2 AGUSTUS – 2 SEPTEMBER 2015 ANTRAKS BULETIN DISEASE EDISI XI 1. EPIDEMIOLOGI Antraks adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh kuman Bacillus anthracis yang membentuk spora dan ditularkan ke manusia melalui kontak dengan binatang yang terinfeksi atau bahan dari binatang yang terkontaminasi . Penyakit ini endemic di Negara berkembang seperti Asia, Afrika dan Amerika Selatan, dimana control peternakan belum baik dan kondisi lingkungan menunjang siklus binatang-tanah-binatang. Di Eropa Barat Amerika Utara, dan Australia telah hilang. Setelah eradikasi penyakit ini dipeternakan disebabkan program yang ekstensif seperti vaksinasi . [1] [1] ” “ 2. ETIOLOGI Jenis bacillus anthracis termasuk batang besar aerob, gram positif, dalam bentuk rantai. Sebagian genus ini dijumpai pada tanah, air, udara dan pada vegetasi. Sel khas berukuran 1 x 3-4 µm, mempunyai ujung persegi, spora terletak tengah-tengah basil nonmotil. Koloni bacillus anthracis berbentuk bulat dan memiliki tampilan kaca terpotong dalam pancaran cahaya. Spora resisten terhadap perubahan lingkungan, tahan terhadap panas yang kering, desinfektan kimia tertentu selama periode sedang, dan menetap selama bertahun-tahun ditanah yang kering . [2] 3. PATOGENESIS Spora akan masuk melalui kulit, saluran nafas atau saluran cerna, didalam makrofag akan tetap hidup. Yang menentukan virulensi B. anthracis adalah 3 eksotoksin yaitu protective antigen (PA), Edema factor (EF) dan lethal factor (LF), dan antiphagocytic polydiflutamic acid capsule. . Pada cutaneus anthrax, spora kuman melalui kulit yang luka yang disebabkan serat dari binatang terinfeksi. Disubkutan spora tersebut menjadi bentuk vegetatif, bermultiplikasi, dan mengeluarkan eksotoksin sehingga terjadi edema dan nekrosis jaringan. Lalu kuman difagosit oleh makrofag dan menyebar kekelenjar getah bening setempat, dimana toksin menyebabkan pendarahan, edema, dan nekrosis. Terakhir basil masuk keperedaran menyebabkan pneumonia, meningitis, dan sepsis . Pada inhalation anthrax terjadi inhalasi spora dimana spora akan sampai dialveoli, difagosit oleh makrofag dan selanjutnya dibawah kekelenjar getah bening mediastinum. Disini terjadi germination, berkembang biak dan pembentukan toksin, sehingga terjadi limfadenitis dan mediatinitis yang hemoragis . Bila spora masuk kemulut setelah makan daging yang terkontaminasi yang mentah maka terjadi oropharyngeal antraks dimana terjadi pemnbengkakan faring atau intestinal antraks dimana terjadi edema, nekrosis, pendarahan mukosa usus, dan sepsis . [1] [1] [1] [1] 4. MANIFESTASI KLINIK Cutaneus anthrax, setelah masa inkubasi 1-7 hr timbul lesi berbentuk papul kecil, gatal pada tempat spora masuk pada beberapa hari menjadi vesikel yang tidak sakit dan menjadi ulkus nekrotik. Dalam 2-6 hr timbul eschar hitam seperti batubara yang berkembang menjadi jaringan parut. Gambaran sistemik berupa demam, mialgia, sakit kepala, dan limfadenopati lokal . Inhalasi anthrax, setelah inkubasi 10 hr timbul fase initial yaitu demam, mialgia, batuk kering, rasa tertekan didada dan perut. Dilanjutkan fase kedua berupa panas tinggi, sesak nafas, hipoksia, sianosis, stridor, dan syok serta kematian . Gastrointestinal anthrax, sekitar 25 hr setelah memakan daging yang mengandung spora, timbul demam, nyeri perut difus, muntah, diare. Muntah bisa muntah darah, berak darah, berisi darah segar atau melena, perforasi usus, dan limfadenitis mesenterial, dan asites. Pada oropharyngeal anthrax edema leher, susah menelan, dan obstruksi saluran nafas . [1] [1] [1] 5. PENATALAKSANAAN Terapi antaks dimulai sejak dini. Siprofloksasin 2x400 mg ditambah rifamisin 2x300 mg atau klindamisin 3x900 mg. eksisi dari lesi kulit adalah kontraindikasi karena tidak ada pus dan di khawatirkan terjadi penYebaran . [1] 6. PROGNOSIS Angka kematian pada inhalation anthrax mencapai 80% bila tidak segera diberikan antibiotic. Pada cutaneus anthrax kematian adalah 20% dan gastrointestinal anthrax memnpunyai mortalitas tinggi . [1] 7. PENCEGAHAN Tindakann pencegahan meliputi A. menghilangkan bangkai hewan melalui pembakaran atau penguburan jauh dalam tanah B. Dekontaminasi produk hewan C. Pakaian dan sarung tangan pelindung untuk menangani bahan yang berpotensi terinfeksi D. Imunisasi aktif pada hewan domestic . [2] DAFTAR PUSTAKA 1. Setiati S, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 6. InternaPublishing, Jakarta. 2. Nugroho AW, dkk. 2012. Mikrobiologi Kedokteran, edisi 25. EGC, Jakarta