I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Toksoplasmosis merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang secara alami dapat menular dari hewan ke manusia. Gejala klinis dari penyakit ini tidak nampak, namun telah menimbulkan kerugian baik bagi manusia maupun hewan yang terkena infeksinya (Nurcahyo, 2012). Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat endemik pada hewan maupun manusia (Soeharsono, 2002) Toxoplasma gondii merupakan protozoa dari genus Toxoplasma yang menyebabkan penyakit toksoplasmosis (Schwartzman, 2001). Menurut Urquhart dkk. (1996) infeksi pada manusia dapat bersifat perolehan maupun kongenital. Secara perolehan, manusia terinfeksi melalui oosista yang termakan akibat kontaminasi langsung dari feses kucing maupun memakan daging kurang matang yang mengandung sista Toxoplasma. Infeksi kongenital hanya terjadi apabila pada masa kehamilan seorang wanita terinfeksi untuk pertama kalinya. Mayoritas bersifat asimptomatik, lebih dari 10% mengakibatkan abortus, lahir dalam keadaan mati dan kerusakan pada sistem syaraf pusat fetus. Kemampuan T. gondii untuk menginfeksi burung, hewan domestik dan manusia melalui berbagai jalur, serta distribusinya meliputi daerah yang luas merupakan penyebab tingginya prevalensi infeksi Toxoplasma pada manusia (Schwartzman, 2001). Infeksi T. gondii pada ayam dan itik termasuk kasus yang jarang. Namun, daging unggas juga merupakan sumber infeksi yang penting 1 2 terhadap manusia karena itik termasuk hewan yang rentan terhadap infeksi T.gondii (Yan dkk., 2009). Berdasarkan aspek keamanan pangan, perlu diperhatikan karena bagian yang lebih sering terinfeksi ialah otot rangka dan hati. Gejala klinis dari infeksi T. gondii tidak nampak pada kasus strain T. gondii yang tidak virulen, namun sista pada jaringan tetap dapat ditemukan pada beberapa bagian tubuh itik yang berbeda (Bartova dkk., 2004). Hasil penelitian yang dilakukan Hanafiah dkk. (2010) menunjukkan prevalensi itik yang seropositif toksoplasmosis di Banda Aceh sebesar 20 %. Simanjuntak dkk. (1998) melaporkan prevalensi itik yang seropositif toksoplasmosi di Sumatera Utara sebesar 3,0 %. Berdasarkan penelitian Yang dkk., (2012) prevalensi itik yang seropositif toksoplamosis di daerah Shenyang, timur laut Cina sebesar 12,3 % untuk itik yang tidak dikandangkan dan 7,5 % untuk itik yang dikandangkan. Dilaporkan oleh Dubey (2010) prevalensi itik yang seropositif antibodi T. gondii di Republik Ceko sebesar 14 %, di Jepang sebesar 21,17 % dan di Amerika Serikat sebesar 6 %. Diagnosis toksoplasmosis secara klinis pada hewan dan manusia sangat sulit diteguhkan mengingat penyakit ini bersifat asimtomatis, sehingga diperlukan berbagai cara untuk pembuktian adanya infeksi T. gondii. Secara umum, diagnosis toksoplasmosis dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu diagnosis klinis, biologis dan laboratoris (Nurcahyo, 2012). Diagnosis kasus toksoplasmosis pada unggas dapat dilakukan dengan uji serologis (Yan dkk., 2009). Uji serologis berfungsi untuk menguji adanya antibodi spesifik terhadap T. gondii (Montoya, 2002). Antibodi dapat diproduksi sebagai bentuk respon terhadap antigen T. 3 gondii. Respon imun berupa imunitas humoral terhadap T. gondii sangatlah cepat dan kuat, dan merupakan dasar diagnosis yang sangat bermanfaat pada beberapa penyakit (Schwartzman, 2001). Menurut Ismoyowati dkk. (2006) profil darah dapat digunakan sebagai indikasi fisiologis pada ternak. Darah pada unggas memiliki fungsi yang sama dengan darah mamalia, terutama sebagai media transportasi yaitu mengangkut zat-zat makanan dari saluran pencernaan ke jaringan tubuh, mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan, mengangkut hasil akhir metabolisme sel ke alat ekskresi dan membawa hormon dari kelenjar endokrin ke organ lain dan sebagai pertahanan tubuh terhadap penyakit. Melalui diagnosis yang tepat, diharapkan prevalensi itik yang menderita toksoplasmosis dapat diketahui dengan pasti sehingga penyebaran toksoplasmosis dan penularan T. gondii pada manusia dapat dicegah. Terutama penularan melalui daging itik terinfeksi T.gondii yang dikonsumsi manusia. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi itik yang menderita toksoplasmosis melalui uji serologis dan mengetahui profil sel darah putih itik yang terinfeksi oleh Toxoplasma gondii, meliputi heterofil, neutrofil, limfosit, eosinofil dan monosit karena profil darah dapat digunakan sebagai indikasi fisiologis pada ternak. 4 C. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai prevalensi toksoplamosis pada itik dan gambaran sel darah putihnya di daerah Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta, sehingga dapat diketahui indikasi pencemaran lingkungan oleh oosista dan penularan toksoplasmosis pada manusia dan hewan dapat dicegah. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Toksoplasmosis Toksoplasmosis merupakan penyakit parasit yang dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius pada hewan dan manusia. Menurut Dubey dan Beattie (1988) sumber utama infeksi terdiri dari oosista T. gondii yang disebarkan oleh kucing dan jaringan tubuh mamalia maupun unggas yang kemungkinan mengandung sista jaringan dari T. gondii (Bartova dkk., 2004). 1. Etiologi Taksonomi secara umum dari Toxoplasma gondii menurut Soulsby (1983) ialah Filum Apicomplexa, Klas Sporozoa, Subklas Coccidia, Ordo Eucoccidiidae, Subordo Eimeriina, Famili Sarcocystidae, Genus Toxoplasma dan Spesies Toxoplasma gondii. Klasifikasi didasari oleh perbandingan morfologi di setiap tahap hidup yang berbeda, terutama yang paling penting ialah tahap seksual. Menurut Guo dan Johnson (1995), teknologi molekuler genetik menunjukkan bahwa Toxoplasma gondii merupakan spesies tunggal yang berkerabat dengan Isospora, Sarcocystis, Frenkelia dan Hammondia, tetapi paling dekat kekerabatannya dengan Neospora caninum (Schwartzman, 2001). 2. Morfologi Takizoit. Perkembangan takizoit terlihat terutama ketika terjadi infeksi viseral yang akut. Perkembangan takizoit pada kucing terjadi di lamina propria, 5