1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang hidup memerlukan uang atau dana untuk membiayai keperluan hidupnya. Demikian juga halnya dengan suatu badan hukum. Uang diperlukan badan hukum, terutama perusahaan, untuk membiayai kegiatan usahanya. Sebelum orang mengenal uang sebagai alat pembayaran, apabila seseorang memerlukan suatu barang yang tidak dimilikinya, maka orang itu akan mendapatkan dari alam (menambang, memburu, atau membuat dengan bahan-bahan yang diperoleh dari alam). Namun demikian, apabila barang itu tidak dapat diperoleh dengan cara seperti itu, maka orang tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang dimilikinya dengan barang yang diperlukannya dari orang lain. Setelah orang mengenal uang sebagai alat pembayaran, ia tidak lagi melakukan barter, namun berusaha untuk memperoleh uang sebagai alat pembayaran bagi barang yang dibutuhkannya. 1 Banyak hal yang dilakukan guna mendapatkan segala kebutuhan hidup, salah satunya adalah dengan cara membuka suatu usaha. Dunia usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole proprietorship), Persekutuan (partnership firm and limited partnership), Perseroan Terbatas (corporation) dan Koperasi (cooperative). Dalam 1 Sutan Remy Sjahdeini, 2010, Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, Hlm. 2 1 2 kehidupan sehari-hari, baik orang perorangan (natural person) maupun suatu badan hukum (legal entity) guna menjalankan roda ekonomi usahanyanya selalu membutuhkan dana. Kebutuhan dana tersebut adakakalanya dapat dipenuhi dengan sendiri berdasarkan kemampuannya, namun adakalanya pula tidak dapat dipenuhi dengan sendiri. Cara yang sering dilakukan guna mengatasi kekuarangan tersebut adalah dengan melalui meminjam dari pihak yang lain. Apabila seseorang atau badan hukum tersebut memperoleh pinjaman dari pihak lain (orang lain atau badan hukum lain), pihak yang mendapatkan pinjaman tersebut disebut sebagai debitor sedangkan pihak yang memberikan tersebut disebut sebagai kreditor. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 04 K/N/1999 bahwa yang dimaksud dengan utang adalah suatu hak yang dapat dinilai dengan sejumlah uang tertentu yang timbul karena perjanjian atau perikatan atau Undang-undang, termasuk tidak hanya kewajiban debitur untuk membayar, akan tetapi juga hak dari kreditur menerima dan mengusahakan. Selanjutnya pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 13 K/N/1999 bahwa yang dimaksud dengan utang adalah segala bentuk kewajiban untuk membayar uang tertentu baik yang timbul karena perikatan maupun karena Undangundang. Hubungan pinjam meminjam antara debitor dan kreditor tersebut sering kali menghadapi situasi dimana debitor tidak mampu lagi membayar utang-utangnya yang telah disepakatinya dengan kreditor. 2 3 Suatu keadaan akan semakin memburuk bilamana debitor tersebut mempunyai banyak kreditor. Hal tersebut akan menimbulkan dorongan bagi para kreditor untuk berlomba-lomba meminta pemenuhan kewajiban debitor dengan segala cara, di sisi lain hal tersebut juga dapat mendorong debitor untuk melakukan tindakan yang tidak atas itikad baik. Maka guna menghindari adanya tindakan-tindakan yang tidak baik guna melaksanakan hak dan kewajiban kreditor dan debitor tersebut dibentuklah suatu cara penyelesaiannya melalui lembaga kepailian. Mengenai masalah tersebut diatas Sri Rejeki Hartono mengatakan bahwa lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus. Pertama, kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan pada kreditor bahwa debitor tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggungjawab terhadap semua utang-utangnya pada kreditor. Kedua, sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitor terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditor-kreditornya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat azas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. 3 4 Pasal 1131 KUH Perdata : “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun baru yang akan ada di kemudian hari, menjadi tanggugan untuk segala perikatan perorangan.“ Pasal 1132 KUH Perdata : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendaatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasanalasan sah untuk didahulukan.” 2 Pasal 1131 KUH Perdata tersebut menentukan, harta kekayaan debitor bukan hanya untuk menjamin kewajiban melunasi utang kepada kreditor yang diperoleh dari perjanjian utang-piutang diantara mereka, tetapi untuk menjamin semua kewajiban yang timbul dari perikatan debitor. Sebagaimana menurut ketetuan pasal 1233 KUH Perdata, suatu perikatan (antara debitor dan kreditor) timbul atau lahir karena adanya perjanjian di antara debitor dan kreditor maupun timbul atau lahir karena ketentuan lama. Menurut Pasal 1234 KUH Perdata, wujud perikatan adalah “untuk memberikan sesuatu”, “untuk berbuat sesuatu”, atau “untuk tidak berbuat sesuatu”. Dalam istilah hukum, perikatan dalam wujudnya yang demikian itu disebut pula dengan istilah “prestasi”. 3 Berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata tersebut menetukan tidak hanya harta kekayaan debitor demi hukum menjadi agunan bagi kewajiban membayar utangnya pada para kreditor, namun juga menjadi agunan bagi semua kewajiban lain yang timbul karena perikatan-perikatan lain, yang timbul karena Undang2 3 Sri Rejeki Hartono, 2000, Hukum Perdata sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern, Majalah Hukum Nasional, Hlm. 37 Sutan Remy Sjahdeini, Op Cit, Hlm. 4 4 5 undang maupun perjanjian selain perjanjian utang piutang atau kredit. Guna menghadapinya maka peran Pasal 1132 KUH Perdata mengenai cara pembagian aset debitor pada para kreditornya diatur. Perkembangan peraturan kepailitan di Indonesia sudah dimulai sejak berlakunya “Verordening op het Faillissement en de Surceance van Betaling voor de European in Nederlands Indie” di tahun 1906 sebagaimana dimuat dalam Staatblads 1905 No. 217 jo. Staatblads 1906 No. 348 Faillissementsverordening. Seiring dengan perkembangan zaman, maka peraturan yang sudah tidak sesuai lagi diubah dengan Peraturan Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undangundang berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998. Undangundang Nomor 4 Tahun 1998 yang tidak memuat ketentuan yang mengatur tentang terminologi, dalam aplikasinya belum memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, sehingga dibentuk Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Kepailitan). Kepailitan pada hakikatnya akan mengubah status cakap dari subjek hukum yang bersangkutan yaitu si debitor dalam pengurusan harta pailitnya, maka dalam prosesnya harus mengikuti syarat dan prosedur tertentu sehingga dinyatakan pailit dengan berdasarkan suatu keputusan hakim. Akibat putusan pernyataan pailit terhadap debitor yang mendasar 5 6 tersebut akan menjadi suatu pijakan persoalan selanjutnya yaitu mengenai bagaimana para kreditor mendapatkan hak-haknya dari debitor pailit dan siapakah yang akan mengurus pembagian harta debitor pailit tersebut. Terhadap pernyataan ini, dalam Pasal 70 Undang-Undang Kepailitan diatur bahwa yang berhak melakukan itu adalah Balai Harta Peninggalan dan kurator lainnya. Membagi harta pailit merupakan bagian akhir dari proses kepailitan. Kurator memiliki peran utama dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit. Syarat untuk dapat menjadi kurator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf b adalah: a. Orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit. b. Terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang hukum dan peraturan perundang-undangan. Pasal 70 ayat (1) diatas apabila dihubungkan dengan Pasal 15 ayat (2) yang berbunyi: dalam hal debitor, kreditor atau pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), ayat (3), ayat (4) atau ayat (5) tidak mengajukan usul pengangkatan kurator kepada Pengadilan, maka Balai Harta Peninggalan diangkat selaku Kurator. Balai Harta Peninggalan mempunyai tugas pokok antara lain: - Selaku Wali Pengawas (Pasal 366 KUH Perdata); 6 7 - Selaku Wali Sementara (Pasal 332 KUH Perdata); - Selaku Pengampu Pengawas (Pasal 449 KUH Perdata); - Pengurus harta peninggalan orang yang tidak hadir (Pasal 463 KUH Perdata); - Pengampu atau Kurator dari harta kekayaan orang yang dinyatakan pailit (Pasal 15 jo. Pasal 69 ayat (1) UUK); - Pengampu anak yang masih dalam kandungan (Pasal 348 KUH Perdata); - Pendaftaran dan pembukaan surat wasiat (Pasal 42 OV S. 1848 No. 10); - Pembuat surat keterangan waris untuk golongan Timur Asing kecuali Tiong Hoa (Pasal 14 ayat 1 Instuctie Voor Reglement Landmeters S. 1916 No. 517); - Selaku Pengurus pekerjaan Dewan Perwalian ; - Fungsi Jabatan College Van Boedel Western. Pada Bagian ketiga “Pengurusan Harta Pailit” paragraf 2 “Kurator” dari Undang-Undang Kepailitan secara khusus telah mengatur mengenai tugas, wewenang dan tanggung jawab kurator. Guna melaksanakan tugas dan kewenangannya, seorang kurator perlu memilah kewenangan yang dimiliknya berdasarkan undang-undang yaitu (i) kewenangan yang dapat dilaksanakan tanpa diperlukan persetujuan dari instansi atau pihak lain, dan (ii) kewenangan yang dapat dilaksanakan setelah memperoleh 7 8 persetujuan dari pihak lain, dalam hal ini hakim pengawas. 4 Kemampuan kurator harus diikuti dengan integritas yang tinggi. Integritas merupakan salah satu ciri yang fundamental bagi pengakuan terhadap profesionalisme yang melandasi kepercayaan publik serta menjadi dasar pijakan bagi kurator dalam menguji semua keputusan yang diambilnya. Pasal 16 Undang-Undang Kepailitan mengatur tentang berwenangnya kurator dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit, sejak tanggal putusan pailit ditetapkan. Dalam pelaksaan tugasnya kurator haruslah mandiri dan tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitor maupun kreditor. Seorang kreditor atau debitor yang mengajukan permohonan kepailitan dapat meminta penunjukan seorang kurator kepada pengadilan. Apabila tidak ada permintaan, hakim pengadilan niaga dapat menunjuk kurator dan atau balai harta peninggalan guna bertindak sebagai kurator. Tugas kurator tidaklah mudah, karena sering kali banyak persoalan yang dihadapinya, seperti menghadapi debitor yang tidak dengan sukarela menjalankan putusan pengadilan, bahkan tetap terus bertransaksi. Contoh kasus penyelesaian utang debitor terhadap kreditor melalui kepailitan adalah kasus kepailitan PT Trisakti Putra Mandiri, alamat Jalan Gatot Subroto Kawasan Industri Candi Blok 21 Semarang, dimana debitor pailit tidak transparan dalam memberikan data asetnya dan tidak kooperatif dalam penyelesaian kepailitan yang 4 Imran Nating, 2004, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hlm.12 8 9 ditangani oleh Balai Harta Peninggalan yang dalam hal ini bertindak sebagai pengampu kepailitan. Uraian tersebut diatas mendorong penulis mengadakan penelitian dalam rangka penulisan hukum dengan judul “Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab Balai Harta Peninggalan dalam Pemberesan Harta Pailit (Studi Kasus PT Trisakti Putra Mandiri)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksaaan tugas, wewenang dan tanggung jawab Balai Harta Peningalan dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit? 2. Bagaimana pelaksanaan pemberesan harta pailit dalam kasus PT Trisakti Putra Mandiri ? 3. Hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi Balai Harta Peninggalan dalam pemberesan harta pailit pada kasus PT Trisakti Putra Mandiri ? 9