TINJAUAN PUSTAKA 1. Bahan Bioaktif Rennet Rennet merupakan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
1. Bahan Bioaktif Rennet
Rennet merupakan bahan bioaktif yang awalnya merupakan hasil ekstraksi
abomasum sapi muda yang digunakan sebagai starter dalam proses pembuatan
keju, karena mengandung enzim khimosin dengan kadar tinggi. Walaupun
sebagian besar enzim protease telah diketahui mampu menggumpalkan susu,
namun
enzim
khimosin
memiliki
kemampuan
paling
besar
dalam
mengkoagulasikan susu (Schwimmer 1981). Selain dari sapi muda (Andren et al.
1982), rennet juga telah dikembangkan dari hewan ruminansia lain, tanaman
(Ogugua et al. 1987), dan mikroba yang direkayasa secara genetik (genetic
modified organism = GMO) (Van Dijck 1999).
Berbagai ekstrak rennet dapat dibuat dengan kemampuan mengkoagulasi
susu yang berbeda–beda, sehingga curd yang dihasilkan juga berbeda. Hal ini
sangat
penting
untuk
mengukur
kemampuan
tiap
ekstrak
dalam
mengkoagulasikan susu (Scott 1986). Rennet yang diperoleh dari spesies hewan
yang berbeda memiliki kemampuan mengkoagulasikan susu yang bervariasi
(Daulay 1991).
Ekstrak rennet dari anak sapi muda mengandung 88–94% khimosin dan
6–12% pepsin dan sebaliknya ekstrak yang berasal dari sapi dewasa yaitu
mengandung 90–94 % pepsin dan hanya 6–10% khimosin (Scott 1986). Enzim
yang lazim digunakan dalam proses pembuatan keju adalah khimosin yang
dihasilkan oleh hewan muda, karena bersifat spesifik dalam mengkatalisis reaksi
hidrolisis k-kasein susu, sehingga menyebabkan koagulasi susu yang spesifik pula
dan memberikan cita rasa keju yang khas (Andren et al. 1982). Selain khimosin,
pepsin juga dapat digunakan sebagai enzim pengganti dalam pembuatan keju.
Penggunaan pepsin telah menarik perhatian terutama karena pepsin secara alami
terdapat bersama-sama dalam khimosin. Akan tetapi, penggunaan pepsin tidak
memuaskan dan enzim pepsin ini juga mudah terinaktivasi. Hal ini tidak
menguntungkan pada proses pemasakan keju yang menginginkan tekstur yang
padat. Apabila pepsin dicampur dengan khimosin, maka hasilnya akan lebih baik
dan terbukti dapat diaplikasikan secara komersial (Suhartono 1992).
4
1.1 Enzim Khimosin
Khimosin (dahulu dinamakan rennin) adalah suatu enzim proteolitik yang
dihasilkan oleh sel-sel utama (chief cells) di dalam lambung anak hewan mamalia.
Enzim ini dapat diperoleh dari ekstrak lambung abomasum hewan ruminansia
seperti anak sapi, domba, dan kambing (Yamamoto 1975). Selain diperoleh dari
lambung hewan, khimosin juga dapat diproduksi melalui proses mikrobial
(misalnya Mucor sp), sehingga lebih mudah disesuaikan dengan arus permintaan
pasar karena didasarkan pada cepatnya perkembangbiakan mikroba (Bailey dan
Ollis 1988). Menurut Matsubara dan Feder (1971) mikroba Endothia parasitica,
Mucor pusillus, M. meihei, Bacillus cereus, Aspergillus candidus dan
Byssochlamys fulva dapat menghasilkan enzim yang mirip dengan khimosin.
Akan tetapi, keju yang dihasilkan dari mikroba belum dapat bersaing di pasaran
karena memberikan cita rasa yang sedikit pahit (Daulay 1991).
Enzim ini disekresikan dalam bentuk inaktif (prokhimosin) dengan berat
molekul sebesar 36 kDa dan bentuk aktifnya (khimosin) sebesar 31 kDa
(Suhartono 1992), namun menurut Atallah (2007) enzim khimosin memiliki berat
molekul 35.6 kDa dan prokhimosin 40.8 kDa. Enzim khimosin mempunyai titik
isoelektrik sekitar pH 4.5 dan stabil pada pada pH 5.3 sampai 6.3. Pada pH 2.0
proses aktivasi sangat cepat, tetapi pada pH 5.0 aktivasi sangat lambat dan
umumnya hidrolisis terjadi karena proses autolisis. Asam amino yang terdapat
pada gugusan khimosin adalah lisin, histidin, arginin, triptofan, asam aspartat,
threonin, serin, asam glutamat, prolin, glisin, alanin, valin, metionin, leusin,
isoleusin, tyrosin dan fenilalanin (Matsubara dan Feder 1971).
Khimosin bekerja mengkoagulasikan susu yang masuk ke lambung dan
merupakan suatu proses yang sangat penting pada hewan muda. Jika susu tidak
terkoagulasi, susu akan mengalir sepanjang lambung dengan cepat sehingga tidak
terjadi pencernaan protein (Bowen 1996). Khimosin ini juga memiliki peranan
penting dalam mengubah kasein dalam susu secara irreversibel menjadi
parakasein, selanjutnya pepsin bekerja pada parakasein ini (Mayes et al. 2003).
Susu digumpalkan dengan khimosin menjadi gumpalan berupa gel yang
lunak dan lembut yang dapat mengeluarkan whey dengan kecepatan yang
seragam. Pepsin, tripsin, dan papain juga dapat menggumpalkan susu, akan tetapi
5
tidak dengan fleksibilitas yang sama. Penambahan khimosin ke dalam susu
menyebabkan berlangsungnya reaksi dua tahap. Tahap pertama adalah reaksi
enzimatis dan tahap kedua adalah reaksi non-enzimatis. Kedua reaksi tersebut
berlangsung secara terpisah dan tidak dapat dibedakan secara visual (Daulay
1991). Menurut Matsubara dan Feder (1971), koagulasi susu maksimum pada
suhu 40–45 °C untuk khimosin hewan dan suhu 75–80 °C untuk khimosin
mikroba.
1.2 Enzim Pepsin
Pepsin adalah enzim yang dihasilkan oleh sel-sel utama (chief cells) kelenjar
fundus mukosa lambung yang berguna untuk memecah protein. Pepsin adalah
salah satu dari tiga enzim proteolitik utama di dalam sistem pencernaan hewan
dewasa. Pepsin merupakan protease yang paling umum digunakan sebagai
pengganti khimosin dalam pembuatan keju. Penggunaan campuran khimosin dan
pepsin dianggap paling optimum dan umum digunakan. Pepsin jarang digunakan
secara sendiri karena waktu penggumpalan yang lama, koagulan yang lunak,
kehilangan lemak dalam whey, terbentuk peptida pahit, tekstur keju yang lebih
lunak, serta ketidakmampuan untuk aktif pada pH 6.5 (Kilara dan Iya 1984).
Pepsin merupakan enzim proteolitik alami yang terdapat dalam cairan
lambung hewan dewasa. Hewan muda mengandung pepsin yang masih sedikit.
Seiring bertambahnya umur, maka kandungan pepsin semakin bertambah
menggantikan khimosin (Daulay 1991).
Protein yang masuk ke dalam lambung akan merangsang pengeluaran
hormon gastrin yang selanjutnya merangsang pengeluaran HCl (asam lambung)
oleh sel parietal kelenjar lambung, dan pepsinogen dari chief cells. Pepsinogen
merupakan bentuk inaktif dari pepsin yang memiliki berat molekul 42 kDa.
Pepsinogen diubah menjadi bentuk aktif oleh HCl atau dengan autokatalisis oleh
pepsin sendiri, sehingga berat molekulnya menurun menjadi 35 kDa. Pepsin dapat
beraktivitas optimal pada pH 1.8–3.5 tergantung pada isoformnya. Pepsin inaktif
reversible pada pH 5 dan inaktif irreversible pada pH 7–8 (Ross 1996). Namun
menurut Winarno (1983), berat molekul dari pepsin adalah 33 kDa dan aktif pada
pH 1–4 dengan aktivitas optimum pada pH 1.8.
6
2. Susu
Standar Nasional Indonesia (SNI) (1988) nomor 01-3141-1998 tentang
syarat mutu susu segar menjelaskan bahwa susu segar adalah susu murni yang
tidak mendapatkan perlakuan apapun kecuali proses pendinginan dan tanpa
mempengaruhi kemurniannya. Susu merupakan media pertumbuhan yang sangat
baik bagi bakteri dan dapat menjadi sarana potensial bagi penyebaran bakteri
patogen. Pencemaran pada susu dapat terjadi sejak proses pemerahan, yang
berasal dari berbagai sumber seperti kulit sapi, ambing, air, tanah, debu, manusia,
peralatan dan udara.
Standar Nasional Indonesia (SNI) (2000) nomor 01-6366-2000 tentang
batas maksimun cemaran mikroba dan batas maksimun residu dalam bahan
makanan asal hewan menyebutkan bahwa jumlah bakteri maksimal pada susu
segar yaitu 1x106 CFU/ml sedangkan susu pasteurisasi <3x104 CFU/ml. Untuk
jenis koliform pada susu segar diperbolehkan sampai 2x101 MPN/ml dan pada
susu pasteurisasi <0,1x101 MPN/ml.
Komposisi susu sapi rata–rata menurut Webb et al. (1983) adalah 87% air,
3.5–3.7% lemak, 4.9% laktosa, 3.5% protein dan 0.7% mineral. Lemak yang
paling banyak di dalam susu adalah trigliserida yaitu 98–99% dari total lemak,
sedangkan lemak lainya sekitar 1–2% yang terdiri dari phospholipida, sterol,
karotenoid dan vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E dan K).
Jannes dan Patton (1959) mengelompokkan protein susu menjadi dua
kelompok, yaitu kasein dan serum atau protein whey (laktoglobulin dan
laktalbumin). Menurut Anglemier dan Montgomery (1976) susu sapi mengandung
kasein 78%, beta laktoglobulin 12%, alfa laktalbumin 2%, immunoglobulin 2%,
albumin 1% dan lain-lain 5%. Kasein merupakan partikel besar yang terdiri dari
zat-zat organik dan zat anorganik sperti kalsium dan fosfor. Senyawa kompleks
kasein tersebut dinamakan kalsium-kaseinat-fosfat-kompleks.
Kasein merupakan komposisi terbesar (sekitar 80%) dari total protein yang
terkandung di dalam susu (Widodo 2003). Kasein merupakan kompleks dari
fosfoprotein yaitu alfa kasein, beta kasein, gamma kasein dan kappa kasein (Kuntz
1996). Kasein membentuk misela-misela di dalam susu. Misela terdiri atas kasein
sub misela yang tersusun oleh partikel terbuka dan berbentuk seperti bola. Kappa
kasein menyusun lapisan luar dari partikel misel kasein dan berfungsi menjaga
kestabilan misela agar tidak mudah mengendap (Kuntz 1996) (Gambar 1).
7
MISEL KASEIN
SUBMISEL KASEIN
Gambar 1 Struktur umum misel kasein pada susu (Tranchant 1999).
3. Keju
3.1 Sejarah Ringkas Keju
Keju adalah curd yang digumpalkan dengan menggunakan aktivitas enzim
yang diikuti dengan pemisahan whey dari koagulan yang terbentuk untuk
menghasilkan curd yang lebih padat dan kompak. Menurut Food and Agricultural
Organization, keju adalah produk segar atau fermentasi yang dihasilkan dengan
pemisahan cairan (whey) dari koagulan setelah penggumpalan susu, skim, krim
susu atau kombinasinya (Daulay 1991).
Catatan-catatan kuno tentang keju menunjukkan bahwa proses pembuatan
keju ditemukan secara kebetulan beberapa abad sebelum masehi, yaitu ketika
bangsa-bangsa pengembara di Negara-negara Mediteranian bagian timur yang
beriklim panas menyimpan dan mengangkut susu yang diperoleh dari ternak
dalam kantung-kantung yang terbuat dari kulit hewan atau kantung jeroan hewan
seperti lambung dan kantung kemih. Fermentasi laktosa yang berlangsung oleh
iklim panas menyebabkan susu menggumpal dalam kantung tersebut yang
kemudian pecah oleh guncangan selama perjalanan. Gumpalan susu yang
terbentuk disebut curd sedangkan cairan di sekitarnya disebut whey (Daulay
1991).
8
3.2 Klasifikasi Keju
Menurut Daulay (1991), keragaman jenis keju tergantung pada bahan dasar
yang digunakan, metode koagulasi susu, kadar whey dalam curd, dilakukan
pemeraman atau tidak dan metode pemeraman yang digunakan. Berdasarkan
perlakuan selama pengolahan dan bahan baku yang digunakan, tiap jenis keju
akan memiliki karakteristik tertentu seperti ukuran, bentuk, warna, penampilan
eksternal, aroma, cita rasa, kadar lemak, kadar garam, dan sebagainya.
Berdasarkan teksturnya, keju dibedakan menjadi keju keras dan keju lunak.
Keju keras dibedakan menjadi keju sangat keras (misalnya Swiss cheese) dan keju
setengah keras (misalnya Roquefort cheese dan Brick cheese). Keju lunak
dibedakan menjadi tiga, meliputi keju yang mengalami proses pemeraman oleh
bakteri yaitu Limburger cheese, pemeraman oleh kapang yaitu Camembert cheese
dan yang tidak mengalami pemeraman yaitu Cottage cheese (Eckles et al. 1980).
3.3 Pembuatan Keju
Karakteristik
pembuatan
keju
adalah
terbentuknya
curd
atau
terkoagulasinya susu. Koagulasi susu dapat terjadi karena kerja dari asam laktat
yang dihasilkan oleh mikroba (bakteri), penambahan rennet atau pepsin atau
kombinasi keduanya (Eckles et al. 1980).
Secara umum proses pembuatan keju menurut Scott (1986) terdiri dari
tahapan-tahapan : standardisasi, homogenisasi, dan pemanasan susu, penambahan
starter, pewarna, dan rennet, pembentukan, pemotongan dan pemasakan curd,
penirisan, penggaraman, pengepresan dan pelapisan. Namun tahap-tahap tersebut
dapat dikembangkan menjadi :
3.3.1 Persiapan susu
Susu dari semua jenis hewan dapat digunakan, agar didapatkan keju yang
mutunya konstan, maka susu harus distandardisasi. Standardisasi susu meliputi:
a. Variasi susu
Rasio
protein-lemak
(kasein/lemak)
susu
perlu
diketahui
untuk
mendapatkan variasi komposisi keju yang konstan, jika lemak terlalu tinggi maka
akan didapatkan keju yang lunak dan basah, sedangkan jika lemak terlalu rendah
maka akan didapatkan keju yang keras dan kering. Rasio kasein/lemak yang baik
9
untuk pembuatan keju berkisar antara 1:0.69 sampai dengan 1:0.70 (Scott 1986).
Rasio kasein/lemak susu berbeda-beda untuk setiap sapi seperti terlihat pada
Tabel 1.
Tabel 1 Rasio kasein/lemak susu pada berbagai ras sapi (Scott 1986)
Ras Sapi
Lemak
Kasein
Rasio
kasein/lemak
Frisian Holstein
3.50
2.4
1 : 0.68
Ayrshire
3.85
2.5
1 : 0.65
Shorthorn
3.65
2.4
1 : 0.66
Jersey
5.75
3.0
1 : 0.52
Guernsey
5.00
2.7
1 : 0.54
b. Antibiotik dan bahan kemoterapi
Bahan-bahan ini umumnya disuntikkan pada sapi yang mengalami
mastitis. Jika bahan tersebut terdapat pada susu untuk pembuatan keju maka keju
yang dihasilkan rendah mutunya karena bahan tersebut akan menghambat
pertumbuhan bakteri starter yang digunakan.
c. Derajat Pemanasan
Susu harus dipasteurisasi terlebih dahulu untuk membunuh mikroba
patogen dan sebagian mikroba pembusuk (Frazier dan Westhoff 1981).
Pasteurisasi dapat menggunakan dua cara yaitu high temperature short time
(HTST) pada suhu 71.7 °C selama 15 detik atau low temperature low time (LTLT)
pada suhu 62.8 °C selama 30 menit (Potter 1978). Suhu yang digunakan untuk
pemanasan susu tidak boleh melebihi 72 °C, karena keju yang dihasilkan akan
lunak, terdapat protein diantara gumpalan-gumpalan susu yaitu laktoglobulin dan
laktalalbumin yang tidak dikehendaki pada pembuatan keju karena harus terpisah
dari kasein yang tidak larut air.
d. Derajat sanitasi dan higiene
Adanya kotoran-kotoran seperti debu, pasir, bulu, butir-butir darah dan
kotoran lainya pada susu akan mengganggu proses pembuatan keju. Mikroba yang
mengontaminasi susu, seperti Micrococcus sp dan Staphylococcus sp. dan berasal
dari kotoran tersebut akan mengganggu mikroba lain yang dibutuhkan dalam
pembuatan keju. Partikel-partikel kotoran tersebut juga akan menurunkan mutu
keju yang dihasilkan.
10
e. Kualitas Organoleptik
Kualitas organoleptik susu ditentukan berdasarkan penilaian terhadap rasa,
aroma, tekstur dan penampilan umum. Susu yang akan dibuat keju harus diterima
secara organoleptik.
3.3.2 Penambahan Starter
Starter keju adalah kultur aktif dari mikroorganisme non-patogen yang
ditumbuhkan dalam susu atau whey yang berperan dalam pembentukan
karakteristik dan mutu-mutu tertentu pada berbagai jenis produk susu. Starter
tersebut dapat berasal dari starter galur tunggal yang berasal dari satu spesies
mikroorganisme atau starter galur campuran yang berasal dari beberapa spesies
mikroorganisme. Menurut Daulay (1991), terdapat sekitar 40 jenis kultur starter
fermentasi susu yang komposisi mikrofloranya dan penggunaanya berbeda.
Mikroorganisme yang paling banyak digunakan dalam starter keju adalah
kelompok bakteri asam laktat (BAL) yang menghasilkan asam, terutama asam
laktat dengan memfermentasi laktosa. Asam ini memberikan cita rasa asam yang
segar pada curd, membantu terjadinya penggumpalan oleh rennet, membentuk
karakteristik tekstur spesifik selama pembuatan keju. Nilai pH yang rendah dari
curd (5.0–5.2) membantu menekan pertumbuhan bakteri patogen dan bakteri
pembusuk (Daulay 1991). Menurut Scott (1986) waktu yang diperlukan untuk
mengasamkan susu dengan penambahan starter adalah 5–20 menit dengan jumlah
starter berkisar 0.05–5.0% sesuai dengan jenis keju yang diinginkan. Beberapa
mikroorganisme yang berfungsi sebagai starter keju dapat dilihat pada tabel 2.
11
Tabel 2 Mikroorganisme yang digunakan sebagai starter keju (Scott 1986)
Organisme
Streptococcus:
S. lactis
S. cremoris
S. diacetilactis
S. thermophillus
S. durans
S. faecalis
S. citrovorus
Leuconostoc :
L. citrovorum
L. dextrinicum
Lactobacillus :
L. bulgaricus
Keterangan
Pembentuk asam laktat
Pembentuk asam laktat
Pembentuk asam laktat
Pembentuk asam laktat dan tahan terhadap suhu
tinggi
Pembentuk asam laktat dan tahan terhadap suhu
tinggi
Pembentuk asam laktat dan tahan terhadap suhu
tinggi
Tumbuh pada suhu tinggi dan menghasilkan cita
rasa
Menghasilkan cita rasa
Menghasilkan cita rasa
Pembentuk asam laktat digunakan untuk
pemanasan koagulum dengan suhu tinggi
Propionibacterium shermani
Pembentuk asam laktat digunakan untuk
pemanasan koagulum dengan suhu
tinggi,menghasilkan gas CO2 dan cita rasa.
Penicillium requeforti
Penicilium camemberti
Menghasilkan cita rasa
Menghasilkan cita rasa
Foster et al (1957) menyebutkan jenis mikroba yang dapat digunakan
sebagai starter tergantung pada suhu pembuatan yang digunakan. Bila curd tidak
dipanaskan atau pemanasan menggunakan suhu sekitar 38 °C (100 °F) maka dapat
digunakan Streptococcus lactis atau Streptococcus cremoris atau kombinasi
keduanya. Keju dengan pengolahan menggunakan suhu tinggi 49–50 °C
(120–129.9 °F) menggunakan bakteri asam laktat yang tahan pada suhu tinggi.
Starter yang digunakan biasanya merupakan campuran dari S. thermophilus
dengan Lactobacillus bulgaricus, L. helveticus atau L. lactis. Pembuatan keju
dengan menggunakan suhu antara 42–45 °C atau 110–115 °F biasanya
menggunakan campuran S. thermophilus dan S. lactis.
12
3.3.3 Pembentukan curd
Sifat rennet yang paling menonjol adalah kemampuannya yang besar dalam
mengkoagulasikan susu (Spreer 1998). Khimosin merupakan anzim protease yang
memiliki kemampuan paling besar dalam menggumpalkan susu (Schwimmer
1991). Menurut Adimulyo (1988), kekuatan aktivitas koagulasi susu pada enzim
khimosin 10 kali lebih besar dari enzim pepsin maupun enzim protease lainya.
Aktivitas proteolisis yang tinggi menyebabkan banyaknya fraksi protein yang
terlarut dalam whey sehingga mempengaruhi tekstur curd. Khimosin hewan pada
pH 5.5 bekerja optimum dalam menggumpalkan susu. Koagulasi susu maksimum
oleh khimosin asal hewan terjadi pada suhu 40–45 °C sedangkan khimosin dari
mikroba pada suhu 75–80 °C. Degradasi protein oleh khimosin Bacillus cereus
menghasilkan glikomakroprotein dengan berat molekul tinggi (Matsubara dan
Feder 1971).
Proses koagulasi dalam pembuatan keju terjadi melalui dua macam reaksi
yaitu terjadinya perubahan keasaman dan proses proteolisis (Adnan 1984). Kedua
reaksi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
(1). Ca₃(PO4)₂ + 3H⁺ ↔ 3Ca⁺⁺ + HPO₄²⁻ + H₂PO₄⁻
Rennet
(2). Kappa–kasein
Para–kasein + peptida
Ca²⁺
Curd
Gambar 2 Proses koagulasi dalam pembuatan keju.
Stabilitas kasein mulai terganggu pada pH 5.3. Terjadinya perubahan
keasaman yang dihasilkan oleh perubahan laktosa menjadi asam laktat
menyebabkan perubahan pada senyawa Ca-fosfat (Gambar 2). Bertambahnya ion
H⁺ dapat memecahkan senyawa Ca-fosfat sehingga Ca-fosfat menjadi tidak stabil.
Terbentuknya ion Ca²⁺ akan membantu pengendapan senyawa kompleks tersebut
(Adnan 1984).
13
Menurut Caroll (2003), koagulasi susu secara enzimatis oleh khimosin
terjadi karena putusnya ikatan peptida antara fenilalanina dengan metionina dari
polipeptida k-kasein sehingga menghasilkan para-kasein dan makropeptida
(Gambar 2). Makropeptida bersifat larut dalam air sedangkan kkasein bersifat
mengendap. Putusnya ikatan peptida antara fenilalanina dan metionina pada
k-kasein ini mengakibatkan hilangnya kestabilan misela kasein sehingga fraksi
kasein yang lain ikut mengendap.
Menurut Scott (1986), rennet bekerja pada kasein dalam tiga tahap yaitu
tahap pemecahan rantai asam amino, tahap penggumpalan kalsium-para-kaseinat
dan tahap proteolisis. Tahap pemecahan rantai asam amino dari k-kasein terjadi
pada ikatan ke-105 fenilalanina dan ikatan ke-106 metionina. Kappa kasein
merupakan salah satu fraksi dari kasein (fraksi dari kasein yaitu alfa, beta dan
gamma kasein) yang terdapat di bagian luar dari partikel kasein dan sangat
mempengaruhi stabilitas dari susu. Tahap penggumpalan kalsium-para-kaseinat
sangat tergantung pada suhu dan ion kalsium. Peranan k-kasein yang berfungsi
sebagai penyetabil misel kasein akan hilang dengan adanya ion kalsium, sehingga
misel kasein akan bergabung membentuk koagulum. Tahap proteolisis merupakan
tahap aktivitas rennet yang terjadi pada proses pemeraman. Pada tahap ini terjadi
penguraian alfa kasein dan beta kasein (Scott 1986). Penggumpalan susu oleh
khimosin akan menghasilkan curd seperti jeli, bersifat elastik, lembut, homogen
dan dapat diiris tanpa serabut.
3.3.4 Pemotongan Curd
Menurut Daulay (1991), tujuan pemotongan curd adalah untuk membentuk
ukuran curd menjadi lebih kecil dan menyeragamkan partikel, agar whey lebih
mudah keluar, meningkatkan luas permukaan curd dan tekstur curd menjadi lebih
keras. Umumnya pemotongan curd dilakukan dengan menggunakan pisau atau
harpa (terdiri dari rangkaian atau deretan kawat yang melengkung), dengan cara
memotong curd menjadi kubus-kubus berukuran antara 0.46–1.84 cm.
Cara praktis untuk mengetahui waktu yang tepat untuk pemotongan curd
yaitu dengan menekan jari, batang atau termometer ke dalam curd, apabila
termometer tersebut diangkat kembali, maka permukaan curd akan terbelah dan
14
apabila belahan yang terjadi tajam dan rata dengan whey yang berwarna hijau
kekuningan pada dasar belahanya maka curd dianggap sudah siap untuk dipotong
(Daulay 1991).
3.3.5 Penirisan Curd
Tujuan penirisan curd adalah untuk mengeluarkan whey yang masih
terdapat pada curd dan untuk membentuk partikel-partikel koagulum menjadi
bentuk yang lebih kompak. Menurut Daulay (1991), proses penirisan dapat
dilakukan dengan cara mengangkat curd dari bak keju kemudian dimasukkan ke
dalam cetakan yang berlubang-lubang. Dapat juga dilakukan dengan memasukkan
curd pada kain saring, kemudian bungkusan kain tersebut diangkat dan digantung
beberapa saat untuk mengeluarkan whey yang terdapat pada curd.
3.3.6 Penggaraman
Proses penggaraman dilakukan dengan menambahkan garam (NaCl) pada
curd sebanyak 2–5% (Walstra et al. 2006). Fungsi garam menurut Foster et al.
(1957) adalah untuk membantu mengeluarkan whey dari curd, membantu
mengatur kadar air dan keasaman keju, membantu berlangsungnya pematangan
dan membantu pembentukan cita rasa. Selain mempengaruhi cita rasa,
penambahan garam dapat mempengaruhi tekstur, penampilan umum, kontrol
produksi asam laktat, menahan pertumbuhan bakteri pembusuk dan mengurangi
kadar air (Marth 1982). Dengan adanya garam, hanya mikroba yang bersifat
hidrofilik yang dapat bertahan hidup. Tanpa penggaraman maka keju yang
dihasilkan akan lunak, mudah pecah, proses pematangan tidak normal namun
penambahan garam yang terlalu banyak akan menyebabkan keju menjadi keras
dan proses pematangan berjalan lambat (Hammer dan Babel 1957). Terdapat tiga
cara penambahan garam, yaitu ditambahkan ke dalam partikel koagulum atau
pada saat penggilingan koagulum, ditaburkan ke permukaan keju secara merata
dalam bentuk kristal dan ditambahkan dalam bentuk larutan garam (Scott 1986).
15
3.3.7 Pengepresan
Pengepresan curd bertujuan untuk mengeluarkan whey. Lama pengepresan
tergantung jenis pengolahan keju yang dilakukan (Eckles et al. 1980).
Pengepresan curd akan memperbaiki bentuk karakteristik dan berkontribusi
terhadap kekompakan keju serta mengurangi kadar air (Marth 1982).
3.3.8 Pemeraman
Pemeraman dilakukan dengan membungkus keju dengan parafin. Pelapisan
permukaan dengan parafin bertujuan untuk menutup semua bagian permukaan,
membunuh kapang yang terdapat pada permukaan, mengurangi kehilangan air
karena penguapan dan penetrasi oksigen (Eckles et al. 1980). Selama pemeraman
starter membebaskan enzim proteolitik yang berperan pada perubahan tekstur dan
cita rasa keju. Dalam proses pemeraman terjadi perubahan fisik dan kimia yang
disebabkan oleh aktivitas enzim dan mikroba (Foster et al. 1957).
Pemeraman dilakukan pada suhu 2–16 ºC, selama 2–16 bulan untuk keju
keras, 1–8 bulan untuk keju semi keras (Marth 1982). Pemeraman keju cheddar
dilakukan pada suhu 4.4–18.3 ºC selama 1–3 bulan (Eckles et al. 1980),
sedangkan menurut Pederson (1971) pemeraman dilakukan pada suhu rendah,
yaitu sekitar 2–15 ºC. Suhu pemeraman berpengaruh terhadap kecepatan
proteolitik dalam bekerja dan memproduksi asam. Produksi asam lebih cepat pada
suhu lebih tinggi sehingga timbul cita rasa asam yang kuat dan mempercepat
penguapan,
sehingga
mempertinggi
kehilangan
berat
dan
mempercepat
pembusukan.
Selama pemeraman akan terjadi perubahan yang disebabkan hidrolisa
protein oleh protease, hidrolisa lemak oleh lipase, perubahan asam amino dan
asam lemak oleh enzim tertentu yang mengakibatkan perubahan cita rasa, tekstur,
aroma dan penampilan (Meyer 1976). Semakin lama diperam maka tekstur
menjadi lebih lunak dan cita rasa lebih enak. Menurut Frazier dan Westhoff
(1981), senyawa utama yang mempengaruhi cita rasa keju peram (ripened cheese)
adalah garam, asam laktat, asam lemak, asam amino dan senyawa karbonil
(aldehid dan keton). Enzim yang aktif selama pemeraman adalah protease,
peptidase, lipase, dekarboksilase, deaminase yang membentuk senyawa kimia
khas pada keju.
16
Komponen utama pembentuk rasa keju adalah senyawa karbonil, nitrogen,
sulfur, asam lemak, alkohol, dan garam (Marth 1982). Penyimpangan rasa keju
meliputi (1) pahit yang disebabkan degradasi protein yang abnormal, (2) asam
yang disebabkan fermentasi laktosa yang berlebihan, (3) tengik disebabkan oleh
oksidasi asam lemak, dan (4) terfermentasi yang disebabkan pH keju yang tinggi
dan kandungan garam rendah, sehingga bakteri anaerobik pembentuk spora dapat
tumbuh. Penyimpangan tekstur dan penampilan terjadi karena terbentuknya
tekstur yang lunak atau mirip pasta, terbentuknya lubang–lubang udara, keju retak
(tekstur kurang kompak) dan warna yang menyimpang.
Selama pemeraman terbentuk asam lemak bebas dari hidrolisa lemak dan
gugus H₂S yang terbentuk dari residu gugus sistein pada beta kasein. Rasio asam
lemak berantai pendek dengan asam asetat harus 0.55:1.0, jika lemaknya lebih
tinggi maka akan terbentuk rasa tengik (Charley 1982).
Keju yang matang mengandung beberapa komponen rasa volatile esensial.
Komponen-komponen tersebut umumnya berasal dari degradasi produk asam
amino termsuk NH₃, berbagai macam amin, metional, H₂S, asam phenylacetic dan
komponen lainya. Komponen yang telah terindikasi sebelum tahap pematangan
yaitu aldehid, alkohol primer dan sekunder serta esternya, rantai pendek asam
lemak dan gamma laktone (Walstra et al. 2006).
3.4 Penilaian Kualitas Keju
Penilaian kualitas keju dilakukan terhadap tekstur, warna, aroma, rasa asin,
dan rasa pahit. Metode umum yang digunakan untuk menilai kualitas keju yaitu
penilaian sensorik (penilaian organoleptik) oleh panel melalui uji hedonik (uji
kesukaan). Panel ini mempunyai kemampuan untuk menilai sifat atau mutu benda
berdasarkan kesan subyektif. Orang yang menjadi anggota panel disebut panelis.
Terdapat enam macam panel yaitu panel pencicip perorangan, pencicip terbatas,
terlatih, tidak terlatih, agak terlatih dan panel konsumen. Panel tak terlatih
jumlahnya berkisar antara 15–25 orang (Soekarto 1985).
Download