Arthritis Rheumatoid (AR)

advertisement
Arthritis Rheumatoid
Definisi:
Arthritis Rheumatoid (AR) adalah gangguan autoimun sistemik, ditandai dengan adanya
artritis erosif pada sendi sinovial yang simetris dan kronis yang menyebabkan gangguan
fungsi yang berat serta kecacatan. Kelainan ini juga dihubungkan dengan adanya manifestasi
ekstraartikular dan autoantibodi terhadap immunoglobulin dalam sirkulasi, dikenal sebagai
faktor rheumatoid (Davey.,2002).
Etiologi
Faktor-faktor yang meyebabkan AR yaitu (Sudoyo., 2006) :
1. Faktor genetik:
Terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama
kelas II, khususnya HLA–DR4 dengan AR seropositif. Pengemban HLA–DR4
memiliki resiko relatif 4 : 1 untuk menderita penyakit ini.
2. Faktor lingkungan:
Dugaan faktor infeksi sebagai penyebab AR juga timbul karena umumnya
onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran
inflamasi yang mencolok. Walau hingga kini belum berhasil dilakukan isolasi suatu
mikroorganisme dari jaringan sinovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan
bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme yang
dapat mencetuskan terjadinya AR. Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab
AR antara lain adalah bakteri, mikroplasma atau virus. Ini tidak berarti bahwa AR
adalah penyakit menular.
3. Faktor-faktor yang lain:
Kecenderungan wanita untuk menderita AR dan sering dijumpainya remisi
pada wanita yang sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor
keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada penyakit
ini. Walaupun demikian karena pemberian hormon estrogen eksternal tidak pernah
menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum berhasil
dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab penyakit. Faktor
lain yang diduga etiologi AR adalah Heat Shock protein (HSP) adalah kelompok
protein berukuran sedang yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respon
terhadap stress. Walaupun telah diketahui ada hubungan antara HSP dan sel T pada
pasien RA, mekanisme hubungan ini belum diketahui dengan jelas
Patofisiologi
Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan diproses oleh
antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel
dendritik atau makrofag yang semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran
selnya. Antigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan
determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk
suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1)
yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan terjadinya
aktivasi sel CD4+ (Price, dan Wilson., 1993).
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi
reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL-2 yang diekskresi oleh sel CD4+ akan
mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaannya sendiri dan akan menyebabkan
terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan berlangsung terus
selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah
teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis
factor β (TNF-β), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-macrophage colony
stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang
makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan
aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL1, IL-2, dan IL-4 (Price dan Wilson., 1993)
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan
membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi.
Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang akan membebaskan
komponen-komplemen C5a. Komponen-komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang
selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih banyak sel
polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis
membran sinovial menunjukkan bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada AR adalah
peningkatan permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan
pengendapan fibrin pada membran sinovial (Price dan Wilson., 1993).
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan dan
pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease neutral
(collagenase dan stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang Radikal
oksigen
bebas
dapat
menyebabkan
terjadinya
depolimerisasi
hialuronat
sehingga
mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebas
juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi (Price dan Wilson., 1993).
Prostaglandin E2(PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang
terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNFβ. Rantai peristiwa
imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari
lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau komponen antigen umumnya akan
menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus.
Tidak terhentinya destruksi persendian pada AR kemungkinan juga disebabkan oleh
terdapatnya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitop
fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 % pasien AR. Faktor reumatoid akan berikatan
dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan
berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi mast
cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik serta
aktivasi jalur asam arakidonat (Price dan Wilson., 1993).
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan kompleks imun
menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling destruktif dalam
patogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang
berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Secara histopatologis pada daerah
perbatasan rawan sendi dan pannus terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai
kerusakan jaringan kolagen dan proteoglikan (Price dan Wilson., 1993).
Kriteria Diagnostik
Kriteria diagnostik AR menurut The American Rheumatism Association (ARA) pada
tahun 1987 yaitu :
1. Kaku pagi hari
2. Artritis pada 3 daerah yaitu pembengkakan jaringan lunak atau persendian pada
sekurang-kurangnya 3 sendi secara bersamaan yang diobservasi oleh seorang dokter.
Dalam kriteria ini terdapat 14 persendiaan yang memenuhi kriteria yaitu PIP
(Proximal Interphalangeal), MCP (Metacarpophalangeal) kiri dan kanan
3. Artritis pada persendian tangan (sekurang-kurangnya)
4. Artritis simetris
5. Nodul reumatoid: nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor;
6. Faktor reumatoid serum: terdapatnya titer abnormal faktor reumatoid serum yang
diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif <5%>
Untuk keperluan klasifikasi, seseorang dikatakan menderita RA jika ia sekurang-kurangnya
memenuhi 4 dari 7 kriteria diatas.
Manifestasi Klinis
Manifestasi AR dibagi menjadi arthikular dan non arthikular (Sudoyo., 2006):
1. Manifestasi artikular AR dapat dibagi menjadi 2 kategori:
a. Gejala inflamasi akibat aktivitas sinovitis yang bersifat reversibel
b. Gejala akibat kerusakan struktur persendian yang bersifat ireversibel.
Sinovitis merupakan kelainan yang umumnya bersifat reversibel dan dapat
diatasi dengan pengobatan medikamentosa atau pengobatan non surgical lainnya.
Kerusakan struktur persendiaan akibat kerusakan rawan sendi atau erosi tulang
periartikular merupakan proses yang tidak dapat diperbaiki lagi dan memerlukan
modifikasi mekanik atau pembedahan rekonstruktif (Sudoyo, 2006)
2. Manifestasi ekstraartikular yaitu:
a. Kulit
Nodul reumatoid merupakan suatu gejala AR yang patognomonik. Nodul
rheumatoid umumnya timbul pada fase aktif dan terbentuk di bawah kulit terutama
pada lokasi yang banyak menerima tekanan seperti olekranon, permukaan
ekstensor lengan dan tendon Achilles. Vaskulitis seringkali bermanifestasi sebagai
lesi purpura atau ekimosis pada kulit dan nekrosis kuku
b. Mata
Kelainan mata yang sering dijumpai pada AR adalah kerato-konjungtivitis
sicca yang merupakan manifestasi sindrom Sjogren. Pada keadaan dini gejala ini
seringkali tidak dirasakan oleh pasien.
c. Sistem Respiratorik
Peradangan pada sendi krikoaritenoid tidak jarang dijumpai pada RA. Gejala
keterlibatan saluran nafas atas ini dapat berupa nyeri tenggorokan, nyeri menelan
atau disfonia yang umumnya terasa lebih berat pada pagi hari. Umumnya
keterlibatan paru yang ringan a berupa pneumonitis interstisial. Akan tetapi pada
RA yang lanjut dapat pula dijumpai efusi pleura dan fibrosis paru yang luas
d. Sistem Kardiovaskuler
Lesi inflamatif yang menyerupai nodul rheumatoid dapat dijumpai pada
miokardium dan katup jantung. Lesi ini dapat menyebabkan disfungsi katup,
fenomen embolisasi, gangguan konduksi, aoritis dan kardiomiopati
e. Sistem Gastrointestinal
Tidak ditemukan kelainan traktus gastrointestinalis yang spesifik selain
daripada xerostomia yang berhubungan dengan sindrom Sjogren atau komplikasi
gastrointestinal akibat vaskulitis
f. Ginjal
Ditemukan proteinuria, disebabkan karena efek samping pengobatan seperti
garam emas dan d-penisilamin atau terjadi sekunder akibat amiloidosis
g. Sistem syaraf
Komplikasi neurologis pada AR umumnya berhubungan dengan mielopati
akibat instabilitas vertebra, servikal, neuropati jepitan atau neuropati iskemik
akibat vaskulitis
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis, yaitu (Sudoyo.,
2006)::
1. Pemeriksaan darah tepi
a. Leukosit normal atau meningkat sedikit.
b. Trombosit meningkat.
c. Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik.
d. LED meningkat.
e. Kadar albumin serum turun dan globulin naik
f. Protein C-reaktif biasanya positif.
2. Foto Rontgen
Biasanya ditemukan deformitas dan diarsitektur tulang. Pada periksaan rontgen, semua
sendi dapat terkena, tapi yang tersering adalah sendi metatarsofalang dan biasanya
simetris. Sendi sakroiliaka juga sering terkena. Pada awalnya terjadi pembengkakan
jaringan lunak dan demineralisasi juksta artikular. Kemudian terjadi penyempitan sendi
dan erosi.
3. Pemeriksaan cairan synovial
a. Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang menggambarkan
peningkatan jumlah sel darah putih.
b. Leukosit 5.000 – 50.000/mm3, menggambarkan adanya proses inflamasi yang
didominasi oleh sel neutrophil (65%).
c. Rheumatoid factor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum dan berbanding terbalik
dengan cairan sinovium.
4. Pemeriksaan kadar sero-imunologi
a. Rheumatoid factor + Ig M -75% penderita ; 95% + pada penderita dengan nodul
subkutan.
b. Anti CCP antibody positif telah dapat ditemukan pada arthritis rheumatoid dini.
Penatalaksanaan
Penatalaksaanan pada AR adalah (Sudoyo., 2006):
Farmakologi
1. OAINS
Diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering
dijumpai. OAINS yang dapat diberikan:
a. Aspirin
Pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x 1 g/hari, kemudian dinaikkan
0,3-0,6 g per minggu sampai terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30
mg/dl.
b. Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya.
2. DMARD
Digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat
artritis reumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan kemudian. Setelah 2-5
tahun, maka efektivitasnya dalam menekan proses reumatoid akan berkurang. Keputusan
penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko manfaat oleh dokter. Umumnya
segera diberikan setelah diagnosis artritis reumatoid ditegakkan, atau bila respon OAINS
tidak baik, meski masih dalam status tersangka.
Jenis-jenis yang digunakan adalah:
a. Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun efektivitasnya
lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari
hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa
penurunan ketajaman penglihatan, dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia
hemolitik.
b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1 x 500
mg/hari, ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah
remisi tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai dalam jangka
panjang sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat
khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau dikombinasi. Efek
sampingnya nausea, muntah, dan dyspepsia.
c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam dosis
250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300 mg/hari
untuk mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek samping antara lain ruam kulit
urtikaria atau mobiliformis, stomatitis, dan pemfigus.
d. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan lagi
meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan intramuskular,
dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul dosis
kedua sebesar 20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama
20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2 minggu sampai
3 bulan. Jika diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan
remisi tercapai. Efek samping berupa pruritis, stomatitis, proteinuria, trombositopenia, dan
aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain adalah auranofin yang diberikan dalam dosis 2 x 3
mg. Efek samping lebih jarang dijumpai, pada awal sering ditemukan diare yang dapat
diatasi dengan penurunan dosis.
e. Obat imunosupresif atau imunoregulator
Metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek
dibandingkan dengan yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4
bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20
mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan. Penggunaan siklosporin untuk artritis
reumatoid masih dalam penelitian.
f. Kortikosteroid
Hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid dengan komplikasi berat dan
mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini memiliki efek samping yang sangat
berat. Dalam dosis rendah (seperti prednison 5-7,5 mg satu kali sehari) sangat
bermanfaat sebagai bridging therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum DMARD
mulai bekerja, yang kemudian dihentikan secara bertahap. Dapat diberikan suntikan
kortikosteroid intraartikular jika terdapat peradangan yang berat. Sebelumnya, infeksi
harus disingkirkan terlebih dahulu.
Operasi
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat alasan
yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien
AR umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektoni, artrodesis, total hip replacement,
memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.
Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan pasien
AR dengan cara:
1.
Mengurangi rasa nyeri
2.
Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi
3.
Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot
4.
Mencegah terjadinya deformitas
5.
Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
6.
Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung kepada orang lain.
Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan mengistirahatkan
sendi yang terlibat, latihan serta dengan menggunakan modalitas terapi fisis seperti
pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri dengan arus listrik. Manfaat terapi
fisis dalam pengobatan AR telah ternyata terbukti dan saat ini merupakan salah satu bagian
yang tidak terpisahkan dalam penatalaksanaan AR.
Prognosis
Faktor-faktor yang menjadikan prognosis buruk adalah (Davey.,2002):
1. Poliartritis generalisata (jumalah sendi yang terkena lebih dari 20)
2. LED dan CRP yang tinggi walaupun sudah menjalani terapi.
3. Manifestasi ekstraartikular, misalnya nodul atau vaskulitis.
4. Faktor rheumatoid positif
5. Ditemukanya erosi pada radiografi polos dalam kurun waktu 2 tahun sejak onset.
DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo Aru W, et al.2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran FK UI.
Price, SA. Dan Wilson LM.1993.Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit bag 2. Jakarta:
EGC
Davey Patrick. 2002. At A Glace Medicine. Jakarta: Panerbit Erlangga
Download