Tinjauan Pustaka Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaan Antraks Herdiman T. Pohan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Abstrak: Antraks adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh masuknya endospora Bacillus anthracis ke dalam tubuh melalui kulit yang lecet atau luka, inhalasi atau makanan yang terkontaminasi. Penyakit tersebut merupakan zoonosis khususnya binatang pemakan rumput. Manusia dapat terinfeksi apabila kontak dengan binatang atau produk binatang yang terkontaminasi kuman antraks. Penyebaran spora melalui aerosol potensial digunakan pada peperangan dan bioterorisme. Antraks kulit merupakan infeksi yang paling sering terjadi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pewarnaan Gram, dan biakan kuman. Pemberian antibiotik intravena direkomendasikan pada kasus antraks inhalasi, gastrointestinal dan meningitis. Sebagian besar kuman sensitif terhadap penisilin, doksisiklin, siprofloksasin, kloramfenikol, vankomisin, klindamisin, rifampisin, imipenem, aminoglikosida, sefazolin, tetrasiklin, linezolid, dan makrolid. Karena kemungkinan telah dilakukan rekayasa kuman sehingga resisten terhadap beberapa antibiotik maka siprofloksasin merupakan obat pilihan utama pada antraks akibat bioterorisme. Antibiotik profilaksis diberikan pada penduduk yang terpajan spora antraks. Vaksinasi diberikan pada kelompok risiko tinggi terpajan spora. Pengendalian infeksi dan dekontaminasi juga perlu dilakukan. Kata kunci: antraks, penularan, bioterorisme, penatalaksanaan. Maj Kedokt Indon, Volum: 55, Nomor: 1, Januari 2005 23 Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaan Pathogenesis, Diagnosis and Treatment of Anthrax Herdiman T. Pohan Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine University of Indonesia/ Central National Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Abstract: Anthrax is an infection disease that occurs when Bacillus anthracis endospores enter the body through abrasions in the skin or inhalation or ingestion. It is a zoonotic especially to mammals. Human infection resul from contact with contaminated animals or animal product. Aerosolized spores are potential as biological weapon and bioterrorist agent. Cutaneous anthrax is the common form of infection. Diagnosis is established by clinical manifestations, Gram staining, and culture. Intravenous administration is recommended in inhalational, gastrointestinal, and meningeal cases. Most strains are sensitive to penicillin, doxycycline, ciprofloxacin, chloramphenicol, vancomycin, clindamycin, rifampin, imipenem, aminoglycosides, cefazolin, tetracycline, linezolid, and macrolides. Because of possible risks against the concerns of anthrax due to engineered antibiotic resistant strain, the drug of choice for bioterrorist anthrax attacks is ciprofloxacin. Antibiotic is given as postexposure prophylaxis. Vaccine is administered to persons at risk for exposure to anthrax spores. Considerations of infection control and decontamination is needed. Key words: anthrax, transmission, bioterrorism, management Pendahuluan Antraks adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Bacillus anthracis. Penyakit tersebut merupakan zoonosis khususnya binatang pemakan rumput seperti domba, kambing, dan ternak.1-3 Manusia terinfeksi penyakit ini apabila endospora masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang lecet atau luka, inhalasi atau makanan yang terkontaminasi. Secara alamiah manusia dapat terinfeksi apabila terjadi kontak dengan binatang yang terinfeksi antraks atau produk binatang yang terkontaminasi kuman antraks.1-3 Walaupun jarang, penularan melalui gigitan serangga juga dapat terjadi.4 Penyebaran spora melalui aerosol potensial digunakan pada peperangan dan bioterorisme.5-8 Antraks kulit merupakan infeksi yang paling sering terjadi, dan ditandai dengan lesi kulit terlokalisasi dengan eschar (ulkus nekrotik) sentral dikelilingi edema non pitting. Antraks inhalasi ditandai dengan mediastinitis hemorhagik, infeksi sistemik yang progresif, dan mengakibatkan angka kematian yang tinggi. Antraks gastrointestinal jarang terjadi dan dihubungkan dengan mortalitas yang tinggi.1 Epidemiologi Penyakit antraks paling sering terjadi pada binatang herbivora akibat tertelan spora dari tanah. Spora dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama di dalam tanah. 24 Burung gagak dikatakan dapat berperan dalam penyebaran mikroorganisme ini.4 Kejadian luar biasa epizootik pada herbivora pernah terjadi pada tahun 1945 di Iran yang mengakibatkan 1 juta domba mati. Program vaksinasi pada binatang secara dramatis menurunkan mortalitas pada binatang piaraan. Walaupun demikian spora antraks tetap ada dalam tanah pada beberapa belahan dunia.9 Pada manusia terdapat tiga tipe antraks yaitu: antraks kulit, antraks inhalasi, dan antraks gastrointestinal. Antraks inhalasi secara alamiah sangat jarang terjadi. Di Amerika Serikat dilaporkan 18 kasus antraks inhalasi dari tahun 19001976. Hampir semua kasus terjadi pada pekerja yang mempunyai risiko tertular antraks, seperti tempat pemintalan bulu kambing atau wool atau penyamakan kulit. Tidak ada kasus antraks inhalasi di AS sejak tahun 1976.6 Secara alamiah antraks kulit merupakan bentuk yang paling sering terjadi dan diperkirakan terdapat 2000 kasus pertahunnya di seluruh dunia. Pada umumnya penyakit timbul setelah seseorang terpajan dengan hewan yang terinfeksi antraks. Di AS dilaporkan 224 kasus antraks kulit dari tahun 1944-1994. Centers for diseases Control and Prevention (CDC) melaporkan kejadian antraks kulit dari tahun 1984-1993 hanya tiga orang, dan satu kasus dilaporkan terjadi pada tahun 2000.6 Kejadian luar biasa terjadi di Zimbabwe pada tahun 1978-1980 yang mengakibatkan 10.000 orang terjangkit antraks kulit terutama pada pekerja perkebunan. Maj Kedokt Indon, Volum: 55, Nomor: 1, Januari 2005 Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaan Kejadian itu terjadi akibat perang yang menyebabkan terhentinya program vaksinasi, kerusakan infrastruktur medis dan veteriner.5,6 Walaupun jarang terjadi, di Afrika dan Asia ledakan kasus antraks gastrointestinal masih sering dilaporkan. Kejadian luar biasa 24 kasus antraks gastrointestinal terjadi di Thailand pada tahun 1982. Kejadian itu terjadi akibat konsumsi daging kerbau yang terkontaminasi dan proses pemasakan yang tidak sempurna.5 Kejadian epidemi antraks pada manusia berhubungan langsung dengan epizootik pada ternak. Gambar 1. Rantai Penularan B. anthracis Antraks sebagai Bioterorisme Pada tahun 1979 di Sverdlovsk bekas Uni Soviet pada fasilitas mikrobiologi militer terjadi kasus kecelakaan keluarnya aerosol spora antraks yang mengakibatkan paling tidak 79 kasus antraks dan 66 orang meninggal. Aerosol antraks tidak berbau, tidak terlihat, dan berpotensi menyebar beberapa kilometer.1 Pada tahun 1970 World Health Organization (WHO) memperkirakan apabila 50 kg antraks dijatuhkan pada penduduk urban berjumlah lima juta orang akan mengakibatkan 250.000 terjangkit antraks dan 100.000 orang meninggal. AS pada tahun 1993 memperkirakan 130.0003 juta orang akan meninggal akibat aerosol spora antraks seberat 100 kg yang terbawa angin di Washington DC, dan hal itu setara dengan daya bunuh bom hidrogen. Dari model ekonomi diperkirakan biaya yang harus dikeluarkan sebesar 26.2 milyar dolar tiap 100.000 orang tertular.5 Sejak September 2001 tercatat 12 kasus antraks di AS, dua kasus inhalasi (satu kasus fatal) terjadi pada pekerja penerbit tabloid di Boca Raton, Florida, empat kasus inhalasi antraks (dua kasus fatal) terjadi pada pekerja pengirim surat di Washington DC, Trenton, New Jersey. Enam kasus lainnya menderita antraks kulit. Dari surat kabar dilaporkan 28 orang di kantor senat terpapar antraks pada swab nasal.2 Mikrobiologi Bacillus anthracis berasal dari bahasa Yunani dari kata batu bara: anthrakis, karena penyakit ini menimbulkan warna Maj Kedokt Indon, Volum: 55, Nomor: 1, Januari 2005 hitam atau gambaran batu bara (coal like) pada lesi kulit. Bacillus anthracis merupakan bakteri besar Gram positif, aerobik, berbentuk spora, nonmotile, berukuran 1-1,5 μm hingga 3-10 μm, nonhemolitik pada agar darah domba, tumbuh pada suhu 37°C dengan gambaran seluler joint bamboo-rod dan membentuk gambaran koloni curled hair yang unik. Endospora tidak terbagi, tidak mempunyai metabolisme yang dapat diukur, dan resisten terhadap panas, udara kering, sinar ultraviolet, radiasi sinar gama, dan beberapa desinfektan. Spora antraks akan mengalami germinasi menjadi bentuk vegetatif bila masuk ke dalam lingkungan yang kaya nukleotida, asam amino dan glukosa, seperti yang ditemukan dalam darah dan jaringan binatang atau manusia.1,6 Bentuk vegetatif kuman antraks akan cepat bertambah banyak dalam pejamu, tetapi bila nutrien lokal telah habis maka kuman ini kemudian akan berubah bentuk menjadi spora. Virulensi kuman antraks bergantung pada kapsul antifagosit dan komponen tiga toksin yaitu: antigen protektif (AP), faktor letal (FL), dan faktor edema (FE).1,11 Bentuk vegetatif mempunyai kemampuan hidup yang buruk bila ada di luar tubuh binatang atau manusia, jumlah koloni akan cepat menghilang dalam 24 jam bila diinokulasi dalam air. Hal yang berbeda terjadi bila kuman dalam bentuk spora; spora dapat bertahan hidup di tanah dalam waktu lama. Semua gen virulen antraks diekspresikan oleh bentuk vegetatif kuman yang dihasilkan dari germinasi spora di dalam tubuh. Patogenesis Setelah endospora masuk ke dalam tubuh manusia, melalui luka pada kulit, inhalasi (ruang alveolar) atau makanan (mukosa gastrointestinal), kuman akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke kelenjar getah bening regional. Pada antraks kutaneus dan gastrointestinal terjadi germinasi tingkat rendah di lokasi primer yang menimbulkan edema lokal dan nekrosis. Endospora akan mengalami germinasi di dalam makrofag menjadi bentuk vegetatif. Bentuk vegetatif akan keluar dari makrofag, berkembang biak di dalam sistem limfatik, mengakibatkan limfadenitis hemoragik regional, kemudian masuk ke dalam sirkulasi, dan menyebabkan septikemia.1 Gambar 2. Patofisiologi Antraks1 25 Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaan Faktor virulensi utama B.anthracis dicirikan (encoded) pada dua plasmid virulen yaitu pXO1 dan pXO2. Plasmid pXO1 mengandung gen yang memproduksi kompleks toksin antraks berupa faktor letal, faktor edema, dan antigen protektif. Antigen protektif merupakan komponen yang berguna untuk berikatan dengan reseptor toksin antraks (ATR = Anthrax Toxin Receptor) di permukaan sel. Setelah berikatan dengan reseptor maka oleh furin protease permukaan sel, antigen protektif yang berukuran 83-kDa itu membelah menjadi bentuk 63-kDa dan selanjutnya bentuk itu akan mengalami oligomerisasi menjadi bentuk heptamer. Pembelahan antigen protektif diperlukan agar tersedia tempat pengikatan FL dan atau FE. Antigen protektif yang telah mengalami pembelahan, bersama reseptornya akan melakukan pengelompokan ke dalam lipid rafts sel kemudian mengalami endositosis. Melalui lubang yang terbentuk terjadilah translokasi FE dan FL ke dalam sitosol yang selanjutnya dapat menimbulkan edema, nekrosis, dan hipoksia.6,11 FE merupakan calmodulin-dependent adenylate cyclase yang mengubah adenosine triphosphate (ATP) menjadi cyclic adenosine monophosphate (cAMP) yang menyebabkan edema. FE menghambat fungsi netrofil dan aktivitas oksidatif sel polimormonuklear (PMN). FL merupakan zinc metalloprotease yang menghambat aktifitas mitogen-activated protein kinase kinase (MAPKK) in vitro dan dapat menyebabkan hambatan signal intraselular. FL menyebabkan makrofag melepaskan tumor necrosis- (TNF-) dan interleukin-1 (IL1) yang merupakan salah satu faktor penyebab kematian mendadak. spora dan sebagian dari spora akan lisis dan rusak. Spora yang tetap hidup akan menyebar ke kelenjar getah bening dan kelenjar mediastinal. Proses perubahan bentuk vegetatif terjadi kurang lebih 60 hari kemudian. Lambatnya proses perubahan bentuk tidak diketahui dengan pasti, akan tetapi terdokumentasi dengan baik di Sverdlovsk bahwa kasus antraks inhalasi terjadi antara hari ke-2 hingga hari ke-43 setelah terpajan. Sekali proses germinasi terjadi, penyakit akan timbul secara cepat dan replikasi bakteri menyebabkan perdarahan, edema, dan nekrosis. Pada monyet percobaan keadaan fatal terjadi pada hari ke-58 hingga ke-98 setelah terpajan.1,6 Istilah antraks pneumonia tidak digunakan karena ternyata setelah dilakukan pemeriksaan patologis kelainan yang didapat terutama berupa torakal limfadenitis hemorhagis dan mediastinitis tanpa bronkopneumonia tipikal. Akan tetapi pada kejadian antraks inhalasi di Sverdlovsk, 25% kasus fatal ditemukan perdarahan fokal dan lesi nekrosis pulmonar (mengingatkan kepada lesi Ghon’s fokal dari tuberkulosis primer). Secara klasik gejala klinis antraks inhalasi bersifat bifasik. Pada fase awal, 1-6 hari setelah masa inkubasi timbul gejala yang tidak khas berupa demam ringan, malaise, batuk nonproduktif, nyeri dada atau perut, dan biasanya tanpa disertai kelainan fisik, penyakit akan masuk ke dalam fase kedua. Pada fase tersebut secara mendadak timbul demam, sesak napas akut, diaforesis, dan sianosis. Akibat pembesaran kelenjar getah bening, pelebaran mediastinum, dan edema subkutan di dada dan leher yang dapat menimbulkan obstruksi trakea maka stridor dapat terjadi. Manifestasi klinis antraks inhalasi dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan manifestasi radiologis dan patologis dapat dilihat pada Tabel 2.12 Tabel 1. Manifestasi Klinis Antraks Inhalasi 12 Manifestasi klinis Stadium pertama: onset awal (1-4 hari) Malaise Lemah Mialgia Batuk tidak produktif Rasa tertekan di dada Demam Gambar 3. Mekanisme kelainan patologik akibat antraks 11 Plasmid pXO2 mengkode tiga gen (capB, capC dan capA) yang terlibat dalam sintesis kapsul polyglutamyl. Kapsul menghambat proses fagositosis bentuk vegetatif B.anthracis.3 Gejala Klinis Antraks inhalasi Antraks inhalasi dimulai dengan masuknya spora ke dalam rongga alveolar, kemudian makrofag akan memfagosit 26 Tabel 2. Stadium ke-dua: perburukan (24 jam) Sesak napas akut Sianosis Stridor Diaphoresis DemamPerdarahan mediastinal Pelebaran mediastinal Meningismus, Septik syok, Koma Manifestasi Radiologis dan Patologis Antraks Inhalasi 12 Manifestasi Radiologi, Pelebaran mediastinum, Efusi pleural Pneumonia (jarang), Patologi, Perdarahan mediastinum, Perdarahan difus limfadenitis, Edema mediastinum, Leptomeningeal edema dan hemorhagis, Efusi pleura, Meningitis hemorhagis Maj Kedokt Indon, Volum: 55, Nomor: 1, Januari 2005 Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaan Meningitis antraks merupakan penyakit antraks yang paling jarang terjadi. Penyakit itu timbul akibat bakteremia yang terjadi setelah antraks inhalasi. Pada sebagian besar kasus cairan serebrospinalis menjadi hemoragik dan sejumlah besar kuman basil Gram positif dapat ditemukan. Angka kematian hampir mencapai 100%, akan tetapi terkadang dengan pemberian antibiotik penderita dapat bertahan hidup.2 Antraks Kulit Hampir pada 95% kasus antraks yang terjadi di AS merupakan antraks kulit. Penderita biasanya memiliki riwayat kontak dengan binatang atau produknya. Beberapa kasus dilaporkan terjangkit antraks kulit akibat gigitan serangga yang diduga terinfeksi akibat memakan bangkai yang mengandung antraks. Daerah yang terkena terutama muka, ekstremitas, atau leher. Endospora masuk melalui kulit yang lecet atau luka.1 Satu hingga tujuh hari setelah endospora masuk, terbentuk lesi kulit primer yang tidak nyeri dan papula yang gatal. Duapuluh empat sampai 36 jam kemudian lesi membentuk vesikel yang berisi cairan jernih atau serosanguineus, dan mengandung banyak kuman Gram positif. Vesikel kemudian mengalami nekrosis sentral, mengering dan menimbulkan eskar (ulkus nekrotik) kehitaman yang khas yang dikelilingi edema dan vesikel keunguan. Edema biasanya terjadi lebih hebat pada kepala atau leher dibandingkan badan atau tungkai. Limfangitis dan limfadenopati yang nyeri dapat ditemukan mengikuti gejala sistemik yang terjadi. Walaupun antraks kulit dapat sembuh sendiri, akan tetapi antibiotik tetap perlu diberikan (dapat mengurangi gejala sistemik yang terjadi). Pada 80-90% kasus lesi sembuh secara sempurna tanpa komplikasi atau jaringan parut. Edema maligna jarang terjadi, ditandai dengan edema hebat, indurasi, bula multipel, dan syok. Edema maligna dapat terjadi pada leher dan daerah dada yang menyebabkan kesulitan bernapas, sehingga diperlukan kortikosteroid atau intubasi.1 Antraks Gastrointestinal Antraks gastrointestinal, walaupun dapat berakibat fatal, belum pernah dilaporkan di AS. Gejala biasanya timbul 2-5 hari setelah memakan daging mentah atau kurang matang yang terkontaminasi kuman. Beberapa kasus dapat terjadi di dalam satu rumah. Pada pemeriksaan patologi dengan menggunakan mikroskop dapat ditemukan basil dalam mukosa dan submukosa jaringan limfe dan limfadenitis mesenterika. Ulserasi hampir selalu ditemukan. Pada jaringan di sekitar tempat infeksi ditemukan edema masif dan nekrosis. Sejumlah besar kuman Gram positif dapat ditemukan pada cairan peritoneal. Pelebaran mediastinum dapat juga terjadi.1 Gejala klinis berupa demam, nyeri abdomen difus, konstipasi, atau diare. Oleh karena ulserasi yang terjadi maka buang air besar atau muntah menjadi kehitaman atau kemerahan. Dapat terjadi asites yang jernih sampai purulen (bila dilakukan kultur sering ditemukan koloni B. Anthracis). Maj Kedokt Indon, Volum: 55, Nomor: 1, Januari 2005 Kematian terjadi akibat perdarahan, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, perforasi, syok, atau toksemia. Bila penderita dapat bertahan hidup maka sebagian besar gejala akan hilang dalam 10-14 hari. Pengendapan dan germinasi spora di orofaring dapat menimbulkan antraks orofaring. Gejala klinis berupa sakit teggorokan yang hebat, demam, disfagia, dan terkadang karena limfadenitis dan edema masif dapat terjadi respiratory distress. Diagnosis Kelainan kulit berupa ulkus yang dangkal disertai krusta hitam yang tidak nyeri patut dicurigai suatu antraks kulit. Ditemukannya basil Gram positif pada pemeriksaan cairan vesikel merupakan temuan yang khas pada antraks kulit tetapi diagnosis pasti baru dapat ditegakkan bila biakan kuman positif.1,13 Karena mirip penyakit gastrointestinal lainnya maka antraks gastrointestinal sering sulit didiagnosis. Adanya riwayat makan daging yang dicurigai mengandung kuman antraks disertai dengan gejala nause, anoreksia, muntah, demam, nyeri perut, hematemesis, dan diare (biasanya disertai darah) sangat membantu penegakan diagnosis penyakit antraks. Dari pewarnaan Gram yang dilakukan, bahan diambil dari darah dan atau cairan asites, dapat ditemukan basil antraks. Untuk pemeriksaan biakan, bahan diambil dari apusan faring (antraks faring), darah, dan cairan asites.1,13 Diagnosis antraks inhalasi juga sulit ditegakkan. Seseorang yang tiba-tiba mengalami gejala seperti flu yang mengalami perburukan secara cepat dan disertai hasil pemeriksaan foto toraks menunjukkan pelebaran mediastinum, infiltrat, dan atau efusi pleura, sangat patut dicurigai menderita antraks inhalasi (apalagi bila pada penderita tersebut juga ditemukan antraks kulit).1,6 Pada pewarnaan Gram bahan diambil dari darah, cairan pleura, cairan serebrospinalis, dan lesi kulit, dapat ditemukan basil antraks. Untuk pemeriksaan biakan bahan diambil dari darah, cairan pleura, cairan serebrospinalis, dan lesi kulit. Pada pemeriksaan langsung pewarnaan Gram dari lesi kulit, cairan serospinal atau darah yang mengandung kuman antraks akan menunjukkan basil besar, encapsulated, dan Gram positif. Pada kultur darah tampak pertumbuhan pada agar darah domba berupa koloni nonhemolitik, besar, nonmotil, Gram positif, berbentuk spora, dan tidak tumbuh pada agar Mac Conkey.13 Nilai prediksi pemeriksaan kultur apusan hidung (swab nasal) untuk menentukan antraks inhalasi belum diketahui dan belum pernah diuji. Oleh karena itu CDC tidak menganjurkan pemeriksaan tersebut sebagai pemeriksaan diagnostik klinis.6 Tes serologis berguna secara retrospektif dan membutuhkan dua kali pengambilan yaitu pada fase akut dan penyembuhan. Pemeriksaan dengan menggunakan cara ELISA untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen protektif dan antigen kapsul.1 27 Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaan Penatalaksanaan Pengobatan Pemberian antibiotik intravena direkomendasikan pada kasus antraks inhalasi, gastrointestinal dan meningitis. Pemberian antibiotik topikal tidak dianjurkan pada antraks kulit. Antraks kulit dengan gejala sistemik, edema luas, atau lesi di kepala dan leher juga membutuhkan antibiotik intravena. Walaupun sudah ditangani secara dini dan adekuat, prognosis antraks inhalasi, gastrointestinal, dan meningeal tetap buruk. B. anthracis alami resisten terhadap antibiotik yang sering dipergunakan pada penanganan sepsis seperti sefalosporin dengan spektrum yang diperluas tetapi hampir sebagian besar kuman sensitif terhadap penisilin, doksisiklin, siprofloksasin, kloramfenikol, vankomisin, sefazolin, klindamisin, rifampisin, imipenem, aminoglikosida, sefazolin, tetrasiklin, linezolid, dan makrolid. Bagi penderita yang alergi terhadap penisilin maka kloramfenikol, eritromisin, tetrasikilin, atau siprofloksasin dapat diberikan.1,6 Pada antraks kulit dan intestinal yang bukan karena bioterorisme, maka pemberian antibiotik harus tetap dilanjutkan hingga paling tidak 14 hari setelah gejala reda. Jenis antibiotik yang dapat digunakan dapat dilihat pada Tabel 3. Oleh karena antraks inhalasi secara cepat dapat memburuk, maka pemberiaan antibiotik sedini mungkin sangat perlu. Keterlambatan pemberian antibiotik sangat mengurangi angka kemungkinan hidup. Oleh karena pemeriksaan mikrobiologis yang cepat masih sulit dilakukan maka setiap orang yang memiliki risiko tinggi terkena antraks harus segera diberikan antibiotik sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratorium. Sampai saat ini belum ada studi klinis terkontrol mengenai pengobatan antraks inhalasi. Untuk kasus antraks inhalasi Food and Drug Administration (FDA) menganjurkan penisilin, doksisiklin, dan siprofloksasin sebagai antibiotik pilihan.6 Setelah serangan antraks yang terjadi pada tahun 2001 di AS dan berdasarkan uji kepekaan yang dilakukan, CDC menganjurkan kombinasi 2-3 antibiotik untuk pengobatan antraks inhalasi. Pemberian dua atau lebih antibiotik intravena Tabel 3. Terapi Farmakologis Infeksi Bacillus Anthracis1 Kategori Pengobatan oral awal Terapi Dosis Dewasa Dosis Anak Penisilin V 200-500 mg per oral 4x/hari 25-50 mg/kg BB/hari/oral dibagi menjadi 2 atau 4x/ hari 100.000-150.000 U/kg/ hari dengan dosis terbagi, setiap 4-6 jam Penisilin G 8-12 juta U, iv dengan dosis terbagi, setiap 46 jam Streptomisin 30 mg/kg BB, im atau iv Tetrasiklin 250-500 mg per oral atau iv 4x/hari Doksisiklin 200 mg untuk dosis awal, per oral atau iv, selanjutnya 50-100 mg setiap 12 jam Tidak dianjurkan Tidak dianjurkan pada anak < 9 tahun. Anak < 45 kg; 2,5 mg/kg tiap 12 jam Anak < 45 kg: dosis seperti dewasa Eritromisin 250 mg per oral tiap 40 mg/kg BB/ oral dengan 6 jam dosis terbagi, setiap 6 jam Eritromisin 15-20 mg/kg BB 20-40 mg/kg/hari iv laktobionat (maksimum 4 gr), iv/hari dengan dosis terbagi, setiap 6 jam Kloramfe50-100 mg/kg BB/hari, 50-75 mg/kg BB/hari nikol per oral atau iv dengan dengan dosis terbagi, dosis terbagi, setiap 6 jam setiap 6 jam Siprofloksasin 250-750 mg per oral, 20-30 mg/kg BB/hari 2x/hari dengan dosis terbagi, setiap 200-400 mg iv, setiap 12 jam 12 jam Tidak dianjurkan pada pasien < 18 tahun Profilaksis Doksisiklin 100 mg per oral 2x/hari selama 4 minggu Siprofloksasin 500 mg per oral 2x/hari selama 4 minggu Kortikosteroid pada kasus edema berat Deksame0.75-0.90 mg/kg BB per 0.25-0.5 mg/kg BB setiap tason oral, iv,im dalam dosis 6 jam terbagi setiap 6 jam Prednison 1-2 mg/kg BB atau 50.5-2 mg/kg BB/ hari 60 mg per oral/hari 28 Tabel 4. Dewasa Pengobatan Infeksi Antraks Inhalasi pada Kejadian Massal atau Profilaksis Setelah Pajanan 6 Siprofloksasin 500 mg per oral/ 12 jam Pengobatan alternatif berdasarkan hasil kultur Doksisiklin 100 mg per oral/12 jam Amoksisilin 500 mg per oral/8 jam Anak Siprofloksasin 20- Berat Badan > 20 kg: 30 mg/kg BB/hari Amoksisilin 500 mg per oral dibagi men- per oral/8 jam jadi 2 dosis, maksi- Berat Badan < 20 kg mal 1 gr/hari Amoksisilin 40 mg/kg BB/oral dibagi menjadi 3 dosis setiap 8 jam Wanita Siprofloksasin Amoksisilin 500 mg hamil 500 mg per oral/ per oral/8 jam 12 jam Penderita Sama seperti pasien dewasa dan anak biasa dengan (nonimunosupresi) imunosupresi Lama pengobatan setelah pajanan, hari 60 60 60 Keterangan: Sebagian dari rekomendasi ini berdasarkan hasil studi pada binatang atau invitro tetapi belum dianjurkan oleh FDA. Pada studi in vitro siprofloksasin dapat diganti dengan ofloksasin (400 mg/oral/12 jam, atau levofloksasin 500 mg/oral setiap 12 jam. Pada studi in vitro doksisiklin dapat diganti dengan tetrasiklin 500 mg/oral/6 jam; Sebagai tambahan siprofloksasin dapat diganti dengan gatifloksasin atau monifloksasin 400 mg/oral/hari. Sesuai dengan anjuran Centers for Disease Control and Prevention pemberian amoksisilin sebagai profilaksis setelah pajanan hanya dapat diberikan setelah 10-14 hari pemberian fluorokuinolon atau doksisiklin atau bila terdapat kontra indikasi terhadap 2 jenis tersebut (misalnya ibu hamil, menyusui, usia < 18 tahun, atau terdapat intoleransi). Doksisiklin dapat diberikan bila hasil biakan menunjukkan kuman sensitif terhadap obat ini atau suplai obat telah habis, atau mencegah reaksi yang tidak diinginkan dari siprofloksasin. Untuk anak berat > 45 kg doksisiklin dapat diberikan 2.5 mg/kg BB/ oral/12 jam. Maj Kedokt Indon, Volum: 55, Nomor: 1, Januari 2005 Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaan dikatakan sangat bermanfaat meningkatkan angka harapan hidup. Mengingat kemungkinan rekayasa kuman pada antraks inhalasi akibat serangan bioterorisme (kuman menjadi resisten terhadap satu atau lebih antibiotik) juga menjadi salah satu alasan pemberian kombinasi antibiotik ini.6 Pada binatang percobaan pemberian antibiotik pada infeksi antraks dapat menekan respon kekebalan. Walaupun seseorang yang menderita antraks inhalasi tetap hidup setelah pemberian antibiotik, mengingat proses germinasi spora dapat tertunda, maka kemungkinan kambuh dapat terjadi. Oleh karena itu bagi penderita antraks inhalasi atau seseorang yang terpapar dengan spora antraks secara inhalasi, para ahli menganjurkan pemberian antibiotik harus dilanjutkan paling tidak hingga 60 hari (bila keadaan klinis telah stabil dan penderita telah dapat makan dan minum dengan baik maka pemberian antibiotik dapat diganti menjadi oral).6 Profilaksis Setelah Terpajan Karena antraks berasal dari bioterorisme mungkin dilakukan perubahan strain yang resisten terhadap beberapa antibiotik maka siprofloksasin merupakan obat pilihan utama. Mengingat kemungkinan adanya β-laktamase maka oleh CDC pemberian amoksisilin sebagai profilaksis setelah pajanan hanya dapat diberikan setelah 10-14 hari pemberian fluorokuinolon atau doksisiklin atau bila terdapat kontraindikasi terhadap dua jenis tersebut (misalnya ibu hamil, menyusui, usia < 18 tahun, atau terdapat intoleransi). Mengingat kemungkinan adanya perubahan strain yang resisten terhadap beberapa antibiotik pada bioterorisme maka kelompok kerja pertahanan sipil di AS yang terdiri atas para ahli menganjurkan pemberian siprofloksasin (doksisiklin sebagai alternatif) sebagai salah satu obat dari rejimen kombinasi antibiotik yang diberikan pada ibu hamil penderita antraks inhalasi. Selain itu kelompok kerja tersebut juga menganjurkan pemberian siprofloksasin (doksisiklin sebagai alternatif) pada ibu hamil untuk pengobatan infeksi antraks inhalasi pada kejadian massal atau profilaksis setelah pajanan. Pada ibu hamil, bila doksisiklin yang diberikan, maka pemeriksan fungsi hati secara periodik harus dilakukan.6 Pengendalian Infeksi dan Dekontaminasi Belum pernah ada laporan yang mengatakan adanya transmisi antraks dari manusia ke manusia baik di komunitas maupun di rumah sakit. Oleh karena itu penderita antraks dapat dirawat di ruang rawat biasa dengan tindakan pencegahan yang umum dilakukan. Menghindari kontak terhadap penderita hanya diberlakukan pada penderita antraks kulit dengan lesi yang berair. Pakaian yang terkena cairan lesi kulit atau alat-alat laboratorium yang terkontaminasi sebaiknya dibakar atau dimasukkan ke dalam autoklaf.2 Dekontaminasi dapat dilakukan dengan memberikan larutan sporosidal yang biasa dipakai di rumah sakit pada tempat yang terkontaminasi. Bahan pemutih atau larutan hipoklorit 0,5% dapat dipergunakan untuk dekontaminasi. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Vaksinasi Di AS pemberian vaksin antraks (anthrax vaccine adsorbed/AVA) terhadap kelompok risiko tinggi terpajan spora sudah rutin dilakukan. Sebanyak 0,5 ml AVA yang disuntikkan secara subkutan diberikan pada minggu ke 0, 2, dan 4, dan bulan ke 6, 12, dan 18, selanjutnya booster dilakukan setiap tahun. 1 Para ahli yang terdapat pada kelompok kerja pertahanan sipil di AS mengemukakan bahwa pada penduduk yang terpajan kuman antraks akibat bioterorisme maka pemberian antibiotik selama 60 hari setelah pajanan ditambah dengan vaksinasi akan memberikan proteksi yang optimal.6 Maj Kedokt Indon, Volum: 55, Nomor: 1, Januari 13. Dixon TC, Meselson BSM, Guillemin J, Hanna PC. Anthrax. N Engl J Med 1999; 341:815-26. Swartz MN. Recognition and management of anthrax – an update. NEJM 2001; 345 (22):1621-6. Holmes RK. Diphtheria, other corynebacterial infection and anthrax. In : Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et al. Eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 14th ed. McGraw-Hill: New York 1998.p.892-9. Cieslak TJ, Eitzen E. Clinical and epidemiologic principles of anthrax. Emerging Infectious Diseases 1999;5:552-5. Inglesby TV, Henderson DA, Barlett JG. Anthrax as a Biological Weapon Medical and Public Health Management. JAMA 1999; 281:1735-45. Inglesby TV, O’Toole T, Henderson DA, Bartlett JG, Ascher MS, Eitzen E, et al. Anthrax as a biological weapon: updated recommendations for management. JAMA 2002; 287 (17):2236-52. Friedlander AM. Capter 22 : Anthrax. In : Medical Aspects of Chemical and Biological Warfare. Available at: http://www.nbcmed.org/SiteContent/ HomePage/WhatsNew/MedAspects/Ch-22/ electrv699.pdf Pile JC, Malone JD, Eitzen EM, Friedlander AM. Anthrax as a potential biological warfare agent. Arch Intern Med 1998;158: 429-34. Kohout E, Sehat, Ashraf M. Anthrax: A continuous problem in south west Iran. Am J Med Sci; 1964:247-565. WHO guidelines for the surveillance and control of anthrax in humans and animals. Available at: http//who.int/emc-document/ zoonoses/docs/whoczdi986.html Prince AS. The host response to anthrax lethal toxin: unexpected observations. J. Clin. Invest 2003;112:656-8. Shafazand S, Doyle R, Ruoss S, Weinacker A, Raffin TA. Inhalation Anthrax, Epidemiology, Diagnosis and Management. Chest 1999;116:1369-76. Anthrax: current, comprehensive infection on pathogenesis, microbiology, epidemiology, diagnosis, treatment and prophylaxis. Available at: http//www.cidrap.umn.edu/cidrap/content/bt/ anthrax/biofacts/anthraxfacsheet. html SS 29 BIDI JIMA