BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tenaga kerja merupakan salah satu instrumen dalam pembangunan nasional.
Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai
salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan
demikian perlu adanya perlindungan terhadap hak-haknya. Berbicara mengenai
hak pekerja berarti membicarakan hak-hak asasi manusia yang berkaitan dengan
kebutuhan dasar. Menurut Sudjana, kebutuhan dasar itu minimal adalah: 1
1. Kebutuhan dasar untuk hidup, meliputi pangan, sandang, papan, air, udara,
bahan bakar, dan lain-lain.
2. Kebutuhan yang mendukung kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan
ckapasitas atau produktifitas individu, meliputi pendidikan, pelayanan
kesehatan, sarana komunikasi, dan transportasi.
3. Kebutuhan untuk meningkatkan akses (peluang memperoleh sesuatu) terhadap
cara berproduksi dan peluang ekonomi, meliputi tanah air, vegetasi, modal
(termasuk teknologi), peluang bekerja dan berpenghasilan yang layak.
1
http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=4&Itemid=5
diakses 15 Desember 2009, pukul 20.25 WIB.
2
4. Kebutuhan untuk hidup dengan rasa aman dan kebebasan untuk membuat
keputusan, partisipasi dalam politik, keamanan sosial, pertahanan sosial,
dsb.
Untuk memenuhi hajat hidup tersebut maka perlu adanya timbal balik dari
pekerjaan terhadap apa yang telah dikerjakan. Pekerja memiliki hak untuk
mendapatkan hasil atau upah dari pekerjaan yang dilakukan. Sedangkan pemberi
kerja atau perusahaan berkewajiban membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain. Apabila salah satu pihak yang terikat dalam perjanjian kerja tersebut tidak
melaksanakan kewajibannya, maka mungkin sekali terjadi sengketa antara dua
belah pihak. Khususnya sering terjadi dalam pemenuhan upah oleh perusahaan
kepada pekerja atau buruh. Dalam Undang–Undang Nomor 37 tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebenarnya
berlaku asas umum yang dinyatakan dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab
Undang–Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu paritas creditorium, yang
artinya adalah bahwa semua kreditor mempunyai hak yang sama atas
pembayaran, dan hasil pembayaran debitor pailit akan dibagikan secara
proporsional menurut besarnya tagihan mereka, kecuali yang diberikan hak
istimewa oleh undang–undang.2 Kreditor yang mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi dibanding yang lain, misalnya: 3
1. Kreditor yang memegang hak jaminan (kreditor yang dijamin), dan
2
Triweka Rinanti, Dilema Kreditur Separatis di Pengadilan Niaga, Ctk. Kedua, Jakarta, 2006,hlm.
3
Ibid.
43.
3
2. Kreditor yang memiliki hak preferensi sesuai undang-undang.
Kepailitan ataupun pembubaran suatu perusahaan akan berdampak buruk
terhadap perlindungan hak dan masa depan dari para pekerjanya.4 Kepentingan
pekerja suatu perusahaan yang dinyatakan pailit adalah berkaitan dengan
pembayaran upah dan pesangon. Sebelum berlakunya Undang–Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu merujuk pada Buku Kedua Bab XIX
KUHPerdata, kedudukan upah atau buruh kerja dianggap sebagai kreditor
preferens dengan privilege, atau hak istimewa atau prioritas. Akan tetapi
berdasarkan Pasal 95 ayat (4) Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi
berdasarkan peraturan perundang–undangan yang berlaku, maka upah dan hak–
hak lainnya dari pekerja atau buruh merupakan utang yang didahulukan
pembayarannya.5
Undang–Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang tidak secara khusus mengatur kedudukan buruh
sebagai kreditor preferen. Pada praktiknya, hak-hak buruh sering kali kurang
terlindungi dalam proses kepailitan. Artinya, posisi preferen (didahulukan) yang
dimiliki oleh buruh tidak dapat begitu saja didahului. Pada daftar antrian kreditor,
buruh tidak berada di urutan pertama. Undang-Undang Ketenagakerjaan memang
4
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19305/uu-kepailitan-versus-hakhak-buruh diakses
15 Desember 2009, pukul 20.25 WIB.
5
Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan di
Indonesia, Ctk. Pertama, Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 393.
4
sudah menyebut pembayaran upah buruh didahulukan, tetapi di dunia kepailitan
kurator lazim mengesampingkan kepentingan pekerja. Faktanya, meski berada
dalam posisi “superior” berdasarkan Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, pekerja sering kali ditempatkan paling belakang di dalam
antrian kreditor saat harta pailit dibagikan oleh kurator. Hal itu terjadi karena
Undang-Undang Kepailitan, Undang-Undang Hak Tanggungan, KUHPerdata
memang lebih menempatkan kreditor lain, seperti utang negara dan pemegang
hak tanggungan, lebih tinggi kedudukannya dibanding pekerja.6
Berkaitan dengan permohonan pailit yang diajukan oleh pekerja, seperti
halnya dalam putusan pailit PT. Natural Selaras dengan Putusan No.
48/Pailit/2007/PN.NIAGA.JKT.PST. Pada kasus kepailitan tersebut, PT. Natural
Selaras dimohonkan pailit oleh pekerjanya. Hal yang sama dilakukan oleh para
pekerja
PT.
Dirgantara
Indonesia
dengan
Putusan
No.
41/Pailit/2007/PN.NIAGA.JKT.PST . Dalam kasus ini sudah jelas ada kewajiban
atau utang kepada karyawan yaitu berupa kompesasi pensiunan dan jaminan hari
tua bagi karyawan sebagaimana diputuskan Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat (P4P) pada 29 Desember 2004..7
Permasalahan pokok yang diajukan adalah
perbedaan kedudukan hukum
yang terkait dengan pembayaran dalam kepailitan antara kreditor separatis dan
6
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19869/bagi-buruh-kejamnya-ibukota-tak-sekejamputusan-pailit- diakses 15 Desember 2009, pukul 20.25 WIB.
7
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=8756&coid=2&caid=30&gid=3 diakses 15
Desember 2009, pukul 20.25 WIB.
5
pekerja. Bagi kreditor separatis, pembayaran dalam kepailitan dijamin
pelunasannya dengan hipotek, agunan, fidusia, gadai, dan hak tanggungan. Bagi
buruh, selaku kreditor preferen khusus, kedudukannya berada di bawah kreditor
separatis, sehingga jika seluruh harta debitor telah dijadikan agunan dan dikuasai
oleh para kreditor separatis, hal tersebut dapat berakibat buruh tidak memperoleh
apapun.8
Dari analisis diatas maka pekerja atau buruh berhak untuk mendapat imbalan
serta perlakuan yang adil dan layak dari pekerjaan yang telah dilakukannya yang
mendukung haknya untuk hidup. Hal ini tentunya sangat menarik untuk dikaji
lebih mendalam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka penulis akan
mengidentifikasi beberapa rumusan masalah, sebagai berikut :
1. Bagaimana Undang–Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan perlindungan hukum
terhadap hak–hak pekerja dalam kepailitan?
2. Bagaimana implementasi perlindungan hukum terhadap hak–hak pekerja
dalam putusan pengadilan niaga?
8
http://www.bipnewsroom.info/index.php?&newsid=42578&_link=loadnews.php, diakses 25
Januari 2010, pikul 12.21 WIB.
6
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan informasi yang
berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap hak–hak pekerja dalam
kepailitan, yakni :
1. Untuk mengkaji bagaimana perlindungan hukum terhadap hak–hak pekerja
dalam kepailitan dalam Undang–Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
2. Untuk menganalisis implementasi perlindungan hukum terhadap hak– hak
pekerja dalam putusan pengadilan.
D. Tinjauan Pustaka
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.9 Sedangkan definisi pekerja atau buruh adalah setiap
orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.10
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain.11 Sedangkan definisi pengusaha adalah:12
9
Pasal 1 angka 2 Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 1 angka 3 Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
11
Pasal 1 angka 4 Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
12
Pasal 1 angka 5 Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
10
7
1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri.
2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
3. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Sementara itu, yang dimaksud dengan Perusahaan adalah:13
1. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja atau buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
2. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
Perjanjian perburuhan adalah suatu peraturan yang dibuat seseorang atau
beberapa orang majikan atau beberapa perkumpulan majikan berbadan hukum
dan suatu atau beberapa serikat buruh yang berbadan hukum mengenai syarat –
syarat kerja yang dipatuhi pada waktu membuat perjanjian kerja.
14
Pengertian
perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha
13
Pasal 1 angka 6 Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Koko Kosidin Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan, Mandar
Maju, Bandung, 1999, hlm. 40.
14
8
atau pemberi kerja yang memuat syarat–syarat kerja, hak, dan kewajiban para
pihak.15 Seperti perjanjian pada umumnya, dengan membuat perjanjian
perburuhan maka saat itu akan timbul hak dan kewajiban bagi masing–masing
pihak. Pekerja mempunyai hak untuk mendapatkan upah dari hasil kerjanya,
sedangkan perusahaan atau pemberi kerja berkewajiban membayar upah dalam
bentuk lain.
Perselisihan atau sengketa sering terjadi dalam perjanjian perburuhan antara
pekerja atau buruh dengan pemberi kerja. Dimana salah satu pihak tidak
melaksanakan isi perjanjian perburuhan, sehingga terjadi wanprestasi dan terbuka
untuk penuntutan kewajiban.16 Dalam kerangka penyelesaian sengketa tersebut
maka Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan
Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyeleaian Perselisihan
Hubungan Industrial menjadi payung hukum untuk menyelesaikan perselisihan
dalam bidang hubungan industrial. Sehingga hak–hak pekerja atau buruh akan
lebih terjamin. Kaitannya dengan hak–hak pekerja ketika pemberi usaha atau
perusahaan diajukan permohonan pernyataan pailit, maka berlaku peraturan
perundang–undangan yang berkaitan dengan kepailitan.
15
16
Pasal 1 angka 14 Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Koko Kosidin, op. cit., hlm. 49.
9
Selanjutnya kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang–undang.17
Dalam proses pengajuan permohonan pernyataan pailit yang dilakukan oleh
kreditor ada syarat–syarat yang harus terpenuhi agar permohonan tersebut dapat
diajukan, yaitu :
1. Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor.
2. Tidak membayar sedikitnya satu utang jatuh waktu dan dapat ditagih.
3. Atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih
krediturnya.18
Dalam Undang–Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, ketentuan mengenai pihak yang dapat
mengajukan permohonan pailit ada enam pihak, yaitu : 19
1. Debitor sendiri.
2. Seorang atau lebih keditornya.
3. Kejaksaan untuk kepentingan umum.
4. Bank Indonesia (BI) dalam hal debitor adalah bank.
17
Pasal 1 angka 1 Undang–Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
18
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Ctk. Pertama, UMM press, Ctk. Kedua, Malang,2008, hlm.
27.
19
Ibid.
10
5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), dalam hal kreditor adalah
Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
6. Menteri Keuangan, dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di
bidang kepentingan publik.
Akibat pernyataan pailit terhadap debitor, Undang–Undang Nomor 37 Tahun
2004 Pasal 24 ayat (1) menentukan, debitor pailit demi hukum kehilangan hak
untuk mengurus dan menguasai kekayaannya yang termasuk harta pailit, sejak
hari putusan pailit diucapkan. Harus dicermati bahwa dengan diputuskannya
menjadi debitor pailit, bukan berarti debitor kehilangan hak keperdataannya
(volkomen handelingsbevoegdheid) untuk dapat melakukan semua perbuatan
hukum dibidang keperdataanya. Debitor pailit hanya kehilangan kehilangan hak–
hak keperdataannya untuk mengurus dan menguasai kekayaannya. Sementara itu,
untuk
melakukan
perbuatan–perbuatan
keperdataan
lainnya,
misalkan
melangsungkan pernikahan dirinya, mengawinkan anaknya sebagai wali,
membuat perjanjian nikah, menerima hibah, mengurus harta kekayaan pihak lain,
menjadi kuasa pihak lain untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan atas
nama pemberi kuasa–debitor masih berwenang (masih memiliki kemampuan
hukum) untuk melakukan perbuatan–perbuatan keperdataan tersebut. Dengan
demikian, sejak putusan pailit diucapkan hanya harta kekayaan debitor pailit
yang berada di bawah pengampuan. Sedang debitor pailit itu tidak berada di
11
bawah pengampuan.20 Termasuk mengenai gugatan yang menyangkut hak dan
kewajiban harta debitur pailit, harus diajukan terhadap atau oleh kuratornya.21
Akibat pernyataan pailit terhadap kekayaan debitor pailit, yang termasuk
harta pailit berada dibawah penyitaan umum (sita umum). Artinya penyitaan itu
berlaku bagi siapapun, bukan hanya berlaku bagi pihak tertentu seperti halnya
sita jaminan yang diputuskan oleh hakim perdata berkenaan dengan permohonan
penggugat dalam sengketa perdata.
Kepailitan sebenarnya adalah pembagian harta debitur pailit diantara para
kreditor. Dilihat dari pembagian hak para kreditor maka ada beberapa tingkat
kreditor dalam pembagian harta pailit, yaitu :
1. Kreditor separatis, yaitu pemegang hak tanggungan, yang telah membuat janji
untuk menjual atas kekuasaan sendiri dan pemegang hak gadai (Pasal 55 dan
56 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang). Terhadap kreditor separatis, kepailitan tidak
mempunyai pengaruh apapun. Kreditor separatis ini sebagai pemegang
jaminan kebendaan berhak untuk didahulukan pelunasan utang-utang debitor
dengan cara menjual benda yang dijaminkan kepada kreditor. Artinya, merka
tetap dapat melaksanakan hak mereka, seolah-olah tidak ada kepailitan. 22
20
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang – Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan, Ctk. Ketiga, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009, hlm 190.
21
Rahayu Hartini,op.cit., hlm. 105.
22
Triweka Rinanti, op.cit.,hlm. 44-45.
12
2.
Kreditor preferen, yaitu kreditor yang memiliki hak istimewa atau hak
prioritas. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 memakai istilah hak-hak
istimewa, sebagaimana diatur di dalam KUHPerdata.23
3. Kreditor konkuren, yaitu golongan kreditor biasa, yang piutangnya tidak
dijamin.24
E. Metode Penelitian
1. Fokus Penelitian
Adapun fokus penelitian sebagai berikut :
a. Bentuk perlindungan hukum terhadap hak–hak pekerja dalam kepailitan.
b. Kedudukan hukum pekerja dalam mendapatkan hak–haknya bila
perusahaan dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga.
c. Implementasi perlindungan hukum terhadap hak–hak pekerja dalam
putusan pengadilan.
2. Bahan Hukum
Bahan hukum yang akan diperlukan dalam penelitian adalah :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan yang bersifat mengikat yang terdiri dari:
1) Undang–Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
2) Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
23
24
Ibid.
Ibid.
13
3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.
4) Putusan-putusan Pengadilan Niaga yang berkaitan, yaitu:
a) Putusan Pengadilan Niaga Nomor 41/Pailit/2007/PN. NIAGA.
JKT. PST
b) Putusan Pengadilan Niaga Nomor 48/Pailit/2007/PN. NIAGA.
JKT. PST
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang bersifat menjelaskan
terhadap bahan hukum primer berupa literatur, jurnal, serta hasil penelitian
terdahulu.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder berupa kamus, berita,
majalah, dan surat kabar.
3. Cara Pengumpulan Bahan Hukum
a. Studi pustaka, yakni dengan mengkaji berbagai peraturan perundang–
undangan atau literatur yang berhubungan dengan masalah penelitian.
b. Studi dokumen, yakni dengan mengkaji berbagai dokumen resmi
institusional yang berupa putusan siding dan dokumen lain yang
diperlukan.
4. Metode Pendekatan
14
Metode yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, yakni
dengan menelaah semua undang–undang dan regulasi yang bersangkutan paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani atau diteliti.
5. Analisis Bahan Hukum
Metode analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif yaitu bahan
hukum yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan dianalisis secara
kualitatif dengan langkah–langkah sebagai berikut :
a. Bahan hukum yang diperoleh dari hasil penelitian diklasifikasikan sesuai
dengan permasalahan dalam penelitian.
b. Hasil kualifikasi bahan hukum selanjutnya disistematiskan.
c. Bahan hukum yang telah disistematiskan kemudian dianalisis untuk
dijadikan dasar pengambilan kesimpulan.
F. Kerangka Skripsi
Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Umum Kepailitan, berisi tentang pengertian pailit, kreditor
dalam kepailitan, dan akibat hukum kepailitan.
Bab III Tinjauan Umum Ketenagakerjaan, berisi tentang pengertian pekerja,
hak–hak pekerja, dan perjanjian kerja.
Bab IV Perlindungan Hukum Terhadap Hak–Hak Pekerja dalam Kepailitan.
Bab ini menguraikan bentuk perlindungan terhadap hak–hak pekerja ketika
15
perusahaan atau pemberi usaha dinyatakan pailit serta implementasi perlindungan
hukum terhadap hak – hak pekerja dalam putusan pengadilan niaga.
Bab V Penutup, berisi tentang kesimpulan–kesimpulan dari pembahasan dan
saran–saran yang semoga dapat berguna dalam penerapan perlindungan hukum
atas hak–hak pekerja dalam kepailitan.
Download