Pengaruh salinitas terhadap perkembangan dan

advertisement
2 TlNJAUAN PUSTAKA
2.1 Jenis dan Morfologi Rajungan
Secara mum morfologi rajungan berbeda dengan kepiting bakau, yakni
rajungan (Portunus pelagicus) memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan
capit yang lebih panjang dan memiliki berbagai warna yang menarik pada karapasnya
(Gambar 2). Duri akhir pada kedua sisi karapas relatif lebih panjang dan lebih
runcing. Rajungan hanya hidup pada lingkungan air laut dan tidak dapat hidup pada
kondisi tanpa air. Dengan melihat wama dari karapas dan jumlah duri pada
karapasnya, maka dengan mudah dapat dibedakan dengan kepiting bakau (Kasry,
1996). Dilihat dari sistematikanya, rajungan termasuk ke dalam:
Phylum : Arthropods
class : Crustacea
Ordo :Decapoda
Sub ordo : Branchyura
Famili : Portunid
Genus : Portunus
Species : Portunuspelagicus
Gambar 2. Rajungan jantan
0;
betina (Y)
Dari beberapa jenis kmstasea yang dapat berenang (swimming crab), sebagian
besar merupakan jenis rajungan. Sebagai contoh yang banyak terdapat di Teluk Jakarta
ada 7 jenis rajungan yaitu Portunus pelagicus, Portunus sanguinolentus, Thalamita
crenata, Thalamita danae, Charybdis cruciata, Charibdis natator, Podophthalmus
vigil (www. dkp. com. 2005). Namun menurut informasi menyebutkan bahwa ada 11
jenis rajungan yakni Porfunus pelagicus Linn, Porfunus sanguinolentus Herbst,
Portunus sanguinus, Portunus trituberculatus, Portunus gladiator, Portunus
hastafoides, 7Xalatnita crenata Latr., Thalatnita danae Stimpson, Charybdis cruciata,
Charibdis natator Herbst, Podophthalmus vigil Fabr., O\Takamura, 1990; Soim, 1996;
Supriyatna, 1999), Portztnus trituberculafzis banyak ditemukan di Jepang, Cina,
Taiwan, dan Korea. Menurut Soim (1996) nilai gizi dari bagian tubuh jenis rajungan
yang dapat dimakan (edible portion) mengandung protein 65,72%, mineral 7,5%; dan
lemak 0,88%. Selanjutnya dikatakan bahwa rajungan di beberapa daerah memiliki
nama yang berbeda-beda seperti tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Nama jenis rajungan di berbagai daerah di Indonesia
Nama ilmiah
Portunuspelagicus Linn
Portunus sanguinolentus Herbst
Nama daerah
Jawa:Rajungan
Ambon : Rajungan bulan
Jakarta : Rajungan bintang
Charybdis cruciata
Jakarta: Rajungan hijau
P. Seribu :Rajungan batu
Jakarta: Rajungan hijau
P. Seribu : Rajungan batu
Jakarta : Rajungan karang
Charibdis natator
Jakarta : Rajungan batik
Podophthaltr~zcsvigil
Jakarta : Rajungan angin
Poltunzis. Gladiator
Jawa :Rajungan
Portzmus sanguinus
Jawa : Rajungan
Portunus hastatoides
Jawa : Rajungan
Thalamita crenata
Thalarnita danae
Portunus triiuberculatus
) Jawa : Rajungan
Sumber : www.dkp.com 2005
Hasil penelitian pembenihan rajungan, Portuntts trituberculatus banyak
dilaporkan di Jepang, sedangkan di Indonesia hasil penelitian yang banyak dilaporkan
masih terbatas pada pembenihan rajungan jenis Portunzis pelagicus (Juwana, 2002).
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol Bali tahun 2003 telah melakukan
penelitian penlbenihan rajungan (Portzmzrs pelagiczrs) (Gambar 1) dalam rangka
mengantisipasi keperluan benih rajungan dalam rangka meningkatkan keberhasilan
budidaya rajungan di tambak dan sekaligus untuk memenuhi perrnintaan ekspor
rajungan.
Wama rajungan yang banyak tertangkap adalah jantan berwana dasar biru
bersih, sedangkan rajungan betina benvama dasar hijau dan putih kotor. Induk
rajungan mempunyai capit yang lebih panjang dari kepiting bakau, dan karapasnya
memilii duri sebanyak 9 buah yang terdapat pada sebelah kanan kin mata. Bobot
rajungan dapat mencapai 400 gr dengan ukuran karapas sekitar 300 mm (12 inchi).
Ukuran rajungan antara yang jantan dan betina berbeda pada umur yang sama.
Ukuran jantan lebih besar dan benvama lebii cerah serta berpigmen bim terang,
sedang yang betina benvama sedikit lebih coklat (Cowan, 1981).
Rajungan
(Porttmuspelagicus) memiliki karapas berbentuk bulat pipih, sebelah kiri-kanan mata
terdapat sembilan buah duri, dengan duri terakhir berukuran lebih panjang. Rajungan
mempunyai 5 pasang kaki, yang terdiri atas 1 pasang kaki (capit) berfimgsi sebagai
pemegang, 3 pasang kaki sebagai kaki jalan, dan 1 pasang kaki berfungsi sebagai
dayung untuk berenang. Nontji (1986) menyatakan rajungan mempunyai 5 pasang
kaki jalan, kaki jalan pertama ukurannya besar, memiliki capit dan kaki jalan terakllir
mengalami modifkasi sebagai alat berenang. Kaki jalan pertama tersusun atas
daktilus yang berfungsi sebagai capit, propodus, karpus, dan mems. Sedangkan kaki
kelima mengalami modifikasi pada daktilusnya berbentuk pipih dan menyerupai
dayung untuk berenang.
Tingkat kematang telur rajungan secara morfologi terdapat 4 tingkatan, yaitu :
1.
Tingkat I : Belu~n matang (immature), yaitu belum ada tanda-tanda
perkembangan telur pada calon induk.
2.
Tingkat I1 : Dalam proses pematangan (maturing). Perkembangan telur sudah
mulai terlihat penuh, benvarna kuning namun masih berada didalam tubuh
rajungan. Telur ini akan terlihat berada dibawah karapas.
3.
Tingkat 111 : Matang (ripe), telur rajungan telah dibuahi dan berada pada
abdomen (telah dikeluarkan). Pada saat dikeluarkan telur benvama kuning
muda. Telur ini akan mengalami perkembangan menjadi kuning tua keabuabuan, kehitaman, kemudian menetas. Perkembangan telur pada abdomen dari
kuning muda, kehitaman sampai menetas.
4.
Tingkat IV : Pada tingkat ini seluruh telur sudah menetas sel~inggaruang
bawah abdomen terlihat kosong
Induk rajungan matang telur tingkat 111 diperoleh dari hasil perkawinan dalam
bak perkawinan yang bagian dasarnya dibesikan substrat pasir setebal 10 cm. Induk
rajungan tersebut selanjutnya dipindahkan kedalam bak pengeraman hingga menetas.
(Komarudin, 2005).
Hasil penetasan induk rajungan Portunzrs pelagicus pada setiap stadia umumnya
mempunyai persamaan dan perbedaan setiap perkembangannya hingga menjadi
megalopa, yang mana setiap perbedaan tersebut tidak terlalu jauh berbeda terlihat
hanya pada Maxilliped, pada larva Maxilliped 1-2 sedangkan pada megalopa
Maxilliped 1-3. Adapun persamaan tersebut dapat diklasifikasikan setiap stadia zoea
hingga megalopa yang dapat diliiat pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Persamaan dan perbedaan setiap stadia pada rajungan Portunus pelagicus
Perbedaan setiap stadia pada rajungan Portzinuspelugicu.~
Zoea
Antennule
Antenna
Mandible
Maxillule
Maxilla
Maxilliped 1-2
Abdomen
Telson
Megalopa
Antennule
Antenna
Mandible
Maxillule
Maxilla
Maxilliped 1-3
Abdomen
Telson
2.2 Habitat Rajuogan
Rajungan (swimming crab) memiliki tenlpat hidup yang berbeda dengan jenis
rajungan pada umumnya seperti kepiting bakau (ScyEla serrata), tetapi memiliki
tingkah laku yang hampir sama dengan rajungan. Coleman (1991) melaporkan bahwa
rajungan (Porfunus pelagicus) merupakan jenis rajungau perenang yang juga
mendiami dasar lumpur berpasir sebagai tempat berlindung. Jenis rajungan ini banyak
terdapat di lautan Indo-Pasifik dan India. Sementara itu informasi dari panti benih
rajungan milik swasta menyebutkan bahwa tempat penangkapan rajungan terdapat di
daerah Gilimanuk (pantai utara Bali), Pengambengan (pantai selatan Bali), Muncar
@antai selatan Jawa Timur), Pasuruan @antai utara Jawa Timur), Lampung, Medan
dan Kalimantan Barat (Hanaf~et al., 2005).
Moosa (1985) memberikan informasi bahwa habitat rajungan adalah pada pantai
bersubstrat pasir, pasir berlumpur, dan di pulau berkarang. Rajungan berenang dari
dekat permukaan laut (sekitar 1 m) sampai kedalaman 56 meter. Rajungan hidup di
daerah estuaria kemudian bermigrasi ke perairan yang bersalinitas lebih tinggi untuk
menetaskan telurnya, pada fase lama bersifat planktonik yang melayang-layang di
lepas pantai dan fase megalopa berada didekat pantai, sering ditemukan menempel
pada objek yang melayang.
Setelah mencapai rajungan muda (yuwana) akan
kembali ke estuaria (Nybakken, 1990). Rajungan banyak menghabiskan hidupnya
dengan membenamkan tubuhnya di permukaan pasir dan hanya menonjolkan
matanya untuk menunggu ikan dan jenis invertebrata lainnya yang mencoba
mendekati untuk diserang atau dimangsa.
Dinegara yang bermusim empat seperti Australia perkawinan rajungan terjadi
pada musim panas, dan terlihat yang jantan melekatkan diri pada betina, kemudian
menghabiskan beberapa waktu perkawinan dengan bereuang (Coleman, 1991).
Selanjutnya dikatakan bahwa rajungan hidup pada laut kedalaman sampai 40 m (131
ft), pada daerah pasir, lumpur, atau pantai berlumpur. Rajungan merupakan hewan
bersifat karnivora dan makanmiya berupa ikan dan hewan invertebrata lainnya.
2.3 Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Lawa
Pada umumnya tingkat perkembangan rajungan tidak berbeda dengan kepiring
bakau yaitu adanya perbedaan fase sebelum menjadi megalopa yakni 4 fase pada
rajungan dan 5 fase pada kepiting bakau. Ciri morfologi dan tahap perkembangan
rajungan dibedakan menjadi 3 yaitu stadia zoea, megalopa dan kepiting.
Perkembangan rajungan akan melalui 4 fase zoea dan 1 fase megalopa. Fase zoea 1
akan berkembang ke zoea 2 dalam waktu 2-3 hari. Zoea 2, zoea 3 dan zoea 4
berturut-turut berkembangan dalam selang waktu 2 hari (Juwana dan Romimoharto,
2000). Untuk lebih jelasnya perkembangan stadia zoea sampai dengan megalopa
dapat dilihat pada Gambar 2.
.
,.
.,
(C) (sumbe; www.dkp.com. 2005).
Lamanya waktu perkembangan setiap stadia larva rajungan sangat berbedabeda. Menwut Susanto et al. (2003) lamanya metamorfosa mulai dari stadia zoea
menjadi megalopa dapat dicapai selama 10 hari. Namun menurut Kasry (1996)
lamanya metamorfosa kepiting mulai dari stadia zoea hingga megalopa umumnya
diperlukan waktu 17 - 26 bari. Waktu yang diperlukan untuk setiap stadia zoea
umumnya 3 - 5 bari, sedangkan pada stadia ~llegalopawaktu yang dibutuhkan adalah
7-12hari.
Larva kepiting bakau yang baru menetas masih berbentuk prezoea atau zoea-1.
Larva
prezoea
aka1 mengalami
moulting
lcwang lebih setengah jam dan
selanjutnya akan berkembang menjadi zoea-1 (Warner, 1997). Larva prezoea-1 akan
berubah menjadi zoea-1 dalam waktu kwang lebih setengah jam.
Larva zoea-1
mempunyai panjang tubuh 1,15 mm (Moosa, 1985), selanjutnya dikatakan bahwa
larva zoea 1 mempunyai setae natatoty pada endopodit maksiliped pertama dan
kedua, masing-masing 4 buah, namun pleopodnya belum berkembang, dan masa sesil
belum bertangkai (Ong, 1966).
Menurut Allen et al. (1984) laju pertumbul~ankrustasea merupakan h g s i dari
fekuensi ganti kulit (moulting) dan pertambahan bobot badan setiap proses ganti kulit
tersebut. Kehilangan bobot setiap ganti kulit mengakibatkan model pertumbuhan
krustasea tidak kontiyu.
2.4 Kebuttuhan Larva dan Megalopa akan Salinitas dan Kualitas Air
Salah satu kendala utama dalam usaha pembenihan kepiting bakau adalah belum
ditemukannya kondisi lingkungan, terutama salinitas yang optimal bagi proses
penetasan telur maupun perkembangan larva setiap stadianya.
Esciitor (1972)
mendapatkan telur-telur yang gaga1 menetas clan mortalitas larva total terjadi setelah
40 jam pemeliharaan dalam salinitas rendah. Pada kondisi lingkungan yang tidak
optimal, penetasan telur akan menghasilkan larva dengan kondisi yang lemah
sehingga didapatkan tingkat kematian yang tinggi. Hasil penelitian Kasry (1996) dan
Rukmantara (1992) menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup larva sampai
megalopa hanya mencapai 52 -53%.
Tingginya tingkat mortalitas disebabkan oleh
kondisi salinitas dan fluktuasi suhu media penetasan telunlya.
Bila ditinjau dari aspek fisiologi lingkungan, maka salinitas merupakan suatu
faktor ekstemal abiotik yang berpengaruh cukup penting pada organisme perairan,
termasuk faktor ekstemal abiotik yang berpengaruh cukup penting bagi organisme air,
termasuk kepiting bakau. Anggoro (1992) inenyatakan bahwa salinitas berperan
sebagai masking factor atau faktor yang dapat memodifikasi faktor liigkungan lain
melalui suatu mekanisme pengaturan tubuh organisme. Dalam hal ini pengaruh
salinitas akan melibatkan pengaturan ion-ion internal, sehingga secara konstan
memerlukan energi untuk transpor aktif ion-ion dalan menlpertahankan milieu
internal. Sehubungan dengan peran salinitas sebagai masking factor tersebut, maka
nilai saliitas media akan berpengaruh terhadap efisiensi pemanfaatan energi kuning
telur yang selanjutnya akan mempengaruhi laju pertumbuhan embrio dalam telur.
Penetasan telur dengan laju pertutnbuhan embrio yang tinggi akan mengl~asilkan
larva kepiting bakau berukuran lebih besar. Ukuran larva yang besar berpotensi
untuk hidup dan tumbuh lebih baik. Untuk itu peran salinitas perlu dikaji lebih jauh,
sehingga didapatkan kondisi lingkungan optimal yang memungkinkan terjadinya laju
pertumbuhan embrio yang tinggi.
Adaptasi liulgkungan untuk llidup, termasuk kisaran salinitas yang lebar melalui
efektifitas osmoregulasi
dan
fisiologi
respirasi
(hyper-liypo-osmoregulator).
Mekanisme adaptasi ini adalah mengkomsumsi energi.
Pembahan metabolisme
energi secara mum, akan mempengamhi karakteristik kehidupan organisme
selanjutnya seperti pertumbuhan dan reproduksi (Verslycke dan Janssen, 2002).
Salinitas yang dibutuhkan untuk penetasan telur rajungan biru (blue crab) dan
perkembangan larva secara normal adalah 22 -28 ppt. Pada salinitas yang sangat
rendah, maka telur akan menetas prematur dan larva prozoea hasil tetasannya akan
segera mati (Hill et al., 1989). Salinitas beperan sebagai masking faktor atau faktor
yang dapat memodifikasi faktor lingkungan lain melalui suatu mekanisme pengaturan
2002).
S,
tubuh organisme ( A ~ O N ~ O U
Dalam ha1 ini pengaruh salinitas akan
melibatkan pengaturan ion-ion internal selkgga secara konstan memerlukan energi
unttlk transport aktif ion-ion dalam mempertahankan milieu internalnya. Hasil
penelitian Walsh, Swanson dan Lee (1991) menunjukkan bahwa salinitas sangat
berpengaruh terhadap telur-telur organisme laut.
Pada tingkat yang ditoleransi,
salinitas akan menyebabkan regulasi hidro-mineral dan berpengaruh pada daya apung
telur. Hasil observasi Sudrajat (1989) pada penetasan tiram menunjukkan bahwa
salinitas media yang berbeda (20 -35 ppt) berpengaruh terhadap rata-rata panjang
larva.
Sedangkan pada tingkat ekstrim, salinitas dapat menyebabkan mortalitas
selama masa inkubasi telur atau menyebabkan kelainan dari perkembangan telur,
selungga akan menghasilkan larva abnormal.
Selanjutnya dikatakan bahwa
perubahan salinitas yang mendadak dapat meningkatkan terjadinya perkembangan
telur secara abnormal dan mortalitas.
Daya toleransi telur terhadap salinitas sangat dipengamhi oleh kualitas telur dan
kondisi lingkungan. Salinitas merupakan konsentrasi total semua ion dalam air, dan
dinyatakm dalam bagian perseribu (ppt) yang setara dengan gram per liter (Boyd,
1990). Seluruh ion yang terlarut tersebut akan menetukan sifat osmotik air. Semakin
banyak jumlah ion yang terlarut di dalam air, maka tinglcat salinitas dan kepekatan
osmolar larutan semakin tinggi, sehingga tekanan osmotik media semakin besar.
Nybakken (1990) menyatakan bahwa ion-ion yang dominan dalam menetukan
osmotik (osmolaritas) air laut adalah ~ a dan
+ C1' dengan porsi masing-masing adalali
30,51 dan 55,04% dari total konsentrasi ion-ion terlarut.
Holliday (1969) menyatakan bahwa salinitas merupakan faktor penting bagi
kelangsungan hidup dan metabolisnle organisme air, termasuk rajungan. Pengamh
s d i t a s terhadap konsentrasi total osmotik, timbulnya nlasalah ketersediaan oksigen
terlarut (pada salinitas yang tinggi, kelarutan oksigen menjadi rendah), dan perbedaan
salinitas yang mungkin berpengaruh terhadap daya apung organisme. Selanjutnya
faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan sebagai efek salinitas adalah kompetitor
dan penyakit. Selain itu larva dan megalopa membutuhkan oksigen terlarut berkisar
antara 4,O - 6,O ppt (BBPBAF', 2004).
Subu optimum bagi pemeliharaan rajungan biru bervariasi dengan variabel
lingkungan lainnya. Termasuk salinitas (Hill et al., 1989). Pada suhu 20 -30°C dan
salinitas 10 ppt, angka kelangsungan hidup megalopa rajungan biru mencapai 70%;
sedangkan pada suhu 25°C dan salinitas yang berkisar antma 20,l sampai 31,l ppt,
larva akan berkembang secara normal. Kisaran suhu yang layak bagi kehidupan
raj~mganbiru adalah berkisar antara 21 hingga 30°C. Sehubungan dengan variabel
lingkungan lain maka salinitas berpengaruh terhadap kelarutan oksigen dalam air.
Se~nakintinggi salinitas maka kelarutan oksigen dalam air semakin berkurang
(Holliday, 1969). Di lain pihak salinitas berpengaruh terhadap kebutuhan oksigen
organisme akuatik (Sudrajat, 1989), terutama bagi organisme yang bersifat
osmoregulator. Pada media isoosmotik, kebutuhan oksigen (respiratory cost) berada
pada tingkat minimal.
2.5 Tingkat Kerja Osmotik
Salinitas merupakan konsentrasi total dari semua ion yang laiut dalam air, dan
dinyatakan dalarn bagian perseribu @pt) yang setara dengan gram per liter (Boyd,
1990). Sifat osmotik air berasal dari seluruh elektrolit yang larut dalam air tersebut.
Semakin tinggi salinitas, konsentrasi elektrolit makin besar, sehingga tekanan
osmotiknya makin tinggi. Salinitas dapat mempengaruhi aktivitas fisiologis
organisme akuatik karena p e n g d osmotiknya (Ferraris et al., 1986). Ditinjau dari
aspek ekofisiologi, organisme akuatik dapat dibagi menjadi dua kategori sehubungan
dengan mekanisme faalinya dalam menghadapi osinolaritas media (salinitas), yaitu
osmokomiormer dan osmoregulator. Osmokonfomer adalah organisme yang secara
osmotik labil karena tidak mempunyai kemampuan mengatur kandungan garam serta
osmolaritas cairan intemalnya. Oleh sebab itu, osmolaritas cairan tubuhnya selalu
berubah sesuai dengan kondisi osmolaritas media hidupnya. Osmoregulator adalah
organisme yang mempunyai mekanisme faali untuk menjaga lingkungan intemalnya
dengan cara mengatur osmolaritas (kandungan garam dan air) pada cairan internalnya
(Nybakken, 1990). Sesuai dengan rentang salinitas yang masih dapat ditolerir yaitu 1
sampai 42 ppt (Chen dan Chi& 1997), kepiting termasuk organisme akuatik tipe
osmoregulator. Kemampuan osmoregulasinya sangat bergantung kepada tingkat
salinitas medianya.
Salinitas merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada kehidupan
organisme akuatik temasuk kepiting. Salinitas media melalui perubahan osmolaritas
media air akan menetukan tingkat komsumsi pakan. Efek lanjutnya akan menetukan
tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan kepiting.
Osmolaritas media
merupakan penentu tingkat kerja osmotik yang dialami kepiting. Osmolaritas media
makin besar dengan peningkatan salinitas. Hal tersebut disebabkan oleh adanya
peningkatan konsentrasi ion-ion terlarut. Sifat osmotik dari media bergantung pada
seluruh ion yang terlarut didalam media tersebut. Dengan semakin besarnya jumlah
ion terlarut didalam media, tingkat kepekaan osmolaritas larutan akan semakin tinggi
pula, sehingga akan menyebabkan bertambah besamya tekanan osmotik media,
demikian pula halnya dengan hemolimfe pada kepiting. Peningkatan osmolaritas
tersebut berkaitan dengan mekanisme osmoregulasi yang dilakukan kepiting (Yusri,
2005).
Selain itu kepiting memiliki kemampuan untuk menjaga lulgkungan
intemalnya dengan cam mengatur osmolaritasnya (kandungan garam dan air) pada
cairan intenialnya, dengan demikian kepiting bersifat hiperosmotik apabila berada
pada media bersalinitas rendah dan hipoosmotik pada media bersalinitas tinggi (Chen
dan Clua, 1997).
Osmoregulasi merupakan mekanisme adaptasi lingkungan yang penting bagi
organisme akuatik, khususnya pada krustasea. Fenomena yang sama juga diperoleh
oleh Ferraris et al. (1986) pada krustasea S.serrata, P.laticulatus, yang
osmolaritasnya meningkat dengan peningkatan salinitas media. Pertumbuhan pada
kepiting bakau merupakan pertambahan bobot badan dan lebar karapaks yang terjadi
secara berkala setelah tejadi pergantian kulit atau moulting. Moulting bagi krustasea
m e ~ p a k a nperiode kritis yang menggambarkan kondisi fisiologis dari proses
pergantian kulit lama (eksoskeleton) (Gimenez et al., 2001).
Pada dasarnya pertumbuhan kepiting bergantung pada energi yang tersedia,
bagaimana energi itu dipergunakan di dalam tubuhnya dan secara teoritis hanya akan
terjadi bila kebutuhan minimumnya (untuk hidup pokok) terpenuhi. Kepiting bakau
memperoleh energi dari pakan yang dikomsumsi dan kehilangan energi sebagai
akibat metabolisme, termasuk untuk keperluan osmoregulasi. Efisiensi pemanfaatan
pakan (energi) untuk pertumbuhan akan efisien bila hewan itu hidup pada media yang
tidak jauh dari titik isoosmotik (Ferraris et al., 1986).
Dalam
kaitannya
dengan
osmoregulasi,
pembelanjaan
energi
untuk
osmoregulasi dapat ditekan apabila organisme dipeliharaa pada media yang
isoosmotik, sehingga pemanfaatan pakan menjadi efisien serta pertumbuhan dapat
meningkat. Pertumbuhan secara internal selain dipengaruhi oleh kelancaran proses
ganti kulit, juga dipengaruhi oleh tingkat kerja osmotik (osmoregulasi).
Pengaruh salinitas pada efisiensi pelnanfaatan pakan dan pertumbul~annyadapat
terjadi baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Pada kebanyakan
organisme laut tipe osmoregulator-eurihaline, pengamh saliitas media adalah lewat
efek osmotiknya pada osmoregulasi dan kemampuan pencernaan serta absorpsi sari
pakan, sedangkan secara tidak langsung salinitas mempengaruhi organisme akuatik
melalui perubahan kualitas air seperti pH dan oksigen terlamt (Gilles dan Pequeux
1983; Fenaris et al., 1986).
T i a t kerja osmotik merupakan proses adaptasi yang mengeluarkan energi
untuk lnenyeimbangkan konsentrasi cairan tubuh dengan cairan media. Oleh karena
itu, agar dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya rajungan harus menjaga
keseimbangan osmotik antara cairan tubuh dan media hidupnya. Menurut Anggoro
(1992), regulasi osmotik adalah suatu sistem homeostatis untuk mengatur
keseiinbangan "millieu interieurnya", yaitu antara volume air dan konsentrasi
elektrolit yang terlarut dalam air media hidupnya.
Menurut Lockwood (1989) krustasea yang hidup pada salinitas rendah akan
mempertahankan cairan tubuhnya agar tetap hiperosmotik terhadap media
ekstrnalnya, yaitu dengan mengaktifkan transportasi garam ke dalam tubuhnya.
Dengan adanya pengeluaran energi untuk mempertahankan keseimbangan cairan
tubuh dengan medianya yang besar mengakibatkan nilai tingkat k e j a osmotik juga
besar. Sedangkan krustasea yang hidup pada salinitas tinggi, proses osmoregulasi
banyak mengeluarkan energi untuk menyeimbangkan konsentrasi cairan tubuhnya
agar tetap seimbang dengan konsentrasi medianya. Menurut Stickney (1979) energi
yang diperlukan untuk proses osmoregulasi akan meningkat sejalan dengan semakin
meningkatnya penyimpangan media dari kondisi isoosmotik, baik ke arah hipotonik
maupun ke arah hipertonik.
Menurut Kinne (1964) adaptasi yang dilakukan oleh krustasea terhadap
perubahan salinitas lingkungan yaitu melalui:
1. Peningkatan kemampuan untuk mengendalikan kadar air d a garam
~ ~ dalam
jaringan tub& secara aktif,
2. Peningkatan kemampuan pengaturan keseimbangan ion dan osmokonsentrasi
cairan tubuh,
3. Peningkatan kemampuan absorbsi untuk menyimpan air dan garam dalam
jaringan,
4. Peningkatan permeabilitas permukaan membran terhadap air dan garam,
5. seleksi habitat yang cocok secara aktif, dan
6. Peningkatan daya toleransi tubuh terhadap fluktuasi imbangan ion dan
osmokonsentrasi total.
Kemampuan organisme untuk menyelamatkan din terhadap perubahan salinitas
yang terjadi tergantung dari kemampuan cairan tubuh dalam berfungsi minimal untuk
jangka pendek pada selang yang tidak normal dari konsentrasi osmotik dan ionik
tub& (toleransi salinitas) dan kemampuan untuk meregulasi cairan tubuh dalam
menyesuaikan tekanan osmotik mendekati normal (regulasi salinitas) (Holliday,
1969).
2.6 Identifikasi Larva hingga menjadi Megalopa
Menurut Juwana (2002) sebagai fase awal larva rajungan dibagi menjadi 4 fase
yaitu rajungan, juvenil, sub dewasa dan kepiting dewasa. Larva terdiri dari zoea 1-4
dan megalopa, setiap fasenya dibedakan dengan perkembanganlpenambahan organ
tubuh, baik organ tubuh yang menunjang kemampuan bergerak maupun yang
berkaitan dengan aktivitas makannya. Rajungan memerlukan pergantian M i t untuk
tumbuh ke tingkat perkembangan selanjutnya. Pada suhu yang relatif tinggi, interval
moulting menjadi pendek.
Berarti pertumbuhan rajungan lebih cepat dan
keseragaman ukuran tercapai. Proses moulting setiap fase pada tingkat zoea terjadi
setelah 3-4 hari bila salinitas perairan 31* 2 ppt, sedangkan fase megalopa menjadi
juvenil memerlukan waktu 11 - 12 hari bila berada pada kisaran salinitas tinggi.
Zoea 1 dan zoea 2 pada umumnya sama yang membedakan hanya ukuran dan
wama, dalam ha1 ini zoea 1 lebih kecil dari zoea 2 dan warnanya lebih cerah
(transparan) dibanding zoea 2, namun stadia zoea 2 lebih aktif menangkap pakan
dibanding dengan zoea 1, begitu pula pada zoea 3, 4 hingga megalopa. Hal ini
berkaitan dengan semakin berkembangnya organ tubuh baik dalam h a n maupun
fimgsinya. Lamanya metamorfosa mulai dari stadia zoea hingga megalopa pada larva
rajungan dapat dicapai selama 10 hari (Susanto et al. 2003). Sedangkan menurut
Kasry (1996) lamanya metamorfosa kepiting mulai dari stadia zoea hingga rnegalopa
tunumnya diperlukan waktu kurang lebih 17-26 hari. Waktu yang diperlukan untuk
setiap stadia zoea umumnya 3-5 hari, sedangkan pada stadia megalopa waktu yang
dibutuhkan berkisar antara 7-12 hari.
2.6 Kebutuhan Larva dan Megalopa akan Pakan Alami
Pada umumnya tingkat kelangsungan hidup larva rajungan ditentukan oleh
faktor lingkungan dan pakan. Sifat kanibalisme akan muncul bila larva rajungan
kekurangan pakan yang dapat mengakibatkan kompetisi pakan. Hal ini sesuai dengan
Panggabean et al, (1982) yang menyatakan bahwa larva rajungan mempunyai sifat
kanibalisme pada stadia megalopa apabila waktu pemberian pakannya tidak sesuai.
Sifat kanibalisme me~pi-ikan sifat utama penyebab kematian larva karena kondisi
tubuhnya masih labil, lunak dan sangat peka (mudah rusak) bila terdapat gangguan
dari lingkungamlya.
Kebutuhan akan pakan, baik dalam junlah dan ukuran sangat d i b u t u l h i ole11
larva rajungan setiap stadianya, dalam hal ini larva rajungan lebih menyukai pakan
alami seperti rotifer maupun nauplius artemia sesuai dengan ukuran dan bukaan
mulutnya. Penggunaan rotifera diharapkan dapat memberikan h a i l yang baik karena
disamping mengandung kadar nutrien yang tinggi, berukuran kecil sesuai dengan
bukaan inulut larva dan juga bergerak larnbat sehingga mudah ditangkap dan dimakan
oleh larva rajungan. (Marjono ef al. 2003).
Larva kepiting bakau yang baru menetas hingga hari ke lima yang diberi makan
rotifer strain SS tingkat kelangsungan hidupnya lebih baik dibanding strain S dan dan
lebih lanjut dinyatakan perbedaan tersebut disebabkan oleh ukuran rotifera. (Setyadi
et al., 1999). D i a n a type S (berukuran 160 -180 mikron), type L (berukuran 200 250) dan type SS lebih kecil dari type S.
Ada berbagai metode cara pemberian pakan, selain itu jenis makanan yang
diberikanpun dapat berbeda antara satu dengan laimya, jenis makanan yang diberikan
selama pemeliharaan larva sampai crablet rajungan berurutan berupa rotifera, pakan
tambahan, naupli artemia, clan ikan rucah yang di blender (Juwana, 2002).
Penelitian tentang hubungan antara salinitas dan pemanfaatan pakan telah
dilakukan oleh beberapa peneliti, dan dari penelitian-penelitian tersebut terbukti
bahwa salinitas mempengdli tingkat komsumsi, kecernaan, dan efisiensi pakan
pada berbagai jenis ikan laut, diantaranya Mugil cephalus dan Chanos chanos.
Kecemaan dan absorbsi pakan lewat usus akan lebih efisien bila media eksternal
sedikit hipotonik di bawah rentang isoosmotik organisme akuatik eurihaline (Ferraris
et al., 1986). Pada krustasea khususnya kepiting bakau dan rajungan, 11al tersebut
belum diketahui secara pasti.
Download