tinjauan tentang perkembangan penelitian

advertisement
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXII, Nomor 4, 1997 : 1 - 12
ISSN 0216-1877
TINJAUAN TENTANG PERKEMBANGAN PENELITIAN
BUDIDAYA RAJUNGAN (PORTUNUS PELAGICUS)
Oleh
Sri Juwana 1)
ABSTRACT
A REVIEW ON THE DEVELOPMENT OF RESEARCH OF THE BLUE
SWIMMING CRAB (PORTUNUS PELAGICUS) CULTURE. Blue swimming crab,
Portunus pelagicus, is a good candidate for culture species from the point of view
of its economical and its biological aspect. Technique of massculture of the crab
seed has been established at the Research and Development Centre for
Oceanology -LIPI, Jakarta. Growing of the juvenile crabs are considered more
convenient to be conducted on the coastal waters. Beside of this growing of the
crab can be conducted by artificial sea grasses. In order to realize the crab as export
commodity resulted from cultivation efforts there is a number of research activities
being done at RDCO-UPI, Jakarta in the research periode of 1994 to 1999. That is
: (1) investigation on the optimum condition for culturing each step of the crab
development; (2) as well as its study on the optimal diet by using formulated diet;
(3) study on the releasing of the crab seed to natural environment; and (4) study on
the processing after harvesting.
PENDAHULUAN
fauna yang beraneka ragam bentuk serta
jenisnya. Diantara hewan-hewan laut terdapat
beberapa jenis udang dan kepiting yang
beraneka ragam bentuk serta jenisnya.
Diantara hewan-hewan laut terdapat beberapa
jenis udang dan kepiting yang bernilai
ekonomis penting. Rajungan merpakan satu
jenis dari kepiting suku Portunidae yang
mempunyai anggota banyak jenis dan dapat
dimakan. Nama rajungan umumnya dipakai
untuk jenis Portunus pelagicus (LINANEUS)
Indonesia merupakan negara kepulauan, dua pertiga dari seluruh wilayah Indonesia merapakan perairan laut. Oleh karena itu,
Indonesia dengan garis pantai sepanjang 81000
km dan mempunyai banyak teluk-teluk dan
goba-goba memungkinkan banyak kesempatan
untuk membuka usaha budidaya laut. Wilayah
perairan laut Indonesia yang sangat luas
memiliki banyak kekayaan hayati, flora dan
1
Oseana, Volume XXII no. 4, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
dan nama kepiting untuk jenis Scylla serrata
(FORSKAL). Kedua jenis ini termasuk yang
umum diperdagangkan. Sedangkan jenis-jenis
kepiting Portunidae yang lain sudah jarang
diketemukan di pasar-pasar (MOOSA 1980).
Menurut BUSINESS NEWS (1989)
ekspor kepiting Indonesia ditujukan ke
berbagai negara dalam berbagai bentuk olahan.
Kepiting hidup terbanyak di ekspor ke
Singapura, Taiwan, Hongkong dan Malaysia.
Kepiting segar (hanya di es) di ekspor ke
Singapura termasuk dalam hal ini rajungan
segar. rajungan beku di ekspor ke Jepang,
sedang kepiting beku di ekspor ke Inggris.
Daging kepiting beku telah di ekspor ke
Singapura dan Belgia. Kepiting dalam kaleng
di ekspor ke Belanda. Basis pemasaran ekspor
kepiting Indonesia cukup luas dan melebar
mulai dari Asia sampai Eropa dengan berbagai
jenis produk yang juga sangat bervariasi.
Beberapa pengusaha pengalengan saat ini
mulai mengembangkan komoditi ini untuk
diekspor ke Eropa dan Amerika. bahkan
"Philips Seafoods Indonesia Inc" berdomisili
di Pemalang khususnya menangani
pengalengan daging rajungan, P. pelagicus,
untuk memenuhi permintaan Amerika (personal komunikasi).
Komoditas ekspor ini masih merupakan
hasil tangkapan dari laut. Meskipun menurut
statistikperikanan Indonesia (DIREKTORAT
JENDERAL PERIKANAN 1994), dari tahun
1984 diperoleh kepiting dan rajungan yang
merupakan produksi perikanan budidaya
tambak disamping hasil tangkapan dari laut.
Bahkan rajungan dari hasil tambak pada
tahun 1991 pernah mencapai 70 ton, tetapi
menjadi tak ada pada tahun 1992.
Tulisan ini merupakan tinjauan aspek
biologi, ekologi dan fisiologi budidaya
rajungan; permasalahan-permasalahan yang
dihadapi dalam penelitian budidaya; dan dasar
pemikiran tindak lanjut untuk mewujudkan
rajungan hasil budidaya sebagai komoditas
ekspor.
RAJUNGAN SEBAGAI JENIS UNTUK
BUDIDAYA
Disamping nilai ekonomisnya yang
tinggi sebagai komoditas ekspor, rajungan
merupakan jenis yang baik untuk dibudidayakan karena beberapa alasan berikut
dibawah ini.
2
Oseana, Volume XXII no. 4, 1997
1.
Distribusi rajungan luas yakni dari
daerah tropis hingga ke daerah yang
beriklim dingin (DELSMAN & DE
MAN 1925). Hal ini menunjukkan
bahwa rajungan dapat beradaptasi pada
kisaran suhu dan salinitas yang luas.
Bahkan pada suhu 35°C dengan
salinitas 43%o masih banyak terdapat
rajungan di Teluk Palk, India
(PRASAD
&
TAMPI
dalam
ROMIMOHTARTO 1979). Di Jepang
burayak rajungan (Neptunus pelagicus)
di alam berkembang pada suhu di atas
18°C (YATSUZUKA 1962). Menurut
POTTER et al (1983) P. pelagicus
lebih suka di salinitas 30 - 40 %o.
2.
Rajungan memijah sepanjang tahun,
sehingga tersedia induk rajungan
bertelur setiap saat sebagai percobaan
maupun usaha budidaya (ROMI
MOHTARTO 1979). Meskipun puncak
pemijahan mungkin berbeda tergantung
pada letak geografisnya (DELSMAN
& DE MAN 1925, TORO 1981,
YATSUZUKA 1962).
3.
Fekunditas rajungan sangat tinggi dapat
mencapai lebih dari satu juta telur per
induk. Di alam kondisi biologis ini
merupakan keseimbangan terhadap
kehilangan yang sangat besar selama
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
mempengaruhi pertumbuhan rajungan
di alam (JUWANA 1996a).
kehidupan burayak yang panjang.
Tetapi bagi usaha budidaya hal ini
merupakan suatu potensi yang cukup
besar bagi produksi bibit atau benih
rajungan (ROMIMOHTARTO 1979).
PERMASALAHAN DAN
KEBERHASILAN BUDIDAYA
RAJUNGAN
4. Habitat rajungan dapat dikatakan
beraneka ragam, dimulai dari daerah
pantai dengan dasar pasir bercampur
dengan rumput-rumput laut di pulaupulau karang dan juga di laut-laut
terbuka. Rajungan juga terdapat
didaerah bakau, ditambak-tambak air
payau yang berdekatan dengan air
laut. Rajungan sering terlihat berenang
dekat permukaan dan dapat ditemukan
pada kedalaman kurang dari 1 meter
sampai kedalaman lebih dari 65 meter.
Dalam kehidupan di alam, rajungan
sering bersama-sama binatang lain serta
hidup bebas didasar laut (MOOSA
1980).
Keadaan
ini
sangat
menguntungkan karena area tebar bagi
benih rajungan hasil budidaya berarti
mudah diketemukan, juga ada
kemungkinan untuk mengusahakan
pembesaran
rajungan
yang
menggunakan sistim polikultur
PRASAD & TAMPI (dalam
ROMIMOHTARTO 1979) memperoleh bukti bahwa rajungan
memisahkan diri menurut ukuran dan
kelamin. Menurut pengamatan penulis
dalam usaha mengumpulkan induk
rajungan bertelur dari perairan Teluk
Jakarta, rajungan berkuran lebih kecil
diperoleh dari perairan dekat pantai,
sedang yang berukuran lebih besar
diperoleh dari perairan jernih jauh dari
pantai. Penulis berpendapat bahwa
kondisi perairan yang berbeda
berpengaruh terhadap persediaan
mangsa bagi rajungan, sehingga
Rajungan dalam daur hidupnya melalui
fase telur burayak dan pasca-burayak yang
telah menyerupai induknya. Telur rajungan
menetas sebagai Zoea I yang berkembang
melalui Zoea II, Zoea III dan Zoea IV.
Kemudian bermetamorfosa menjadi Megalopa
yang merupakan tingkat akhir perkembangan
burayak. Selanjutnya tingkat perkembangan
pasca-burayak diawali dengan Crab I yang
memerlukan molting (berganti kulit) untuk
menjadi besar sampai dewasa.
YATSUZUKA
(1962)
telah
memelihara delapan species Brachyura
sehingga dapat menyatakan bahwa rajungan
adalah karnivora maka tak mungkin dipelihara
dengan fitoplankton. Pakan hidup yang
dianjurkan untuk pemeliharaan Zoea rajungan
adalah burayak tiram (Ostrea gigas), burayak
teritip (Balanus amphitrite albicostate) dan
nauplius Anemia salina.
Sedangkan
JUWANA
(1984)
mengamati morfologi alat-alat penangkap
mangsa pada burayak rajungan (Portunus
pelagicus) dan menyarankan bahwa dalam
pemeliharaan burayak rajungan, makanan yang
dapat diberikan pada tingkat perkembangan
Zoea adalah zooplankton yang lebih lemah
dari Zoae rajungan, supaya mudah ditangkap;
berukuran lebih kecil dari lubang mulut Zoea
sehingga secara utuh dapat ditangkap oleh
bagian-bagian mulut dan didorong masuk
kedalam mulut serta mempunyai tekstur yang
mudah dikunyah. Bagi tingkat perkembangan
Megalopa dapat dipelihara dengan pakan
hidup tersebut ditambah pakan yang
mempunyai tekstur lebih padat. Mengenai
ukuran makanan yang lebih besar dari rongga
3
Oseana, Volume XXII no. 4, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
mulut atau bahkan lebih besar dari tubuhnya
tidak merupakan masalah karena Megalopa
telah dapat memegang mangsa, mengkoyakkoyak dan memakannya. Tentu saja untuk
memperkecil mortalitas burayak sebaiknya
diberikan mangsa yang lebih lemah.
Mengingat bahwa megalopa bersifat kanibal
maka harus diberi porsi makanan yang cukup
atau agak berlebih supaya tidak ada
kecenderungan memakan sesamanya.
Bentuk dewasa rajungan merupakan
karnivora dasar perairan yang dapat
memangsa berbagai jenis hewan-hewan
bentik dan invertebrata yang bergerak
lamban. Misalnya berbagai jenis gastropoda,
moluska, krustasea, polikhaeta, ophiuroidea,
juga foraminifera, organik detritus dan algae
(WILLIAMS 1982).
Sukses pemeliharaan burayak
Brachyura yang paling awal diperoleh
mungkin sekitar tahun 1920 an, yaitu
LEBOUR (1928) berhasil memelihara
beberapa jenis Brachyura di Plymouth
(Inggris) dan membuat pertelaannya.
Keberhasilan tersebut tercapai karena pada
saat yang sama di laboratorium juga sedang
dipelihara tiram, moluska dan polikhaeta.
Sehingga burayak hewan-hewan tersebut
tersedia sebagai pakan hidup burayak
Brachyura (RICE and WILLIAMSON
1970).
Menyediakan pakan hidup dalam
jumlah besar untuk pemeliharaan burayak
rajungan merupakan suatu usaha budidaya
tersendiri yang tentunya juga mempunyai
permasalah-permasalahan yang harus
ditanggulangi. Oleh karena itu nauplii Anemia
sebagai hasil tetas telur Anemia yang
dipasarkan dalam kista (telur kering) dalam
kaleng, merupakan makanan yang tepat untuk
berbagai species krustasea dan ikan berasal
dari laut maupun dari air tawar.
Telur Anemia di Indonesia merupakan produk
impor. Penelitian peneluran ulang dan
pembentukan kista kembali telah dilakukan
di Indonesia (DAULAY & SUHARTO 1982).
Tetapi produksi secara komersial belum
nampak.
Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta
telah berhasil memproduksi benih rajungan
siap tebar secara massal di laboratorium
dalam skala 800 liter. Dari penelitian tersebut
telah diperoleh petunjuk teknik produksi benih
rajungan siap tebar secara massal. Tetapi dilihat dari biaya pakan perbenih, benih rajungan
sangat mahal bila dibandingkan dengan benih
udang. Untuk usaha produksi benih udang
saat ini telah bermunculan produk-produk
pakan buatan dipasaran bebas, sehingga
penggunaan nauplii Anemia relatif sedikit
(20 - 30 nauplii/liter), bila dibandingkan
dengan keperluan usaha pembenihan rajungan,
yaitu 5000 - 1000 nauplii/liter (JUWANA
1995a).
Kemudian peningkatan kuantitas
maupun kualitas benih rajungan siap tebar,
Crab III dan Crab IV, diperoleh dalam
penelitian berikutnya dengan penambahan
substrat berupa untaian-untaian serabut plastik
pada saat Zoea telah bermetamorfosa menjadi
Megalopa. Substrat ini disamping berfungsi
sebagai pelindung Megalopa yang saling
memangsa, juga bersifat memperluas
permukaan area pemeliharaan. Sedangkan
macam pakan yang diberikan adalah dapat
tenggelam dan mengapung, yaitu berupa
cacahan daging kerang hijau dan rebon kering
(JUWANA 1995b).
TINDAK LANJUT PENELITIAN
BUDIDAYA RAJUNGAN
Keberhasilan Puslitbang OseanologiLIPI dalam pemeliharaan massal burayak
4
Oseana, Volume XXII no. 4, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
rajungan dan produksi massal benih rajungan
siap tebar (Crab III & IV) memberikan
peluang yang luas bagi pe.aksanaan tahapantahapan penelitian selanjutnya. Karena
meyakinkan bahwa hewan uji dari tingkat
perkembangan burayak sampai pasca-burayak
rajungan dapat disediakan di laboratorium.
Tahapan-tahapan penelitian yang akan
dilakukan selanjutnya berdasarkan pada
pemikiran nilai ekonomis dari hasil budidaya
rajungan. Misalnya menetapkan kondisi
lingkungan yang optimum bagi pertumbuhan
burayak rajungan dan menggunakan pakan
yang relatif murah sehingga diperoleh hasil
optimum benih rajungan dengan menekan
biaya produksi. Kemudian penelitian proses
pasca panen yang dapat meningkatkan nilai
ekonomis rajungan sebagai bahan makanan
domestik (sea food) maupun komoditas ekspor
dari hasil budidaya.
Maka tahapan penelitian yang perlu
dilakukan dari tahun ke tahun dapat meliputi
aspek biologi, ekologi, fisiologi, biokimia,
yang antara lain meliputi : (1) penetapan
kondisi lingkungan optimum dan sistim
budidaya untuk rajungan; (2) penggunaan
pakan buatan dalam budidaya rajungan; (3)
penelitian penebaran benih rajungan kembali
ke alam; dan (4) penelitian proses pascapanen.
Kondisi Lingkungan Optimum dan Sistim
Budidaya Rajungan
Selanjutnya pengetahuan mengenai
biologi dan fisiologi rajungan sangat
diperlukan dalam budidaya agar dapat
diciptakan kondisi lingkungan yang paling
menguntungkan
bagi
keseragaman
pertumbuhan setiap tingkat perkembangan
dan diberi pakan yang sesuai untuk
memperoleh hasil yang optimum. Pengeluaran
ekskresi akan berkurang. Ekskresi nitrogen
Oseana, Volume XXII no. 4, 1997
terutama tergantung pada salinitas medium
dimana hewan dibudidaya, juga tergantung
pada komposisi pakan yang diberikan
(CECCALDI 1982).
Rajungan memerlukan molting untuk
tumbuh ke tingkat perkembangan selanjutnya.
Pada suhu yang relatif tinggi, interval molting
terjadi lebih pendek. Berarti pertumbuhan
rajungan lebih cepat dan keseragaman ukuran
tercapai. Pada budidaya secara intensif,
pengaturan salinitas dan suhu optimum bagi
setiap tingkat perkembangan burayak di bakbak pemeliharaan akan meningkatkan kelulushidupan burayak.
Karena proses pembesaran benih
rajungan menjadi rajungan dewasa
memerlukan waktu berbulan-bulan. Hal ini
akan menjadi tidak menguntungkan bila
dikerjakan di hatchery. Sehingga penetapan
salinitas dan suhu optimum bagi setiap tingkat
perkembangan burayak diperlukan untuk
mengembangkan teknik pemeliharaan massal
bagi produksi benih rajungan skala industri
dengan kondisi lingkungan yang terkontrol.
Selanjutnya pembesaran benih rajungan
dilakukan di alam dengan kondisi lingkungan
yang sesuai bagi pertumbuhannya. Meskipun
molting akan lebih kerap terjadi pada suhu
tinggi, suhu optimum untuk kejadian ini
belum tentu terletak pada kisaran suhu tinggi
(CADMAN & WEINSTEIN 1988).
Hasil penelitian yang baru-baru ini
diperoleh menunjukkan bahwa suhu optimum
untuk pemeliharaan Zoea rajungan adalah
30°C dalam kkisaran suhu 28-32°C.
Sedangkan suhu optimum untuk Megalopa
rajungan adalah 28-34°C (JUWANA 1998).
Pada saat bakteri patogen Aeromonas dan
Pseudomonas mengkontaminasi bak-bak
budidaya, produksi benih rajungan (Crab III)
yang diperoleh pada salinitas 26-27‰ jauh
lebih tinggi dibanding dengan yang diperoleh
pada salinitas 33-34‰ (JUWANA 1997a).
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Penggunaan
Pakan
Budidaya Rajungan
Buatan
Dalam
Pembuatan pakan buatan berbentuk pellet
merupakan cara yang paling populer untuk
produksi komersial, sebab mempunyai
keuntungan tehnologi dan ekonomis (LOVEL
1989). Idealnya suatu pakan tidak harus
disimpan dalam refrigerator sehingga mudah
dipasarkan. Maka penulis berpendapat pellet
kering merupakan pilihan terbaik bagi usaha
pembesaran benih rajungan didaerah dimana
sumber pakan sukar didapat. Sifat akhir
pellet tergantung pada variabel dalam proses
produksinya. Sehingga standarisasi prosesing
identifikasi bahan dan komposisi diet secara
hati-hati sangat diperlukan (CASTELL et al.
1989, FLORES & MARTINEZ 1993).
Penerimaan optimum suatu pakan buatan
akan menghasilkan pertumbuhan terbaik species dalam waktu yang terpendek. Sukses
suatu pakan tergantung pada nilai nutrisi,
ukuran partikel, stabilitas air dan daya tarik
rasa (KANAZAWA 1979, LOVEL 1989).
Pakan buatan untuk budidaya rajungan
diharapkan dapat berperan sebagai pakan
pengganti atau tambahan bagi nauplii Artemia,
pada saat pemeliharaan burayak. Kemudian
merupakan pakan tambahan atau pakan utama
pada pembesaran benih rajungan. Pakan
buatan ini diharapkan berperan dalam memacu
perkembangan dan pertumbuhan, mencegah
penyakit kekurangan gizi, mengembangkan
dan menjaga ketahanan tubuh terhadap infeksi
dari berbagai penyakit dan mencegah
terjadinya gejala-gejala sampingan yang antara
lain adalah kanibalisme dan angka kematian
yang tinggi. Sasaran utama dalam memberikan
suatu diet berformula yang dapat memacu
perkembangan rajungan sampai ukuran jual
dalam waktu yang relatif lebih pendek dengan
menggunakan biaya paling murah, tanpa
mengubah bau dan rasa dari rajungan sehingga
dapat diterima manusia sebagai konsumen
terakhir.
Menurut YONE & FUJII (1975) untuk
memelihara hewan-hewan laut diperlukan
asam lemak tak jenuh (HUFA: Highly Unsaturated Fatty Acids) seperti 20 : 5 w 3 dan 22
: 6 w 3 di dalam makanan untuk mereka.
Meskipun WATANABE et al. (1983)
mengembangkan
methode
untuk
meningkatkan nilai nutrisi Artemia dengan
menggunakan lipid yang mengandung w 3
HUFA secara langsung, cara ini dianggap
mempunyai resiko teknis. Bila pencucian
nauplii Artemia yang diperkaya dengan lipid
kurang maka akan menyebabkan lapisan
minyak dipermukaan air atau bahkan
merupakan emulsi dalam air budidaya, yang
dapat menyebabkan gangguan respirasi pada
burayak.
Pada hal penetasan kista Artemia pada
suhu air tinggi akan menyebabkan nauplii
Artemia berkembang ketingkat II dalam
beberapa jam, sehingga mengalami kehilangan
cadangan energi dan nilai nutrisinya sekitar
30‰. Hal ini akan menyebabkan kehilangan
materi bagi peternak, sebab ia harus
memberikan pakan lebih 3‰ untuk
memperoleh hasil dalam kuantitas yang sama.
Nauplii Artemia yang telah berkembang ke
tingkat II telah mempunyai usus ("tractus
digestivus") sehingga dapat diberi makan
untuk meningkatkan nilai nutrisinya
(SORGELOOS & LEGER 1992).
JUWANA (1989) telah membudidayakan nauplii Artemia dalam
fitoplankton laut (Tetraselmis hazeni) dan
memperoleh kelulus-hidupan yang tinggi pada
pemeliharaan burayak Brachyura, Carcinus
maenas dengan produksi Megalopa tertinggi
mencapai 46%. Tetapi budidaya massal
fitoplankton membutuhkan lahan luas dan
dapat merupakan sarana transmisi bakteri
patogen.
6
Oseana, Volume XXII no. 4, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Menurut HARRISON (1990) diet
induk krustasea ("brood stock") yang bernilai
ekonomis tinggi hams termasuk kapasitas
untuk mendukung: (1) pematangan seksual
("sexual maturation"); (2) meningkatkan
fertilitas dan kejadian molting; dan (3)
meningkatkan fekunditas dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas telur dan
kesanggupan hidup burayak yang baru
dilahirkan. Meskipun rajungan dapat kawin
dan memijah di lingkungan buatan, pada saat
ini di Indonesia, induk rajungan bertelur di
alam dapat diketemukan sepanjang tahun.
Namun kualitas burayak yang lebih baik
dapat diperoleh dari induk rajungan yang
ditangkap di perairan bersih jauh dari pantai.
Sehingga kebutuhan penyediaan induk
rajungan pemijah di hatchery mulai terasa
diperlukan. Untuk penyediaan induk rajungan
hasil budidaya di hatchery memerlukan
fasilitas yang dapat menyediakan air laut
mengalir secara terus-menerus.
telah dilakukan di hatchery dan digunakan
untuk program "restocking". Jenis kepiting
ini juga ditemukan di perairan Cina, Taiwan
dan Korea tetapi tidak ada di Indonesia. Sifatsifat secara phisis daerah penebaran telah
dicatat sejak 1971 oleh Hiroshima Fishery
Experimental Station. Sperti misalnya :
kedalaman dan bentuk dasar laut, komposisi
substrat, curah hujan dan kekeringan,
gelombang dan salinitas air, gelombang dan
arus, sifat-sifat biologi, komposisi fauna, area
dan musim kawin untuk kepiting, distribusi
burayak dan juvenil, informasi statistik hasil
penangkapan kepiting, musim dan area
penangkapan, CPUE (catch per unit effort)
dan perkiraan sumber kepiting saat tersebut.
Sehingga disimpulkan area penebaran
langsung idealnya diberi tempat berlindung,
sedikit miring, berdasarkan pasir lumpur,
merupakan padang lamun dan tidak berarus
kuat.
Pada kondisi yang kurang ideal
dilakukan pendederan terlebih dahulu,
kemudian ditebar ketempat perlindungan
buatan. Pendederan dilakukan dengan fasilitas
tertutup di pantai (menggunakan bak semen);
fasilitas semi tertutup di pantai, menggunakan
jaring kurung dipasang mendasar,dan fasilitas
terbuka diperairan pantai yaitu menggunakan
yang disebut "mabushi" dimana serabut kinran
dicelupkan dari rakit terapung sebagai
pengganti padang lamun.
Methode untuk mengenali kembali
hasil penebaran benih P. trituberculatus secara
langsung sampai sekarang tidak ada. Oleh
karena itu digunakan analisis frekwensi
distribusi ukuran dimana benih kepiting dari
hatchery ditebar lebih awal dari kejadian atau
musim benih di alam; dan analisis pada total
hasil tangkap untuk ini. Pengaruh restocking
secara teoritis harus lebih mudah diamati
ditempat dimana "crab fishery" tidak nampak
pada awalnya (COWAN 1984).
Petnbesaran Benih Rajungan
Pembesaran benih kepiting (Crab seed)
dari jenis Scylla serrata telah dilakukan
secara polikultur dengan udang, bandeng dan
rumput laut Gracilaria di tambak, yaitu di
Taiwan dan Pilipina (COWAN 1984). Bahkan
pembesaran benih kepiting secara monokultur
di Pilipina memberikan keuntungan tertinggi
pada pemeliharaan awal 5000-10000 benih
per ha untuk ukuran benih rata-rata 25,3 gram
per individu. Sehingga peternak udang dapat
mengalokasikan bagian dari tambak mereka
untuk budidaya kepiting supaya mendapat
keuntungan yang lebih tinggi dan
meningkatkan panen mereka (AGBAYANI et
al. 1990).
Di Jepang, Portunus trituberculatus
disebut juga "gazami" merupakan jenis
kepiting Portunidae yang produksi benihnya
7
Oseana, Volume XXII no. 4, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Perairan laut Indonesia lebih luas dari
daratan, maka sebaiknya untuk pembesaran
benih rajungan dilakukan diperairan pantai,
di dalam jaring kurung mendasai. Karena
sifat rajungan yang lebih menyukai salinitas
30-40‰ dan dapat hidup di aneka ragam
habitat maka penelitian area tebar lebih leluasa
dan dapat menghindai perairan yang mudah
mendapat cemaran dari darat.
Produksi massal benih rajungan di
P.3.O-LIPI menggunakan sistim pergantian
air laut budidaya yang dilakukan pada pagi
dan sore hari (2x75%). Ransum makanan
yang diberikan adalah nauplii Anemia
ditambah dengan cacahan daging kerang hijau
dan rebon pada saat megalopa terjadi. Bahkan
pendederan benih rajungan Crab I untuk
menjadi benih rajungan siap tebar (Crab III &
IV) juga telah dapat dilakukan di laboratorium
dengan hasil kelulus hidupan yang cukup
tinggi (42-60%). Sehingga diharapkan benih
rajungan tersebut telah mempunyai ketahanan
hidup yang lebih baik bila ditebar kembali ke
alam (JUWANA 1995b).
Dalam pemeliharaan burayak rajungan
selanjutnya, pakan buatan berbentuk butiran
kering ukuran 125 mikron yang disiapkan di
laboratorium dan diberikan sebagai pakan
tambahan disamping nauplii Anemia nampak
lebih dapat memberikan kelulus-hidupan
burayak rajungan pada saat ada gangguan
bakteri patogen Aeromonas dan Psedomonas
(JUWANA 1997a).
Kemudian penebaran benih rajungan
di perairan P. Pari baik secara monokultur
(JUWANA 1996a) maupun secara polikultur
dengan bandeng (JUWANA 1997b) dalam
jangka waktu 4 (empat) bulan berhasil
mencapai produksi 1 (satu) ekor rajungan
dewasa per m2 . Dalam hal ini karena
persediaan pakan (ikan rucah) di perairan P.
Pari tidak mencukupi, maka pakan berupa
pellet diberikan. Meskipun budidaya rajungan
dari penetasan telur, pembenihan sampai
pembesarannya telah berhasil dilakukan oleh
P.3.O-LIPI, biaya pakan dianggap terlalu
tinggi untuk tingkat komersial. Sesungguhnya
teknik budidaya rajungan telah diketahui,
penelitian selanjutnya ditujukan untuk mencari
bahan pakan lokal yang murah. Atau
sebaiknya lokasi penebaran kembali benih
rajungan di alam mendekati perairan dimana
pakan berbentuk ikan rucah mudah diperoleh.
Baru-baru ini dilaporkan bahwa pembesaran
rajungan dapat dilakukan di dalam jaring
kurung mendasar dengan rumpon berupa
untaian-untaian serabut plastik sebagai
pengganti padang lamun (JUWANA 1997c).
Sistem pembesaran secara individual
dengan pakan pellet akan lebih mudah
dikontrol dan memberikan keseragaman
ukuran pada waktu panen. Maka selain
formulasi pakan buatan merupakan faktor
yang diteliti juga sistem tersebut perlu
diciptakan. Misalnya pada rakit terapung
diperairan laut (ROSAS et al. 1993) maupun
dengan sistem sirkulasi air di laboratorium
(DABRAMO et al. 1988) karena ukuran yang
seragam dan serentak akan memudahkan
perencanaan penggemukkan sebelum panen
dilakukan atau produksi "soft crab". Untuk
ini perlu diperhatikan aspek biologi rajungan
yang suka memendamkann diri dalam pasir
dan berlindung pada tumbuh-tumbuhan atau
karang. Juga kemungkinan ada pengaruh luas
ruang terhadap pertumbuhan rajungan
(WILBER & WILBER 1989,JUWANA
1996b).
Produksi rajungan molting mungkin
dapat dipercepat dengan cara ablasi mata,
karena cara ini telah banyak dipraktekkan
pada udang, lobster dan kepiting (Me VEY &
MOORE 1983; CASTELL et al. 1976;
COWAN 1984). Juga dengan pengaturan
kondisi lingkungan (suhu dan salinitas) atau
kerusakan fisis atau kerusakan fisis dengan
8
Oseana, Volume XXII no. 4, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
menghilangkan 4 pasang kaki-kaki jalannya
seperti dilakukan terhadap kepiting (LE 1992).
Cara yang paling tepat untuk mempercepat
proses molting pada rajungan mesih dalam
taraf penelitian di P.3.O-LIPI.
rajungan yang akan molting. Segera setelah
molting, rajungan yang masih lemah diambil
dan dibungkus dengan substrat yang lembab
(misal rumput laut atau kertas) dan dikirim ke
ruang pendingin ("freezer" atau "cold storage"). Dengan cara ini soft crab dapat
disimpan sebelum dipasarkan atau di ekspor.
Oleh karena itu, untuk usaha produksi rajungan
lunak perlu memperhatikan lokasi dan sarana
transportasi yang mudah mencapai tempat
pendinginan.
PROSES PASCA PANEN
Disamping keseragaman ukuran
merupakan persyaratan utama untuk proses
pasca panen juga terdapat berbagai persyaratan
yang harus dipenuhi bagi produk akhir yang
dikehendaki. Misalnya untuk pengalengan
daging rajungan persyaratan berikut ini harus
dipenuhi. Yaitu rajungan harus hidup atau
baru saja mati ketika direbus, rajungan harus
dimasak sedikitnya lima menit dalam air
mendidih. Rajungan segera dipotong-potong
dan dagingnya dikupas segera setelah direbus.
Apabila terjadi penundaan harus disimpan di
es. Pada saat pemotongan, seluruh isi perut
dan bagian-bagian mulut dibuang, kemudian
potong-potongan rajungan dicuci bersih.
Daging rajungan harus dikupas dengan wadah
dan peralatan yang bersih. Tidak ada
kontaminasi oleh lalat atau bahan-bahan lain
yang tidak diperlukan. Bagian-bagian daging
capit, kaki dan tubuh rajungan sebaiknya
telah dipisah pada saat dikupas karena
mempunyai nilai jual yang berbeda. Daging
kupas segera di bungkus untuk mencegah
kontaminasi dan segera didinginkan. Apabila
tidak dikupas dipabrik pengalengan, juga
tetap didinginkann selama pengangkutan.
Sehingga proses pengupasan daging rajungan
dapat dilakukan didekat peternakan rajungan
sebagai "cottage industry" (HOWGATE
1984). Dalam hal ini peralatan sederhana
dapat disesuaikan dengan prosedur yang benar
dan sanitasi hams diperhatikan untuk menjaga
kualitas produk (SCHULER 1984).
"Soft crab" atau rajungan lunak yang
baru molting mempunyai harga berlipat ganda
dibanding produk lainnya. Pengamatan
rajungan molting dapat dilakukan secara alami.
Yaitu setiap saat peternak rajungan mengamati
DAFTAR PUSTAKA
AGBAYANI, R.F., D.D.BALIAO, G.P.B.
SAMONTE, R.E. TUMALIUAN and
R.D.CATURAO 1990. Economic feasibility analysis of the monoculture of
mudcrab (Scylla serrata) FORSKAL.
Aquaculture 91: 223-231.
BUSINESS NEWS 1989. Kepiting, komoditas
penting tapi belum digarap serius. No.
4863. Thn XXXIII, Jakarta, 30 September.
CADMAN, L.R. and M.P. WEINSTEIN 1988.
Effects of temperature and salinity on
the growth of laboratory-reared juvenile blue crabs Callinectes sapidus
RATHBUR, J. Exp. Mar. Biol Ecol
121: 193-207.
CASTELL, J.D., J.C. HAUVIOT, and J.F.
COVEY 1976. The use of eyestalk
ablation in nutrition studies with
American Lobsters (Homarus
americanus). Proc. Seventh Ann. Meet.
World Marl Soc. : 431-437.
CASTELL, J.D., J.C. KEAN, D.G.C. Mc
CANN, A.D. BOGHEN, D.E.
CONKLIN and L.R. DABRAMO
1989. A standard reference diet for
crustacean nutrition research II. Selection of a purification procedure for
production of the rock crab Cancer
irroratus protein ingredient. Jour.
World Aqua. Soc. 20 (3): 100-106.
9
Oseana, Volume XXII no. 4, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
CECCALDI, HJ. 1982. Contribution of physiology and biochemistry to progress in
aquaculture. Bull Japan. Soc. Scie.
Fish. 48(8): 1011-1028.
COWAN, L. 1984, Crab Farming In Japan,
Taiwan And The Philippines,
Queensland Department Of Primary
Industries QI 84009: 87 pp.
D'ABRAMO, L.R., L. REED and J.M.
HEINEN 1988. Technical paper. A
culture system for nutritional studies
of crustaceans. Aquaculture 72: 379389.
DAULAY, T. dan H. H. SUHARTO 1982.
Penelitian pendahuluan kultur Anemia
salina secara terkontrol dan intensif.
Bull Pen. Perikanan 1 (2): 51-58.
DELSMAN, H. C, J.G. DE MAN 1925. On
the "radjungans" of the bay of batavia.
Treubia 6 (3-4): 308-328.
DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN
1994. Statistik Perikanan Indonesia
(Fisheries Statistic of Indonesia) 1992.
Departemen Pertanian, Jakarta.
FLORES, S.E. and S. E. V. MARTINEZ
1993. Critical operations on the manufacture of pelleted feeds for crustaceans. Aquaculture 114: 83-92.
HARRISON, K.E. 1990. The role of nutrition
in maturation, reproduction and embryonic development of decapod crustaceans: a review. Jour. Shellfish Res.
9(1): 1-28.
HOWGATE, P. 1984. The processing of crab
meat for canning. Part I. Infofish Marketing Digest 4: 48-50.
JUWANA, P. 1984. Morfologi alat-alat
penangkap mangsa pada burayak
organisms: A Scanning Electron Microscopy Study. Ph. D. Thesis. University of Newcastle Upon Tyne,
England: 161 pp.
JUWANA, S. 1995a. A pilot plant to mass
production of crab seed (Portunus
pelagicus). Proceedings Fourth LIPIJSPS Joint on Marine Science. Indonesian Institute of Sciences, Jakarta
15-18 November 1994: 115-122.
JUWANA, S. 1995b. Produksi massal benih
rajungan (Portunus pelagicus) di Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi - LIPI. Jakarta: I.
Peningkatan produksi 'Benih rajungan
siap tebar'. Proseding Kongres Ilmu
Pengetahuan Nasional (KIPNAS) VI
Jakarta 12-16 September 1995, Buku
III: 129-145.
JUWANA, S. 1996a. Hasil percobaan pertama
penebaran benih rajungan (Portunus
pelagicus) di perairan Pulau Pari,
Kepulauan Seribu. Dalam :
Inventarisasi dan Evaluasi Lingkungan
Pesisir. Oseanolografi, Geologi, Biologi
dan Ekologi (D.P.PRASENO et al.
eds.).
Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan Oseanologi-LIPI,
Jakarta : 153-161.
JUWANA, S. 1996b. Studi untuk membuat
diet optimal bagi juvenil rajungan
(Portunus pelagicus): II. Kebutuhan
lipid dan vitamin pada diet semi murni.
Prosiding Seminar Ilmiah Nasional
Dalam Rangka Lustrum VIII Fakultas
Biologi U G M : 355-367.
JUWANA, S. 1997a. Produksi massal benih
rajungan (Portunus pelagicus) di Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi -LIPI, Jakarta. II. Sumber
Induk, pengelolan salinitas dan ransum
makanan. Dalam: Inventarisasi dan
rajungan (Portunus pelagicus).
Oseanol Indonesia 17: 1-11.
JUWANA, S. 1989. Aquaculture of Carcinus
maenas L. (Decapoda: Portunidae)
With Emphasis On Colonozzation Of
The Surface Of The Larvae By Micro-
10
Oseana, Volume XXII no. 4, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Evaluasi Potensi Laut-Pesisir II.
Geologi, Kimia, Biologi dan Ekologi
(D.P. PRASENO et al. eds.). Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi-LIPI, Jakarta : 112-122.
JUWANA, S. 1997b. Percobaan polikultur
rajungan (Portunus pelagicus) dan ikan
bandeng (Chanos chanos) di perairan
Pulau Pari. Prosiding II Seminar
Nasional Biologi XV Perhimpunan
Biologi Indonesia, Bandar Lampung,
24-26 Juli 1997: 739-745.
JUWANA, S. 1997c. Laporan Triwulan I,
Teknik Budidaya Rajungan, Proyek
Pengembangan Potensi Lingkungan
Pantai. Puslitbang Oseanologi-LIPI,
Jakarta.
JUWANA, S. 1998. Studi untuk membuat
diet optimal bagi burayak rajungan
(Portunus pelagicus) : IV. Diet semi
murni, diet murni dan suhu optimum.
Terbitan
Khusus
Puslitbang
Oseanologi-LIPI (dalam proses cetak).
KANAZAWA, A. 1979. Studies on the nutrition requirements of the larval stages
of
Penaeus
japonicus
dan Pulau-pulau Seribu. Dalam:
Sumber Daya Hayati Bahari
(BURHANUDDIN, H. RAZAK eds.).
Lembaga Oseanologi Nasional - LIPI,
Jakarta: 57-59.
POTTER, I.C, P.J. CHRYSTAL and N.R.
LONERAGAR 1983. The biology of
the manna crab Portunus pelagicus in
an Australian estuary. Mar. Biol. 7885.
RICE, A.L. and D.I. WILLIAMSON 1970.
Methods for rearing larval decapod
Crustacea. Helgol. Wiss Meer. 20 :
417-434.
ROMIMOHTARTO, K. 1979. Hasil Penelitian
pendahuluan tentang hasil budidaya
rajungan,
(Portunus)
ance of Callinectes rathbunae
using
CONTREAS 1930 in floating cages in
a tropical coastal lagoon Jour World
Aqua. Soc. 24 (1):71 - 79.
SCHULER, G. A. 1984. Increasing picked
crab meat yield through revised venting procedures Infofish Marketing
Digest 4: 51 - 52.
SORGELOOS, P. and P. LEGER 1992.
Improved Larviculture outputs of marine fish, shrimp and prawn. Jour.
World Aqua. Soc. 23 (4): 251 - 264.
WATANABE, T, C. KITAJIMA and S.
FUJITA 1983. Nutrional values of live
organisms used in Japan for mass
propagation of fish: a review.
Aquaculture 34 : 115 - 143.
WILBER, D.H. and T.D. WBLBER 1989.
The effects of holding space and diet
microencapsulated diets. Mar. Biol 4 :
261 - 268.
LOVELL, RT. 1989. Nutrition and Feeding
of Fish. AVI Publishing Co., New
York : 260 pp.
LE THANH HUNG 1992. Naga, The
ICLRAM Quartely 15 (2) : 28 - 29.
LEBOUR, M.V. 1928. The larval stages of
the Plymouth Brachyura. Proceedings
of the General Meeting for Scientific
Business of the Zoological Society of
London : 473-561.
Me VEY, J.P. and J.R. MOORE 1983. CRC
Handbook of Mariculture Volume I
Crustacean Aquaculture:442 pp.
MOOS A, M.K. 1980. Beberapa catatan
mengenai rajungan dari Teluk Jakarta
11
Oseana, Volume XXII no. 4, 1997
Portunus
pelagicus (LINN) dari Teluk Jakarta
dan Pulau Pari (Pulau-pulau Seribu).
Laporan (Proceedings) Seminar V &
Kongres III Biologi Indonesia 1: 199 216.
ROSAS, C, C. VANEGAS, I. TABARES
and J. RANIREZ 1993. Energy bal-
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
on the growth of the west Indian
Spider Crab. Mithrax spinosissimus
(LAMARCK). J. Exp. Mar. Biol.
Ecol 131: 215 -222
WILLIAMS, M.J. 1982. Natural food and
feeding in the commercial sand crab
Portunus pelagicus Linnaeus, 1966
(Crustacea : Decapoda: Portunidae) in
Moreton bay, Quesland. J. Exp. Mar.
Biol Ecol. 59: 165 - 176.
TORO, A. V. 1981. Pertumbuhan dan musim
pemijahan rajungan Portunus
(Portunus) pelagicus LINNAEUS di
Teluk Jakarta. Makalah diajukan pada
Kongres Nasional Biologi V. Semarang
26 - 28 Juni, Lembaga Oseanologi
Nasional - LIPI, Jakarta.
YATSUZUKA, K. 1962. Studies on the
artificial rearing of the larval brachyura,
especially of the larval blue crab.
Neptunus pelagicus LINNAEUS. Rep.
USA Mar. Biol St. 9 (1) : 1 - 7.
YONE, Y and M. FUJII 1975. Studies on
nutrion of red sea bream. XL Effect of
3 fatty acid supplement in a corn oil
diet on growth rate and feed efficiency. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish. 41: 73
- 77.
12
Oseana, Volume XXII no. 4, 1997
Download