PDF (BAB I)

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Toksoplasmosis adalah penyakit zoonis yang disebabkan oleh protozoa
Toxoplasma gondii. Parasit tersebut mampu menginfeksi hampir semua jenis sel
berinti (nucleated cell) termasuk leukosit pada manusia dan berbagai jenis
mamalia darat maupun air, bangsa burung bahkan serangga (Subekti dan
Arrasyid, 2005).
Pada kehidupan manusia, ada dua populasi yang kemungkinan beresiko
tinggi terinfeksi parasit Toxoplasma gondii, yaitu wanita hamil dan individu yang
mengalami defisiensi sistem imun (Yowani dkk, 2007).Cossart pada tahun 2000
melakukan penelitian terhadap kasus keguguran spontan di RS Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta dan RS Hasan Sadikin Bandung, menemukan sekitar
80,2% (81 dari 101) sampel plasenta yang diinokulasi pada mencit menunjukkan
hasil positif mengandung kista toksoplasma. Hasil tes ELISA dari seluruh sampel
sebanyak 178 memperlihatkan 52,25% positif. Dari hasil penelitian tersebut
disimpulkan bahwa penyebab keguguran spontan terbesar adalah infeksi
Toxoplasma gondii (Yowani dkk, 2007).
Toksoplasmosis mungkin bukanlah penyakit yang fatal, tetapi apabila
tidak ditanggulangi dengan baik maka akan menimbulkan masalah mulai
infertilitas, abortus, kecacatan fisik maupun mental. Dengan meningkatnya kasus
HIV-AIDS, kanker maupun kasus gizi buruk maka toksoplasmosis harus
diwaspadai, karena terbukti toksoplasmosis dapat menimbulkan kelainan yang
nyata pada penderita dengan status imun yang rendah (Palgunadi, 2011). Pada
penderita imunosupresi, Toxoplasma gondii
dapat menjadi penyebab utama
infeksi sistem saraf pusat dan encephalitis yang diakibatkan oleh terapi maupun
proses penyakitnya (Sanjaya, 2007).
Salah satu obat yang menjadi pilihan utama dalam terapi toksoplasmosis
adalah pirimetamin yang diketahui memiliki efek antitoksoplasmosis. Namun,
pada dosis dan jangka pemakaian tertentu pirimetamin dapat menimbulkan
1
2
kejang, leukositopenia dan teratogenik sehingga perlu pemantauan dalam
penggunaanya terutama pada wanita hamil dan pasien dengan imunodefisiensi
(Subekti dkk, 2005).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah gambaran terapi pada pasien toksoplasmosis di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta dan RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
2.
Apakahpengobatanpadapasien toksoplasmosis di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta dan RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten sudah memenuhi
kriteria tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat dan tepat dosis sesuai dengan
standar penatalaksanaan berdasarkan Principles and Practice of Infectious
Diseases 7th edition 2010.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1.
Untuk mengetahui gambaran terapi pada pasien toksoplasmosis di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta dan RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
2.
Mengetahui tingkat ketepatan pengobatan meliputi tepat indikasi, tepat
pasien, tepat obat dan tepat dosis pada pasien toksoplasmosis di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta dan RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten berdasarkan
Principles and Practice of Infectious Diseases 7th edition 2010.
D. Tinjauan Pustaka
1.
Toxoplasma gondii
a.
Morfologi dan Klasifikasi
Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler, terdapat
dalam tiga bentuk yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit) dan
ookista (berisi sporozoit) (Hiswani, 2005). Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit
dengan ujung yang runcing dan ujung lain agak membulat. Ukuran panjang 4-8
3
mikron, lebar 2-4 mikron dan mempunyai selaput sel, satui nti yang terletak di
tengah bulan sabit dan beberapa organel lain seperti mitokondria dan badan golgi
(Sasmita, 2006). Bentuk ini terdapat di dalam tubuh hospes perantara seperti
burung dan mamalia termasuk manusia dan kucing sebagai hospes definitif.
Takizoit juga ditemukan pada infeksi akut dalam berbagai jaringan tubuh
(Chahaya, 2003).
Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah
membentuk dinding. Ukuran kista berbeda-beda, ada yang berukuran kecil dan
hanya berisi beberapa bradizoit dan ada juga yang berukuran 200 mikron berisi
kira-kira 3000 bradizoit. Kista yang terdapat pada tubuh hospes dapat ditemukan
seumur hidup terutama di otak, otot jantung, dan otot bergaris. Di otak bentuk
kista lonjong atau bulat, tetapi di dalam otot bentuk kista mengikuti bentuk sel
otot (Gandahusada, 2003).
Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 mikron. Ookista
memiliki dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas.
Pada perkembangan selanjutnya kedua sporoblas membentuk dinding dan menjadi
sporokista. Masing-masing sporokista tersebut berisi 4 sporozoit yang berukuran 8
x 2 mikron dan sebuah benda residu (Chahaya, 2003).
Menurut Levine (1990), Toxoplasma gondii dalam klasifikasi termasuk
kelas sporozoasida, karena berkembang biak secara seksual dan aseksual yang
terjadi secara bergantian (Chahaya, 2003). klasifikasinya sebagai berikut :
Dunia
: Animalia
Sub Dunia
: Protozoa
Filum
: Apicomplexa
Kelas
: Sporozoasida
Sub kelas
: Coccodiasina
Bangsa
: Eucoccidiorida
Sub Bangsa
: Elimeriorina
Suku
: Sarcocystidae
Marga
: Toxoplasma
Jenis
: Toxoplasma gondii
4
b.
Daur Hidup
Kucing dan hewan sejenisnya merupakan hospes definitif dari
Toxoplasma gondii. Di dalam usus kecil kucing, sporozoit menembus sel epitel
dan tumbuh menjadi trofozoit. Inti trofozoit membelah menjadi banyak sehingga
membentuk skizon. Skizon matang pecah dan menghasilkan banyak merozoit
(skizogoni). Daur aseksual ini dilanjutkan dengan daur seksual. Merozoit masuk
kedalam sel epitel dan membentuk makrogametosit dan mikrogametosit yang
menjadi makrogamet dan mikrogamet (gametogoni). Setelah terjadi pembuahan
terbentuk ookista yang akan dikeluarkan bersama tinja kucing. Diluar tubuh
kucing, ookista tersebut akan berkembang membentuk dua sporokista yang
masing-masing berisi empat sporozoit (sporogoni) (Chahaya, 2003).
Bila ookista tertelan oleh mamalia seperti domba, babi, sapi dan tikus
serta ayam atau burung, maka didalam tubuh hospes perantara akan terjadi daur
aseksual yang menghasilkan takizoit. Takizoit akan membelah dan kemudian akan
terbentuk kista yang mengandung bradizoit. Bradizoit dalam kista biasanya
ditemukan pada infeksi menahun (infeksi laten) (Chahaya, 2003).
2.
Toksoplasmosis
a.
Definisi
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi dengan
parasit obligat intraselluler Toxoplasma gondii (Ernawati, 2008).
b.
Cara Penularan
Pada manusia penyakit toksoplasmosis ini umumnya terinfeksi melalui
saluran pencernaan,perantara yang umum adalah makanan atau minuman yang
terkontaminasi dengan agen penyebab penyakit toksoplasmosis ini, misalnya
karena minum susu sapi segar atau makan daging yang belum sempurna
matangnya dari hewan yang terinfeksi dengan penyakit toksoplasmosis.Penyakit
toksoplasmosis sering terjadi karena makanan yang diberikan biasanya berasal
dari daging segar (mentah) dan sisa-sisa daging dari rumah potong hewan
(Hiswani, 2001).
Infeksi dapat terjadi bila manusia makan daging mentah atau kurang
matang yangmengandung kista. Infeksi ookista dapat ditularkan oleh vektor lalat,
5
kecoa, tikus, dan melalui tangan yang tidak bersih. Transmisi Toxoplasmagondii
ke janin terjadi utero melalui plasenta ibu hamil yang terinfeksi penyakit ini.
Infeksi Toxoplasma gondii juga dapat terjadi di laboratorium, pada peneliti yang
bekerjadengan
menggunakan
hewan
percobaan
yang
terinfeksi
dengan
toksoplasmosis atau melalui jarum suntik dan alat laboratorium lainnya yang
terkontaminasi dengan Toxoplasma gondii (Levine, 1990).
Pada orang yang tidak makan daging juga dapat terjadi infeksi apabila
ookista yang dikeluarkan melalui tinja kucing tertelan. Kontak yang umumnya
terjadi dengan hewan terkontaminasi atau dagingnya, dapat dihubungkan dengan
adanya prevalensi yang lebih tinggi diantara dokter hewan, mahasiswa kedokteran
hewan, pekerja di rumah potong hewan dan orang yang menangani daging mentah
seperti juru masak (Chahaya, 2003).
Melihat cara penularan diatas maka kemungkinan paling besar untuk
terkena infeksi Toxoplama gondii melalui makanan daging yang mengandung
ookista dan yang dimasak kurang matang. Kemungkinan kedua adalah melalui
hewan peliharaan.
Gambar 1. Cara Penularan Toksoplasmosis
6
c.
Klasifikasi
1). Infeksi toksoplasma akut: infeksi yang didapat sesudah bayi
dilahirkan, biasanya asimptomatik.
2). Infeksi toksoplasma kronik: terjadinya persistensi kista dalam
jaringan yang berisi parasit pada individu yang secara klinis asimptomatik.
3). Toksoplasmosis akut maupun kronik: suatu keadaan saat parasit
menjadi penyebab terjadinya gejala dan tanda klinis (antara lain: ensefalitis,
miokarditis, pneumonia).
4). Toksoplasmosis kongenital: infeksi pada bayi baru lahir yang terjadi
akibat penularan parasit secara transplasental dari ibu yang terinfeksi terhadap
janinnya. Bayi ini biasanya asimptomatik pada saat dilahirkan tapi di kemudian
hari akan timbul manifestasi berupa gejala dan tanda dengan kisaran yang luas
seperti: korioretinitis, strabismus, epilepsi dan retardasi psikomotor (Lloyd, 1999).
d.
Gejala klinis
Sesuai dengan cara penularan dan gejala klinisnya, toksoplasmosis dapat
diklasifikasikan menjadi toksoplasmosis akuisita (dapatan) dan toksoplasmosis
kongenital. Baik toksoplasmosis dapatan maupun kongenital, pada umumnya
asimptomatis. Keduanya dapat bersifat akut dan kemudian menjadi kronik.
Gejalanya sering tidak spesifik dan sulit dibedakan dengan penyakit lain.
Toksoplasmosis dapatan umumnya tidak diketahui karena jarang menimbulkan
gejala. Tetapi apabila seorang ibu yang sedang hamil mendapat infeksi primer,
ada kemungkinan bahwa 50% mereka akan melahirkan anak dengan
toksoplasmosis kongenital. Gejala yang dijumpai pada orang dewasa maupun
anak-anak seringnya ringan. Gejala klinis yang paling umum dijumpai pada
toksoplasmosis dapatan adalah limfadenopati dan rasa lelah, disertai demam dan
sakit kepala (Gandahusada, 2003).
Gambaran klinis pada toksoplasmosis kongenital dapat bermacammacam. Ada yang tampak normal pada waktu lahir dan gejala klinisnya baru
timbul setelah beberapa minggu sampai beberapa tahun. Ada gambaran
eritroblastosis, hidropsfetalis dan triad klasik yang terdiri dari hidrosefalus,
7
korioretinitis dan perkapuran intrakranial atau tetrad sabin yang disertai kelainan
psikomotorik (Gandahusada, 2003).
Setelah terjadi infeksi Toxoplasma gondii kedalam tubuh akan terjadi
proses yang terdiri dari tiga tahap yaitu yang pertama adalah parasitemia, dimana
parasit
menyerang organ
dan
jaringan
serta
memperbanyak
diri
dan
menghancurkan sel-sel inangnya. Perbanyakan diri ini paling nyata terjadi pada
jaringan retikuloendotelial dan otak, dimana parasit mempunyai afinitas paling
besar. Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua setelah terjadinya infeksi.
Tahap ketiga rnerupakan fase kronik, dimana akan terbentuk kista-kista yang
menyebar di jaringan otot dan syaraf, yang sifatnya menetap tanpa menimbulkan
peradangan lokal (Ernawati, 2008).
e.
Terapi
Pirimetamin dianggap paling efektif sebagai agen anti Toxoplasma
gondii, dan apabila memungkinkan harus selalu dimasukkan dalam regimen obat
untuk melawan parasit. Pirimetamin merupakan asam folat antagonis yang
memiliki efek samping menekan sumsum tulang, efek tersebut akan menurun
seiring dengan pemberian asam folinat (kalsium leucovorin). Asam folinat harus
diberikan secara bersamaan dengan pirimetamin untuk menghindari penekanan
pada sumsum tulang (Montoya dkk, 2010).
Berdasarkan Principles and Practice of Infectious Diseases edisi ketujuh
terdapat guideline atau algoritma terapi infeksi toksoplasmosis, dalam algoritma
disebutkan bahwa :
a. Pirimetamin adalah obat antitoksoplasmosis paling efektif dan harus
selalu diberikan pada pasien yang terinfeksi toksoplasmosis
b. Selain
pemberian
pirimetamin,
perlu
juga
dikombinasikan
penggunaannya dengan sulfadiazin atau clindamycin. Sulfadiazin dan
clindamycin bekerja sinergis dengan pirimetamin
c. Jika pemberian sulfadiazin atau clindamycin tidak dapat ditolerir,
dapat juga diberikan alternatif trimetoprim-sulfametoxazol
8
d. Pada beberapa penelitian dilaporkan bahwa dapat juga diberikan
atovaquon, claritromycin, azitromicin sebagai regimen pendamping
pirimetamin (Montoya dkk, 2010).
Pasien yang hanya memperlihatkan gejala limfadenopati tidak perlu
terapi spesifik kecuali jika terdapat gejala yang persisten dan berat. Pengobatan
dapat diindikasikan selama 2 sampai 4 minggu diikuti dengan penilaian ulang
kondisi pasien (Ernawati, 2008).
Tabel 1. Terapi Toksoplasmosis
Terapi
Terapi primer:
Pirimetamin
Asam folinat (leucovorin)
Ditambah
Sulfadiazin
Atau
Clindamycin
Terapi pada ibu hamil:
Spiramycin
Atau
Pirimetamin
Dosis
Oral 200 mg loading dose, kemudian
diberikan dosis 50-75 mg PO per hari
10-20 mg per hari PO, IV atau IM
1000-1500 mg PO tiap 6 jam
600 mg tiap 6 jam PO atau IV
1000 mg tiap 8 jam PO
50 mg tiap 12 jam selama 2 hari, kemudian
dilanjutkan 50 mg per hari PO
Sulfadiazin
Dosis awal 75 mg/kg BB dan dilanjutkan
dengan 50 mg/kg BB tiap 12 jam PO
Asam folinat (leucovorin)
10-20 mg per hari PO
Catatan: Pirimetamin tidak boleh diberikan pada ibu hamil dengan usia kandungan di
bawah 18 minggu
Terapi pada okuler toksoplasmosis:
Pirimetamin
100 mg loading dose diberikan lebih dari
24 jam kemudian dilanjutkan 25-50
mg/hari PO
Sulfadiazin
1 gram diberikan 4 kali dalam sehari PO
Terapi pada infeksi kongenital:
Sulfadiazin
50 mg/kg BB setiap 12 jam PO
Pirimetamin
Loading dose 1 mg/kg BB tiap 12 jam
dimulai pada hari ketiga, 1 mg/kgBB/hari
selama 2-6 bulan PO
Asam folinat
10 mg 3 kali dalam 1 minggu (diberikan
selama terapi pirimetamin dan 1 minggu
setelah terapi) PO
Sumber: Principles and Practice of Infectious Diseases (Montoya dkk, Douglas, and
Bennett) 7th edition 2010
9
Pasien toksoplasmosis dengan imunodefisiensi direkomendasikan untuk
mendapatkan terapi 4 sampai 6 minggu setelah resolusi dari semua tanda-tanda
dan gejala infeksi. Terapi toksoplasmosis pada pasien dengan imunodefisiensi
(AIDS) meliputi pengobatan primer (akut), pengobatan pemeliharaan (profilaksis
sekunder) dan profilaksis primer (Montoya dkk, 2010).
Tabel 2. Terapi toksoplasmosis pada pasien imunodefisiensi (AIDS)
Terapi
Dosis
Terapi primer :
Pirimetamin
Oral 200 mg loading dose, kemudian
diberikan dosis 50-75 mg PO per hari
Terapi
Dosis
Asam folinat (leucovorin)
10-20 mg per hari PO, IV atau IM
Ditambah
Sulfadiazin
1000-1500 mg PO tiap 6 jam
Atau
Clindamycin
600 mg tiap 6 jam PO atau IV
Terapi perawatan :
Pirimetamin
25 mg PO per hari
Sulfadiazin
500 mg PO tiap 6 jam
Terapi profilaksis :
TMP-SMX (trimetropim-sulfametoxazol)
Single strength 80/400 mg PO per hari
Double strength 160/800 mg PO per
hari
Dapsone
50 mg PO per hari
Ditambah
50 mg PO per minggu
Pirimetamin
Sumber : Principles and Practice of Infectious Diseases (Montoya dkk, Douglas, and
Bennett) 7th edition 2010
Download