Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 Analisa Penolakan Produk Ekspor Indonesia Rajungan (Portunus pelagicus) dan Kepiting (Scylla serrata) di Amerika Serikat Periode Tahun 2002 - 2013 Wahyu Supartono dan Putri Rakhmadhani NR Departemen Teknologi Industri Pertanian – Fakultas Teknologi Pertanian UGM Program Studi S2 Hubungan Internasional – Fakultas Ilmu Sosial dan Politik – UGM e-mail: [email protected] ABSTRAK Kepiting (Scylla serrata ) dan rajungan(Portunus pelagicus) merupakan salah satu komoditas seafoods Indonesia yang diekspor ke Amerikan Serikat, bahkan pada tahun 2012 nilai ekspor kedua hewan laut tersebut mencapai 9% dan menduduki tempat ketiga ekspor produk seafood Indonesia setelah udang dan tuna. Bahkan sekitar 60% volume ekspor kepiting dan rajungan ditujukan ke Amerika Serikat, dan produk yang diekspor sebagian besar dalam bentuk olahan (rajungan kaleng). Akan tetapi terjadi penolakan eskpor tersebut di Amerika Serikat karena tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh United States Food and Drug Adminitration (USFDA). Penolakan produk ini biasanya ditampilkan di laman FDA dan memuat informasi lengkap, nama dan alamat perusahaan, negara asal dan alasan penolakan produk tersebut. Hal ini bisa memberikan nilai negative bagi produsen dan negara, tetapi segi positifnya bisa digunakan sebagai referensi untuk perbaikan. Jumlah kasus penolakan pada periode tahun 2002 – 2013 sebanyak 381 kasus dengan 510 alasan penolakan dan didominasi chloramphenicol dan vertrudges, poisonous dan filthy. Analisa terhadap penyebab penolakan-penolakan tersebut dilakukan serta disampaikan beberapa saran untuk perbaikan agar tidak terjadi lagi. Beberapa rekomendasi yang disampaikan antara lain komitmen pekerja menjaga kualitas produk, analisa terhadap bahan yang dilarang diperkuat, penghapusan penggunaan antibiotik, maupun penerapan standardisasi produk dan spesifikasi yang memenuhi persyaratan pasar ekspor. Kata kunci: kepiting dan rajungan; penolakan produk ekspor; antibiotik ABSTRACT Crabs (Scylla serrata) and small crabs (Portunus pelagicus) are one of Indonesian seafood export commodities to United States, even in 2012 value of both commodities reached 9% of national values and stayed in third rank after shrimp and tuna fish. More than 60% of Indonesian crab export was delivered to United States and most of them were processed crabs or canned crabs. But exported product detention in United States was occurred, because they did not fulfill the requirements or prerequisite of USFDA. The information of food detention was depicted on website of FDA containing name and address of producer, origin country and reason of the detention. It has two sites, one site it would give negative image for the producers and country, but other site it gave the references for improving the products in the future. Sum of crab detention on period 2002 – 2013 was 381 cases with 510 reasons of detention which were dominated by chloramphenicol, vet-drugs, poisonous and filthy. Analysis on reasons of detention and would be given some recommendations for avoiding the detention in the future. Some points were human resources commitment on maintain product quality, enhancing analysis method on prohibited components, no antibiotic usage and implement product standardization and specification for export market. Keywords: crabs; export detention; antibiotic PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki luas lautan sebesar 70% dari luas negara keseluruhan. Potensi ini menyebabkan Indonesia memiliki lebih dari 8000 spesies ikan yang dapat menghasilkan kurang lebih 0,9 juta ton makanan laut per tahun (Putra, 2010). Selain itu Indonesia bisa mengembangkan dan membudidayakan berbagai macam ikan dan hewan laut seperti udang, kerang, maupun ikan air tawar yang semuanya merupakan komoditi ekspor. Komoditi hasil laut ini merupakan komoditi non migas yang diandalkan untuk meningkatkan perekonomian ISBN: 978-602-7998-92-6 B-28 Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 negara. Hasil laut Indonesia telah banyak diekspor ke negara-negara Cina, Jepang, Thailand, Inggris, Jerman dan Amerika Serikat. Amerika Serikat merupakan salah satu sasaran ekspor hasil laut Indonesia, bahkan pangsa pasar produk perikanan laut Indonesia di Amerika Serikat telah mencapai 22,7% disusul India 22,19% dan Ekuador sebesar 12,41% (Saputra, 2015). Pada tahun 2014 Indonesia berhasil memperoleh nilai ekspor hasil laut sebesar US$ 1,3 milyar. Amerika Serikat merupakan pangsa pasar yang besar bagi Indonesia, karena menurut US National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) 90% produk makanan laut Amerika Serikat dipenuhi oleh impor (Rizky, 2015) Kepiting (Scylla serrata) dan rajungan (Portunus pelagicus) telah menjadi komoditi andalan ekspor Indonesia ke berbagai negara di dunia. Bahkan pada tahun 2012, kedua komoditi ini menyumbangkan 9% dari total nilai ekspor perikanan Indonesia setelah ekspor udang dan ikan tuna. Dari jumlah tersebut ternyata 60% kedua produk perikanan diekspor ke Amerika Serikat. Negara ini saat ini semakin memperketat persyaratan importasi atau penerimaan produk-produk yang masuk di negara tersebut, agar warga negaranya terlindung dari berbagai ancaman kesehatan yang ditimbulkan konsumsi makanannya. Food and Drug Administration (FDA) bahkan pernah melakukan larangan impor produk perikanan laut dari berbagai negara seperti Bangladesh, Taiwan, Thailand, India dan Indonesia. Kepiting termasuk rajungan adalah salah satu komoditas yang disebutkan secara spesifik dalam statistic perikanan Indonesia yang dipublikasikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia selain komoditas udang, tuna, tongkol, dan cakalang. Penyebutan ini menunjukkan posisi penting kepiting dan rajungan dalam sektor perikanan Indonesia karena besarnya volume dan nilai ekspor yang dihasilkan serta cukup banyak masyarakat yang terlibat dalam industri kepiting dan rajungan. Laporan Fisheries Improvement Program tahun 2014 bahwa industri tersebut melibatkan sekitar 65.000 nelayan dan 13.000 tenaga pengupas kepiting dan rajungan serta ribuan tenaga kerja lainnya yang secara tidak langsung terlibat dalam industri ini. Kepiting yang diekspor Indonesia adalah kepiting bakau atau mud carb dan rajungan yang diekspor adalah blue swimming crab. Rajungan adalah nama local salah satu jenis kepiting yang banyak dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Lebih dari 50% kepiting dan rajungan diproduksi di Indonesia untuk keperluan ekspor. Negara tujuan ekspor kepiting dan rajungan Indonesia adalah ke Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, Taiwan, Uni Eropa, China dan Jepang. Data nilai ekspor produk perikanan Indonesia dari tahun 2003 – 2012 ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai Ekspor Komoditi Perikanan Indonesia (dalam 1000 US$) Tahun Udang Tuna/Tongkol Kepiting Lainnya /Rajungan 2003 850.222 213,179 91.918 146.730 2004 892.479 243.938 14.355 156.216 2005 948.130 246.303 130.905 221.553 2006 1.115.963 250.567 134.825 152.305 2007 1.029.935 304.348 179.189 177.028 2008 1.165.293 347.189 214.319 238.490 2009 1.007.481 352.300 156.993 225.904 2010 1.056.399 383.230 208.424 317.738 2011 1.309.674 498.591 262.321 349.930 2012 1.304.149 749.992 329.724 504.731 Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2012 Total 1.643.543 1.664.010 1.913.305 2.103.472 2.258.920 2.669.683 2.466.201 2.863.830 3.521.092 3.853.658 Indonesia telah menguasai pangsa pasar kepiting dan rajungan di Amerika Serikat sebesar 31% dan lebih dari 90% rajungan yang diekspor berupa rajungan kalengan. Produk olahan kepiting rajungan ini merupakan pengecualian dari produk perikanan laut lainnya seperti udang dan ikan tuna yang diekspor dalam bentuk segar. Dominasi ini dapat memacu perkembangan ekonomi Indonesia yang mengandalkan potensi alam serta produk-produknya telah diolah menjadi produk olahan kalengan yang tahan lama. Pada tahun 2008 tercatat 38 perusahaan Indonesia yang melakukan ekspor ke Amerika Serikat. ISBN: 978-602-7998-92-6 B-29 Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 Tetapi seperti produk pangan lainnya, produk olahan kepiting dan rajungan yang diekspor ke Amerika Serikat juga harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh USFDA. Produk-produk makanan dan minuman yang tidak memenuhi persyaratan akan ditolak dan diumumkan di laman milik USFDA (www.accessdata.fda.gov/scripts/importrefusals) yang memuat semua informasi tentang nama produk, produsen, negara asal dan alasan penolak produk. Informasi ini akan mempengaruhi citra dan pemasaran perusahaan dan negara pengekspor produk makanan dan minuman ke Amerika Serikat. Indonesia yang merupakan pemasok terbesar kedua pasar kepiting dan rajungan di dunia, setelah China, mengalami penurunan pangsa pasar dari 17,1% menjadi 16,3%. Sedangkan negara pemasok lainnya sepertiVietnam, Korea Selatan, Venezuela, India dan Meksiko mengalami peningkatan pangsa pasar (Natalia dan Nurozy, 2012). Hambatan non tariff seperti standardisasi produk yang semakin ketat serta rencana penerapan ecolabel terhadap rajungan dan kepiting di Amerika Serikat merupakan tantangan tersendiri bagi produsen kepiting dan rajungan Indonesia. Oleh sebab itu focus tulisan ini adalah memberikan gambaran tentang potensi kepiting dan rajunagn Indonesia di Amerika Serikat dan alasan penolakan produk tersebut serta bagaimana menyelesaikannya. PEMBAHASAN Daya saing produk perikanan laut Indonesia perlu ditingkatkan secara efektif. Oleh sebab itu diperlukan informasi mengenai hal-hal apa saja yang harus diperhatikan agar produk tersebut mampu bersaing dengan produk sejenis di pasaran internasional. Porter (1990) menyatakan bahwa daya saing negara adalah country’s share of world markets of its product serta menjelaskan bahwa sejumlah faktor kunci dapat mempengaruhi daya saing suatu negara, antara lain: a. Faktor kondisi, yang meliputi bebagai factor produksi seperti tenaga kerja terampil, infrastruktur, sumber daya alam, dll. b. Faktor permintaan atau tingkat kepuasan konsumen. Suatu negara akan memiliki keunggulan daya saing apabila dapat memberikan tingkat kepuasan konsumen lebih baik dibandingkan pesaingnya. c. Keberadaan industry terkait dengan industry pendukung. d. Kondisi iklim usaha dan persaingan local pada suatu negara yang akan menentukan strategi dan inovasi dari perusahaan-perusahaan yang ada. Dalam perdagangan internasional ada dua macam kebijakan yaitu hambatan tarif (tarif barier) dan hambatan non tarif (non tarif barrier). Hambatan tarif adalah kebijakan yang secara langsung dapat mempengaruhi variable harga seperti, bea impor, pajak ekspor dan subsidi. Sedangkan hambatan non tarif merupakan kebijakan yang langsung dikaitkan dengan kuantitas serta meliputi pembatasan jumlah ekspor, pembatasan impor dan larangan impor. Kebijakan yang diambil oleh suatu negara pasti akan menimbulkan dampak bagi negara lain yang bertindak sebagai pengekspor maupun pengimpor. Biasanya negara tujuan ekspor mengembangkan prosedur monitoring, pengujian dan pemeriksaan yang digunakan untuk menjamin produk yang masuk telah memenuhi standar yang ditetapkan. Apabila produk telah memenuhi persyaratan standar maka akan diberikan sertifikat. Disamping persyaratan teknis yang wajib dipenuhi (regulasi teknis) ditetapkan pula persyaratan tambahan dari masing-masing negara yang bersifat sukarela atau voluntary. Beberapa persyaratan untuk produk perikanan yang bersifat sukarela antara lain: a. Marine Stewardship Council (MSC). Persyaratan ini focus pada isu lingkungan seperti chain of custody produk perikanan dan fisheries management. MSC merupakan sertifikat ecolabel internasional dan mulai dipersyaratkan oleh beberapa importer di Amerika Serikat, Jepang dan Australia. b. Aquaculture Certification Council (ASC). Persyaratan ini focus pada parktek budidaya perikanan yang baik mencakup aspek teknis, lingkungan dan social. c. International Organization for Standardization (ISO). Persyaratan yangbisa digunakan dalam produk perikanan adalah ISO 9001, ISO 14000 dan ISO 22000. d. British Retail Consortium (BRC). Persyaratan ini focus pada keamanan pangan produk, pengemasan, penyimpanan dan distribusi. ISBN: 978-602-7998-92-6 B-30 Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 Sebaiknya produk kepiting dan rajungan serta produk perikanan Indonesia juga memiliki sertifikat yang sesuai dengan tujuan ekspor, agar kepastian mendapatkan konsumen negara tujuan semakin tinggi. Akan tetapi sampai sat ini belum ada produk perikanan Indonesia yang mendapatkan sertifikat MSC, sedangkan Maladewa dan Vietnam telah mendapatkan sertifikasi MSC untuk produk cakalang yang dipancing dengan pancing serta produk kerang hasil tangkapan dari laut. Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia telah mengajukan sertifikasi MSCpada tahun 2010 untuk produk cakalang, rajungan, kerapu, kakap big eye dan tuna yellow fin sejak tahun 2010, tetapi sampai saat ini masih belum mendapatkan jawaban dan dilakukan verifikasi. Sebagai negara tujuan ekspor kepiting dan rajungan, Amerika memberlakukan persyaratan yang ketat karena kebutuhan pasar sangat tergantung dri impor dari negara produsen. Pada periode 2002-2013 volume dan nilai impor kepiting dan rajungan segar ke Amerika Serikat mengalami penurunan, sedangkan untuk produk olahannya mengalami kenaikan. Jumlah kasus penolakan produk kepiting dan rajungan dalam periode 2002-2013 sebanyak 381 kasus dengan 510 alasan penolakan. Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian mutu dan pencapaian standar yang ditetapkan oleh USFDA masih sangat rendah. Penolakan produk perikanan Indonesia oleh USFDA biasanya disebabkan oleh kontaminasi kotoran fisik (filthy) dan ditemukannya bakteri Salmonella sp di atas ambang batas yang ditetapkan.Tetapi produk kepiting dan rajungan Indonesia yang ditolak oleh USFDA disebabkan oleh adanya chloramphenicol (171 kasus); vetrudges (138 kasus), poisonous (88 kasus) dan filthy (77 kasus). Kasus-kasus tersebut merupakan kasus yang berhubungan erat dengan keamanan pangan (food safety). Lebih lanjut kasus yang sering menimpa para produsen adalah adanya chloramp, vetdruges, poisonous, filthy, unsafe add, unsafe col, salmonella, listeria, bacteria, nitrofuran, insanitary, misbranding dan off-odor. Sampai saat ini chloramphenicol masih merupakan ancaman tertinggi bagi produk kepiting dan rajungan Indonesia. Zat ini merupakan antibiotik dengan spectrum penggunaan yang luas dalam membunuh bakteri. Larangan penggunaan zat ini disebabkan oleh sifatnya yang tidak mudah diurai oleh tubuh, serta asupan dalam tubuh dalam waktu lama akan meninggalkan deposit yang berlebih bagi tubuh dan bersifat toksik.Salah satu efek negative adanya chloramphenicol dalam tubuh adalah kelainan aplastic anemia. Ini merupakan penyakit yang disebabkan oleh penurunan produksi sel darah merah pada sumsum tulang belakang (Nehaus et al, 2002). Chloramphenicol atau juga dikenal sebagai chloromycetin merupakan antibiotic yang diisolasi dari bakteri Streptomyces venezuelae pada tahun 1940an dan selanjutnya diproduksi secara sintetis. Antibiotik ini memiliki spectrum yang luas dalam penggunaannya. Sedangkan prinsip kerjanya adalah mematikan bakteri dengan mengganggu proses sintesis proteinnya. Antibiotik ini juga beracun bagi manusia karena gugus dichloride carbon alfa yang berikatan dengan gugus karbonil. Gugus karbon ini akan mengalami pergantian dengan nukleotida yang terdapat dalam protein sehingga mempengaruhi proses sintesis protein (Roybal, 1998). Residu chloramphenicol yang terdapat pada daging hewan yang dikonsumsi oleh manusia dikawatirkan akan menyebabkan kematian pada penderita anemia yang berlanjut ke leukemia, dan juga dapat menyebabkan neuritis perifer dan neuritis optic. Antibiotik ini juga disinyalir merupakan penyebab Gray Baby Sindrome atau gejala bayi berwarna abu-abu, perut kembung, suhu tubuh rendah, susah bernafas, kulit pucat dan demam (Saparinto, 2002). Penggunaan antibiotik dan obat-obatan untuk hewan biasanya digunakan pada tahapan budidaya atau diberikan pada saat penyimpanan untuk mengurangi serangan mikrobia atau bakteri yang dapat menimbulkan penyakit pada kepiting dan rajungan tersebut. Apabila hal tersebut dapat dikertahui di lapangan, maka para nelayan seharusnya diedukasi bagaimana memperoleh kedua jenis hewan laut tersebut dalam kondisi sehat dan dapat dijaga kesehatan dan kesegarannya sampai pada proses pengolahan dan pengalengan. Terdeteksinya antibiotik pada produk olahan mengindikasikan bahwa antibiotik tidak dapat dihilangkan dengan mudah dengan tahapan-tahapan proses yang dilakukan saat ini. ISBN: 978-602-7998-92-6 B-31 Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 KESIMPULAN Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kepiting dan rajungan Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai komoditi ekspor non migas, karena telah memiliki pangsa pasar yang bagus di pasaran dunia. 2. Masih ditemukan kasus-kasus penolakan ekspor kepiting dan rajungan ke Amerika Serikat oleh USFDA dengan mayoritas alasan adalah terdeteksinya chloramphenicol, vetdruges, poisionous dan filthy pada produk olahan. 3. Bahaya residu antibiotik pada produk olahan kepiting dan rajungan bisa dirasakan pada manusia yang mengkonsumsinya dengan dosis tertentu. Selain itu juga disampaikan beberapa rekomendasi yang dapat mengurangi atau menghilangkan produk olahan kepiting dan rajungan yang ditolak di pasar internasional, antara lain dengan: 1. Diperlukannya komitmen tinggi dari para pekerja untuk menjaga kualitas produk kepiting dan rajungan. 2. Memperkuat metoda analisa residu antibiotik dan bahan terlarang lainnya pada tahapan proses yang dilakukan. 3. Apabila dimungkinkan bisa dilakukan larangan atau penghapusan penggunaan antibiotik dan bahan terlarang lainnya. 4. Penerapan standard dan spesifikasi produk kepiting dan rajungan yang memenuhi persyaratan perdagangan internasional. DAFTAR PUSTAKA Putra, D.Y. 2002. Peran Sektor Perikanan dalam Perekonomian dan Penyerapan Tenaga Kerja di Indonesia: Analisis Inpuit-Output. Artikel. Program Pascasarjana Universitas Andalas. Direktorat Pemasaran Luar Negeri. 2012. Statistik Ekspor Hasil Perikanan Menurut Komoditi, Provinsi dan Asal Pelabuhan Ekspor 2012. Pusat Data Statistik dan Informasi, Sekretariat Jendral Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Natalia, D dan Nurozy. 2002. Kinerja Daya Saing Produk Perikanan Indonesia di Pasar Global. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan 6 (1) Neuhaus, B.K; J.A. Hurlburt; W. Hammack. 2002. LC/MS/MS Analysis of Chloramphinecol in Shrimp. Laboratory Information Buletin No. 4290 (www.cfsan.fda.gov/-frf/lib4290.html) Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. Harvard Business Review. Pramod, G; K. Nakamura; T.J. Pitcher; L. Delagan. 2014. Estimates of Illegal and unreported fish in seafood imports to the USA. Marine Policy 48:102-113. Rizky, J. 2015. Hasil Udang Indonesia Membanjiri Pasar Amerika Serikat. Gatra News (daring) 18 Maret 2015. (www.gatra.com/ekonomi-1/perdagangan/138747-hasil-udang-indonesia-banjiri-pasar-as) Roybal, J.E. 1998. Chloramphinecol and Related Drugs. Dalam Turnipseed, S.B and A.R. Long (ed). Analytical Procedures for Drugs Residues in Food of Animal Origin. Science Technology System. Sacramento (CA). Saparinto, C. 2002. www.suaramerdeka.com/harian/0209/14/ragam.html ISBN: 978-602-7998-92-6 B-32