Laporan Kasus ANTRAKS KULIT Maria Vianney Sansan, Bimo Aryo Tejo, Arie Kusumawardani, M. Eko Irawanto, Moerbono Mochtar, Achmad Julianto Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, FK Universitas Gadjah Mada dan Universitas Sebelas Maret Surakarta RSUD dr. Moewardi, Surakarta ABSTRAK Penyakit antraks merupakan bahaya laten yang perlu diwaspadai di berbagai negara karena dapat mematikan. 2 Pada tahun 1990, dilaporkan satu kasus antraks kulit terjadi di Semarang.8 Kejadian Luar Biasa (KLB) antraks kulit terjadi di bulan Februari 2011 di Boyolali, Jawa Tengah. Semua pasien menderita ulkus yang tidak nyeri dengan eschar antraks serta edema yang cepat meluas, setelah kontak dengan produk sapi yang diduga terinfeksi Bacillus anthracis. Kami melaporkan enam kasus suspek antraks kulit pada empat pasien pria dan dua pasien perempuan, berusia 48 – 70 tahun. Lesi kulit diawali sebuah papul, berubah menjadi vesikel / bulla dengan edema luas, dan selanjutnya berkembang menjadi ulkus tidak nyeri dengan jaringan nekrotik hitam di bagian tengahnya (eschar) yang dikelilingi oleh massa gelatin. Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda klinis patognomonik, pewarnaan Gram, pemeriksaan kultur dan uji motilitas. Sesuai dengan hasil uji sensitivitas antibiotik, lima pasien diterapi dengan meropenem 3 x 500mg (I.V.) dan satu pasien dengan vancomycin 2 x 1gram (I.V.) menunjukkan hasil yang baik. Antraks kulit merupakan manifestasi klinis infeksi antraks yang paling sering terjadi dibandingkan dengan antraks inhalasi dan gastrointestinal. 4 Spora antraks dapat bertahan hidup selama beberapa dekade, sehingga diperlukan penatalaksanaan yang adekuat dan kerjasama antara Pemerintah Dinas Kesehatan serta Dinas Pertanian dan Peternakan setempat untuk eradikasi kasus antraks.(MDVI 2011; 38/s: 38s - 43s) Kata kunci: antraks kulit, eschar, kultur, uji motilitas ABSTRACT Korespondensi : Jl. Kol. Sutarto No.132, Surakarta Telp. 027 1-663144 Email: [email protected] 38 S Anthrax is a dangerous latent disease that should be awared in many countries because it‘s due to death. 2 In 1990, it had been reported one case of cutaneous anthrax in Semarang. 8 An outbreak of cutaneous anthrax occured on February 2011 in Boyolali, Central Java. The patients are suffering from painless ulcer with anthrax eschar and rapidly progressive oedema, after contact with cow‘s products that suspect infected by Bacillus anthracis. We report six cutaneous anthrax suspected cases in four male and two female patients (48 – 70 years old). The skin lesion began as a papule then became vesicle/bullae with massive oedema, and later developed into painless ulcer with central black necrotic tissue (eschar) surrounded by gelatinous mass. The diagnosis based on clinical pathognomonic sign, Gram staining, culture and motility test examination. According to antimicrobial sensitivity test, five patients were treated with meropenem 3 x 500mg (I.V.) and one patient with vancomycin 2 x 1gram (I.V.) with a good result. Cutaneous anthrax is the most common clinical manifestation of anthrax infection compared with inhalation and gastrointestinal anthrax. 4 Anthrax spores can remain infectious for decades, so it needs an appropriate mana gement and cooperatio n between Health Dep artment and Agricultural and Livestock Regional Office for anthrax eradication.(MDVI 2011; 38/s: 38s - 43s) Key words : Skin anthrax, erchar, cultur, motility test. Maria Vianney Sansan dkk. PENDAHULUAN Antraks adalah penyakit infeksi zoonotik yang disebabkan oleh Bacillus anthracis, bakteri aerob, batang Gram positif dan dapat membentuk spora. 1,2,3 Antraks biasanya terjadi pada mamalia (herbivora), misalnya domba, sapi, kambing, dan kuda. Cara penularan antraks pada manusia berupa kontak langsung atau tidak langsung dengan hewan yang terinfeksi, atau pajanan dengan produk hewan yang terkontaminasi / terinfeksi, misalnya rambut, bulu, wool, tulang dan daging.2,4 Antraks seringkali merupakan infeksi bakteri yang fatal, terjadi saat spora Bacillus anthracis masuk ke dalam tubuh manusia melalui abrasi pada kulit, inhalasi, atau saluran pencernaan.4,5 Berdasarkan ketiga lokasi tersebut, antraks kulit merupakan keadaan yang paling sering terjadi, tercatat kurang lebih 95% kasus.1,2,4,6 Antraks pertama kali terjadi di Kanada bagian Utara, pada tahun 1952, saat dua orang pekerja Wood Buffalo National Park terinfeksi antraks kulit setelah menangani bison yang mati. Angka kejadian antraks tertinggi pada manusia terjadi di Afrika, Asia Tengah, dan Asia Selatan.2 Manusia relatif resisten terhadap infeksi antraks, namun wabah dan epidemi pada manusia tetap dapat terjadi.2,3 Pada tahun 1979, epidemi antraks terjadi di Zimbabwe, dan kemudian berulang di tahun 1984 – 1985. Lebih dari 10.000 orang terpajan, dengan angka kematian yang rendah (1 – 2%). Epidemi di Gambia pada tahun 1975, yang dilaporkan oleh Heyworth et al. tercatat 448 kasus antraks kulit pada manusia dan 12 kasus diantaranya berakhir dengan kematian.2 Pada tahun 2001, bioterorisme antraks terjadi di Amerika Serikat (AS), rata – rata jumlah pajanan tidak diketahui, namun terdapat 22 kasus klinis (11 antraks inhalasi dengan 5 kematian dan 11 antraks kulit). Hal ini menggambarkan proporsi kecil orang – orang yang terpapar 3. Pada bulan Agustus – Oktober 2010, di Bangladesh dilaporkan 607 kasus antraks pada manusia, setelah sebelumnya pada bulan April – Juni 2010 dilaporkan sejumlah 44 kasus.7 Spora Bacillus anthracis dapat menginfeksi manusia melalui mikrolesi pada kulit atau dapat pula diperantarai oleh gigitan serangga.1 Lesi kulit (eschar) umumnya ditemukan pada area tubuh yang terpajan, yaitu wajah, leher, tangan dan pergelangan tangan, serta pada kaki, dengan edema yang meluas jauh dari lokasi lesi.2 Penyakit antraks kulit biasanya tidak menular, namun transmisi dari manusia ke manusia dapat terjadi walaupun sangat jarang.4 Antraks kulit memberikan respons yang baik terhadap terapi antibiotik yang tepat, dan angka mortalitasnya < 1%. Edema maligna merupakan komplikasi yang jarang, ditandai dengan edema berat, indurasi, bula multipel, dan gejala syok. Penyebaran secara hematogen dapat terjadi pada 5 – 10% kasus yang tidak mendapat terapi.6 Antraks merupakan kasus infeksi bakteri yang jarang Antraks Kulit ditemui di daerah perkotaan.4 Pada tahun 1990, dilaporkan satu kasus antraks kulit di Semarang, Indonesia.8 Kejadian luar biasa (KLB) antraks kulit terjadi pada bulan Februari 2011 di Boyolali, Jawa Tengah. Pada awalnya, dugaan penyakit antraks berasal dari lesi yang khas dan terdapat riwayat kontak dengan hewan yang terinfeksi. Hal ini diperkuat pula dengan pemeriksaan sampel tanah dari wilayah Klego, Boyolali oleh Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, dengan hasil positif Bacillus anthracis. 9 Oleh karena kasus ini sangat menarik dan jarang terjadi di Indonesia, maka laporan kasus ini dibuat. KASUS Empat pasien laki – laki dan dua pasien perempuan berusia 48 sampai 70 tahun, dirujuk ke RS dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 24 Februari 2011, semuanya petani, tinggal di wilayah Tangkisan, Kecamatan Klego, Boyolali, Jawa Tengah. Pasien datang dengan keluhan utama luka koreng (borok) pada kulit wajah, pergelangan tangan, dan kaki. Satu bulan sebelumnya timbul lenting kecil seperti gigitan serangga di wajah (Tn.R), di pergelangan tangan (Tn.S, Tn.M, Ny.A) dan di kaki (Ny.R, Tn.B). Pasien juga mengalami demam, sakit kepala, mual, dan muntah setelah kontak dan makan daging sapi milik Tn.R yang sebelumnya disembelih saat sapi tersebut sakit. Satu hari kemudian, muncul bengkak dan merah di sekitar tempat lenting, nyeri dan cepat meluas ke bagian tubuh lainnya. Tn.R mengalami bengkak di wajah dan sekitar leher; Tn.S, Tn.M, Ny.A mengalami bengkak di tangan, lengan dan meluas ke dada dan perut; Ny.R, Tn.B mengalami bengkak di kaki, tungkai bawah sampai ke paha. Sebagian pasien berobat ke mantri, sebagian lagi ke dokter umum, mendapat empat macam obat di antaranya antibiotik. Sekitar 3 – 4 hari kemudian, demam, sakit kepala, mual dan muntah berkurang, namun bengkak belum membaik. Pasien kembali berobat ke dokter dan mendapat beberapa macam obat dan injeksi. Sesudah 1 minggu, bengkak berkurang, namun lenting kecil seperti gigitan serangga berubah menjadi luka koreng dengan bagian tengah menghitam dan tidak nyeri. Setelah beberapa kali berobat ke dokter dan luka koreng (borok) belum membaik, pasien diduga terinfeksi antraks dan dirujuk ke RS dr.Moewardi. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien baik dengan tanda vital dalam batas normal. Semua pasien menderita ulkus yang serupa, yaitu ulkus dengan jaringan nekrotik (eschar) di bagian tengah dengan tepi meninggi, disertai edema dan bercak eritema di sekitarnya. Lokasi, bentuk dan ukuran ulkus bervariasi. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik para pasien, didiagnosis banding sebagai antraks kulit, ektima gangrenosum, dan tularemia ulseroglandular. Dilakukan pemeriksaan penunjang pewarnaan Gram dari dasar ulkus, ditemukan bakteri batang Gram positif pada Tn.S, Tn.M, 39 S MDVI Vol 38 No. Suplemen Tahun 2011; 38s - 43s infeksi kulit.4 Jumlah spora yang dapat menyebabkan infeksi juga diragukan. Sebelumnya, diperkirakan sekitar 8.000 – 10.000 spora dibutuhkan untuk menimbulkan infeksi, namun seorang perempuan tua di Oxford, Connecticut yang menderita antraks inhalasi diduga terpajan kurang dari 8.000 spora. Dosis infeksi sulit untuk dihitung, namun pada orang sehat tanpa lesi kulit dimana bakteri ini dapat masuk ke tubuh, bakteri yang dapat menginfeksi 50 orang pasien umumnya berjumlah ribuan atau mencapai 10.000 dan antraks bukan merupakan penyakit menular.2 Penyebab penyakit antraks adalah Bacillus anthracis, bakteri batang Gram positif penghasil spora berukuran 1 x 3 dan Ny.A, sedangkan pada lainnya tidak ditemukan bakteri. Selanjutnya dilakukan kultur spesimen dari tempat yang sama, didapatkan pertumbuhan koloni abu – abu tanpa hemolisis pada biakan agar darah Tn.S, Tn.M dan Ny.A. Pemeriksaan kultur spesimen tersebut menunjukkan hasil Bacillus anthracis. Dilakukan uji motilitas pada koloni bakteri yang tumbuh, didapatkan hasil negatif, tidak ada pergerakan. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisis, dan penunjang yang telah dilakukan mendukung diagnosis kerja antraks kulit (Tabel 1). Pada awalnya seluruh pasien diberikan terapi siprofloksasin 2 x 500 mg (p.o.) dan doksisiklin 2 x 100 mg Tabel 1. Penegakan Diagnosis Pasien Lokasi Lesi Tn. R Tn. S. Wajah Lengan bawah kiri Punggung tangan Tn. M. kanan Pergelangan Ny. A. tangan kanan Kaki Kanan Ny. R Punggung Kaki Kanan Ujud Kelainan Kulit Pewarnaan Gram Kultur Uji Motilitas ulkus dengan eschar di tengah dan tepi meninggi, disertai edema dan patch eritema di sekitarnya (– ) Batang Gr.(+) (– ) B.anthracis Tidak dilakukan Tidak ada pergerakan Batang Gr.(+) B.anthracis Tidak ada pergerakan Batang Gr.(+) B.anthracis Tidak ada pergerakan (– ) (– ) (– ) (– ) Tidak dilakukan Tidak dilakukan (p.o.) sambil menunggu hasil kultur bagian Mikrobiologi. Setelah hasil kultur sensitivitas antibiotik didapatkan, Tn.R. diberi terapi injeksi vankomisin 2 x 1gram (I.V.) dan pasien lainnya diberikan injeksi meropenem 3 x 500 mg (I.V.) selama tujuh hari. Seluruh pasien mengalami perbaikan, ukuran ulkus berkurang, edema, dan bercak eritema di sekitarnya menghilang. (Tabel 2) DISKUSI Manusia sebenarnya relatif resisten terhadap infeksi antraks, namun kenyataannya KLB antraks tetap terjadi. Tidak ada yang tahu dengan pasti mengapa beberapa orang yang terpajan spora antraks, bermanifestasi menjadi infeksi antraks bentuk inhalasi, sedangkan yang lainnya berkembang menjadi – 4 µm, tersusun seperti rantai panjang, bersifat aerob dan tidak bergerak.3,4,11 Bakteri B. anthracis memiliki virulensi rendah, tersebar di udara, tanah, air, debu, dan produk hewan; menyebabkan antraks zoonosis, penyakit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia. 10 Pada kultur dengan media agar darah, koloni B.anthracis tampak keabu – abuan dan tidak menimbulkan hemolisis.11 Diagnosis antraks kulit pada laporan kasus ini didasarkan atas riwayat kontak dengan sapi yang sakit, riwayat perjalanan klinis sesuai dengan perkembangan lesi antraks kulit, pemeriksaan fisis yang menunjukkan gambaran patognomonis lesi antraks kulit, serta pemeriksaan penunjang yang mendukung penegakkan diagnosis. Pada pewarnaan Gram ditemukan bakteri batang Gram-positif dengan morfologi jernih di bagian tengah (spora). Pada kultur spesimen dari Tabel 2. Perbedaan Mikrobiologis Antara B.anthracis dan Bakteri Batang Non-B.anthracis3 B.anthracis Non-B.anthracis bacilli Rantai panjang, tidak bergerak Umumnya, rantai pendek dan bergerak Membentuk kapsul pada agar bikarbonat Tidak membentuk kapsul pada bikarbonat Tidak tumbuh pada agar penicillin (10 mcg/mL) Biasanya tumbuh pada agar penicillin Tumbuh pada gelatin menyerupai pohon cemara yang terbalik Tidak tumbuh pada gelatin atau menyerupai pohon cemara atipikal Pencairan gelatin terjadi dengan lambat Pencairan gelatin terjadi dengan cepat Tidak terdapat hemolisis pada sel darah merah domba Hemolisis pada sel darah merah domba Fermentasi salicin dengan lambat atau tidak sama sekali Fermentasi salicin dengan cepat Patogenik pada hewan percobaan Non-patogenik pada hewan percobaan 40 S Maria Vianney Sansan dkk. Gambaran khas dan perkembangan antraks kulit Papul atau pustul tidak nyeri atau gatal Lesi vesikular atau ulcerative Eschar hitam Antraks Kulit Lakukan tes diagnostik 1 Pewarnaan Gram dan kultur lesi kulit Cairan dari vesikel yang tidak utuh lagi (swab kering) Dasar ulkus (swab lembab) Tepi atau di bawah eschar (swab lembab) Lakukan kultur darah 2 Pertimbangkan biopsi kulit (punch) jika pasien sedang dalam pengobatan antibiotik atau jika pewarnaan Gram dan kultur negatif B.anthracis dan kecurigaan klinis tinggi3 Mulai terapi empirik untuk B.anthracis kulit Laporkan kepada petugas kesehatan masyarakat yang berwenang Kultur negatif & tidak ada perkembangan papul menjadi eschar, antraks kulit tidak khas4 Kultur positif Berkembang menjadi eschar Lanjutkan terapi antibiotik Gambar 1. Evaluasi klinis pasien dengan suspek antraks kulit 4 1 Tes serologis terdapat pada CDC mungkin merupakan teknik diagnostik tambahan untuk konfirmasi kasus antraks kulit. Jika kultur darah positif B.anthracis, terapi dengan antibiotik seperti pada antraks inhalasi. 3 Biopsi punch sebaiknya dimasukkan dalam formalin lalu dikirim ke CDC. PCR juga dapat dilakukan pada spesimen yang difiksasi dalam formalin. Pewarnaan Gram dan kultur seringkali negatif untuk B.antracis setelah masuknya terapi antibiotik. 4 Lanjutkan antibiotik profilaksis untuk antraks inhalasi selama 60 hari jika pajanan udara B.anthracis diketahui atau dicurigai. Sumber : Centers for Disease Control and Prevention 2001 2 dasar ulkus, didapatkan pertumbuhan koloni keabu – abuan tanpa hemolisis pada biakan agar darah Tn.S, Tn.M, dan Ny.A. Uji motilitas koloni tersebut menunjukkan hasil negatif, atau tidak ada pergerakan. Pada lesi kulit Tn.R, Ny.R, dan Tn.B, tidak ditemukan jumlah bakteri batang Gram positif yang bermakna dengan pewarnaan Gram, dan pada kultur spesimen juga tidak tumbuh koloni abu – abu. Lesi kulit pasien tersebut steril, kemungkinan karena pasien telah mendapat terapi antibiotik, sehingga pada kultur tidak menghasilkan pertumbuhan koloni bakteri.4,13 Pemeriksaan kultur dari spesimen klinis merupakan baku emas untuk menegakkan diagnosis antraks, sehingga biopsi pada kasus ini tidak diperlukan. 12,13 Pada seluruh pasien dilakukan pemeriksaan kultur darah untuk menyingkirkan kemungkinan keterlibatan sistemik. Hasil kultur darah negatif, tidak didapatkan pertumbuhan kuman dalam 5 x 24 jam, sehingga dapat disimpulkan bahwa kasus ini merupakan kasus antraks kulit yang ringan, tanpa keterlibatan sistemik. Pasien tidak didiagnosis dengan antraks gastrointestinal walaupun awalnya terjadi demam, mual, dan muntah. Kemungkinan karena pasien makan daging sapi yang telah dimasak dengan matang sehingga spora dan bentuk vegetatif B.anthracis mati. Spora antraks mati jika dipanaskan (direbus) dengan suhu 100°C selama 5 menit.12 Kasus ini didiagnosis banding dengan tularemia ulseroglandular dan ektima gangrenosum. Tularemia merupakan penyakit infeksi zoonotik yang disebabkan oleh Francisella tularensis, satu bakteri Coccobacillus Gramnegatif pleomorfik yang ditemukan pada mamalia misalnya binatang pengerat, kelinci dan sejenisnya. Tularemia menimbulkan gejala penyakit seperti flu, ditandai dengan 41 S MDVI demam, sakit kepala, malaise, dan mialgia. Pada tempat inokulasi muncul papul eritema yang nyeri dan cepat berubah bentuk menjadi ulkus dengan jaringan nekrotik (eschar) serta cepat meluas. Kelenjar getah bening pasien membesar dan jika terjadi bakteremia dapat berlanjut menjadi sepsis dan pneumonia yang virulen. Ektima gangrenosum merupakan ulkus yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa dengan gambaran klinis menyerupai ulkus akibat Stafilokokus atau Streptokokus. Ulkus ini biasanya tertutup krusta kuning keabu – abuan yang tebal, dan dapat disertai pus. Ulkus menunjukkan gambaran klinis “punched out” jika krusta tebal tersebut diangkat, tepi ulkus meninggi atau indurasi, dengan dasar jaringan granulasi mencapai kedalaman dermis. Ektima biasa didapatkan pada tungkai bawah anak – anak, pasien usia tua, atau pasien diabetes.1 Tatalaksana antraks kulit pada pasien dewasa tanpa gejala sistemik memberikan respons yang baik dengan siprofloksasin 2 x 500 mg per oral selama 2 minggu; atau doksisiklin 2 x 100 mg per oral atau dapat pula diberikan amoksisilin 3 x 500 mg per oral. Saat ini penisillin bukan merupakan terapi utama pengobatan antraks kulit, dan sudah tidak digunakan lagi sebagai terapi dasar. Terdapat publikasi penelitian yang menunjukkan bahwa jenis B.anthracis telah dimanipulasi sehingga resisten terhadap antibiotik golongan tetrasiklin dan penisillin. Untuk antraks kulit, siprofloksasin dan doksisiklin merupakan terapi lini pertama. Terapi dengan antibiotik dapat memberikan hasil kultur negatif dalam 24 jam, meskipun pembentukan eschar masih terus berlangsung. Kasus antraks kulit tanpa komplikasi dapat diberikan terapi antibiotik selama 3 – 7 hari, sedangkan pada kasus antraks dengan keterlibatan sistemik, terapi dilanjutkan selama 10 – 14 hari. Pada awalnya seluruh pasien diberi terapi siprofloksasin 2 x 500 mg (per oral) dan doksisiklin 2 x 100 mg (per oral) sambil menunggu hasil kultur mikrobiologi. Setelah didapatkan hasil kultur dan uji sensitivitas antibiotik, seluruh pasien dinyatakan resisten terhadap siprofloksasin, doksisiklin dan golongan penisillin sehingga Tn.R. diberikan terapi injeksi vankomisin 2 x 1gram (intravena) dan pasien lainnya diberikan injeksi meropenem 3 x 500 mg (intravena) selama tujuh hari. Semua pasien menunjukkan perbaikan lesi yaitu ukuran ulkus mengecil, kering, serta tidak ditemukan edema dan eritematosa. Spora B.anthracis bertahan hidup dan bersifat infeksus di tanah selama bertahun – tahun. Pada waktu tersebut, spora merupakan sumber infeksi untuk peternakan, dan dapat menginfeksi manusia secara langsung jika memakan hewan ternak, atau secara tidak langsung jika terjadi kontak dengan hewan yang sakit dengan manifestasi dalam bentuk antraks kulit.4 Vaksin untuk hewan ternak menggunakan varian B.anthracis yang tidak berkapsul dan tidak virulen. Vaksin untuk manusia yang pertama kali digunakan berupa filtrasi alum – precipitated cell – free dari kultur yang digunakan pada tahun 1954 dan dikembangkan lagi pada 42 S Vol 38 No. Suplemen Tahun 2011; 38s - 43s tahun 1965 dengan produksi PA (protective antigen) dalam jumlah besar dan penggunaan alumunium hidroksida sebagai tambahan. Vaksin antraks yaitu anthrax vaccine absorbed (AVA) telah mendapat lisensi dari Food and Drug Administration sejak tahun 1970 untuk profilaksis preexposure kasus antraks inhalasi pada orang yang berisiko mendapat infeksi akibat pekerjaannya, misalnya pemintal wol, pekerja laboratorium, dan peternak. Vaksin ini diberikan dalam 6 kali dosis injeksi intramuskular dan telah digunakan pada 1,8 juta personil militer sejak tahun 1998. Berdasarkan studi terhadap hewan, vaksin ini efektif hanya dalam waktu 1 atau 2 tahun setelah dua kali inokulasi, sehingga diperlukan pengembangan vaksin yang memberikan efek proteksi jangka panjang, dan aman dengan mutu terjamin. Pada serangan antraks, pemberian vaksin setelah pajanan tidak memberikan perlindungan karena penyakitnya sendiri memiliki periode inkubasi yang pendek dan muncul dengan cepat. Vaksin tersebut tidak mendapat ijin dari Food and Drug Administration untuk digunakan sebagai profilaksis post-exposure.15,16 Kontrol terhadap antraks diawali dengan kontrol terhadap penyakit tersebut di peternakan. Vaksinasi pada hewan ternak telah lama menjadi pusat program kontrol. Di peternakan, saat pertama kali dipastikan terjadi infeksi, vaksinasi segera terhadap semua hewan yang terpajan dapat memberikan perlindungan sehingga kasus infeksi tidak berkembang lebih lanjut. Jika kasus infeksi telah banyak terjadi, kasus – kasus berikutnya dapat terjadi setelah satu atau dua minggu walaupun telah mendapat vaksinasi, karena pada hewan tersebut telah masuk periode inkubasi.2 Pada laporan kasus ini terapi antibiotik yang diikuti dengan vaksinasi setelah 7 – 10 hari merupakan pilihan kontrol yang terbaik. Pada situasi KLB, vaksinasi perlu dilakukan pada radius wilayah 1 km lebih luas dari area yang terinfeksi. Sebaiknya juga dilakukan vaksinasi ulang secara berkala, minimal selama tiga tahun berturut – turut untuk mencegah kasus lebih lanjut. Pengaturan kontrol pada kasus KLB antraks terdiri atas pembuangan bangkai hewan dengan benar, dekontaminasi area dan alat yang digunakan untuk pemeriksaan dan pembuangan bangkai, terapi segera dan vaksinasi terhadap hewan ternak lainnya dengan tepat. Metode pembuangan bangkai yang terbaik adalah dengan pembakaran.17 Dasar dari kontrol dan eradikasi antraks adalah dengan memutus rantai penularan infeksi. Diperlukan penatalaksanaan yang adekuat dan kerjasama yang baik antara Pemerintah Dinas Kesehatan serta Dinas Pertanian dan Peternakan setempat untuk eradikasi kasus antraks.2 DAFTAR PUSTAKA 1. Norton SA. Miscellaneous bacteria infections with cutaneous manifestations, Anthrax, Dalam : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting.. Maria Vianney Sansan dkk. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Fitzpatrick‘s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. vol 2, New York : McGrawHill Companies; 2008. h.1698, 1755 – 8 Turnbull, Peter. Anthrax in humans and animals, 4 th ed, Switzerland : World Health Organization, 2008 : 01 – 100 Cunha BA. Anthrax. Dermatology [Serial on the internet]. 2008. [Cited 2011 March.01]. Available from: http:// www.emedicine.medscape.com/article/212127-overview Celia, Frank. Cutaneous anthrax : An overview. Dermatology Nursing. 2002; 14 (2): 89 – 92 Dixon TC, Meselson M, Guillemin J, Hanna PC. Anthrax. N Engl J Med. 1999; 341 (11) : 815 – 826 Centers for Disease Control and Prevention. Fact sheet : Anthrax information for health care providers. 2006. [Cited 2011 March.11] Available from: http://www.bt.cdc.gov/agent/ anthrax/anthrax-hcp-factsheet.asp Rahman M, Biswas MKZ, Gongal G. Unusual outbreak of human anthrax in Bangladesh. Communicable Disease Newsletter. 2011; Vol 8 (1) : 05 Mochtar, Moerbono. Anthrax kulit. Laporan Kasus, Semarang. 1990 : 01 – 09 Joewono BN. Five Anthrax patients in intensive care. Kompas. Posted : 26 / 02 / 2011 Ryan KJ, Ray CG. Bacillus : Bacillus anthracis. Sherris medical microbiology, 5th ed, USA : McGrawHill, 2010 : 481 – 5 Antraks Kulit 11. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Spore – forming Gram positive bacilli, Bacillus & Clostridium species, Bacillus Anthracis. Dalam : Review of Medical Microbiology, 25th ed, USA : McGrawHill, 2010. h. 206 – 7 12. Whitney EAS, Beatty ME, Taylor TH.Jr, Weyant R, Sobel J, Arduino MJ, Ashford DA. Inactivation of Bacillus anthracis spores, Vol 9 (6); 2003 : 623 – 7 13. Centers for Disease Control and Prevention. Recommended Specimens for Microbiology and Pathology for Diagnosis: Inhalation, Cutaneous, and Gastrointestinal Anthrax. 2006. [Cited 2011 April.01]. Available from: http://www.bt.cdc.gov/ agent/anthrax/lab-testing/recommended_specimens.asp 14. Centers for Disease Control and Prevention, MMWR : Update: Investigation of bioterrorism – related anthrax and interim guidelines for exposure management and antimicrobial therapy. 2001. [Cited 2011 April.01] Available from: http:// www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/mm5042a1 15. Weiss MM, Weiss PD, Weiss JB. Health policy and ethics, anthrax vaccine and public health policy. AJPH. 2007; 97 (11) : 1945 – 51 16. Barry M. Countering Anthrax : Vaccines and immunoglobulins. Clinical Infectious Diseases. 2008; 46: 129 – 36 17. Bartlett JG, Inglesby TV, Jr., Borio L. Management of anthrax. Clinical Infectious Disease. 2002; 35: 851 – 8 43 S