TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Tanah Sawah Tanah sawah

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Tanah Sawah
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah,
baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija.
Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi, tetapi merupakan istilah
umum seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan dan sebagainya.Tanah sawah
dapat berasal dari tanah kering yang diairi kemudian disawahkan, atau dari tanah
rawa-rawa yang ”dikeringkan” dengan membuat saluran-saluran drainase
(Hardjowigeno et al, 2004).
Tanah sawah merupakan tanah yang memiliki ciri khas yang membedakan
dengan tanah tergenang lainnya yakni lapisan oksidasi di bawah permukaan air
akibat difusi O 2 setebal 0,8-1,0 cm, dan lapisan reduksi setebal 25-30 cm diikuti
oleh lapisan tapak bajak yang kedap air. Selain itu selama pertumbuhan tanaman
padi akan terjadi sekresi O 2 oleh akar tanaman padi yang menimbulkan
kenampakan yang khas pada tanah sawah (Lahuddin dan Mukhlis, 2006).
Karakteristik tanah dapat diamati seperti tebal horizon, tekstur, kadar
bahan organik, reaksi tanah, jenis lempung, kandungan hara tanaman dan
kemampuan mengikat air. Tanah mempunyai karakteristik yang berbeda bagi
masing-masing horizon dalam profil tanah. Kualitas tanah merupakan hasil
interaksi antara karakteristik tanah, penggunaan tanah dan keadaan lingkungan
(Darmawijaya,1997).
Menurut Greenland (1997) karakteristik utama tanah sawah yang
menentukan keberlanjutan sistem budidaya padi sawah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1.
Penggunaan tanah secara kontinue tidak menyebabkan reaksi tanah
menjadi masam. Hal ini berkaitan dengan sifat fisik, kimia tanah
tergenang, dimana penggenangan menyebabkan terjadinya konvergensi pH
tanah menuju netral.
2.
Kondisi permukaan tanah sawah memungkinkan hara tercuci lebih
cenderung tertampung kembali ke lahan bawahnya daripada keluar dari
sistem tanah
3.
Fosfor lebih mudah tersedia bagi padi sawah
4.
Populasi aktif mikroorganisme penambat nitrogen mempertahankan
oksigen organik.
Faktor penting dalam pembentukan profil tanah sawah adalah genangan air
di permukaan, penggenangan dan pengeringan yang bergantian. Proses
pembentukan tanah sawah meliputi berbagai proses, yaitu (a) proses utama berupa
pengaruh reduksi-oksidasi (redoks) yang bergantian; (b) penambahan dan
pemindahan bahan kimia atau partikel tanah; (c) perubahan sifat fisik, kimia dan
mikrobiologi tanah akibat penggenangan pada tanah kering yang disawahkan, atau
perbaikan drainase pada tanah rawa yang disawahkan (Prasetyo et al., 2004).
Peran Jerami Terhadap Tanaman Padi dan Perubahan Sifat Kimia dan
Biokimia Tanah Sawah
Pada saat panen jerami mengandung sekitar sepertiga jumlah hara N, P,
dan S dari total hara tanaman padi, sedangkan kandungan K rata-rata 89%
(berkisar antara 85 – 92%) (Tirtoutomo dan Kartaatmadja, 2001). Hasil penelitian
Duong et al. (2006) yang memberikan kompos berupa jerami pada tanaman padi
sudah memberikan pengaruh setelah 30 hari diaplikasikan. Selain itu, juga
Universitas Sumatera Utara
ditemukan dampak positif lain seperti meningkatkan ketersediaan makro dan
mikro nutrient bagi tanaman (Aguilar et al.,1997).
Terlihat pada Tabel 1 bahwa pemberian jerami selama 3 (tiga) musim tanam
secara berturut mampu memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan adanya
pemupukan SP-36 dan KCl dosis masing-masing 50 kg/ha (Arafah dan Sirappa,
2003).
Tabel 1 . Pengaruh Pemupukan P dan K pada Pemberian Jerami Selama 3 MT
pada Tanaman Padi, Mattoanging, Maros, MK 2002
Parameter
Tinggi
Tanaman
(cm)
Jumlah
Anakan
(batang)
Gabah
hampa
(%)
50 kg SP36 +
50 kg KCL/ha
90.07tn
14.17tn
127,33tn
9,79tn
23,86tn 5.22tn
50 kg SP36 +
0 kg KCL/ha
89,87
12,87
126,00
15,82
23,18
5.11
0 kg SP36 +
50 kg KCL/ha
89,17
12,53
124,33
11,48
23,38
5.04
25 kg SP36 +
25 kg KCL/ha
89,10
12,23
132,00
11,57
23,17
5.04
0 kg SP36 + 0
kg KCL/ha
(kontrol)
88,83
12,80
123,67
14,05
23,33
4.89
Perlakuan
Jumlah
Berat
Hasil
gabah/malai
1000
(t/ha)
(butir)
butir (gr)
Selama ini upaya petani dalam meningkatkan hasil gabah selalu
menggunakan pupuk buatan bahkan dalam jumlah yang cenderung meningkat
Universitas Sumatera Utara
dari musim ke musim, namun jarang sekali memperhatikan kondisi tanah dan
tempat tanaman tumbuh. Bahan organik harus ditambahkan dalam jumlah yang
cukup hingga kandungan bahan organik kembali ideal seperti semula.
Dekomposisi bahan organik dari jerami akan memperkecil volume bahan dasar
dan mineralisasinya menjadikan pupuk dan hara yang segera tersedia bagi
tanaman.
Bahan organik merupakan penyangga biologi yang mempunyai fungsi
memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, sehingga tanah dapat
menyediakan hara dalam jumlah yang berimbang dan lingkungan yang sesuai
untuk pertumbuhan tanaman. Terdapat hubungan yang linier antara kandungan Corganik tanah dengan hasil padi sawah tanpa pupuk N-anorganik (Karama et al.,
1990).
Jerami yang mengandung sekitar 40% C dan mudah dirombak secara
biologis merupakan substrat untuk pertumbuhan mikroorganisme tanah. Ketika
jerami dibenamkan ke sawah, maka dalam tanah terjadi berbagai reaksi biokimia
seperti immobilisasi, fiksasi N, dan produksi asam-asam organik.
Jerami padi yang dibenamkan pada lahan sawah awalnya mengimmobilisasi
N tersedia di tanah. Kondisi ini bersifat sementara. Proses dekomposisi jerami
selanjutnya adalah adalah melepas N (mineralisasi) yang berlangsung hingga 100
hari (Lin et al., 1980). Dengan adanya jerami sebagai sumber energi bagi
peningkatan fiksasi N secara heterotrofik dan fototropik oleh mikroba tanah lebih
aktif (Matsuguchi, 1979).
Universitas Sumatera Utara
Dekomposisi jerami dalam tanah secara anaerobik menghasilkan asam
asam lemak dan fenol yang mudah menguap (Tsutsuki, 1983). Asam-asam
organik dapat mengkhelat Al atau Fe pada tanah bereaksi masam sehingga P atau
Ca tersedia dapat ditingkatkan.
Enzim mikrobia sangat berperan pada saat pengomposan (penguraian) dan
fermentasi jerami serta bahan organik lainnya. Komponen sel ragi yang
bertanggung jawab terhadap fermentasi disebut sebagai enzim (berasal dari bahasa
Yunani yang berarti di dalam ragi). Mikroorganisme di dalam tumpukan bahan
organik tidak larut. Mikroorganisme menghasilkan enzim ekstraseluler untuk
mengurai (depolimerisasi) senyawa berukuran besar
menjadi kecil dan larut
dalam air (substrat bagi mikroba) (Fowler, 1988).
Dua sistem enzim ekstraseluler tersebut :
1)
sistem hidrolitik menghasilkan hydrolase untuk degradasi selulosa dan
hemiselulosa
2)
sistem oksidatif lignolitik untuk depolimerisasi lignin
Adapun enzim yang bekerja pada proses fermentasi jerami adalah
Selulase, Hemiselulase (xilanase), Lignin-peroksidase (LiPs), Manganeseperoksidase (MnPs) dan Laccase, Protease dan Lipase. Enzim yang dapat
menghidrolisis ikatan β(1-4) pada selulosa adalah selulase. Hidrolisis enzimatik
yang sempurna memerlukan aksi sinergis dari tiga tipe enzim ini, yaitu :
- Endo-1,4-β-D-glucanase (endoselulase, carboxymethylcellulase atau CMCase),
yang mengurai polimer selulosa secara random pada ikatan internal α-1,4glikosida untuk menghasilkan oligodekstrin dengan panjang rantai yang
bervariasi.
Universitas Sumatera Utara
- Exo-1,4-β-D-glucanase (cellobiohydrolase) yang mengurai selulosa dari ujung
pereduksi dan non pereduksi untuk menghasilkan selobiosa dan/atau glukosa.
- β–glucosidase (cellobiose), yang mengurai selobiosa untuk menghasilkan
glukosa (Ikram-ul-haq et al., 2005).
Mikroba selulolitik akan mengeluarkan enzim selulose yang dapat
menghidrolisis selulosa menjadi selobiosa yang lalu dihidrolisis kembali menjadi
D-glukosa dan akhirnya difermentasikan sehingga menghasilkan asam laktat,
etanol, CO 2 , dan amonia.
Mikroba lignolitik berperan dalam menguraikan ikatan lignoselulose
menjadi selulose dan lignin. Lignin selanjutnya akan diuraikan lagi oleh enzim
lignase menjadi derivat lignin yang lebih sederhana sehingga mampu mengikat
NH 4 ( Srinivasan dan Rele,1995).
Mikroba lipolitik akan menghasilkan enzim lipase yang berperan dalam
perombakan lemak. Untuk mendapatkan energi dari lipid, mikroba menghasilkan
enzim lipase dan esterase yang memecah ikatan ester menghasilkan gliserol dan
asam lemak. Aktivitas lipase meningkat dan menurun selama proses
pengomposan.
Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT)
Badan
Litbang
Pertanian
telah
menghasilkan
model
pendekatan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang pelaksanaannya didukung oleh
Keputusan Direktur Jenderal Tanaman Pangan Nomor 01/Kpts/HJK.310/C/I/2008
tentang Pedoman Umum Peningkatan Produksi dan Produktivitas Padi, Jagung,
Universitas Sumatera Utara
dan Kedelai melalui Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman dan
Sumberdaya Terpadu (SL-PTT) (Departemen Keuangan RI, 2008).
Pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu merupakan pendekatan
dalam upaya mengelola lahan, air, tanaman, OPT dan iklim secara terpadu
/menyeluruh /holistik dan dapat diterapkan secara lumintu (berkelanjutan). PTT
dapat diilustrasikan sebagai sistem pengelolaan yang menggabungkan berbagai
sub sistem pengelolaan, seperti sub sistem pengelolaan hara tanaman, konservasi
tanah dan air, bahan organik, organisme tanah, serta tanaman (benih, varietas,
bibit,
populasi
tanaman
dan
jarak
tanam),
pengendalian
hama
dan
penyakit/organisme pengganggu tanaman, dan sumberdaya manusia. Manfaat dan
dampaknya membantu memecahkan masalah pelandaian produktivitas padi sawah
guna meningkatkan stok beras nasional pada kondisi sumberdaya pertanian di
wilayah petani sesuai dengan masalah yang akan diatasi secara berkelanjutan
(BPTP Jawa Barat, 2009).
Penerapan PTT didasarkan pada 4 prinsip utama, yaitu:
1.
Partisipatif: artinya PTT membutuhkan partisipasi berbagai pihak, baik
fasilitator atau petugas maupun petani. Petugas mendorong partisipasi aktif
petani pelaksana dalam memilih dan menentukan teknologi yang akan
diterapkan pada lahan usaha taninya serta mendorong agar petani dapat
menguji teknologi rekomendasi tersebut sesuai dengan kondisi setempat dan
kemampuan petani melalui proses pembelajaran
Universitas Sumatera Utara
2.
Integrasi atau Terpadu: artinya PTT merupakan suatu keterpaduan
pengelolaan sumberdaya lahan, air, tanaman, organisme pengganggu tanaman
(OPT) dan iklim secara bijak untuk menjamin keberlanjutan proses produksi
3. Dinamis atau Spesifik Lokasi: artinya PTT memperhatikan kesesuaian
teknologi yang dikembangkan dengan lingkungan fisik dan sosial ekonomi
petani
4. Interaksi atau Sinergisme: artinya PTT memanfaatkan teknologi pertanian
terbaik yang dihasilkan, dimaksudkan mendapatkan efek sinergisme dari
interaksi akibat penerapan berbagai komponen teknologi PTT, baik tergolong
ke dalam teknologi dasar maupun tergolong ke dalam teknologi pilihan
(BPTP Jawa Barat, 2009).
Pengaturan Jarak Tanam
Legowo diambil dari bahasa Jawa Banyumas yang berasal dari kata lego
yang artinya luas dan dowo artinya memanjang. Baris tanaman (dua atau lebih)
dan baris kosongnya disebut satu unit legowo. Bila terdapat dua baris tanaman per
unit legowo, maka disebut legowo 2:1, kalau tiga baris tanaman per unit legowo
disebut 3:1 dan seterusnya (Abdulrachman, 2004).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara tanam legowo 2:1 memberikan
hasil gabah tertinggi sebesar 6,25 ton per hektar dan hasil gabah terendah dengan
cara tanam tegel 20 x 20 cm sebesar 5,52 ton per hektar, meningkat sebesar 18,1%
bila dibandingkan sistem tanam tegel 20 x 20 cm (Aribawa, 2005).
Tujuan cara tanam legowo adalah :
Universitas Sumatera Utara
1. Memanfaatkan sinar matahari dan hara bagi tanaman yang berada pada
bagian pinggir barisan. Semakin banyak sinar matahari yang mengenai
tanaman, maka proses fotosintesis oleh daun tanaman akan semakin tinggi
sehingga akan mendapatkan bobot buah yang lebih berat.
2. Mengurangi kemungkinan serangan hama, terutama tikus. Pada lahan yang
relatif terbuka, hama tikus kurang suka tinggal di dalamnya.
3. Menekan serangan penyakit. Pada lahan yang relatif terbuka, kelembaban
akan semakin berkurang, sehingga serangan penyakit juga akan berkurang.
4. Mempermudah pelaksanaan pemupukan dan pengendalian hama / penyakit.
5. Menambah populasi tanaman. Misal pada legowo 2 : 1, populasi tanaman
akan bertambah sekitar 30%. Bertambahnya populasi tanaman akan
memberikan harapan peningkatan produktivitas hasil (Sinar Tani, 2009).
Sistem tanam legowo 2:1 akan menjadikan semua barisan rumpun
tanaman berada pada bagian pinggir, dengan kata lain seolah-olah semua rumpun
tanaman berada di pinggir galengan, sehingga semua tanaman mendapat efek
samping (border effect), dimana tanaman yang mendapat efek samping
produksinya lebih tinggi dari yang tidak mendapat efek samping (Triny et al.,
2004). Tanaman yang mendapat efek samping, menjadikan tanaman mampu
memanfaatkan faktor-faktor tumbuh seperti cahaya matahari, air dan CO 2 dengan
lebih baik untuk pertumbuhan dan pembentukan hasil, karena kompetisi yang
terjadi relatif kecil (Harjadi, 1979).
Universitas Sumatera Utara
Download