sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XXII, Nomor 4, 1997 : 1 - 12 ISSN 0216-1877 TINJAUAN TENTANG PERKEMBANGAN PENELITIAN BUDIDAYA RAJUNGAN (PORTUNUS PELAGICUS) Oleh Sri Juwana 1) ABSTRACT A REVIEW ON THE DEVELOPMENT OF RESEARCH OF THE BLUE SWIMMING CRAB (PORTUNUS PELAGICUS) CULTURE. Blue swimming crab, Portunus pelagicus, is a good candidate for culture species from the point of view of its economical and its biological aspect. Technique of massculture of the crab seed has been established at the Research and Development Centre for Oceanology -LIPI, Jakarta. Growing of the juvenile crabs are considered more convenient to be conducted on the coastal waters. Beside of this growing of the crab can be conducted by artificial sea grasses. In order to realize the crab as export commodity resulted from cultivation efforts there is a number of research activities being done at RDCO-UPI, Jakarta in the research periode of 1994 to 1999. That is : (1) investigation on the optimum condition for culturing each step of the crab development; (2) as well as its study on the optimal diet by using formulated diet; (3) study on the releasing of the crab seed to natural environment; and (4) study on the processing after harvesting. PENDAHULUAN fauna yang beraneka ragam bentuk serta jenisnya. Diantara hewan-hewan laut terdapat beberapa jenis udang dan kepiting yang beraneka ragam bentuk serta jenisnya. Diantara hewan-hewan laut terdapat beberapa jenis udang dan kepiting yang bernilai ekonomis penting. Rajungan merpakan satu jenis dari kepiting suku Portunidae yang mempunyai anggota banyak jenis dan dapat dimakan. Nama rajungan umumnya dipakai untuk jenis Portunus pelagicus (LINANEUS) Indonesia merupakan negara kepulauan, dua pertiga dari seluruh wilayah Indonesia merapakan perairan laut. Oleh karena itu, Indonesia dengan garis pantai sepanjang 81000 km dan mempunyai banyak teluk-teluk dan goba-goba memungkinkan banyak kesempatan untuk membuka usaha budidaya laut. Wilayah perairan laut Indonesia yang sangat luas memiliki banyak kekayaan hayati, flora dan 1 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id dan nama kepiting untuk jenis Scylla serrata (FORSKAL). Kedua jenis ini termasuk yang umum diperdagangkan. Sedangkan jenis-jenis kepiting Portunidae yang lain sudah jarang diketemukan di pasar-pasar (MOOSA 1980). Menurut BUSINESS NEWS (1989) ekspor kepiting Indonesia ditujukan ke berbagai negara dalam berbagai bentuk olahan. Kepiting hidup terbanyak di ekspor ke Singapura, Taiwan, Hongkong dan Malaysia. Kepiting segar (hanya di es) di ekspor ke Singapura termasuk dalam hal ini rajungan segar. rajungan beku di ekspor ke Jepang, sedang kepiting beku di ekspor ke Inggris. Daging kepiting beku telah di ekspor ke Singapura dan Belgia. Kepiting dalam kaleng di ekspor ke Belanda. Basis pemasaran ekspor kepiting Indonesia cukup luas dan melebar mulai dari Asia sampai Eropa dengan berbagai jenis produk yang juga sangat bervariasi. Beberapa pengusaha pengalengan saat ini mulai mengembangkan komoditi ini untuk diekspor ke Eropa dan Amerika. bahkan "Philips Seafoods Indonesia Inc" berdomisili di Pemalang khususnya menangani pengalengan daging rajungan, P. pelagicus, untuk memenuhi permintaan Amerika (personal komunikasi). Komoditas ekspor ini masih merupakan hasil tangkapan dari laut. Meskipun menurut statistikperikanan Indonesia (DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN 1994), dari tahun 1984 diperoleh kepiting dan rajungan yang merupakan produksi perikanan budidaya tambak disamping hasil tangkapan dari laut. Bahkan rajungan dari hasil tambak pada tahun 1991 pernah mencapai 70 ton, tetapi menjadi tak ada pada tahun 1992. Tulisan ini merupakan tinjauan aspek biologi, ekologi dan fisiologi budidaya rajungan; permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam penelitian budidaya; dan dasar pemikiran tindak lanjut untuk mewujudkan rajungan hasil budidaya sebagai komoditas ekspor. RAJUNGAN SEBAGAI JENIS UNTUK BUDIDAYA Disamping nilai ekonomisnya yang tinggi sebagai komoditas ekspor, rajungan merupakan jenis yang baik untuk dibudidayakan karena beberapa alasan berikut dibawah ini. 2 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 1. Distribusi rajungan luas yakni dari daerah tropis hingga ke daerah yang beriklim dingin (DELSMAN & DE MAN 1925). Hal ini menunjukkan bahwa rajungan dapat beradaptasi pada kisaran suhu dan salinitas yang luas. Bahkan pada suhu 35°C dengan salinitas 43%o masih banyak terdapat rajungan di Teluk Palk, India (PRASAD & TAMPI dalam ROMIMOHTARTO 1979). Di Jepang burayak rajungan (Neptunus pelagicus) di alam berkembang pada suhu di atas 18°C (YATSUZUKA 1962). Menurut POTTER et al (1983) P. pelagicus lebih suka di salinitas 30 - 40 %o. 2. Rajungan memijah sepanjang tahun, sehingga tersedia induk rajungan bertelur setiap saat sebagai percobaan maupun usaha budidaya (ROMI MOHTARTO 1979). Meskipun puncak pemijahan mungkin berbeda tergantung pada letak geografisnya (DELSMAN & DE MAN 1925, TORO 1981, YATSUZUKA 1962). 3. Fekunditas rajungan sangat tinggi dapat mencapai lebih dari satu juta telur per induk. Di alam kondisi biologis ini merupakan keseimbangan terhadap kehilangan yang sangat besar selama sumber:www.oseanografi.lipi.go.id mempengaruhi pertumbuhan rajungan di alam (JUWANA 1996a). kehidupan burayak yang panjang. Tetapi bagi usaha budidaya hal ini merupakan suatu potensi yang cukup besar bagi produksi bibit atau benih rajungan (ROMIMOHTARTO 1979). PERMASALAHAN DAN KEBERHASILAN BUDIDAYA RAJUNGAN 4. Habitat rajungan dapat dikatakan beraneka ragam, dimulai dari daerah pantai dengan dasar pasir bercampur dengan rumput-rumput laut di pulaupulau karang dan juga di laut-laut terbuka. Rajungan juga terdapat didaerah bakau, ditambak-tambak air payau yang berdekatan dengan air laut. Rajungan sering terlihat berenang dekat permukaan dan dapat ditemukan pada kedalaman kurang dari 1 meter sampai kedalaman lebih dari 65 meter. Dalam kehidupan di alam, rajungan sering bersama-sama binatang lain serta hidup bebas didasar laut (MOOSA 1980). Keadaan ini sangat menguntungkan karena area tebar bagi benih rajungan hasil budidaya berarti mudah diketemukan, juga ada kemungkinan untuk mengusahakan pembesaran rajungan yang menggunakan sistim polikultur PRASAD & TAMPI (dalam ROMIMOHTARTO 1979) memperoleh bukti bahwa rajungan memisahkan diri menurut ukuran dan kelamin. Menurut pengamatan penulis dalam usaha mengumpulkan induk rajungan bertelur dari perairan Teluk Jakarta, rajungan berkuran lebih kecil diperoleh dari perairan dekat pantai, sedang yang berukuran lebih besar diperoleh dari perairan jernih jauh dari pantai. Penulis berpendapat bahwa kondisi perairan yang berbeda berpengaruh terhadap persediaan mangsa bagi rajungan, sehingga Rajungan dalam daur hidupnya melalui fase telur burayak dan pasca-burayak yang telah menyerupai induknya. Telur rajungan menetas sebagai Zoea I yang berkembang melalui Zoea II, Zoea III dan Zoea IV. Kemudian bermetamorfosa menjadi Megalopa yang merupakan tingkat akhir perkembangan burayak. Selanjutnya tingkat perkembangan pasca-burayak diawali dengan Crab I yang memerlukan molting (berganti kulit) untuk menjadi besar sampai dewasa. YATSUZUKA (1962) telah memelihara delapan species Brachyura sehingga dapat menyatakan bahwa rajungan adalah karnivora maka tak mungkin dipelihara dengan fitoplankton. Pakan hidup yang dianjurkan untuk pemeliharaan Zoea rajungan adalah burayak tiram (Ostrea gigas), burayak teritip (Balanus amphitrite albicostate) dan nauplius Anemia salina. Sedangkan JUWANA (1984) mengamati morfologi alat-alat penangkap mangsa pada burayak rajungan (Portunus pelagicus) dan menyarankan bahwa dalam pemeliharaan burayak rajungan, makanan yang dapat diberikan pada tingkat perkembangan Zoea adalah zooplankton yang lebih lemah dari Zoae rajungan, supaya mudah ditangkap; berukuran lebih kecil dari lubang mulut Zoea sehingga secara utuh dapat ditangkap oleh bagian-bagian mulut dan didorong masuk kedalam mulut serta mempunyai tekstur yang mudah dikunyah. Bagi tingkat perkembangan Megalopa dapat dipelihara dengan pakan hidup tersebut ditambah pakan yang mempunyai tekstur lebih padat. Mengenai ukuran makanan yang lebih besar dari rongga 3 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id mulut atau bahkan lebih besar dari tubuhnya tidak merupakan masalah karena Megalopa telah dapat memegang mangsa, mengkoyakkoyak dan memakannya. Tentu saja untuk memperkecil mortalitas burayak sebaiknya diberikan mangsa yang lebih lemah. Mengingat bahwa megalopa bersifat kanibal maka harus diberi porsi makanan yang cukup atau agak berlebih supaya tidak ada kecenderungan memakan sesamanya. Bentuk dewasa rajungan merupakan karnivora dasar perairan yang dapat memangsa berbagai jenis hewan-hewan bentik dan invertebrata yang bergerak lamban. Misalnya berbagai jenis gastropoda, moluska, krustasea, polikhaeta, ophiuroidea, juga foraminifera, organik detritus dan algae (WILLIAMS 1982). Sukses pemeliharaan burayak Brachyura yang paling awal diperoleh mungkin sekitar tahun 1920 an, yaitu LEBOUR (1928) berhasil memelihara beberapa jenis Brachyura di Plymouth (Inggris) dan membuat pertelaannya. Keberhasilan tersebut tercapai karena pada saat yang sama di laboratorium juga sedang dipelihara tiram, moluska dan polikhaeta. Sehingga burayak hewan-hewan tersebut tersedia sebagai pakan hidup burayak Brachyura (RICE and WILLIAMSON 1970). Menyediakan pakan hidup dalam jumlah besar untuk pemeliharaan burayak rajungan merupakan suatu usaha budidaya tersendiri yang tentunya juga mempunyai permasalah-permasalahan yang harus ditanggulangi. Oleh karena itu nauplii Anemia sebagai hasil tetas telur Anemia yang dipasarkan dalam kista (telur kering) dalam kaleng, merupakan makanan yang tepat untuk berbagai species krustasea dan ikan berasal dari laut maupun dari air tawar. Telur Anemia di Indonesia merupakan produk impor. Penelitian peneluran ulang dan pembentukan kista kembali telah dilakukan di Indonesia (DAULAY & SUHARTO 1982). Tetapi produksi secara komersial belum nampak. Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta telah berhasil memproduksi benih rajungan siap tebar secara massal di laboratorium dalam skala 800 liter. Dari penelitian tersebut telah diperoleh petunjuk teknik produksi benih rajungan siap tebar secara massal. Tetapi dilihat dari biaya pakan perbenih, benih rajungan sangat mahal bila dibandingkan dengan benih udang. Untuk usaha produksi benih udang saat ini telah bermunculan produk-produk pakan buatan dipasaran bebas, sehingga penggunaan nauplii Anemia relatif sedikit (20 - 30 nauplii/liter), bila dibandingkan dengan keperluan usaha pembenihan rajungan, yaitu 5000 - 1000 nauplii/liter (JUWANA 1995a). Kemudian peningkatan kuantitas maupun kualitas benih rajungan siap tebar, Crab III dan Crab IV, diperoleh dalam penelitian berikutnya dengan penambahan substrat berupa untaian-untaian serabut plastik pada saat Zoea telah bermetamorfosa menjadi Megalopa. Substrat ini disamping berfungsi sebagai pelindung Megalopa yang saling memangsa, juga bersifat memperluas permukaan area pemeliharaan. Sedangkan macam pakan yang diberikan adalah dapat tenggelam dan mengapung, yaitu berupa cacahan daging kerang hijau dan rebon kering (JUWANA 1995b). TINDAK LANJUT PENELITIAN BUDIDAYA RAJUNGAN Keberhasilan Puslitbang OseanologiLIPI dalam pemeliharaan massal burayak 4 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id rajungan dan produksi massal benih rajungan siap tebar (Crab III & IV) memberikan peluang yang luas bagi pe.aksanaan tahapantahapan penelitian selanjutnya. Karena meyakinkan bahwa hewan uji dari tingkat perkembangan burayak sampai pasca-burayak rajungan dapat disediakan di laboratorium. Tahapan-tahapan penelitian yang akan dilakukan selanjutnya berdasarkan pada pemikiran nilai ekonomis dari hasil budidaya rajungan. Misalnya menetapkan kondisi lingkungan yang optimum bagi pertumbuhan burayak rajungan dan menggunakan pakan yang relatif murah sehingga diperoleh hasil optimum benih rajungan dengan menekan biaya produksi. Kemudian penelitian proses pasca panen yang dapat meningkatkan nilai ekonomis rajungan sebagai bahan makanan domestik (sea food) maupun komoditas ekspor dari hasil budidaya. Maka tahapan penelitian yang perlu dilakukan dari tahun ke tahun dapat meliputi aspek biologi, ekologi, fisiologi, biokimia, yang antara lain meliputi : (1) penetapan kondisi lingkungan optimum dan sistim budidaya untuk rajungan; (2) penggunaan pakan buatan dalam budidaya rajungan; (3) penelitian penebaran benih rajungan kembali ke alam; dan (4) penelitian proses pascapanen. Kondisi Lingkungan Optimum dan Sistim Budidaya Rajungan Selanjutnya pengetahuan mengenai biologi dan fisiologi rajungan sangat diperlukan dalam budidaya agar dapat diciptakan kondisi lingkungan yang paling menguntungkan bagi keseragaman pertumbuhan setiap tingkat perkembangan dan diberi pakan yang sesuai untuk memperoleh hasil yang optimum. Pengeluaran ekskresi akan berkurang. Ekskresi nitrogen Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 terutama tergantung pada salinitas medium dimana hewan dibudidaya, juga tergantung pada komposisi pakan yang diberikan (CECCALDI 1982). Rajungan memerlukan molting untuk tumbuh ke tingkat perkembangan selanjutnya. Pada suhu yang relatif tinggi, interval molting terjadi lebih pendek. Berarti pertumbuhan rajungan lebih cepat dan keseragaman ukuran tercapai. Pada budidaya secara intensif, pengaturan salinitas dan suhu optimum bagi setiap tingkat perkembangan burayak di bakbak pemeliharaan akan meningkatkan kelulushidupan burayak. Karena proses pembesaran benih rajungan menjadi rajungan dewasa memerlukan waktu berbulan-bulan. Hal ini akan menjadi tidak menguntungkan bila dikerjakan di hatchery. Sehingga penetapan salinitas dan suhu optimum bagi setiap tingkat perkembangan burayak diperlukan untuk mengembangkan teknik pemeliharaan massal bagi produksi benih rajungan skala industri dengan kondisi lingkungan yang terkontrol. Selanjutnya pembesaran benih rajungan dilakukan di alam dengan kondisi lingkungan yang sesuai bagi pertumbuhannya. Meskipun molting akan lebih kerap terjadi pada suhu tinggi, suhu optimum untuk kejadian ini belum tentu terletak pada kisaran suhu tinggi (CADMAN & WEINSTEIN 1988). Hasil penelitian yang baru-baru ini diperoleh menunjukkan bahwa suhu optimum untuk pemeliharaan Zoea rajungan adalah 30°C dalam kkisaran suhu 28-32°C. Sedangkan suhu optimum untuk Megalopa rajungan adalah 28-34°C (JUWANA 1998). Pada saat bakteri patogen Aeromonas dan Pseudomonas mengkontaminasi bak-bak budidaya, produksi benih rajungan (Crab III) yang diperoleh pada salinitas 26-27‰ jauh lebih tinggi dibanding dengan yang diperoleh pada salinitas 33-34‰ (JUWANA 1997a). sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Penggunaan Pakan Budidaya Rajungan Buatan Dalam Pembuatan pakan buatan berbentuk pellet merupakan cara yang paling populer untuk produksi komersial, sebab mempunyai keuntungan tehnologi dan ekonomis (LOVEL 1989). Idealnya suatu pakan tidak harus disimpan dalam refrigerator sehingga mudah dipasarkan. Maka penulis berpendapat pellet kering merupakan pilihan terbaik bagi usaha pembesaran benih rajungan didaerah dimana sumber pakan sukar didapat. Sifat akhir pellet tergantung pada variabel dalam proses produksinya. Sehingga standarisasi prosesing identifikasi bahan dan komposisi diet secara hati-hati sangat diperlukan (CASTELL et al. 1989, FLORES & MARTINEZ 1993). Penerimaan optimum suatu pakan buatan akan menghasilkan pertumbuhan terbaik species dalam waktu yang terpendek. Sukses suatu pakan tergantung pada nilai nutrisi, ukuran partikel, stabilitas air dan daya tarik rasa (KANAZAWA 1979, LOVEL 1989). Pakan buatan untuk budidaya rajungan diharapkan dapat berperan sebagai pakan pengganti atau tambahan bagi nauplii Artemia, pada saat pemeliharaan burayak. Kemudian merupakan pakan tambahan atau pakan utama pada pembesaran benih rajungan. Pakan buatan ini diharapkan berperan dalam memacu perkembangan dan pertumbuhan, mencegah penyakit kekurangan gizi, mengembangkan dan menjaga ketahanan tubuh terhadap infeksi dari berbagai penyakit dan mencegah terjadinya gejala-gejala sampingan yang antara lain adalah kanibalisme dan angka kematian yang tinggi. Sasaran utama dalam memberikan suatu diet berformula yang dapat memacu perkembangan rajungan sampai ukuran jual dalam waktu yang relatif lebih pendek dengan menggunakan biaya paling murah, tanpa mengubah bau dan rasa dari rajungan sehingga dapat diterima manusia sebagai konsumen terakhir. Menurut YONE & FUJII (1975) untuk memelihara hewan-hewan laut diperlukan asam lemak tak jenuh (HUFA: Highly Unsaturated Fatty Acids) seperti 20 : 5 w 3 dan 22 : 6 w 3 di dalam makanan untuk mereka. Meskipun WATANABE et al. (1983) mengembangkan methode untuk meningkatkan nilai nutrisi Artemia dengan menggunakan lipid yang mengandung w 3 HUFA secara langsung, cara ini dianggap mempunyai resiko teknis. Bila pencucian nauplii Artemia yang diperkaya dengan lipid kurang maka akan menyebabkan lapisan minyak dipermukaan air atau bahkan merupakan emulsi dalam air budidaya, yang dapat menyebabkan gangguan respirasi pada burayak. Pada hal penetasan kista Artemia pada suhu air tinggi akan menyebabkan nauplii Artemia berkembang ketingkat II dalam beberapa jam, sehingga mengalami kehilangan cadangan energi dan nilai nutrisinya sekitar 30‰. Hal ini akan menyebabkan kehilangan materi bagi peternak, sebab ia harus memberikan pakan lebih 3‰ untuk memperoleh hasil dalam kuantitas yang sama. Nauplii Artemia yang telah berkembang ke tingkat II telah mempunyai usus ("tractus digestivus") sehingga dapat diberi makan untuk meningkatkan nilai nutrisinya (SORGELOOS & LEGER 1992). JUWANA (1989) telah membudidayakan nauplii Artemia dalam fitoplankton laut (Tetraselmis hazeni) dan memperoleh kelulus-hidupan yang tinggi pada pemeliharaan burayak Brachyura, Carcinus maenas dengan produksi Megalopa tertinggi mencapai 46%. Tetapi budidaya massal fitoplankton membutuhkan lahan luas dan dapat merupakan sarana transmisi bakteri patogen. 6 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Menurut HARRISON (1990) diet induk krustasea ("brood stock") yang bernilai ekonomis tinggi hams termasuk kapasitas untuk mendukung: (1) pematangan seksual ("sexual maturation"); (2) meningkatkan fertilitas dan kejadian molting; dan (3) meningkatkan fekunditas dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas telur dan kesanggupan hidup burayak yang baru dilahirkan. Meskipun rajungan dapat kawin dan memijah di lingkungan buatan, pada saat ini di Indonesia, induk rajungan bertelur di alam dapat diketemukan sepanjang tahun. Namun kualitas burayak yang lebih baik dapat diperoleh dari induk rajungan yang ditangkap di perairan bersih jauh dari pantai. Sehingga kebutuhan penyediaan induk rajungan pemijah di hatchery mulai terasa diperlukan. Untuk penyediaan induk rajungan hasil budidaya di hatchery memerlukan fasilitas yang dapat menyediakan air laut mengalir secara terus-menerus. telah dilakukan di hatchery dan digunakan untuk program "restocking". Jenis kepiting ini juga ditemukan di perairan Cina, Taiwan dan Korea tetapi tidak ada di Indonesia. Sifatsifat secara phisis daerah penebaran telah dicatat sejak 1971 oleh Hiroshima Fishery Experimental Station. Sperti misalnya : kedalaman dan bentuk dasar laut, komposisi substrat, curah hujan dan kekeringan, gelombang dan salinitas air, gelombang dan arus, sifat-sifat biologi, komposisi fauna, area dan musim kawin untuk kepiting, distribusi burayak dan juvenil, informasi statistik hasil penangkapan kepiting, musim dan area penangkapan, CPUE (catch per unit effort) dan perkiraan sumber kepiting saat tersebut. Sehingga disimpulkan area penebaran langsung idealnya diberi tempat berlindung, sedikit miring, berdasarkan pasir lumpur, merupakan padang lamun dan tidak berarus kuat. Pada kondisi yang kurang ideal dilakukan pendederan terlebih dahulu, kemudian ditebar ketempat perlindungan buatan. Pendederan dilakukan dengan fasilitas tertutup di pantai (menggunakan bak semen); fasilitas semi tertutup di pantai, menggunakan jaring kurung dipasang mendasar,dan fasilitas terbuka diperairan pantai yaitu menggunakan yang disebut "mabushi" dimana serabut kinran dicelupkan dari rakit terapung sebagai pengganti padang lamun. Methode untuk mengenali kembali hasil penebaran benih P. trituberculatus secara langsung sampai sekarang tidak ada. Oleh karena itu digunakan analisis frekwensi distribusi ukuran dimana benih kepiting dari hatchery ditebar lebih awal dari kejadian atau musim benih di alam; dan analisis pada total hasil tangkap untuk ini. Pengaruh restocking secara teoritis harus lebih mudah diamati ditempat dimana "crab fishery" tidak nampak pada awalnya (COWAN 1984). Petnbesaran Benih Rajungan Pembesaran benih kepiting (Crab seed) dari jenis Scylla serrata telah dilakukan secara polikultur dengan udang, bandeng dan rumput laut Gracilaria di tambak, yaitu di Taiwan dan Pilipina (COWAN 1984). Bahkan pembesaran benih kepiting secara monokultur di Pilipina memberikan keuntungan tertinggi pada pemeliharaan awal 5000-10000 benih per ha untuk ukuran benih rata-rata 25,3 gram per individu. Sehingga peternak udang dapat mengalokasikan bagian dari tambak mereka untuk budidaya kepiting supaya mendapat keuntungan yang lebih tinggi dan meningkatkan panen mereka (AGBAYANI et al. 1990). Di Jepang, Portunus trituberculatus disebut juga "gazami" merupakan jenis kepiting Portunidae yang produksi benihnya 7 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Perairan laut Indonesia lebih luas dari daratan, maka sebaiknya untuk pembesaran benih rajungan dilakukan diperairan pantai, di dalam jaring kurung mendasai. Karena sifat rajungan yang lebih menyukai salinitas 30-40‰ dan dapat hidup di aneka ragam habitat maka penelitian area tebar lebih leluasa dan dapat menghindai perairan yang mudah mendapat cemaran dari darat. Produksi massal benih rajungan di P.3.O-LIPI menggunakan sistim pergantian air laut budidaya yang dilakukan pada pagi dan sore hari (2x75%). Ransum makanan yang diberikan adalah nauplii Anemia ditambah dengan cacahan daging kerang hijau dan rebon pada saat megalopa terjadi. Bahkan pendederan benih rajungan Crab I untuk menjadi benih rajungan siap tebar (Crab III & IV) juga telah dapat dilakukan di laboratorium dengan hasil kelulus hidupan yang cukup tinggi (42-60%). Sehingga diharapkan benih rajungan tersebut telah mempunyai ketahanan hidup yang lebih baik bila ditebar kembali ke alam (JUWANA 1995b). Dalam pemeliharaan burayak rajungan selanjutnya, pakan buatan berbentuk butiran kering ukuran 125 mikron yang disiapkan di laboratorium dan diberikan sebagai pakan tambahan disamping nauplii Anemia nampak lebih dapat memberikan kelulus-hidupan burayak rajungan pada saat ada gangguan bakteri patogen Aeromonas dan Psedomonas (JUWANA 1997a). Kemudian penebaran benih rajungan di perairan P. Pari baik secara monokultur (JUWANA 1996a) maupun secara polikultur dengan bandeng (JUWANA 1997b) dalam jangka waktu 4 (empat) bulan berhasil mencapai produksi 1 (satu) ekor rajungan dewasa per m2 . Dalam hal ini karena persediaan pakan (ikan rucah) di perairan P. Pari tidak mencukupi, maka pakan berupa pellet diberikan. Meskipun budidaya rajungan dari penetasan telur, pembenihan sampai pembesarannya telah berhasil dilakukan oleh P.3.O-LIPI, biaya pakan dianggap terlalu tinggi untuk tingkat komersial. Sesungguhnya teknik budidaya rajungan telah diketahui, penelitian selanjutnya ditujukan untuk mencari bahan pakan lokal yang murah. Atau sebaiknya lokasi penebaran kembali benih rajungan di alam mendekati perairan dimana pakan berbentuk ikan rucah mudah diperoleh. Baru-baru ini dilaporkan bahwa pembesaran rajungan dapat dilakukan di dalam jaring kurung mendasar dengan rumpon berupa untaian-untaian serabut plastik sebagai pengganti padang lamun (JUWANA 1997c). Sistem pembesaran secara individual dengan pakan pellet akan lebih mudah dikontrol dan memberikan keseragaman ukuran pada waktu panen. Maka selain formulasi pakan buatan merupakan faktor yang diteliti juga sistem tersebut perlu diciptakan. Misalnya pada rakit terapung diperairan laut (ROSAS et al. 1993) maupun dengan sistem sirkulasi air di laboratorium (DABRAMO et al. 1988) karena ukuran yang seragam dan serentak akan memudahkan perencanaan penggemukkan sebelum panen dilakukan atau produksi "soft crab". Untuk ini perlu diperhatikan aspek biologi rajungan yang suka memendamkann diri dalam pasir dan berlindung pada tumbuh-tumbuhan atau karang. Juga kemungkinan ada pengaruh luas ruang terhadap pertumbuhan rajungan (WILBER & WILBER 1989,JUWANA 1996b). Produksi rajungan molting mungkin dapat dipercepat dengan cara ablasi mata, karena cara ini telah banyak dipraktekkan pada udang, lobster dan kepiting (Me VEY & MOORE 1983; CASTELL et al. 1976; COWAN 1984). Juga dengan pengaturan kondisi lingkungan (suhu dan salinitas) atau kerusakan fisis atau kerusakan fisis dengan 8 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id menghilangkan 4 pasang kaki-kaki jalannya seperti dilakukan terhadap kepiting (LE 1992). Cara yang paling tepat untuk mempercepat proses molting pada rajungan mesih dalam taraf penelitian di P.3.O-LIPI. rajungan yang akan molting. Segera setelah molting, rajungan yang masih lemah diambil dan dibungkus dengan substrat yang lembab (misal rumput laut atau kertas) dan dikirim ke ruang pendingin ("freezer" atau "cold storage"). Dengan cara ini soft crab dapat disimpan sebelum dipasarkan atau di ekspor. Oleh karena itu, untuk usaha produksi rajungan lunak perlu memperhatikan lokasi dan sarana transportasi yang mudah mencapai tempat pendinginan. PROSES PASCA PANEN Disamping keseragaman ukuran merupakan persyaratan utama untuk proses pasca panen juga terdapat berbagai persyaratan yang harus dipenuhi bagi produk akhir yang dikehendaki. Misalnya untuk pengalengan daging rajungan persyaratan berikut ini harus dipenuhi. Yaitu rajungan harus hidup atau baru saja mati ketika direbus, rajungan harus dimasak sedikitnya lima menit dalam air mendidih. Rajungan segera dipotong-potong dan dagingnya dikupas segera setelah direbus. Apabila terjadi penundaan harus disimpan di es. Pada saat pemotongan, seluruh isi perut dan bagian-bagian mulut dibuang, kemudian potong-potongan rajungan dicuci bersih. Daging rajungan harus dikupas dengan wadah dan peralatan yang bersih. Tidak ada kontaminasi oleh lalat atau bahan-bahan lain yang tidak diperlukan. Bagian-bagian daging capit, kaki dan tubuh rajungan sebaiknya telah dipisah pada saat dikupas karena mempunyai nilai jual yang berbeda. Daging kupas segera di bungkus untuk mencegah kontaminasi dan segera didinginkan. Apabila tidak dikupas dipabrik pengalengan, juga tetap didinginkann selama pengangkutan. Sehingga proses pengupasan daging rajungan dapat dilakukan didekat peternakan rajungan sebagai "cottage industry" (HOWGATE 1984). Dalam hal ini peralatan sederhana dapat disesuaikan dengan prosedur yang benar dan sanitasi hams diperhatikan untuk menjaga kualitas produk (SCHULER 1984). "Soft crab" atau rajungan lunak yang baru molting mempunyai harga berlipat ganda dibanding produk lainnya. Pengamatan rajungan molting dapat dilakukan secara alami. Yaitu setiap saat peternak rajungan mengamati DAFTAR PUSTAKA AGBAYANI, R.F., D.D.BALIAO, G.P.B. SAMONTE, R.E. TUMALIUAN and R.D.CATURAO 1990. Economic feasibility analysis of the monoculture of mudcrab (Scylla serrata) FORSKAL. Aquaculture 91: 223-231. BUSINESS NEWS 1989. Kepiting, komoditas penting tapi belum digarap serius. No. 4863. Thn XXXIII, Jakarta, 30 September. CADMAN, L.R. and M.P. WEINSTEIN 1988. Effects of temperature and salinity on the growth of laboratory-reared juvenile blue crabs Callinectes sapidus RATHBUR, J. Exp. Mar. Biol Ecol 121: 193-207. CASTELL, J.D., J.C. HAUVIOT, and J.F. COVEY 1976. The use of eyestalk ablation in nutrition studies with American Lobsters (Homarus americanus). Proc. Seventh Ann. Meet. World Marl Soc. : 431-437. CASTELL, J.D., J.C. KEAN, D.G.C. Mc CANN, A.D. BOGHEN, D.E. CONKLIN and L.R. DABRAMO 1989. A standard reference diet for crustacean nutrition research II. Selection of a purification procedure for production of the rock crab Cancer irroratus protein ingredient. Jour. World Aqua. Soc. 20 (3): 100-106. 9 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id CECCALDI, HJ. 1982. Contribution of physiology and biochemistry to progress in aquaculture. Bull Japan. Soc. Scie. Fish. 48(8): 1011-1028. COWAN, L. 1984, Crab Farming In Japan, Taiwan And The Philippines, Queensland Department Of Primary Industries QI 84009: 87 pp. D'ABRAMO, L.R., L. REED and J.M. HEINEN 1988. Technical paper. A culture system for nutritional studies of crustaceans. Aquaculture 72: 379389. DAULAY, T. dan H. H. SUHARTO 1982. Penelitian pendahuluan kultur Anemia salina secara terkontrol dan intensif. Bull Pen. Perikanan 1 (2): 51-58. DELSMAN, H. C, J.G. DE MAN 1925. On the "radjungans" of the bay of batavia. Treubia 6 (3-4): 308-328. DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN 1994. Statistik Perikanan Indonesia (Fisheries Statistic of Indonesia) 1992. Departemen Pertanian, Jakarta. FLORES, S.E. and S. E. V. MARTINEZ 1993. Critical operations on the manufacture of pelleted feeds for crustaceans. Aquaculture 114: 83-92. HARRISON, K.E. 1990. The role of nutrition in maturation, reproduction and embryonic development of decapod crustaceans: a review. Jour. Shellfish Res. 9(1): 1-28. HOWGATE, P. 1984. The processing of crab meat for canning. Part I. Infofish Marketing Digest 4: 48-50. JUWANA, P. 1984. Morfologi alat-alat penangkap mangsa pada burayak organisms: A Scanning Electron Microscopy Study. Ph. D. Thesis. University of Newcastle Upon Tyne, England: 161 pp. JUWANA, S. 1995a. A pilot plant to mass production of crab seed (Portunus pelagicus). Proceedings Fourth LIPIJSPS Joint on Marine Science. Indonesian Institute of Sciences, Jakarta 15-18 November 1994: 115-122. JUWANA, S. 1995b. Produksi massal benih rajungan (Portunus pelagicus) di Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI. Jakarta: I. Peningkatan produksi 'Benih rajungan siap tebar'. Proseding Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) VI Jakarta 12-16 September 1995, Buku III: 129-145. JUWANA, S. 1996a. Hasil percobaan pertama penebaran benih rajungan (Portunus pelagicus) di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Dalam : Inventarisasi dan Evaluasi Lingkungan Pesisir. Oseanolografi, Geologi, Biologi dan Ekologi (D.P.PRASENO et al. eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta : 153-161. JUWANA, S. 1996b. Studi untuk membuat diet optimal bagi juvenil rajungan (Portunus pelagicus): II. Kebutuhan lipid dan vitamin pada diet semi murni. Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Dalam Rangka Lustrum VIII Fakultas Biologi U G M : 355-367. JUWANA, S. 1997a. Produksi massal benih rajungan (Portunus pelagicus) di Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi -LIPI, Jakarta. II. Sumber Induk, pengelolan salinitas dan ransum makanan. Dalam: Inventarisasi dan rajungan (Portunus pelagicus). Oseanol Indonesia 17: 1-11. JUWANA, S. 1989. Aquaculture of Carcinus maenas L. (Decapoda: Portunidae) With Emphasis On Colonozzation Of The Surface Of The Larvae By Micro- 10 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Evaluasi Potensi Laut-Pesisir II. Geologi, Kimia, Biologi dan Ekologi (D.P. PRASENO et al. eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta : 112-122. JUWANA, S. 1997b. Percobaan polikultur rajungan (Portunus pelagicus) dan ikan bandeng (Chanos chanos) di perairan Pulau Pari. Prosiding II Seminar Nasional Biologi XV Perhimpunan Biologi Indonesia, Bandar Lampung, 24-26 Juli 1997: 739-745. JUWANA, S. 1997c. Laporan Triwulan I, Teknik Budidaya Rajungan, Proyek Pengembangan Potensi Lingkungan Pantai. Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta. JUWANA, S. 1998. Studi untuk membuat diet optimal bagi burayak rajungan (Portunus pelagicus) : IV. Diet semi murni, diet murni dan suhu optimum. Terbitan Khusus Puslitbang Oseanologi-LIPI (dalam proses cetak). KANAZAWA, A. 1979. Studies on the nutrition requirements of the larval stages of Penaeus japonicus dan Pulau-pulau Seribu. Dalam: Sumber Daya Hayati Bahari (BURHANUDDIN, H. RAZAK eds.). Lembaga Oseanologi Nasional - LIPI, Jakarta: 57-59. POTTER, I.C, P.J. CHRYSTAL and N.R. LONERAGAR 1983. The biology of the manna crab Portunus pelagicus in an Australian estuary. Mar. Biol. 7885. RICE, A.L. and D.I. WILLIAMSON 1970. Methods for rearing larval decapod Crustacea. Helgol. Wiss Meer. 20 : 417-434. ROMIMOHTARTO, K. 1979. Hasil Penelitian pendahuluan tentang hasil budidaya rajungan, (Portunus) ance of Callinectes rathbunae using CONTREAS 1930 in floating cages in a tropical coastal lagoon Jour World Aqua. Soc. 24 (1):71 - 79. SCHULER, G. A. 1984. Increasing picked crab meat yield through revised venting procedures Infofish Marketing Digest 4: 51 - 52. SORGELOOS, P. and P. LEGER 1992. Improved Larviculture outputs of marine fish, shrimp and prawn. Jour. World Aqua. Soc. 23 (4): 251 - 264. WATANABE, T, C. KITAJIMA and S. FUJITA 1983. Nutrional values of live organisms used in Japan for mass propagation of fish: a review. Aquaculture 34 : 115 - 143. WILBER, D.H. and T.D. WBLBER 1989. The effects of holding space and diet microencapsulated diets. Mar. Biol 4 : 261 - 268. LOVELL, RT. 1989. Nutrition and Feeding of Fish. AVI Publishing Co., New York : 260 pp. LE THANH HUNG 1992. Naga, The ICLRAM Quartely 15 (2) : 28 - 29. LEBOUR, M.V. 1928. The larval stages of the Plymouth Brachyura. Proceedings of the General Meeting for Scientific Business of the Zoological Society of London : 473-561. Me VEY, J.P. and J.R. MOORE 1983. CRC Handbook of Mariculture Volume I Crustacean Aquaculture:442 pp. MOOS A, M.K. 1980. Beberapa catatan mengenai rajungan dari Teluk Jakarta 11 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 Portunus pelagicus (LINN) dari Teluk Jakarta dan Pulau Pari (Pulau-pulau Seribu). Laporan (Proceedings) Seminar V & Kongres III Biologi Indonesia 1: 199 216. ROSAS, C, C. VANEGAS, I. TABARES and J. RANIREZ 1993. Energy bal- sumber:www.oseanografi.lipi.go.id on the growth of the west Indian Spider Crab. Mithrax spinosissimus (LAMARCK). J. Exp. Mar. Biol. Ecol 131: 215 -222 WILLIAMS, M.J. 1982. Natural food and feeding in the commercial sand crab Portunus pelagicus Linnaeus, 1966 (Crustacea : Decapoda: Portunidae) in Moreton bay, Quesland. J. Exp. Mar. Biol Ecol. 59: 165 - 176. TORO, A. V. 1981. Pertumbuhan dan musim pemijahan rajungan Portunus (Portunus) pelagicus LINNAEUS di Teluk Jakarta. Makalah diajukan pada Kongres Nasional Biologi V. Semarang 26 - 28 Juni, Lembaga Oseanologi Nasional - LIPI, Jakarta. YATSUZUKA, K. 1962. Studies on the artificial rearing of the larval brachyura, especially of the larval blue crab. Neptunus pelagicus LINNAEUS. Rep. USA Mar. Biol St. 9 (1) : 1 - 7. YONE, Y and M. FUJII 1975. Studies on nutrion of red sea bream. XL Effect of 3 fatty acid supplement in a corn oil diet on growth rate and feed efficiency. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish. 41: 73 - 77. 12 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997