompok. Ruben (1992) berpendapat media dapat meringankan komunikasi manusia dengan cara penambahan produksi (termasuk pembuatan pesan oleh media) dan distribusi pesan; penerimaan, penyimpanan dan mudah didapatkannya kembali jika informasi yang terdapat di dalam media diperlukan (misalnya rekaman film dan lain-lain). Dalam pendistribusian media memiliki 3 komponen yaitu transmisi pesan; penggandaan dan perluasan pesan; serta tampilan pesan dalam bentuk fisik pada media. Media dalam konteks ini diharapkan membantu agar pesan mudah diakses oleh pengguna pesan. Sebagaimana yang dikemukakan Weinreich (1999) bahwa penggunaan media komunikasi memiliki kekuatan dan kelebihannya masing-masing. Radio dan poster baik digunakan untuk menggugah kesadaran target mengenai suatu permasalahan/isu, brosur akan menyediakan informasi mendalam mengenai permasalahan/isu dan lain-lain. Media komunikasi antara satu dengan yang lain akan saling melengkapi dan dapat digunakan bersamaan agar pesan yang 16 disampaikan kepada target audiens akan melekat (stick). Kekuatan dan kelemahan beberapa media sebagaimana diuraikan pada Tabel 2 berikut: Tabel 2 Kekuatan dan kelemahan media komunikasi Saluran Komunikasi Kekuatan Kelemahan Televisi • Dapat menjangkau banyak orang dalam waktu yang sama • Dapat sekaligus menjadi iklan gratis • Terdapat pengulangan pesan • Dapat ditindak lanjuti dengan mengontak nomor bebas bayar • Media visual akan memberikan dampak dan mampu mendemonstrasikan perilaku yang ditawarkan • Dapat menjangkau audiens yang spesifik melalui stasiun kabel/program Radio • Dapat menjangkau target audiens yang spesifik • Dapat didengarkan sembari melaksanakan aktivitas • Biaya produksi tidak mahal dan tidak memerlukan waktu lama seperti televisi • Bagus untuk menjangkau audiens yang terpelajar • Audiens dapat membuat kliping, membaca kembali serta memikirkan tentang materi • Media yang dapat dipertanggungjawabkan • Dapat memuat informasi yang mendalam, khususnya untuk isu yang kompleks • Seringkali biayanya murah (satuan biaya akan meningkat sejalan dengan kuantitas yang bertambah) • Baik digunakan untuk tindak lanjut dengan menyediakan informasi lebih lanjut (dihasilkan dari promosi lainnya) • Tidak bersaing dengan iklan untuk menarik perhatian audiens • Baik untuk menginformasikan dan menjawab secara rutin pertanyaan yang ditanyakan • Biaya produksi mahal dan memerlukan waktu • Jika dalam format iklan, akan sulit dikontrol ketika sudah berjalan • Format singkat tidak mengizinkan untuk lebih dari penyadaran • Pesan dapat tersembunyi oleh pesan komersil yang ditayangkan • Target audiens mungkin tidak akan menonton ketika tayangan komersil mengudara • Menjangkau audiens yang jauh lebih terbatas (berbeda dengan televisi) • Tidak dapat mendemonstrasikan suatu aktivitas (sebagaimana pada televisi yang bisa dilihat) Material Cetak (seperti brosur, lembaran fakta, newsletters) • Audiens harus memiliki ketertarikan dan keinginan untuk mengambil dan membacanya • Tidak bagus untuk audiens yang memiliki keterbatasan literatur/ wawasan 17 Tabel 2 Kekuatan dan kelemahan jenis -jenis media komunikasi (lanjutan) Saluran Komunikasi Kekuatan Kelemahan Poster dan flyers • Baik untuk media penyadaran yang bersifat umum • Dapat ditempatkan di tempat yang mudah dilihat/ tempat yang penuh kesibukan (hight traffic) • Dapat ditempatkan dimana audiens memutuskan untuk mengubah (perilaku positif) atau mengabaikan perilaku (negatif) • Jika terlihat menarik dan enak dipandang, maka orang-orang akan menaruhnya di rumah atau kantornya • Sangat baik untuk penjangkauan masyarakat umum (commuters) • Tidak bersaing dengan iklan lainnya • Terdapat pengulangan pesan dan dapat menjangkau banyak orang • Komunikasi orang per orang sangat efektif, apalagi jika yang menyampaikan dapat dipercaya/kredibel • Setiap pertanyaan dapat dijawab segera • Sifat pesan sangat personal/pribadi sehingga dapat memberikan manfaat atau mengurangi hambatan setiap orang yang disasar • Memerlukan biaya produksi yang mahal (relatif untuk media cetak) • Tidak dapat menyediakan informasi yang detail atau terperinci • Dapat dikirimkan seringsering Media diluar ruangan (outdoor media) (seperti billboards, transit ads) Komunikasi Interpersonal/ jaringan informal Komunikasi Interpersonal/ jaringan informal 2.4 • Memerlukan biaya yang yang relatif mahal • Tidak efisien untuk massa yang luas • Kemungkinan orang akan tidak percaya & merasa heran. • Orang akan berpikir penyampai berita akan mendapatkan keuntungan dari komunikasi tersebut • Tidak akan cukup waktu untuk mempengaruhi audiens yang potensial atau yang tertarik untuk terlibat Pemasaran Sosial (Social Marketing) 2.4.1 Definisi dan Bauran Pemasaran Sosial Pemasaran Sosial (Social Marketing) menurut Kotler dan Roberto (1989) adalah suatu strategi untuk perubahan perilaku yang merupakan kombinasi elemen terbaik dari pendekatan tradisional untuk perubahan sosial dengan mengintegrasikan perencanaan dan kerangka kerja aksi dan menggunakan kemajuan teknologi di bidang komunikasi serta keahlian pemasaran (“the strategy for changing behavior, combines the best elements of the traditional approaches to social change in an integrated planning and action framework and utilizes advances in communication technology and marketing skills”). 18 Weinreich (1999) mengemukan pemasaran sosial (social marketing) bukan sesuatu yang baru, menurutnya sosial marketing adalah pemanfaatan teknik pemasaran komersil untuk mempromosikan adopsi perilaku yang akan meningkatkan kesehatan atau semua hal baik yang diinginkan dilakukan target audiens atau kelompok sosial secara keseluruhan (“the use of commercial market techniques to promoto the adoption of a behavior that will improve the health or well being of target audience or of society as whole”). Untuk mengembangkan strategi yang konprehensif, pemasaran sosial dengan meminjam ide dari pemasaran tradisional yang dikenal dengan sebutan bauran pemasaran sosial (social marketing mix) dikenal 4 P’s dari marketing (product, price, place, promotion). Menurut Kotler dan Roberto (1989) “4 Ps” ini bertujuan untuk untuk mempromosikan ide, perilaku dan obyek fisik (tangible object). Adapun 4 P’s ini yaitu: a. Product berupa ide, perilaku dan obyek fisik, yang ditawarkan oleh agen perubahan kepada kelompok sasaran; b. Price ialah pengorbanan (uang, waktu, tenaga, upaya, tuntutan psikologis) yang harus dikeluarkan oleh kelompok sasaran untuk mengadopsi produk; c. Place yaitu sarana untuk menyampaikan produk kepada kelompok sasaran, misalnya outlet distribusi untuk produk fisik, media untuk ide dan perilaku; d. Promotion merupakan sarana untuk mempromosikan produk kepada kelompok sasaran melalui kontak interpersonal, penjualan langsung, iklan, public relations, dan lain-lain. Dalam sosial marketing, juga ditambahkan beberapa Ps, yaitu menurut Weinreich (1999) yaitu public, partnership, policy dan pursestrings. a. Public, adalah target audiens yang disasar untuk perubahan sikap dan perilakunya. Traget audiens yang ingin disasar ini bisa internal organisasi maupun eksternal; b. Partnership atau kemitraan adalah organisasi lain yang diidentifikasi potensial menjadi tim yang bisa diajak bekerjasama untuk menangani isu (kesehatan atau sosial) yang kompleks dimana disadari tidak akan mampu dilakukan sendiri oleh organisasi sendiri; 19 c. Policy, adalah kebijakan atau regulasi hukum yang diharapkan dapat dihasilkan dari pengambil kebijakan untuk mendukung keberlanjutan dari hasil perubahan sosial yang telah terjadi. d. Pursestrings, merupakan suatu upaya mencari donator atau funding untuk membiayai rencana tindak lanjut dari program sosial marketing yang ingin dilakukan untuk memastikan keberlanjutan perubahan yang telah dilakukan. 2.4.2 Teori Perubahan Perilaku Weinreich (1999) menjelaskan teknik pemasaran sosial dapat digunakan untuk berbagai tujuan yang berbeda yaitu untuk mendorong kesadaran publik atau kampanye edukasi; untuk membuat promosi atau materi edukasi; untuk mendorong tersedianya layanan organisasi; dan untuk menyusun program yang baru. Dengan kata lain, sosial marketing bertujuan agar target audiens mengubah sikap dan perilaku atau menerima produk sosial yang ditawarkan. Produk sosial (social product) menurut Kotler dan Roberto (1989) ada 3 yaitu 1) ide (kepercayaan:persepsi terhadap kenyataan; sikap: evaluasi positif ataupun negatif terhadap orang, obyek, ide, event dan nilai: pemahaman tentang apa yang dirasa benar ataupun salah); 2) praktek (practice) terdiri dari tindakan/aksi dan perilaku; serta 3) objek fisik (tangible object) yang menyertai ide atau praktek sosial yang dipasarkan. Perilaku adalah suatu tindakan yang langsung terlihat atau dapat diamati (Simamora, 2004). Beberapa teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan perubahan perilaku menurut Weinreich (1999) dan Kushardanto (2007), yaitu: 1. Teori perilaku yang direncanakan (theory of planned behavior), teori yang mengeksplorasi keterkaitan antara perilaku dan keyakinan (beliefs), sikap (attitudes), dan kehendak (intentions). Teori ini berasumsi bahwa kehendak berperilaku (behavioral intention) adalah determinant (faktor penentu) yang paling penting. Kehendak berperilaku dipengaruhi oleh sikap seseorang terhadap suatu tindakan, dan keyakinan atas pendapat orang lain (tokoh yang dianggap penting) terhadap suatu perilaku (subjective norm). 2. Teori pembelajaran sosial (social cognitive learning theory). Perubahan perilaku tidak hanya ditentukan oleh faktor intrinsik atau adanya lingkungan 20 yang mendukung dan individu memiliki pengaruh terhadap apa yang dilakukan, bagaimana respon individu terhadap lingkungan. Teori ini melihat lingkungan bukan hanya sebagai sistem yang mendorong atau mencegah suatu perubahan perilaku, akan tetapi lingkungan juga menyediakan tempat bagi sesorang untuk belajar tindakan orang lain dan konsekuensi dari tindakan tersebut. Tiga faktor utamanya yaitu kekuatan sendiri (self-efficacy), sasaran (goals), dan harapan yang muncul. 3. Teori tahapan dari perubahan (transtheoretical model/stages of change teory), terdiri dari lima tahapan, yaitu: a. Pre-contemplation (pra-perenungan): individu pada tahap ini tidak menyadari suatu masalah atau suatu resiko terhadap sesuatu sehingga belum berpikir untuk mengambil tindakan. b. Contemplation (perenungan): individu pada tahap ini sudah berpikir untuk bertindak dan menunjukkan indikasi sedang merencanakan tindakan. c. Preparation (persiapan): orang akan mengambil tindakan dalam waktu yang tidak lama lagi dan merencanakan untuk melakukan rencana tersebut segera mungkin. d. Action (tindakan): pada tahap ini, orang sudah mengambil tindakan untuk menangani suatu permasalahan tertentu. e. Maintenance (menjaga): orang berusaha untuk mempertahankan tindakan yang diambilnya dalam suatu periode waktunya lama. 4. Difusi suatu inovasi (diffusion of innovations). Terhadap suatu perilaku baru atau tindakan, beberapa orang akan mengadopsi dan yang lainnya melihat sampai orang lain dalam kelompoknya mengadopsinya dan kelompok yang lainnya sama sekali sama sekali tidak menerima inovasi tersebut. Inovasi adalah gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Inovasi akan sangat mudah diterima jika amat cocok dengan budaya yang berlaku pada suatu masyarakat yang akan mengadopsinya (Ranjabar, 2008). Simmons (1990) menjelaskan beberapa tipe pengadopsi (adopters) terhadap suatu inovasi yaitu: 1. Innovator (2,5%): membutuhkan ‘hal baru’ dan ‘berbeda’. 21 2. Early Adopter (13,5%): menyadari keuntungan untuk mengadopsi dari informasi/kontak dengan innovators. 3. Early Majority Adopter (34%): meniru orang lain atau mencoba mengadopsi inovasi dengan suatu tingkat ketidakpercayaan. 4. Late Majority Adopter (34%): bergabung untuk mencoba setelah “mendapatkan legitimasi” dari early majority 5. Laggard (16%): sangat skeptis, memegang teguh tradisi. 2.4.3 Tahapan dan Keterbatasan Pemasaran Sosial Tahapan pemasaran sosial menurut Weinreich (1999) ada 5 yaitu perencanaan (planning), pengembangan pesan dan material/media (message and materials development), ujicoba (pretesting), implementasi (implementation); evaluasi dan umpan balik (evaluation and feedback). 1. Perencanaan (planning), merupakan hal paling mendasar yang penting untuk mendisain perubahan sosial yang ingin disasar. Tahapan perencanaan merupakan tahapan dimana kita memahami masalah yang dihadapi, target audiens yang ingin disasar, dan program apa yang akan dilakukan. 2. Pengembangan pesan dan material/media (message and materials development),dirancang berdasarkan informasi yang telah diperoleh dalam tahapan perencanaan untuk menjangkau target audiens sasaran. 3. Ujicoba (pretesting) dilakukan terhadap pesan dan media yang telah dirancang dengan menggunakan berbagai metode. Dengan adanya uji coba media maka akan diketahui pesan dan media yang telah dirancang efektif untuk menjangkau audiens kita. Dengan adanya uji coba maka strategi keseluruhan dan pendekatan program akan bisa dilanjutkan. 4. Implementasi (implementation), adalah memperkenalkan program kepada target audiens dimana persiapan adalah kunci utama kesuksesan. Implementasi program harus dimonitoring untuk memastikan setiap elemen proses sesuai dengan per encanaan. 5. Evaluasi dan umpan balik (evaluation and feedback), tidak saja dilakukan untuk melihat efek dari keberhasilan program, tetapi juga dilakukan untuk 22 mendapatkan umpan balik dari target audiens. Umpan balik merupakan langkah awal untuk mendorong program selanjutnya. Sebagai suatu pendekatan, sosial marketing memiliki kekuatan dan keterbatasan. Weinreich (1999) mengemukakan kekuatan dari sosial marketing yaitu sangat baik digunakan untuk mempengaruhi atau tetap mempertahankan perilaku sehat atau manfaat sosial dari perubahan perilaku, meningkatkan pemanfaatan program atau membangun kepuasan pelanggan atas layanan yang sedang dijalankan. Akan tetapi sosial marketing sebagai suatu pendekatan memiliki keterbatasan tidak dapat diharapkan untuk menyelesaikan semua masalah kesehatan dan masalah sosial. Sosial marketing tidak efektif digunakan untuk menyelesaikan masalah yang kompleks dimana faktor penyebabnya dikontribusikan oleh banyak faktor dan masalah tidak di bawah kontrol individu (organisasi). Ketika organisasi ingin menggunakan teknik sosial marketing ini untuk mencapai tujuannya, maka diharapkan ada komitmen kuat dari organisasi dan didukung sumberdaya (staff dan dana) yang memadai. 2.5 Kampanye Bangga RARE (RARE Pride Campaign) 2.5.1 Sejarah dan Perkembangan Kirana (2001) mengemukakan kampanye adalah program komunikasi yang terencana untuk mencapai tujuan spesifik. Perubahan perilaku adalah tujuan yang ingin dicapai melalui kampanye, dengan perencanaan yang teliti, melibatkan penggunaan berbagai media dan berbagai cara penyampaian pesan. Kampanye merupakan adaptasi langsung dari kata ‘campaign’ berarti ‘the art of war’ atau seni perang, di dalamnya tercakup taktik dan strategi, walaupun demikian istilah ini bukan monopoli kalangan militer saja. Industriwan, politisi, dan aktifis – jenisjenis manusia dengan sangat sedikit perbedaan, semuanya menggunakan istilah ini dengan pemaknaan yang relatif sama. Terdapat 3 jenis utama dari kampanye yaitu kampanye komersil, politik dan isu sosial (Moffitt, 1999). Salah satu kampanye di bidang sosial dan lingkungan yaitu kampanye yang dikembangkan oleh RARE, dikenal dengan istilah kampanye bangga. Program Kampanye Bangga RARE adalah suatu perkawinan antara pendidikan konservasi secara tradisional dan teknik social 23 marketing yang bertumpu kepada perubahan perilaku. Kampanye bangga membangkitkan perluasan advokasi publik dan tekanan dari orang-orang yang dikenal (peer pressure) untuk mendorong perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku. Kunci kesuksesan itu adalah kampanye bangga melibatkan dan membangun komitmen setiap lapisan masyarakat: guru, pelaku bisnis, anggota legislatif, dan masyarakat awam (RARE, 2007b). Di Pulau Saint Lucia, di Karibia Timur, RARE merancang dan memulai kampanye “Rasa Bangga”-nya yang pertama, bekerja-sama dengan Departemen Kehutanan pulau itu. Kampanye itu memfokuskan perhatian pada burung nuri Saint Lucia yang endemik dan terancam. Kampanye menggunakan spesies sebagai maskot ini memicu rasa bangga yang mengakibatkan dukungan publik bagi perlindungan hutan hujan dan satwa liar. Soemanagara (2008) mengatakan bahwa maskot merupakan simbolisasi terhadap sesuatu yang mampu merepresentatifkan suatu keinginan, hasrat, atau kebutuhan, dapat dengan mudah mengaktifkan ransangan kepada audience agar dapat menyimpulkan arti dari simbolisasi secara sederhana atau umum. Dengan demikian sebuah maskot diharapkan mampu menjangkau tujuan komunikasi yaitu terjadinya perubahan pada pengetahuan, sikap dan perilaku. Pertimbangan dalam penerapan maskot sebagaimana pada Tabel 3. Tabel 3 Pertimbangan dalam penerapan maskot Pengetahuan Sikap Perilaku • Dapat dengan mudah disimpulkan • Memiliki dimensi citra dari produk dan servis • Dapat dipersepsikan sama pada umumnya • Kedekatan (visual/ sering dilihat) • Memiliki kerangka emosional • Kualitas simbol (garis, warna, dan bentuk) • Memenuhi harapan dan kebutuhan • Memiliki nilai kepercayaan • Menunjukkan equitas sebuah produk • Memiliki rasa aman • Mampu meransang orang untuk melakukan tindakan • Mudah dilakukan atau dijangkau Menggunakan metodologi sukses yang dirancang bersama dengan Departemen Kehutanan Saint Lucia, RARE akhirnya memperhalus pendekatannya menjadi “metodologi buku masak” untuk menciptakan kesadaran lingkungan. Wujudnya adalah kampanye penjangkauan yang dikemudikan dan diawaki secara lokal yang menggunakan teknik-teknik pemasaran, spesies 24 flagship, dan rasa bangga nasional untuk membangkitkan dukungan akar rumput bagi konservasi. Beberapa contoh keberhasilan kampanye bangga RARE di Indonesia yaitu (RARE, 2007b): 1. Kampanye bangga di Kepulauan Togean (2001-2002). Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan mengenai perlindungan ekosistem terumbu karang masyarakat telah membuat peraturan kampung untuk melindungi terumbu karang dan sumberdaya penting kelautan lainnya. 2. Kampanye bangga di Siberut (2004-2005) dengan membawa pesan-pesan konservasi kepada kelompok masyarakat yang rendah angka melek hurufnya mela lui radio komunitas telah berhasil mengangkat pengetahuan mengenai nilai pentingnya hutan. 3. Kampanye bangga di Phakpak Bharat (2004-2005) membangun dukungan masyarakat lokal untuk mengelola lahan yang tidak terpakai di sekitar kawasan lindung sebagai bagian program penghijauan. 4. Kampanye bangga di Derawan (2006-2007) membangun dukungan masyarakat lokal untuk pengelolaan sumberdaya laut yang berkelanjutan dan memperkuat dukungan penciptaan Kawasan Konservasi Laut (KKL) Berau. 5. Kampanye bangga di Lhoknga dan Leupung Kabupaten Aceh Besar Naggroe Aceh Darussalam (2007-2008) telah berhasil menguatkan lembaga adat pawang uteun untuk pengelolaan hutan berkelanjutan di Aceh Besar. 6. Kampanye bangga di Kawasan Hutan Produksi Potorono dan Hutan Lindung Gunung Sumbing Magelang (2007-2008) telah berhasil mengubah perilaku pada gerakan sosial konservasi sumberdaya hutan jawa. 2.5.2 Tahapan dan Partisipasi Masyarakat Metode kampanye bangga melestarikan ini terdiri dari 11 tahapan yang merupakan uraian dari tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (RARE, 2007b) yaitu: 1. Kajian literatur dilakukan untuk memahami dengan lebih baik kawasan dan berbagai hal yang berlangsung di kawasan target kampanye. Penekanan khusus dibuat dengan pemahaman kepada siapa yang menjadi pemain utama dan kegiatan apa yang dilakukan. Satu dari sekian banyak produk dari proses 25 ini adalah suatu matriks stakeholder (stakeholder matrix) yang mengidentifikasi pemain utama dan kepentingannya terhadap kawasan target. 2. Matriks stakeholder ini kemudian dipakai untuk menentukan dan mengundang kelompok atau individu ke dalam suatu pertemuan stakeholder dimana dalam pertemuan ini mereka bekerja bersama untuk mengembangkan Model Pemikiran (Concept Model) dari ancaman kunci yang ada. 3. Model Pemikiran (Concept Model) mengidentifikasikan faktor kunci langsung, tidak langsung, serta faktor kontribusi (akar permasalahan) dari ancaman terhadap konservasi yang ada di kawasan. 4. Pelaksanaan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) dilaksanakan untuk menggali lebih dalam faktor kunci langsung yang berhubungan dengan kawasan. Frekuensi FGD sesuai dengan kebutuhan isu yang akan digali dan dipertajam. 5. Pelaksanaan pra survei dengan mensurvei 1-3% populasi yang ada di kawasan sasaran untuk mengumpulkan informasi mengenai pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat. Pertanyaan survei mengkonfirmasi ancaman yang telah diidentifikasikan oleh stakeholder dalam model pemikiran, dan membantu untuk membuat ranking dari ancaman ini melalui suatu sampel acak terhadap masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan sasaran. Data dari kelompok kontrol (control group) juga diambil sebagai pembanding sasaran kampanye. 6. Setelah data survei dianalisa, model pemikiran kemudian direvisi dalam pertemuan stakeholder yang lain. Stakeholder membantu mengidentifikasi sasaran kampanye yang fokusnya kepada perubahan pengetahuan dan kesadaran yang dapat mempengaruhi ancaman kuncinya. 7. Suatu sasaran yang baik adalah yang memenuhi kaidah SMART (Specific, Measurable (dapat diukur), Action-oriented (berorientasi kepada tindakan), Realistic (realistik), dan Time-bound (terikat waktu). Sasaran-sasaran SMART ini kemudian dikaitkan dengan rencana pemantauan dengan suatu indikator yang jelas. Aktifitas dari setiap sasaran dirancang untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. 8. Sasaran-sasaran ini kemudian dimasukkan ke dalam suatu Rencana Proyek 26 (project plan) yang menjadi suatu dasar arahan kampanyenya. 9. Rencana Proyek ini dikaji dan selanjutnya menjadi acuan pelaksanaan kampanye Bangga selama periode 1 tahun kemudian. Ada pun Rencana Proyek berisi suatu susunan aktivitas pelaksanaan kampanye seperti kunjungan sekolah, kostum maskot, panggung boneka, papan iklan, lembar dakwah, lagu populer dan video musik dan sebagainya. 10. Survei pasca kampanye dilakukan di akhir kampanye dan hasilnya dipakai untuk menilai perbedaan pengetahuan, sikap dan perilaku sebelum dan sesudah kampanye. 11. Pada akhir kampanye, diadakan evaluasi dan pelaporan sebagai bagian dari pengalaman berharga (lesson learned) dan juga merancang suatu rencana tindak lanjut. Keterlibatan masyarakat atau sasaran kampanye dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasi Kampanye Bangga merupakan kunci sukses sukses . Beberapa metode partisipasi masyarakat yang digunakan dalam kampanye bangga diantaranya metode lokakarya, Focus Group Discussion (FGD) dan survei. Partisipasi merupakan merupakan faktor kunci dimana masyarakat bersama mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah, pengambilan keputusan kolektif, penyusunan rencana bersama dan melaksanakannya dengan sepenuh hati, menghadapi setiap permasalahan dan mengelola apa yang mereka telah disepakati bersama-sama (Braakman dan Edwards, 2002). Metode lokakarya yang digunakan dalam Kampanye Bangga diadaptasi dari metode yang dikembangkan oleh Spencer (1989) dalam Winning Through Participation, terdiri dari beberapa langkah kegiatan yaitu: 1. Menentukan konteks (set the context), yaitu menetapkan dan mendefinisikan konteks atau parameter dari lokakarya multi pihak. 2. Curah pendapat (brainstorm), yaitu dimana peserta mengeluarkan atau mencurahkan semua pendapat, data dan ide-ide mengenai isu konservasi pada suatu kawasan yang ingin disasar melalui kampanye. 3. Pengelompokan (order), yaitu mengelompokkan atau mengklasifikasikan data atau ide-ide berdasarkan kategori atau konteks yang sama. 27 4. Penamaan (name), yaitu memberikan judul baru data atau ide-ide yang telah dikelompokkan atau dikategorisasikan oleh peserta. 5. Pemantauan (evaluate), yaitu mengevaluasi tahapan yang telah dilakukan dari tahap sebelumnya untuk memastikan sesuai dengan pendapat yang disepakati. Sebagaimana halnya lokakarya, teknik yang digunakan dalam pelaksanaan FGD juga diadaptasi dari teknik yang disebut ORID (Objective, Reflection, Interpretive and Deciosional) yang diperkenalkan oleh Spencer (1989). Tahapan dari ORID ini yaitu: 1. Objective (objektif) yaitu tahap dimana peserta diskusi mengeluarkan faktafakta mengenai pengalaman atau kejadian apa saja yang berhubungan dengan kehidupan mereka dengan kawasan yang ingin disasar melalui kampanye. 2. Reflection (refleksi), yaitu tahapan dimana anggota diskusi kelompok merasakan (memberikan tanggapan emosi) atas pengalaman atau kejadian yang telah diterima dan mengasosiasikannya dengan pengalaman lain yang pernah dialami. 3. Interpretive (interpretasi), yaitu tahapan dimana partisipan atau peserta diskusi mempertimbangkan atau menginterpretasikan arti, nilai dan tujuan dari kejadian. 4. Deciosional (pengambilan keputusan), yaitu tahapan dimana peserta diskusi kelompok telah memutuskan untuk memberikan respon dengan mengambil keputusan tindakan apa yang akan dilakukan yang dianggap penting untuk masa mendatang. Pengembangan kegiatan atau media dalam kampanye bangga digali melalui lokakarya, FGD dan survei dengan melibatkan masyarakat target. Pertimbangan pemilihan kegiatan dalam Kampanye Bangga dilakukan dengan menjawab pertanyaan 5W1H yang diadaptasi dari teknik yang diterapkan Margoluis dan Salafsky (1998) Ukuran Keberhasilan, yaitu: 1. What: apa media atau saluran komunikasin yang akan digunakan? 2. Why: alasan mengapa memilih media tersebut, apa asumsi dasar atau prasyarat jika memiliki media tersebut? 3. Where: dimana media akan digunakan atau dimana kegiatan akan dilaksanakan? 28 4. When: kapan media akan disebarkan atau kapan kegiatan yang akan dilakukan dan apa prasyarat yang diperlukan sehingga kegiatan tersebut dapat terlaksana? 5. How: Bagaimana strategi mendesain media, taktik komunikasi, pendistribusian dan penjangkauannya melalui kegiatan dan lain sebagainya? 2.6 Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) 2.6.1 Definisi, Tujuan dan Ruang Lingkup Pendidikan lingkungan hidup adalah upaya mengubah perilaku dan sikap yang dilakukan oleh berbagai pihak atau elemen masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat tentang nilainilai lingkungan dan isu permasalahan lingkungan yang pada akhirnya dapat menggerakkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pelestarian dan keselamatan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang (PIL, 2009). Sudjoko et al. (2008) mengemukakan Pendididikan Lingkungan Hidup (PLH) adalah mengubah pandangan dan perilaku seseorang terhadap lingkungan. Sasaran PLH sebagaimana dinyatakan dalam resolusi dari Belgrade International Conference on Environmental Education (1975) dalam Muntasib et al. (2004) adalah membantu individu atau kelompok sosial agar memiliki kesadaran (awareness), pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), keterampilan (skill), kemampuan mengevaluasi (evaluation ability), dan berperanserta (participation) dalam upaya-upaya perlindungan dan pengembangan lingkungan. Pendidikan lingkungan hidup atau pendidikan konservasi sangat diperlukan untuk menanamkan pengetahuan dan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan menumbuhkan kepedulian dan sikap hidup ramah lingkungan kepada seluruh lapisan masyarakat. Dengan adanya penekanan yang lebih besar terhadap kawasan konservasi sebagai bagian dari lingkungan hidup, maka pendidikan konservasi dapat dipandang dalam 3 komponen utama (Muntasib et al., 2004), yaitu: a. Pendidikan tentang konservasi (education about the conservation): memberikan pemahaman bagaimana sistem-sistem alami pada kawasan 29 konservasi, dan pemahaman dampak kegiatan manusia terhadap sistem alami tersebut, serta mengembangkan keterampilan mengkaji kawasan konservasi dan keterampilan untuk menelaah hasil kajian. b. Pendidikan di dalam atau melalui konservasi (education in or through the conservation): kawasan konservasi dianggap sebagai sumber belajar untuk mengembangkan keterampilan, mengumpulkan data penelitian lapangan, menumbuhkan apresiasi terhadap keindahan alam/estetika, dan menanamkan kesadaran dan kepedulian terhadap kawasan konservasi. c. Pendidikan demi kawasan konservasi (education for the conservation area): berdasarkan pendidikan tentang dan dalam kawasan konservasi untuk menumbuhkan dan menanamkan rasa tanggung jawab dan kepedulian secara benar, meningkatkan keinginan dan kemampuan menganut gaya hidup yang sesuai dengan konsep pemanfaatan sumberdaya alam yang rasional dan benar, serta mengembangkan motivasi dan keterampilan berperan serta dalam pengembangan kawasan konservasi. Ruang lingkup kebijakan Pendidikan Lingkungan Hidup meliputi hal-hal sebagai berikut (PIL, 2009): 1. Pendidikan lingkungan hidup yang melalui aj lur formal, nonformal dan jalur informal dilaksanakan oleh seluruh stakeholder. Pendidikan lingkungan hidup formal diselenggarakan melalui sekolah, terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi dan dilakukan secara terstruktur dan berjenjang dengan metode pendekatan kurikulum yang terintegrasi maupun kurikulum yang monolitik (tersendiri). Pendidikan lingkungan hidup nonformal dilakukan di luar sekolah yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang (misalnya pelatihan AMDAL, ISO 14000, PPNS). Pendidikan lingkungan hidup informal dilakukan di luar sekolah dan dilaksanakan tidak terstruktur maupun tidak berjenjang. 2. Diarahkan kepada beberapa hal yang meliputi aspek: a) kelembagaan, b) SDM yang terkait dalam pelaku/pelaksana maupun objek pendidikan lingkungan hidup, c) sarana dan prasarana, d) pendanaan, e) materi, f) komunikasi dan informasi, g) peran serta masyarakat, dan h) metode pelaksanaan. 30 2.6.2 Dasar Kebijakan dan Perkembangan Urgensi Pendididikan Lingkungan Hidup menjadi hal yang tidak dapat ditawar lagi. Krisis lingkungan akibat pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan yang tidak memperhatikan daya dukung dan keseimbangan alam telah terjadi di ‘planet’ bumi kita ini. Limbah dan kerusakan yang dihasilkan telah menjadi lingkaran atau siklus rumit yang tidak mudah untuk ‘diputuskan’ mata rantainya. Kirana (2001) mengemukkan proses eksploitasi sumberdaya alam akan menghasilkan bahan baku bagi industri manufaktur, limbah dan kerusakan alam. Industri manufaktur akan menghasilkan produk yang siap dikonsumsi dan juga limbah. Produk yang dikonsumsi oleh masyarakat luas (manusia) pun menyisakan limbah. Sudjoko et al. (2008) menegaskan wacana ekstrim bahwa manusia sebagai pihak tertuduh dalam hal semakin terpuruknya kualitas bumi. Manusia dinilai terlampau asyik dalam ‘memuaskan syahwatnya’ tanpa memperdulikan lagi akibat atau dampak yang menerpa bumi kita. Pendidikan memberikan lingkungan kesempatan hidup kepada bertujuan masyarakat untuk mendorong memperoleh dan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang pada akhirnya dapat menumbuhkan kepedulian, komitmen untuk melindungi, memperbaiki serta memanfaatkan lingkungan hidup secara bijaksana, turut menciptakan pola perilaku baru yang bersahabat dengan lingkungan hidup, mengembangkan etika lingkungan hidup dan memperbaiki kualitas hidup. Sesuai dengan tujuan pendidikan lingkungan hidup, maka disusunlah kebijakan pendidikan lingkungan hidup di Indonesia yang bertujuan untuk menciptakan iklim yang mendorong semua pihak berperan dalam pengembangan pendidikan lingkungan hidup untuk pelestarian lingkungan hidup. Kebijakan pendidikan lingkungan hidup ini disusun berdasarkan (PIL, 2009): 1. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; 2. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; 3. UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; 4. UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional; 5. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 31 6. Keputusan Bersama Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1991 dan Nomor 38 Tahun 1991; tentang Peningkatan Pemasyarakatan Kependudukan dan Lingkungan Hidup Melalui Jalur Agama. 7. Piagam Kerja Sama Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dengan Menteri Dalam Negeri Nomor 05/MENLH/8/1998 dan Nomor 119/1922/SJ tentang Kegiatan Akademik dan Non Akademik di Bidang Lingkungan Hidup; 8. Memorandum Bersama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 0142/U/1996 dan Nomor KEP:89/MENLH/5/1996 tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup; 9. Naskah Kerja Sama antara Pusat Pengembangan Penataran Guru Teknologi Malang sebagai Pusat Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup Nasional untuk Sekolah Menengah Kejuruan dan Direktorat Pengembangan Kelembagaan/Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 218/C19/TT/1996 dan Nomor B-1648/I/06/96 tentang Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup pada Sekolah Menengah Kejuruan. 10. Komitmen-komitmen Internasional yang berkaitan dengan pendidikan lingkungan hidup. Sasaran kebijakan pendidikan lingkungan hidup adalah: 1) terlaksananya pendidikan lingkungan hidup di lapangan sehingga dapat tercipta kepedulian dan komitmen masyarakat dalam turut melindungi, melestarikan dan meningkatkan kualitas lingkungan lingkungan hidup; 2) diarahkan untuk seluruh kelompok masyarakat, baik di perdesaan dan perkotaan, tua dan muda, laki- laki dan perempuan di seluruh wilayah Indonesia sehingga tujuan pendidikan lingkungan hidup bagi seluruh rakyat Indonesia dapat terwujud dengan baik (PIL, 2009). Sebagaimana yang dikemukakan Sudjoko et al. (2008), perkembangan konsep PLH di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan PLH di tingkat Asia dan Internasional. Perkembangan PLH di tingkat internasional, Asia (khususnya ASEAN) dan di Indonesia sebagaimana uraian berikut: 32 1. Perkembangan Pendididikan Lingkungan Hidup di Tingkat International Konferensi internasional pertama tentang Pendididikan Lingkungan Hidup di Jugoslavia tahun 1975 menghasilkan “The Belgrade Charter – a Global Framework for Environmental Education”. Tujuan PLH yang dirumuskan dalam pernyataan antar bangga ini yaitu: a. Meningkatkan kesadaran dan perhatian terhadap keterkaitan bidang ekonomi, sosial, politik serta ekologi, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. b. Memberi kesempatan bagi setiap orang untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan, sikap/perilaku, motivasi dan komitmen, yang diperlukan untuk bekerja secara individu dan kolektif untuk menyelesaikan masalah lingkungan saat ini dan mencegah munculnya masalah baru. c. Menciptakan satu kesatuan pola tingkah laku baru bagi individu, kelompok-kelompok dan masyarakat terhadap lingkungan hidup. 2. Perkembangan Pendididikan Lingkungan Hidup di Tingkat ASEAN Negara-negara ASEAN telah mengembangkan program dan kegiatan PLH setelah konferensi internasional di Jugoslavia tahun 1975. Sejak dikeluarkannya Environmental Education Action Plan 2000-2005, maka Negara-negara ASEAN telah menjadikannya sebagai kerangka kerja untuk pengembangan dan pelaksanaan PLH di negara anggota ASEAN. Action plan ini juga memperkuat kerjasama dalam rangka meningkatkan pelaksanaan program PLH di negara anggota ASEAN. 3. Perkembangan Pendididikan Lingkungan Hidup di Indonesia Perkembangan kegiatan PLH di Indonesia secara garis besar dibagi dalam 3 periode yaitu: periode 1969-1983 (persiapan dan peletakkan dasar), periode 1983-1993 (sosia lisasi), dan periode 1993-sekarang (pemantapan dan pengembangan). Setiap periode ditandai dengan beberapa capaian program dan kegiatan yaitu: a. Perkembangan awal PLH di Indonesia tidak terlepas dari hasil konferensi Stockholm tahun 1972 yang menghasilkan deklarasi dan rekomendasi pentingnya PLH untuk menciptakan kesadaran masyarakat dalam melestarikan lingkungan hidup. 33 b. IKIP Jakarta mempelopori penyusunan Garis-garis Besar Pendidikan dan Pengajaran (GBPP) bidang lingkungan hidup, dan diuji cobakan tahun 1997/1978 di 15 SD di Jakarta. c. Tahun 1979 dibentuk Pusat Studi Lingkungan (PSL) di beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta, dimana aktivitas utamanya menyelenggarakan kursus mengenai Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). Beberapa perguruan tinggi yang memelopori seperti IPB Bogor dan UI Jakarta mulai menyelenggarakan program studi lingkungan hidup dan konservasi sumberdaya alam. d. Tahun 1984 materi pendidikan mengenai lingkungan hidup diintegrasikan dalam kurikulum 1984 tingkat pendidikan dasar dan menengah. Kegiatan PLH jalur informal juga telah berkembang. e. Sejak tahun 1989/1990 Departemen Pendidikan Nasional telah melaksanakan berbagai pelatihan dan pengenalan lingkungan hidup terhadap guru SD, SMP, SMA dan sekolah kejuruan sederajad. Sosialisasi lingkungan hidup juga dilakukan terhadap Administrator Negara yang menjadi materi kurikulum penjenjangan tingkat Sepada, Sepadya, dan Sespa pada Diklat Lembaga Administrasi Negara (LAN). f. Dipelopori LSM dan lembaga nirlaba lainnya yang menaruh minat dan kepedulian terhadap lingkungan hidup, tahun 1996/1997 terbentuk Jaringan Pendidikan Lingkungan Hidup. g. Pada tanggal 21 Mei 1996, ditetapkannya Memorandum Bersama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup No.0142/U/1996 dan No. Kep: 89/MENLH/5/1996 tentang Pembinaan dan Pengembangan PLH. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan terus mendorong pengembangan dan pemantapan PLH di sekolah-sekolah melalui penataran guru, penggalangan bulan bakti lingkungan hidup, pengembangan buku pembelajaran, program sekolah asri, dan lain-lain. Sejalan dengan itu inisiatif pengembangan PLH juga digelar oleh pemerintah, perguruan tinggi, LSM dan lain-lain (misalnya melalui seminar, lokakarya, penyusunan modul dan buku bacaan, dan lain-lain). 34 Sejalan dengan perkembangan pendidikan di tingkat dunia dan nas ional bahkan daerah maka metode pembelajaran PLH juga semakin berkembang. Menurut Masy’ud (2001) beberapa metode yang dapat dilakukan dalam pembelajaran PLH diantaranya: a. Metode demonstrasi adalah suatu teknik yang menunjukkan bagaimana sesuatu pekerjaan atau temuan dilakukan, yang bertujuan untuk menggambarkan atau menjelaskan suatu ide, proses atau hubungan diantaranya. b. Metode percobaan (eksperimen) adalah suatu teknik untuk membuktikan atau mengetahui suatu teori, konsep atau gagasan. c. Metode penyelidikan (inquiry) suatu teknik untuk mengadakan penyelidikan dengan menggunakan keterampilan ilmiah, dengan mengembangkan fakta dan konsep kemudian menarik kesimpulan umum. d. Metode karyawisata/widyawisata (field trip) adalah suatu teknik mempelajari sesuatu dengan memanfaatkan lingkungan nyata dalam proses pembelajaran. e. Metode pengajaran proyek adalah suatu teknik mempelajari sesuatu dengan berorientasi pada integrasi semua ilmu dan kehidupan nyata, belajar dengan bertindak atau melakukan sesuatu dan berorientasi pada proses dan produk atau hasil. f. Metode PLH lainnya yaitu metode diskusi, studi kasus, bermain peran, simulasi, cuci otak (brainstorming) (atau “curah pendapat”), dan metode kontrak belajar (metode dipilih berdasarkan kebutuhan dan waktu). 2.6.3 Perubahan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Pendidikan lingkungan yang dilakukan dari sumber (edukator) kepada penerima pesan atau seseorang yang menjadi sasaran pendidikan adalah suatu proses pencapaian tujuan komunikasi. Tujuan komunikasi yaitu terjadinya perubahan pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan perilaku (konatif). Yang dimaksud dengan pengetahuan adalah pengertian dan peningkatan keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan atau pengalaman dan sikap adalah cara untuk berpikir atau berperilaku (Oxford, 2000). Sedangkan yang dimaksud dengan 35 perilaku adalah suatu tindakan yang langsung terlihat atau dapat diamati terhadap seseorang atau kelompok (Simamora, 2004). Soemanagara (2008) mengatakan ada 3 tahapan dalam pencapaian tujuan komunikasi yaitu awareness stage (perubahan pengetahuan), interest stage (perubahan sikap), dan loyalty stage (perubahan perilaku). Tahapan pencapaian dari tujuan komunikasi pada 3 tahap ini dapat dilihat dari umpan balik yang diberikan oleh sasaran/penerima pesan. Menurut Kussusanti (2009), pada tahap perubahan pengetahuan umpan balik yang diberikan berupa respon dari seseorang yang tidak tahu menjadi tahu (efek kognitif), pada tahap perubahan sikap umpan balik yang diberikan berupa umpan balik setuju atau tidak setuju atas pendapat atau ide yang disampaikan (efek afektif); dan pada tahap perubahan perilaku umpan balik yang diberikan yaitu dengan bertingkah laku sebagaimana yang di inginkan atau bahkan menolak untuk melakukan apa pun (efek konatif/behavior). Hal senada disampaikan Riswandi (2009) bahwa dampak kognitif terjadi bila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, atau dipersepsikan oleh khalayak; dampak afektif ter jadi jika pesan yang disampaikan mengubah apa yang dirasakan, disenangi atau dibenci oleh khalayak; dan dampak konatif/behavioral jika pesan yang disebarkan mendorong khalayak (target audiens) untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu. Dampak perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku dalam konteks pendidikan lingkungan: orang yang tadinya masa bodoh dengan lingkungan diharapkan akan menjadi peduli dengan lingkungannya; orang yang tadinya menjadi pemerhati pasif berubah menjadi pelaku aktif upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup; bahkan orang yang berperan dalam perusakan lingkungan hidup berubah menjadi pelaku aktif pelestarian lingkungan (Sudjoko et al.,2008).